Anda di halaman 1dari 25

A.

Pendahuluan

Sebuah karya tafsir, dilihat dari episteme yang terbagun dan


arah gerak didalamnya, tidak lepas dari ruang sosial, dimana dan oleh
siapa tafsir itu ditulis. Ruang sosial ini, dengan keragaman problem
dan dinamikanya, disadari atau tidak, selalu saja akan mewarnai
karya tafsir, sekaligus merepresentasikan kepentingan dan idiologi
yang ada.1

Tradisi penulisan tafsir al-Quran di Indonesia dasawarsa 1990-


an telah melahirkan wacana yang beragam. Dari segi tema yang
diangkat, karya tafsir Indonesia dasawarsa 1990-an sangat terkait
dengan wacana dan problem-problem pemikiran yang sedang
berkembang ditengah masyarakat.2 Salah satu tema yang marak
dibahas pada dekade tersebut adalah mengenai kesetaraan gender.
Sehingga muncul beberapa karya tafsir tentang kesetaraan gender,
diantaranya karya, Nasaruddin Baidan tentang Tafsir bi al-Rayi:
Penggalian Konsep Wanita dalam al-Quran, Argumen Kesetaraan
Gender Prespektif al-Quran karya Nasarudin Umar dan Tafsir
Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Quran karya Zaitunah
Subhan.

Teks al-Quran yang bersifat abadi berfungsi sebagai pemersatu


pemahaman manusia yang berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia,

1 Yang dimaksud dengan ideologi disini adalah klaim ideoIogi secara umum,
yaitu yang dipakai untuk merujuk pada adanya bias, kepentingan, orientasi,
dan tujuan-tujuan politis pragmatis serta keagamaan dalam sebuah karya
tafsir. Lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutik
hingga Ideologi (Yogyakarta: LKis, 2013), hlm. 319.

2 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutik hingga


Ideologi, hlm. 378.

1
pemahaman penafsiran pada tahun 90-an, khususnya mengenai
penafsiran kesetaraan gender yang dipelopori oleh kaum modernis
dan kalangan feminis, mempunyai ciri tersendiri, yaitu mencerminkan
sikap yang reaktif terhadap suasana modernitas di satu sisi, dan
penafsiran tradisional disisi lain, dalam memahami realitas teologis.
Para mufassir berupaya untuk menafsirkan ayat-ayat tentang
perempuan secara komperhensif. Sehingga dapat terlihat bahwa
pendekatan mereka lebih bersifat holistik, yang mengaitkan dengan
historis, sosial, dan ekonomi. Sehingga muncul epistemologi baru
dalam melihat masalah gender.3

Dalam hal ini, penulis ingin membahas salah satu karya tafsir
pada tahun 90-an, yang mengusung isu gender. Adapun karya Tafsir
tersebut adalah Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir
Quran karya Zaitunah Subhan. Dari kajian ini, penulis mencoba
menggambarkan hasil penafsiran mufassir Indonesia mengenai
kesetaraan gender. Seperti yang diketahui, bahwa sebuah penafsiran
tidak lepas dari lingkup ruang dan waktu seorang mufasir.

B. Biografi Zaitunah Subhan

Zaitunah Subhan lahir di Gresik, Jawa Timur pada tanggal 10


Oktober 1950. Dia menempuh pendidikan formal, mulai dari SRN 6
tahun; Ibtidaiyah sampai Tsanawiyah 3 tahun di Pesantren
Maskumambang Gresik; Aliyah 2 tahun di Pesantren Ihya` al-'Ulum
Gresik. Tahun 1967, melanjutkan studi di fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Ampel Surabaya angkatan pertama; lulus Sarjana Muda (BA)
tahun 1970, dan tahun 1974 lulus Sarjana Lengkap (Dra) jurusan
Perbandingan Agama. Sebelum diwisuda, dia mendapat beasiswa
3 Munirul Abidin, Paradigma Tafsir Perempuan di Indonesia (Malang: UIN
Maliki Press, 2011), hlm. 89.

2
Universitas al-Azhar untuk Dirasat al-'Ulya (tingkat Magister) Kulliyat
al-Banat Kairo Mesir sampai tahun 1978.

Sekembalinya dari Kairo, dia aktif di almamaternya sebagai


Dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang menjadi UIN)
Sunan Ampel Surabaya sejak 1978 dan sampai sekarang menjadi
Guru Besar disana. Pendidikan S3, ditempuh di Program Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melalui program Doktor Bebas
Terkendali angkatan pertama tahun 1996/1997, dan ujian promosi
tanggal 29 Desember 1998. Setelah itu, dia juga menjadi guru besar
di UIN Syarif Hidayatullah sampai sekarang.4

Adapun pendidikan non-formal yang pernah dia ikuti, di


antaranya: Intensif Course (Women and Development kerja sama INIS
dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta) tahun 1989; mengikuti
Konferensi Internasional (6th International Interdisciplinary Congress
on Women) di Adelaide Australia 1996; dan di Jakarta 1997
(International Women: Conference Women in Indonesia Society;
Acces, Empowerment and Opportunity). Sebagai seorang wanita
karier, beliau tidak hanya aktif sebagai dosen, melainkan juga aktif
dalam berorganisasi.

Dia juga aktif dalam berbegai organisasi, pengalaman


organisasi dilingkungan kampus yang pernah digelutinya adalah,
sebagai ketua KPSW (Kelompok Pengembangan Studi Wanita) di IAIN
Sunan Ampel periode 1991-1995, dan ketua PSW (Pusat Studi Wanita)
IAIN Sunan Ampel periode 1995-1999. Sedangkan organisasi diluar
kampus, diantaranya sebagai Ketua Devisi Hubungan antar Organisasi
Wanita ICMI Orwil Jawa Timur pada tahun 1995-2000, serta menjadi
4 Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah (Yogyakarta: LKis, 2004),
hlm. 81.

3
anggota POkja P2W Pemda Jawa Timur. 5 Selain itu, dia juga pernah
menjabat sebagai staf ahli Menteri Bidang Agama Kementrian
Pemberdayaan Perempuan RI.

Zaitunah banyak menulis beberapa karya, khususnya karya-


karya yang berkenaan dengan perempuan dan kesetaraan gender.
Adapun beberapa karya tulisnya antara lain sebagai berikut:

1. Rekonstruksi pemahaman gender dalam islam: agenda sosio-


kultural dan politik peran perempuan 2002
2. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender dalam
membangun good governance 2002
3. Membina keluarg Sakinah tahun 2004
4. Kekerasan terhadap perempuan 2004
5. Kondrat perempuan: takdir atau mitos 2004
6. Perempuan dan politik dalam islam 2004
7. Membendung Liberalisme 2006
8. Menggagas fiqih pemberdayaan perempuan 2008
C. Latar Belakang Penulisan Tafsir Kebencian

Buku Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Quran


merupakan hasil desertasi Zaitunah, yang pada mulanya berjudul
Kemitra sejajaran Pria dan Wanita dalam Prespektif Islam. Terdapat
tiga alasan mengapa Zaitunah memilih pembahasan Kemitra
sejajaran Pria dan Wanita dalam Prespektif Islam sebagai judul
desertasinya. Pertama, didasarkan atas asumsi bahwa pembahasan
mengenai kodrat wanita, pada masa itu belum pernah terungkap,
kedua, bahwa adanya kerancuan dalam memahami apa sebenarnya
kodrat wanita, ketiga, pemahaman kemitrasejajaran pria dan wanita
dalam rangka mensosialisasikan program pemerintah yang telah

5 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-
Quran (Yogyakarta: LKis, 1999), hlm. 257.

4
dicanangkan sejak Pelita VI. 6 Namun, Zaitunah tidak menjelaskan
alasan mengapa dia menamai bukunya dengan judul Tafsir
Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Quran.

Tafsir Kebencian ini diterbitkan pada tahun 1999, dimana pada


tahun ini kajian gender sangat populer. Banyak faktor pendukung
mengapa kajian gender pada masa itu begitu menarik perhatian,
khususnya bagi para ilmuan. Menurut Komaruddin Hidayat dalam
pengantar Tafsir Kebencian, ada tiga faktor mengapa kajian gender
semakin popular. Pertama,imbas dari faham feminisme di Barat yang
datang ke Indonesia baik yang dibawa oleh para sarjana maupun
penyebaran melalui media massa dan literatur. Kedua, semakin
terbukanya lapangan kerja bagi para wanita, terutama mereka yang
memiliki skill sehingga membawa implikasi pergeseran pada pola
hubungan suami istri dari pola tradisional ke pola baru yang lebih
egaliter berdasarkan skill, kesempatan kerja dan pengahasilan.
Ketiga, munculnya para politisi wanita di dunia Islam, seperti di
Pakistan, Rusia, dan Indonesia.7

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa faktor yang melatar


belakangi penulisan buku ini adalah mengenai pemahaman tentang
kodrat wanita. Dalam pendahuluan, Zaitunah sedikit menjelaskan

6 Pelita (Pembangunan Lima Tahun) adalah program yang dicanangkan pemerintah


dalam rangka pembangunan Nasional selama masa Orde Baru. Pemerintah telah
melaksanakan 6 pelita. Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999.
Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang
berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya
manusia sebagai pendukungnya.

7 Komaruddin Hidayat, Pengantar dalam Tafsir Kebencian: Studi Bias


Gender dalam Tafsir Quran (Yogkarta: LKis, 1999), hlm. xiv.

5
tentang kodrat wanita dan polemik mengenai hal tersebut dalam
masyarakat.

Zaitunah menjelaskan bahwa Islam berpihak kepada wanita,


bukan diskriminasi terhadapnya. Islam mempunyai prinsip-prinsip.
Salah satu prinsip pokoknya adalah persamaan dan keadilan.
Persamaan antara manusia, baik pria maupun wanita dan keadilan
dengan memberikan keseimbangan keduanya. Selama ini
berkembang pola pikir yang membentuk pandangan stereotip tentang
wanita. Pandangan ini kemudian memunculkan rumusan sepihak
mengenai bagaimana hakikat menjadi wanita yang sebenarnya. Pada
gilirannya hal ini membentuk pola tingkah laku dan sikap wanita yang
diterjemahkan menjadi kodrat wanita yang tak dapat dirubah. Pola
pikir yang demikian kuatnya dibentuk, sehingga menjadi semacam
ajaran agama yang berkembang subur dalam masyarakat.8

Menurutnya, dalam memahami isu kodrat wanita, sering terjadi


kerancuan, bahkan seakan-akan merupakan polemik yang
berkepanjangan, baik dikalangan kaum pria dan wanita maupun kaum
intelektual dan awam. Kodrat wanita dijadikan alasan untuk
mereduksi berbagai peran wanita dalam keluarga maupun
masyarakat. Sementara kodrat itu sendiri sudah dianggap sebagai
pemberian dari Yang Maha Pencipta.

Dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, partisipasi kaum


wanita secara kuantitaif dan kualitatif sangat kurang dibanding kaum
pria. Salah satu sebabnya adalah adanya hambatan keagamaan.
Sudah terlanjur dipersepsikan bahwa perjuangan fisik dan tugas-
tugas politik adalah tugas kaum pria, sementara kaum wanita hanya
8 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Quran,
hlm. 2.

6
mengurus rumah tangga. Padahal keterlibatan kaum wanita di dunia
publik pada masa Nabi Muhammad demikian besar.9

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah domestifikasi kaum


wanita dan masalah-masalah yang lain berangkat dari asumsi bahwa
wanita memang diciptakan lebih rendah dari pada pria? Sementara
pandangan inferior ini pun menjadi pembenaran bagi struktur
dominasi pria dalam keluarga. Ataukah karena norma-norma teks al-
Quran ditafsirkan oleh kaum pria terdahulu, yang kemudian diikuti
oleh generasi-generasi berikutnya sampai sekarang.

Padahal banyak ayat al-Quran secara normatif menegaskan


adanya konsep kesejajaran antara pria dan wanita, sebagaimana
dijelaskan pada surat al-Ahzab: 35. Ayat tersebut mengisyaratkan dua
pengertian. Pertama, al-Quran dalam pengertian umum mengakui
martabat pria dan wanita dalam kesejajaran tanpa membedakan jenis
kelamin. Kedua, pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang
sejajar dalam berbagai bidang. Secara normatif al-Quran terkesan
mendorong semangat kemitraan atau kesejajaran antara status pria
dan wanita, namun secara kontestual, al-Quran juga menyatakan
adanya kelebihan tertentu bagi kaum pria dan wanita. Misal
pengertian terhadap lafadz qawwamuna yang terdapat dalam surat
an-Nisa: 34.10 Dari ayat tersebut timbul berbagai interpretasi di
kalangan mufassir maupun para feminis muslim.11

9 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Quran,
hlm. 3.

10
kaum laki-laki itu


adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

7
Beberapa masalah yang muncul dari proses sosialisasi agama
bahwa kaum pria adalah pemimpin, mempunyai hak istimewa
terhadap kaum wanita, dan inilah kodrat wanita sehingga kaum
prialah yang memberi justifikasi bahwa dunia wanita berada di sektor
domistik saja. Sementara ide tau pandangan inferior, bahwa wanita
adalah mahluk lemah juga disebarkana atas nama agama.

Dari hal tersebutlah maka sangat diperlukan penafsiran


mengenai kesejajaran antara pria dan wanita. Namun penafsiran
agama tentang wanita yang ada sekarang, menghadapi tantangan
besar, khususnya di Indonesia. Zaitunah beranggapan bahwa selama
ini wanita selalu di definisikan melalui konsep fiqih, dipandang inferior
dengan memakai landasan tafsir yang mengandung bias misoginis.
Padahal dalam prospektif Islam, manusia sebagai mahluk ciptaan
Tuhan, sebagai khalifah di bumi (terdiri dari pria dan wanita) memiliki
unsur kemanusiaan yang sama.12

Dari penjelasan diatas, Zaitunah mencoba untuk menggali


konsep kemitra sejajaran pria dan wanita dalam prespektif Islam,
yang lebih difokuskan pada penafsiran ayat-ayat atau hadis yang
menyangkut persoalan wanita. Dia menjelaskan bahwa kajiannya
Zaitunah menjelaskan bahwa lafadz qawwamuna disini adalah pemimpin,
sehingga ayat ini menunjukkan bahwa seorang pria mempunyai hak
istimewa terhadap kaum wanita, sehingga menurutnya, kaum prialah yang
memberi justifikasi bahwa kaum wanita hanya berada dalam sektor
domestic saja. Lihat, Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender
dalam Tafsir Quran, hlm. 6.

11 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 6.

12 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 10.

8
mengenai kodrat wanita dalam bukunya, merupakan pengembangan
tradisi kajian feminis muslim untuk merentas kesalah fahaman
terhadap makna kodrat yang oleh sebagian masyarakat Indonesia
masih dianggap sebagai ajaran Islam. Dan juga, penelitian ini
dilakukannya dalam rangka mengungkap secara rinci ajaran Islam
tentang kemitra sejajaran pria dan wanita menurut mufassir
Indonesia, pandangan para mufassir ulama klasik dan pandangan
feminis muslim.

D. Pembahasan dalam Tafsir Kebencian

Dalam bukunya, Zaitunah menyajikan empat pembahasan,


yang setiap pembahsan mempunyai beberapa bab dan sub bab.
Pertama, mengenai kodrat wanita. Pembahasan kodrat wanita
merupakan pembuka dalam kajiannya. Didalamnya membahas istilah
perempuan dan wanita serta devinisi kodrat. Terjadi banyak
perbedaan mengenai istilah perempuan dan wanita, namun menurut
Zaitunah, istilah perempuan dan wanita sama-sama berkaitan dengan
suatu citra, mitos dan stereotip tertentu, yaitu wanita harus lemah
lembut, mesra, hangat, cantik, menarik, dan produktif, sesuai dengan
peran ganda dan menjadi mitra pria.13

Mengenai devinisi kodrat, Zaitunah membagi dua pengertian,


yaitu kodrat secara biologis dan kodrat secara umum. Kodrat secara
biologis diberikan khusus untuk kaum wanita atau kaum pria, sifat
kodrat ini tidak dapat dirubah dan tetap akan melekat sesuai jenis
kelamin masing-masing. sedangkan kodrat secara umum diberikan
kepada pria maupun wanita, namun sifat kodrat ini tidak tidak benar-
benar melekat pada diri pria maupun wanita, dan kodrat ini bisa saja
13 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir
Quran, hlm. 21.

9
dirubah. Tujuan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan kepada
pembaca menganai devisi kodrat itu sendiri, agar tidak terjadi kesalah
fahaman dalam memahami kodrat, khususnya mengenai kodrat
wanita.

Kedua, pembahasan pandangan inferior terhadap wanita.


Dalam pembahasan ini, Zaitunah mulai mengkaji teks al-Quran yang
berkenaan dengan isu-isu yang disandarkan kepada wanita. Ada
empat isu yang diusungnya dalam pembahasan ini yaitu, Asal
Penciptaan Wanita, Agama dan Kemampuan Akal pada Wanita, Peran
Domestik, dan Implikasi Terhadap Pandangan Inferior.

Ketiga, Konsep Kesejajaran. Dalam pembahasan ini, Zaitunah


menjelaskan kesejajaran antara pria dan wanita. Kesejajaran
menurutnya adalah pria dan wanita dapat menjadi mitra sejajar yang
harmonis. Kemitra sejajaran yang harmonis apabila pria dan wanita
memiliki kesamaan hak, kewajiban dan kedudukan, peran dan
kesempatan yang dilandasi sikap dan prilaku saling menghormati,
mengahargai, membantu dan mengisi dalam berbagai bidang. 14 Dia
juga menyajikan konsep kesejajaran yang terdapat pada perundang-
undangan di Indonesia, konsep kesejajaran menurut al-Quran, dan
kesejajaran secara sosiologis-antropologis.

Keempat, Hubungan Kodrat Wanita dan Kemitrasejajaran.


Dalam pembahasan ini, Zaitunah lebih memfokuskan pada
kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dalam keluarga, yaitu relasi
antara suami dan istri. Dia lebih menekankan pada hak dan kewajiban
istri, misal hak memilih, menceraikan dan mengatur urusan rumah
tangga.
14 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir
Quran, hlm. 92.

10
Sebagai penutup dalam buku tersebut, Zaitunah memberi
kesimpulan poin-poin penting yang terdapat dalam kajiannya,
meliputi penciptaan wanita, akal dan agama pada wanita, wanita di
ruang domestic, kepemimpinan rumah tangga, kesaksian wanita, dan
kewarisan. Lebih jelasnya, isi pembahasan dalam Tafsir Kebencian
dapat dilihat melalui tabel berikut:

N Pembahasan Bab Sub Bab


o
1 Kodrat Wanita Kodrat Wanita Menstruasi
Mengandung
Melahirkan
Menyusui
Mitos tentang Mitos tentang
Kodrat Wanita Kehamilan
Mitos tentang
Melahirkan
Mitos tentang
Menyusui
2 Pandangan Inferior Asal Penciptaan
Terhadap Wanita Wanita
Agama dan
dan Implikasinya
Kemampuan Akal
pada Wanita
Peran Domestik Istri
Pendamping
Suami
Ibu Rumah
Tangga Pendidik
Implikasi terhadap Negatif
Pandangan Inferior Positif
3 Konsep Kemitra Perundang-
Sejajaran undangan di

11
Indonesia
Kemitra Sejajaran
Secara Normatif
Kemitra Sejajaran Kepemimpinan
Secara Sosiologis- Rumah Tangga
Antropologis Kesaksian
Kewarisan
4 Hubungan Kodrat Hak dan Kewajiban Memilih
Wanita dan Hak

Kemitrasejajaran Menceraikan
Hubungan
Seksual
Mengasuh dan
Merawat Anak
Mengatur
Urusan Rumah
Tangga
Kesempatan dan Aktualisasi Diri
Persamaan Dedikasi
5 Kesimpulan Penciptaan Wanita
Akal dan Agama
pada Wanita
Wanita di ruang
Domestik
Kepemimpinan
Rumah Tangga
Kesaksian Wanita
Kewarisan

E. Metode dan Corak Tafsir Zaitunah Subhan

Menurut para ilmuan, metode merupakan cara atau jalan untuk


dapat memahami objek yang menjadi sasaran kajian ilmu. Metode
yang dalam istilah Arab lazim disebut ath-thariqah, memiliki peran

12
yang sangat penting dalam proses penggalian ilmu, termasuk juga
dalam ilmu tafsir.15 Sebagaimana yang telah kita ketahui, ada empat
metode tafsir, yaitu: tahlili, ijmali, muqaran dan maudhui. Dari
keempat metode tafsir tersebut, dalam pembahasan ini, Zaitunah
menggunakan metode maudhui.

Menurut al-Farmawi tafsir maudhui mempunyai dua macam


bentuk kajian. Pertama, pembahasan mengenai satu surat secara
menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat
umum dan khusus. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai
surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu. Ayat-
ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan dibawah satu
tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhui.16 Bentuk
kedua inilah yang dipakai oleh Zaitunah dalam tafsirnya.

Adapun corak penafsiran dari Tafsir Kebencian ini,


menggunakan corak adabi wal ijtimai. Tafsir yang bercorak adabi wal
ijtimai adalah suatu tafsir yang berbicara tentang keindahan bahasa
al-Quran dan kemukjizatannya, juga menjelaskan tentang makna-
maknanya. Dismping itu, yang menjadi karakteristik dalam corak ini
adalah tafsir yang memperlihatkan aturan-aturan al-Quran tentang
kemasyarakatan dan mengatasi persoalan yang dihadapi oleh umat
Islam secara khusus, serta persoalan umat manusia secara umum. 17

15 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2007), hlm. 103.

16 Abu al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhui Suatu Pengantar


(Jakarta: LKIS, 1994), hlm. 36.

17 Fahd ibn Abdul Rahman, Buhuts fi Ushul al-Tafsir Wamanahijuhu


(Maktabah al-Taubah, tt), hlm. 105.

13
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dalam karyanya ini,
Zaitunah merujuk pada penafsiran ulama terdahulu, namun yang
menjadi rujukan utama adalah karya-karya tafsir mufassir Indonesia.
Terdapat tiga karya yang menjadi rujukannya dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Quran dalam buku ini yaitu, al-Quran dan Tafsirnya,
Tafsir al-Azhar karya Hamka dan Tafsir Quran Karim karya Mahmud
Yunus. Zaitunah juga menjelaskan mengapa dia memilih ketiga karya
tersebut untuk menjadi sumber rujukannya dalam buku Tafsir
Kebencian.

Adapun alasan Zaitunah, pertama, Tafsir al-Quran Karim karya


Mahmud Yunus. Alasan dia merujuk pada sumber ini, disebabkan
Tafsir Quran Karim tersebut merupakan tafsir generasi kedua, dan
merupakan penyempurnaan atas upaya generasi pertama. 18 Karya
Muhammad Yunus ini dianggap salah satu tafsir yang cukup
representative untuk mewakili tafsir-tafsir generasi kedua.19

Kedua, Tafsir al-Azhar karya Hamka. Menurut Zaitunah, tafsir ini


mewakili tafsir-tafsir generasi ketiga.20 Selain itu, Hamka mempunyai
kelebihan dalam membicarakan sejarah dan peristiwa-peristiwa
kontemporer. Ketiga, al-Quran dan Tafsirnya yang diterbitkan oleh
Departemen Agama RI pada tahun 1995/1996. Menurutnya, tafsir ini
menjadi bagian dari rencana pembangunan lima tahun yang telah

18 Tafsir generasi pertama dimulai sekitar awal abad 20 sampai awal tahun
1960-an, ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang msih
terpisah-pisah. Lihat, Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1996), hlm. 129.

19 Tafsir generasi kedua, memulai dengan penerjemahan lengkap, yang


biasanya memiliki beberapa catatan kaki, terjemah kata per kata dan
kadang disertai dengan suatu indeks yang sederhana. Lihat, Howard M.
Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, hlm. 130.

14
dianggap bukti bahwa negara telah terlibat dalam penyebarluasan
nilai-nilai Islam pada masyarakat.

F. Contoh Penafsiran dalam Tafsir Kebencian

Penulis akan memberikan salah satu contoh penafsiran yang


terdapat dalam Tafsir Kebencian. Dalam hal ini, menulis membahas
salah satu tema dalam Tafsir Kebencian, yaitu mengenai Asal
Penciptaan Wanita.

Mengenai penciptaan manusia, Zaitunah mengutip pendapat


Ibnu Kasir. Ada empat konsep dalam penciptaan yaitu:

1. Penciptaan Adam dari tanah, tanpa ayah dan tanpa ibu


(tidak dari pria dan tidak dari wanita)
2. Penciptaan Hawa melalui pria tanpa wanita
3. Penciptaan Isa melalui seorang wanita dengan proses
kehamilan tanpa pria, baik secara hukum maupun secara
biologis (dari wanita tanpa pria)
4. Penciptaan manusia selain Adam, Hawa dan Isa diciptakan
melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan
hukum.21

Menurut Zaitunah, dari keempat konsep yang dikemukakan Ibnu


Kasir, hanya penciptaan Hawalah yang tidak disebutkan secara jelas
terperinci dalam mekanisme penciptaannya. Penciptaan asal wanita,

20 Generasi ketiga ini merupakan suatu kombinasi dari tafsir-tafsir generasi


kedua, yang bertujuan untuk memahami kandungan al-Quran secara
komprehensif. Didalamnya berisi meteri teks dan metodologi dalam
menganalisis tafsir. Dalam, Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di
Indonesia, hlm. 142.

21 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 44.

15
dalam hal ini Hawa, umumnya mengacu pada kata nafs. Terdapat tiga
ayat penciptaan dengan kata nafs, yaitu al-Nisa: 1, al-Araf: 187 dan
al-Zumar: 6.22 Yang dapat dijadikan dasar adalah kata nafsin wahidah,
minha, dan zaujaha. Dari sinilah muncul perbedaan penafsiran
diantara para ulama dalam menginterpretasikan pemahaman tentang
penciptaan wanita (Hawa).

Tiga ayat tersebut, dengan redaksi yang sama (nafs wahidah)


selalu dijadikan rujukan atau pijakan yang populer dalam
membicarakan asal penciptaan wanita. ayat tersebut juga yang
menjadi permasalahan apakah Hawa, pasangan Adam sebagai
seorang wanita diciptakan dari nafs wahidah seperti Adam, ataukah
diciptakan dari tubuh Adam sehingga termasuk konsep penciptaan

22
( ) Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. an-Nisa: 1)



()


Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia
merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya
jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang
yang bersyukur". (Q.S. al-Araf: 189)




()









Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya
dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang
ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang
mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat
dipalingkan? (Q.S. al-Zumar: 6).

16
yang kedua. Mengenai masalah ini, Zaitunah menjelaskan bahwa ada
dua kubu penafsiran yang kontroversial, pertama, penciptaan Hawa
berasal dari bagian tubuh Adam, yaitu tulang rusuk yang bengkok
sebelah kiri atas. Kedua, penciptaan Hawa sama sebagaimana
penciptaan Adam, yaitu dari jenis yang satu, atau jenis yang sama,
tidak ada perbedaannya.23

Pendapat pertama pada umumnya berasal dari para ulama


terdahulu. Mereka sepakat bahwa nafs wahidah diartikan Adam. Dan
lafad minha ditafsirkan menjadi Allah menciptakan pasangan atau
istrinya dari nafs wahidah, yaitu Adam, karena kata zaujaha secara
harfiah adalah pasangan yang mengacu pada istri Adam, yaitu Hawa.
Dengan demikian, mufassir golangan pertama ini memahami bahwa
pasangan atau istri Adam diciptakan dari tubuh Adam sendiri.
Diantara para musfassir yang berpandangan demikian antara lain,
Imam Qurtubi, Ibnu Kasir, Imam Zamakhsyari, al- Alusi, Yusuf
Qardhawi, serta Tim Penerjemah al-Quran yang diterbitkan oleh
Departemen Kementrian Agama, dan merupakan pendapat mayoritas
ulama.24

Para mufassir tersebut memberikan argument dalam


menafsirkan ketiga ayat diatas, khususnya pada surat an-Nisa: 1.
Kemudian argument ini dikuatkan dengan hadis shahih yang berbunyi
wanita itu diciptakan dari tulang rusuk.25 Zaitunah beranggapan
bahwa hadis tersebut dipahami secara harfiah oleh para ulama
terdahulu. Namun, tidak sedikit ulama kontemporer memahami

23 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 45.

24 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 46.

17
secara metaforik, bahkan ada yang menolak keshahihan hadis
tersebut.26

Pendapat yang pertama ini sepakat meyatakan bahwa Hawa


diciptakan dari tulang rusuk Adam, karena berdasarkan kata nafs
wahidah yang diyakini dengan makna Adam, sehingga dhamir ha
pada lafad minha kembali pada Adam, demikian juga kata zaujaha
diyakini sebagai istri Adam. Hal ini menyatakan bahwa Adam sebagai
penciptaan pertama, sedangkan Hawa termasuk penciptaan kedua
setelah Adam. Pendapat ini dikuatkan dengan hadis Shahih yang
diyakini kesahihannya dengan tidak ada keraguan baik sanad maupun
matan, dan difahami dengan makna harfiah.

Menurut Zaitunah, secara rasional, hadis tersebut tidak bisa


dipahami dengan makna harfiah. Oleh karena itu, diperlukan
interpretasi yang bisa dimengerti secara metaforik berisi peringatan
kepada kaum pria agar menghadapi kaum wanita dengan bijaksana,
tidak kasar dan tidak keras.27


:Misalnya dalam hadis Shahih Bukhari no. 3082 25














Telah bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Musa bin Hizam keduanya
berkata, telah bercerita kepada kami Husain bin "Ali dari Za'idah dari Maisarah Al
Asyka'iy dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Nasehatilah para wanita karena wanita
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang
rusuk adalah pangkalnya, jika kamu mencoba untuk meluruskannya maka dia akan
patah namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu
nasehatilah para wanita". Shahih Bukhari, dalam CD Lidwa 9 Kitab Imam.

26 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 46.

18
Pendapat kedua, yang menyatakan penciptaan Hawa sebagai
sosok wanita yang diciptakan dari nafs wahidah (jenis yang sama)
sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam dan Hawa.
Pendapat demikian ini dapat ditemukan pada bebrapa mufassir,
diantaranya, Imam al-Maraghi, Rasyid Ridha, Ukasyah al- Tibbi dalam
karyanya al-Marah fi Zilal al-Quran, serta Asghar Ali Engineer dalam
The Right of Women in Islam, dia menyatakan bahwa pria dan wanita
memiliki asal-usul dari mahluk hidup yang sama, karena itu tidak ada
yang lebih unggul dari pada yang lain. Argumen yang sama juga
dikemukakan oleh Fatima Mernissi dan Riffat Hasan dalam Women
and Islam: An Historical and Theological Enquiry, keduanya menolak
pandangan penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, dengan alasan
bahwa konsep semacam ini datang dari Injil dan masuk lewat
kepustakaan hadis yang penuh dengan kontroversi. Karena itu,
keduanya secara tegas menolak otentitas dan validitas hadis tentang
penciptaan perempuan tersebut, meski hadis tersebut bersumber dari
Shahih Bukhari dan Muslim.28

Zaitunah memetakan tiga alasan menganai pendapat kedua ini,


yaitu:

1. Kata nafs wahidah tidak dipahami dengan makna Adam,


tetapi dipahami dengan makna jenis yang satu. Sehingga
lafad zaujaha meski diartikan istri atau pasangan, tetapi
dhamir ha dalam kata minha kembali ke nafs wahidah

27 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 50.

28 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 49.

19
yang artinya jenis yang satu. Sehingga dapat dipahami
bahwa pasangan Adam diciptakan dari bahan yang sama.
2. Hadis shahih yang ada, tidak diterjemahkan secara harfiyah
3. Tidak ada satu ayat pun yang mendukung bahwa Hawa
diciptakan dari bagian tubuh atau tulang rusuk Adam. Jadi
unsur kejadian Adam dan Hawa adalah sama.29

Mengenai penciptaan Hawa, Zaitunah lebih condong pada


pandangan ke dua. Menurutnya, pandangan kedua ini cukup rasional.
Dia menjelaskan bahwa kata Adam dalam bahasa Ibrani berarti
tanah (berasal dari kata Adamah) yang sebagian besar berfungsi
sebagai istilah generik untuk manusia, sehingga Adam bukan
menyangkut jenis kelamin. Selain itu Zaitunah mengutip beberapa
ayat al-Quran, yaitu surat al-Isra: 70, surat al-Tin: 4, surat Ali Imran:
95, dan surat al-Hujurat: 13. Menurutnya, ayat-ayat tersebut
membicarakan tentang asal-usul kejadian manusia dari seorang pria
dan wanita, sekaligus berbicara tentang kemuliaan pria dan wanita.
yang dimaksud kemuliaan bukanlah keturunan, suku, atau jenis
kelamin tertentu, tapi nilai ketakwaan.30

Kemudian, Zaitunah melengkapi argumennya dengan merujuk


pada tiga karya tafsir yang telah disebutkan diatas, yaitu Tafsir al-
Quran Karim karya Mahmud Yunus, Tafsir al-Azhar karya Hamka dan
Tafsir Departemen Agama.

Menurut Mahmud Yunus, kata nafs wahidah dalam surat an-


Nisa: 1 bermakna diri yang satu. Yang dimaksud diri yang satu itu

29 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 51.

30 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 51-52.

20
adalah Adam dan istrinya (Hawa). Dari keduanyalah berkembang
semua manusia yang ada di dunia. Mahmud Yunus mengartikan kata
Adam dengan bangsa Manusia. Dalam menjelaskan ayat-ayat yang
berakitan dengan pencipta Hawa ini, sedikitpun dia tidak
menyinggung bahwa Hawa diciptakan dari bagian tubuh atau tulang
rusuk.31

Menurut Hamka, kata nafs wahidah diartikan dengan satu diri.


Sehingga dijelaskan bahwa semua manusia dibelahan manapun
adalah satu, yaitu satu kemanusiaan dengan Tuhan yang satu. Hamka
menegaskan, bahwa nafs wahidah adalah diri yang satu, sama-sama
berakal, sama-sama menginginkan yang baik serta sama-sama tidak
menyukai yang buruk dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Tafsir
Departemen Agama, menerjemahkan kata nafs wahidah dengan diri
yang satu. Dalam penafsirannya hanya disinggung bahwa menurut
jumhur mufassirin, Allah menciptakan manusia dari seorang diri,
yaitu Adam. Dengan demikian, maka Adam adalah manusia pertama
yang dijadikan Allah. Kemudian dari diri yang satu, Allah menciptakan
pasangannya, yaitu Hawa, dan dari keduanya manusia berkembang
biak. Zaitunah berpendapat bahwa dalam penafsiran ini, tidak
sedikitpun disinggung pendapat yang mengatakan penciptaan wanita
dari tulang rusuk, seperti pada tafsiran terbitan lama.32

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, pandangan


para ulama tafsir Indonesia tentang asal penciptaan wanita (Hawa),
sama dengan penciptaan Adam. Hal ini menunjukkan, dari awal

31 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 53.

32 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 54-55.

21
penciptaan manusia, baik pria maupun wanita sudah menunjukkan
adanya kemitra sejajaran.33

G. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Kebencian

Setiap karya pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-


masing. semua karya juga tidak luput dari kritikan, namun sifat dari
kritikan tersebut adalah untuk membangun, agar sebuah karya atau
ilmu selalu mengalami perkembangan. Dari pembacaan penulis,
penulis menemukan kelebihan sekaligus kekurangan dalam buku
Tafsir Kebencian karya Zaitunah Subhan ini. Adapun kelebihannya
antara lain:

Pertama, Zaitunah berhasil membangun episteme feminis.


Sebagai sosok perempuan, secara ideologis, Zaitunah membangun
episteme feminis, untuk menemukan icon kesetaraan sebagai nilai
dasar visi al-Quran. Dengan jelas dan lugas dia memaparkan dasar-
dasar epistemologi dari konsepsi yang dia bangun. Yang dilakukan
Zaitunah dalam Tafsir Kebencian, merupakan suatu usaha mendalam
dalam rangka mencari apa yang disebut Nasr Hamid sebagai
signifikansi teks dan makna yang tersebunyi dibaliknya. Hal ini
merupakan sikap keberanian Zaitunah yang perlu diapresiasi.

Kedua, Dapat dikatakan, Zaitunah merupakan wanita pertama


di Indonesia pada dekade tahun 90-an yang menulis karya tentang
penafsiran al-Quran mengenai Wanita dipandang dari sudut feminis.
Walaupun sebelumnya sudah terbit karya serupa, namun karya
tersebut ditulis oleh seorang pria, yaitu Nasaruddin Baidan tentang
Tafsir bi al-Rayi: Penggalian Konsep Wanita dalam al-Quran,

33 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir


Quran, hlm. 53-55.

22
Nasarudin Umar tentang Argumen Kesetaraan Gender Prespektif al-
Quran.

Ketiga, analisis penafsiran yang digunakan adalah komparatif,


yaitu mengkomparasikan tiga karya tafsir Indonesia, yang mana
ketiga karya tersebut mewakili generasi penafsiran, yaitu dimulai dari
generasi kedua dan ketiga, sehingga dari sini dapat diketahui
perkembangan penafsiran mufassir Indonesia pada tiap generasi.

Adapun kekurangan buku ini, menurut pembacaan penulis


adalah:

Pertama, Sampul buku. Zaitunah tidak menjelaskan mengenai


perubahan judul asli (desertasi) yang berjudul Kemitra sejajaran Pria
dan Wanita dalam Prespektif Islam menjadi Tafsir Kebencian: Studi
Bias Gender dalam Tafsir Quran. Bagi penulis, alasan perubahan judul
tersebut perlu dicantumkan, agar tidak terjadi kesalah fahaman
pembaca dalam membaca buku tersebut.

Kedua, Dalam pengantar Zaitunah mengenai kemitra sejajaran


pria dan wanita, dia mengatakan bahwa, secara kontekstual al-Quran
menyatakan adanya kelebihan dari kaum pria atas kaum wanita, yang
hal itu disebutkan pada lafadz qawwamuna pada surat al-Nisa: 34.34
Dia tidak menjelaskan mufassir yang mana yang menyatakan bahwa
lafadz qawwanuna merupakan indikasi bahwa pria lebih unggul dari
wanita. Karena menurut pengetahuan penulis, ayat tersebut
merupakan ayat tentang keluarga, penafsiran lafadz qawwamuna
memang diartikan sebagai pemimpin akan tetapi pemimpin yang

34 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-
Quran, hlm. 6.

23
dimaksud disini adalah pemimpin rumah tangga, bukan pemimpin
secara umum atau global.

Ketiga, Zaitunah tidak mencantumkan lafadz ayat-ayat yang


menjadi tema pembahasannya, hanya saja dia menyebutkan nama
surat dan ayat (contoh an-Nisa: 1) tanpa mencantumkan lafadznya.
sehingga lafadz yang di maksud dalam kajiannya menjadi kurang
jelas, terlebih bagi pembaca yang masih awam.

H. Kesimpulan

Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Quran karya


Zaitunah Subhan merupakan salah satu karya tafsir Indonesia yang
muncul pada dekade tahun 90-an. Tafsir ini mengakaji tentang
kesejajaran pria dan wanita dalam al-Quran. Tujuan ditulisnya karya
ini adalah untuk mengungkap pembahasan mengenai kodrat wanita
yang sebelumnya disalah fahami oleh beberapa kalangan. Dalam
Tafsir Kebencian ini, Zaitunah menggunakan pendekatan feminis, dia
berusaha mengungkap makna di balik teks yang tersembunyi,
khususnya mengenai ayat-ayat tentang kesetaraan pria dan wanita.
Dalam analisis penafsiran, dia menggunakan analisis komparatif,
yaitu mengkomparasikan tiga karya tafsir Indonesia, yaitu tafsir al-
Quran Karim karya Mahmud Yunus, Tafsir al-Azhar karya Hamka, dan
al-Quran dan Tafsirnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI.

24
Daftar Pustaka

Abdul Rahman, Fahd ibn. Buhuts fi Ushul al-Tafsir Wamanahijuhu.


Maktabah alTaubah, tt.

Abidin, Munirul. Paradigma Tafsir Perempuan di Indonesia. Malang:


UIN Maliki Press, 2011.

al-Hayy al-Farmawi, Abu. Metode Tafsir Maudhui Suatu Pengantar.


Jakarta: LKIS, 1994.

Federspiel, Howard M. Kajian al-Quran di Indonesia. Bandung: Mizan,


1996.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutik hingga


Ideologi. Yogyakarta: LKis, 2013.

Subhan, Zaitunah Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-
Quran. Yogyakarta: LKis, 1999.

Subhan, Zaitunah. Membina Keluarga Sakinah. Yogyakarta: LKis,


2004.

25

Anda mungkin juga menyukai