Pendahuluan
1 Yang dimaksud dengan ideologi disini adalah klaim ideoIogi secara umum,
yaitu yang dipakai untuk merujuk pada adanya bias, kepentingan, orientasi,
dan tujuan-tujuan politis pragmatis serta keagamaan dalam sebuah karya
tafsir. Lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutik
hingga Ideologi (Yogyakarta: LKis, 2013), hlm. 319.
1
pemahaman penafsiran pada tahun 90-an, khususnya mengenai
penafsiran kesetaraan gender yang dipelopori oleh kaum modernis
dan kalangan feminis, mempunyai ciri tersendiri, yaitu mencerminkan
sikap yang reaktif terhadap suasana modernitas di satu sisi, dan
penafsiran tradisional disisi lain, dalam memahami realitas teologis.
Para mufassir berupaya untuk menafsirkan ayat-ayat tentang
perempuan secara komperhensif. Sehingga dapat terlihat bahwa
pendekatan mereka lebih bersifat holistik, yang mengaitkan dengan
historis, sosial, dan ekonomi. Sehingga muncul epistemologi baru
dalam melihat masalah gender.3
Dalam hal ini, penulis ingin membahas salah satu karya tafsir
pada tahun 90-an, yang mengusung isu gender. Adapun karya Tafsir
tersebut adalah Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir
Quran karya Zaitunah Subhan. Dari kajian ini, penulis mencoba
menggambarkan hasil penafsiran mufassir Indonesia mengenai
kesetaraan gender. Seperti yang diketahui, bahwa sebuah penafsiran
tidak lepas dari lingkup ruang dan waktu seorang mufasir.
2
Universitas al-Azhar untuk Dirasat al-'Ulya (tingkat Magister) Kulliyat
al-Banat Kairo Mesir sampai tahun 1978.
3
anggota POkja P2W Pemda Jawa Timur. 5 Selain itu, dia juga pernah
menjabat sebagai staf ahli Menteri Bidang Agama Kementrian
Pemberdayaan Perempuan RI.
5 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-
Quran (Yogyakarta: LKis, 1999), hlm. 257.
4
dicanangkan sejak Pelita VI. 6 Namun, Zaitunah tidak menjelaskan
alasan mengapa dia menamai bukunya dengan judul Tafsir
Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Quran.
5
tentang kodrat wanita dan polemik mengenai hal tersebut dalam
masyarakat.
6
mengurus rumah tangga. Padahal keterlibatan kaum wanita di dunia
publik pada masa Nabi Muhammad demikian besar.9
9 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Quran,
hlm. 3.
10
kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
7
Beberapa masalah yang muncul dari proses sosialisasi agama
bahwa kaum pria adalah pemimpin, mempunyai hak istimewa
terhadap kaum wanita, dan inilah kodrat wanita sehingga kaum
prialah yang memberi justifikasi bahwa dunia wanita berada di sektor
domistik saja. Sementara ide tau pandangan inferior, bahwa wanita
adalah mahluk lemah juga disebarkana atas nama agama.
8
mengenai kodrat wanita dalam bukunya, merupakan pengembangan
tradisi kajian feminis muslim untuk merentas kesalah fahaman
terhadap makna kodrat yang oleh sebagian masyarakat Indonesia
masih dianggap sebagai ajaran Islam. Dan juga, penelitian ini
dilakukannya dalam rangka mengungkap secara rinci ajaran Islam
tentang kemitra sejajaran pria dan wanita menurut mufassir
Indonesia, pandangan para mufassir ulama klasik dan pandangan
feminis muslim.
9
dirubah. Tujuan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan kepada
pembaca menganai devisi kodrat itu sendiri, agar tidak terjadi kesalah
fahaman dalam memahami kodrat, khususnya mengenai kodrat
wanita.
10
Sebagai penutup dalam buku tersebut, Zaitunah memberi
kesimpulan poin-poin penting yang terdapat dalam kajiannya,
meliputi penciptaan wanita, akal dan agama pada wanita, wanita di
ruang domestic, kepemimpinan rumah tangga, kesaksian wanita, dan
kewarisan. Lebih jelasnya, isi pembahasan dalam Tafsir Kebencian
dapat dilihat melalui tabel berikut:
11
Indonesia
Kemitra Sejajaran
Secara Normatif
Kemitra Sejajaran Kepemimpinan
Secara Sosiologis- Rumah Tangga
Antropologis Kesaksian
Kewarisan
4 Hubungan Kodrat Hak dan Kewajiban Memilih
Wanita dan Hak
Kemitrasejajaran Menceraikan
Hubungan
Seksual
Mengasuh dan
Merawat Anak
Mengatur
Urusan Rumah
Tangga
Kesempatan dan Aktualisasi Diri
Persamaan Dedikasi
5 Kesimpulan Penciptaan Wanita
Akal dan Agama
pada Wanita
Wanita di ruang
Domestik
Kepemimpinan
Rumah Tangga
Kesaksian Wanita
Kewarisan
12
yang sangat penting dalam proses penggalian ilmu, termasuk juga
dalam ilmu tafsir.15 Sebagaimana yang telah kita ketahui, ada empat
metode tafsir, yaitu: tahlili, ijmali, muqaran dan maudhui. Dari
keempat metode tafsir tersebut, dalam pembahasan ini, Zaitunah
menggunakan metode maudhui.
15 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2007), hlm. 103.
13
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dalam karyanya ini,
Zaitunah merujuk pada penafsiran ulama terdahulu, namun yang
menjadi rujukan utama adalah karya-karya tafsir mufassir Indonesia.
Terdapat tiga karya yang menjadi rujukannya dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Quran dalam buku ini yaitu, al-Quran dan Tafsirnya,
Tafsir al-Azhar karya Hamka dan Tafsir Quran Karim karya Mahmud
Yunus. Zaitunah juga menjelaskan mengapa dia memilih ketiga karya
tersebut untuk menjadi sumber rujukannya dalam buku Tafsir
Kebencian.
18 Tafsir generasi pertama dimulai sekitar awal abad 20 sampai awal tahun
1960-an, ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang msih
terpisah-pisah. Lihat, Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1996), hlm. 129.
14
dianggap bukti bahwa negara telah terlibat dalam penyebarluasan
nilai-nilai Islam pada masyarakat.
15
dalam hal ini Hawa, umumnya mengacu pada kata nafs. Terdapat tiga
ayat penciptaan dengan kata nafs, yaitu al-Nisa: 1, al-Araf: 187 dan
al-Zumar: 6.22 Yang dapat dijadikan dasar adalah kata nafsin wahidah,
minha, dan zaujaha. Dari sinilah muncul perbedaan penafsiran
diantara para ulama dalam menginterpretasikan pemahaman tentang
penciptaan wanita (Hawa).
16
yang kedua. Mengenai masalah ini, Zaitunah menjelaskan bahwa ada
dua kubu penafsiran yang kontroversial, pertama, penciptaan Hawa
berasal dari bagian tubuh Adam, yaitu tulang rusuk yang bengkok
sebelah kiri atas. Kedua, penciptaan Hawa sama sebagaimana
penciptaan Adam, yaitu dari jenis yang satu, atau jenis yang sama,
tidak ada perbedaannya.23
17
secara metaforik, bahkan ada yang menolak keshahihan hadis
tersebut.26
:Misalnya dalam hadis Shahih Bukhari no. 3082 25
Telah bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Musa bin Hizam keduanya
berkata, telah bercerita kepada kami Husain bin "Ali dari Za'idah dari Maisarah Al
Asyka'iy dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Nasehatilah para wanita karena wanita
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang
rusuk adalah pangkalnya, jika kamu mencoba untuk meluruskannya maka dia akan
patah namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu
nasehatilah para wanita". Shahih Bukhari, dalam CD Lidwa 9 Kitab Imam.
18
Pendapat kedua, yang menyatakan penciptaan Hawa sebagai
sosok wanita yang diciptakan dari nafs wahidah (jenis yang sama)
sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam dan Hawa.
Pendapat demikian ini dapat ditemukan pada bebrapa mufassir,
diantaranya, Imam al-Maraghi, Rasyid Ridha, Ukasyah al- Tibbi dalam
karyanya al-Marah fi Zilal al-Quran, serta Asghar Ali Engineer dalam
The Right of Women in Islam, dia menyatakan bahwa pria dan wanita
memiliki asal-usul dari mahluk hidup yang sama, karena itu tidak ada
yang lebih unggul dari pada yang lain. Argumen yang sama juga
dikemukakan oleh Fatima Mernissi dan Riffat Hasan dalam Women
and Islam: An Historical and Theological Enquiry, keduanya menolak
pandangan penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, dengan alasan
bahwa konsep semacam ini datang dari Injil dan masuk lewat
kepustakaan hadis yang penuh dengan kontroversi. Karena itu,
keduanya secara tegas menolak otentitas dan validitas hadis tentang
penciptaan perempuan tersebut, meski hadis tersebut bersumber dari
Shahih Bukhari dan Muslim.28
19
yang artinya jenis yang satu. Sehingga dapat dipahami
bahwa pasangan Adam diciptakan dari bahan yang sama.
2. Hadis shahih yang ada, tidak diterjemahkan secara harfiyah
3. Tidak ada satu ayat pun yang mendukung bahwa Hawa
diciptakan dari bagian tubuh atau tulang rusuk Adam. Jadi
unsur kejadian Adam dan Hawa adalah sama.29
20
adalah Adam dan istrinya (Hawa). Dari keduanyalah berkembang
semua manusia yang ada di dunia. Mahmud Yunus mengartikan kata
Adam dengan bangsa Manusia. Dalam menjelaskan ayat-ayat yang
berakitan dengan pencipta Hawa ini, sedikitpun dia tidak
menyinggung bahwa Hawa diciptakan dari bagian tubuh atau tulang
rusuk.31
21
penciptaan manusia, baik pria maupun wanita sudah menunjukkan
adanya kemitra sejajaran.33
22
Nasarudin Umar tentang Argumen Kesetaraan Gender Prespektif al-
Quran.
34 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-
Quran, hlm. 6.
23
dimaksud disini adalah pemimpin rumah tangga, bukan pemimpin
secara umum atau global.
H. Kesimpulan
24
Daftar Pustaka
Subhan, Zaitunah Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-
Quran. Yogyakarta: LKis, 1999.
25