Anda di halaman 1dari 11

PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH KARENA HAK

EIGENDOM VERPONDING BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN

(ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PADANG

NOMOR: 4/PDT. G/2016/P. PDG)

A. Latar Belakang Masalah


Tanah dari dulu hingga masa yang akan datang merupakan sumber

daya alam dan sumber hidup serta kehidupan yang tidak akan dapat

dipisahkan dari manusia.1 Sebagai sumber kehidupan, keberadaan tanah

mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social

asset dan capital asset.2 Sebagai social asset tanah merupakan sarana

pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan,

sedangkan capital asset, tanah merupakan faktor modal dan pembangunan

dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting.3


Ketergantungan manusia pada tanah semakin lama bertambah besar,

baik untuk kebutuhan tempat pemukiman maupun sebagai sumber mata

pencarian, sedangkan persediaan tanah sangat terbatas baik jumlah maupun

luasnya tetap dan tidak bertambah dalam segala dimensi kehidupan manusia.

Ketidakseimbangan antara jumlah dan luas tanah yang tersedia dan

kebutuhan penggunaan yang semakin meningkat menyebabkan tanah

1Dyara Radhite Oryza Fea, Buku Pintar Mengurus Sertifikat Tanah Rumah dan
Perizinannya, Buku Pintar, Jakarta, 2016, hlm. 11.

2Urip Santoso, Hukum Agraria (Kajian Komprehensif), Kencana Prenamedia Grup,


Jakarta, 2012, hlm. 10.

3Ibid.

1
mempunyai arti yang sangat penting, sehingga campur tangan Negara melalui

aparatnya dalam tatanan hukum pertanahan merupakan hal yang mutlak.


Vitalnya tanah bagi kehidupan, pada kenyataannya perlu diatur

sedemikian rupa untuk mencegah segala praktik yang bisa merugikan hak-

hak rakyat dalam kehidupan masyarakat.4 Politik Negara tentang pertanahan

diberi landasan kewenangan hukum untuk bertindak dalam mengatur segala

sesuatu yang terkait dengan tanah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33

Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: Bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.5

Amanat konstitusi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

yang kemudian disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Maksud dan

tujuan ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria tersebut adalah:6

1. Meletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agraria nasional


yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama
rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
4Jayadi Setiabudi, Pedoman Pengurusan Surat Tanah dan Rumah, Buku Pintar, Jakarta,
2015, hlm. 10.

5Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIV, Pasal 33 ayat (3), dalam
Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan, Kencana, Jakarta, hlm.
2.

6Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria, Penjelasan Umum.

2
Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,

Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia diberikan hak

menguasai sebagaimana diatur dalam pasal 2 Ayat (1) UUPA. Hak menguasai

dari Negara sebagaimana termaksud dalam ayat(1) ini juncto7 Pasal 2 ayat (2)

memberi wewenang untuk:8

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,


persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.

Kewenangan yang bersumber pada hak menguasai Negara tersebut

berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (3) UUPA, harus digunakan untuk

mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,

kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum

Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Berdasarkan pada

Pasal 2 UUPA dan penjelasannnya, menurut konsep UUPA, pengertian

dikuasai oleh Negara bukan berarti dimiliki, melainkan hak memberi

wewenang kepada Negara, yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang

regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya

sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi.9

7Juncto atau Jo: bertalian dengan, berhubungan dengan. Lihat JCT Simorangkir, Rudy
T Erwin, Jt Prasetyo, Kamus Hukum, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta.

8Hambali Thalib, loc. cit.

3
Untuk mencapai tujuaan pengelolaan dan pemanfaatan tanah melalui

hak menguasai Negara atas tanah, maka terjadilah pemberian berbagai jenis

hak atas tanah sesuai amanat Pasal 4 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa

atas dasar hak menguasai Negara, ditentukan adanya macam-macam hak

atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan

dipunyai oleh orang-orang, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan

orang lain serta badan-badan hukum. Hak atas tanah tersebut menurut Pasal

16 ayat (1) UUPA terbagi atas 7, yaitu: 1) Hak milik; 2) Hak Guna Usaha; 3)

Hak Guna Bangunan; 4) Hak Pakai; 5) Hak Sewa; 6) Hak Membuka Hutan;

dan 7) Hak Memungut Hasil Hutan. Adapun hal lainnya adalah hak-hak lain

yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan

dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. 10

Mendaftarkan hak atas tanah merupakan hal yang penting untuk

menjamin kepastian hukum pemegang hak atas tanah dan pihak lain yang

berkepentingan dengan tanah tersebut. Sertifikat merupakan legalitas dalam

pembuktian kepemilikan hak atas tanah dan bangunan. Sertifikat dikeluarkan

oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN) melalui kantor pertanahan masing-

masing wilayah.11 Pada dasarnya sertifikat dicetak dua rangkap, di mana satu

rangkap disimpan di Kantor BPN sebagai buku tanah dan satu rangkap

9Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,1999, hlm. 234.

10Dyara Radhite Oryza Fea, op. cit., hlm. 27.

11 Ibid, hlm. 139.

4
dipegang masyarakat sebagai bukti kepemilikan atas tanah dan bangunan.

Dalam buku tanah tersebut tercantum secara detil mengenai tanah, baik data

fisik maupun data yuridis seperti luas, batas-batas, dasar kepemilikan, data-

data pemilik dan data-data lain.12

Apabila di kemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang

hak kepemilikan atau penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang

dimuat dalam sertifikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian

yang kuat dan karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-

keterangan yang benar, sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya

atau membuktikan sebaliknya.13 Fungsi dari sertifikat bisa dirasakan ketika

pemegang sertifikat memerlukan sumber pembiayaan dari bank karena

sertifikat dapat dijadikan sebagai jaminan untuk pemberian fasilitas pinjaman

untuk menunjang usaha.

Hal ini diperkuat lagi dengan dikeluarkannnya Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dalam ketentuan Pasal 32

disebutkan bahwa:

(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan;
(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara
sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah
tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka
pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat
lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima)
tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan
12 Ibid, hlm. 141.

13Ibid.

5
secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor
pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugata ke
pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat
tersebut.

Memperoleh suatu hak atas tanah serta mendapatkan sertifikat hak atas

tanah sebagai bukti kepemilikan dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:14

1. Konversi bekas hak lama dan tanah bekas hak milik adat
Dalam hukum agraria, yang dimaksud dengan konversi

adalah perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru. Yang

dimaksud dengan hak-hak lama adalah hak-hak atas tanah sebelum

berlakunya Undang-undang Pokok Agraria. Hak-hak lama ini adalah

hak tanah menurut hukum barat (hukum kolonial Belanda) dan hak

menurut hukum adat. Pembuktian hak lama (yang berasal dari

konversi hak milik adat dan hak eigendom) dilakukan dengan:


a. Bukti Tulisan
Dalam hal bukti tulisan itu tidak lengkap atau bahkan tidak ada

lagi, pembuktian kepemilikannya dapat dilakukan dengan

bukti lain yang dilengkapi dengan pernyataan yang

bersangkutan adalah benar pemilik bidang tanah tersebut,15

yang dapat dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) saksi

yang berasal dari lingkungan masyarakat sekitar, yang saksi

tersebut tidak mempunyai hubungan keluarga sampai derajat

14Ibid., hlm. 134.

15Lihat Pasal 24 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo. Pasal 76 Ayat
(2) Peraturan Menteri Nomor 33 Tahun 1997.

6
ke dua dengan yang bersangkutan baik itu hubungan

kekerabatan secara horizontal maupun secara vertikal.


b. Bukti Penguasaan Fisik
Apabila bukti tulisan tidak ada, maka pembuktian dapat

dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik dari bidang

tanah tersebut selama berturut-turut 20 (dua puluh) tahun atau

lebih oleh pemohon pendaftaran dan pendahulunya, dengan

syarat-syarat sebagai berikut:


1) Penguasaan tersebut dilakukan dengan adanya itikad

baik dan secara terbuka, serta diperkuat oleh kesaksian

dari orang yang dapat dipercaya;


2) Penguasaan tersebut, baik itu sebelum maupun selama

adanya pengumuman tidak dipermasalahkan oleh

masyarakat hukum adat atau desa/ kelurahan atau

pihak lain.
2. Permohonan Hak
Dalam Pasal 1 angka (5) Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala BPN Nomor 3 tahun 1999 tentang pelimpahan kewenangan

pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah

negara, menjelaskan bahwa:


Pemberian hak atas tanah adalah penetapan pemerintah yang
memberikan suatu hak atas tanah negara termasuk
perpanjangan jangka waktu hak dan pembaharuan hak.
Sedangkan tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai oleh
perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak atas tanah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berangkat dari uraian di atas, di Kota Padang terjadi sengketa

penguasaan tanah dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri Padang Nomor

4/ PDT. G/ 2016/ P. PDG. Hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan

7
Lehar, Mamak Kepala Waris (MKW) Kaum Maboet, Koto Tangah, Padang

untuk mendapatkan tanah kaumnya berupa tiga objek tanah yang dikuasai

pihak lain. Gugatan tersebut adalah tentang perkara pada objek gugatan

Perkara Civil Nomor 90/1931 yang telah diputus oleh Lanraad te Padang

(Pengadilan Negeri zaman Hindia Belanda). Putusan itu keluar setelah

perusahaan Belanda saat itu, Naamloze Expolitie Van Onderen de Goederen

menggugat Maboet dan Oesoes terkait kepemilikan tanah seluas 765 hektare

yang merupakan ulayat Eigendom Verponding16 1794 dengan Surat Ukur

Nomor 30/1917. Kala itu, Pengadilan menolak gugatan Naamloze Expolitie

Van Onderen de Goederen dan membenarkan kalau tanah itu milik Maboet

dan Oesos.

Putusan Nomor 4/ PDT. G/ 2016/ P. PDG. tersebut isinya yaitu,

memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan, pertama

mengadili dalam eksepsi, menolak eksepsi tergugat I, tergugat II, tergugat III,

tergugat IV yang masing-masing adalah BPN Kota Padang, Ketua Yayasan

Universitas Bung Hatta (YPBH), Soehinto (Pengusaha) dan Hendriono

(Dosen). Kedua menyatakan semua tergugat telah melakukan perbuatan

melawan hukum. Ketiga, menyatakan bahwa Sertifikat Hak Guna Bangunan

(SHGB) Nomor 863, 28 Juli 2004, Surat Ukur Nomor 00638/ 2004 (31

2
Januari 2004) seluas 2.203 m yang terletak di Bypass Kelurahan Aia

16Eigendom Verponding dapat diartikan hak tanah yang berasal dari hak-hak Barat (hak
tanah di zaman Belanda); istilah yang digunakan untuk menunjuk suatu hak milik
terhadap tanah.

8
Pacah atas nama YPBH, Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 2689, 18 Juni

2
2010, GS Nomor 2456, 15 April 2010 dengan luas 5.810 m terletak di

Bypass, Kelurahan Aia Pacah atas nama Ir. Soehinto dan SHGB Nomor 212

tanggal 9 Desember 2000, GS Nomor 179/AP/2000, 18 November 2010

2
seluas 13.780 m di Bypass, Aia Pacah atas nama Hendriono adalah batal

demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Selanjutnya menghukum terguga II,III,IV menyerahkan objek sengketa

dalam keadaan kosong pada penggugat, membayar ganti rugi serta biaya

perkara.

Tidak hanya sampai disitu, penggugat Lehar juga mengklaim tanah

yang dimenangkan pendahulunya seluas 675 hekatare tersebut terbentang di 4

kelurahan, yaitu Kelurahan Bungo Pasang, Aia Pacah, Dadok Tunggul Hitam

dan Koto Panjang. Hal tersebut tentu memicu gejolak di masyarakat yang

tanahnya diklaim tersebut. Bahkan sertifikat tanah masyarakat di 4

Kelurahan tersebut diblokir oleh BPN Kota padang hingga saat ini.

Singkatnya putusan pengadilan tersebut telah mengabulkan gugatan

penggugat untuk membatalkan SHM dan SHGB milik tergugat yang

dikeluarkan oleh BPN. Hal tersebut menimbulkan rasa penasaran penulis

bagaimana bisa SHM sebagai hak milik yang merupakan hak terkuat dan

terpenuh atas tanah bisa dibatalkan karena hak eigendom verponding.

Sementara di sisi lain proses penerbitan SHM tersebut sudah melalui

9
prosedur yang diatur peraturan perundang-undangan, diantaranya pengukuran

di lokasi, pengumuman kepada masyarakat dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat

masalah tersebut ke dalam tulisan ilmiah dengan judul Pembatalan

Sertifikat Hak Atas Tanah Karena Hak Eigendom Verponding

Berdasarkan Putusan Pengadilan (Analisis Putusan Pengadilan Negeri

Padang Nomor: 4/PDT. G/2016/P. PDG)

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian dimaksudkan untuk memudahkan

penulis dalam membatasi masalah yang diteliti sehingga sasaran yang hendak

dicapai menjadi jelas, searah dan sesuai yang diharapkan. Berdasarkan uraian

latar belakang di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan

sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim melakukan pembatalan

Sertifikat Hak Atas Tanah karena Hak Eigendom Verponding?


2. Bagaimana kepastian hukum terhadap Sertifikat Hak Atas Tanah,

khususnya Sertifikat Hak Milik berdasarkan putusan pengadilan

Nomor: 4/PDT. G/2016/P. PDG ?

10
11

Anda mungkin juga menyukai