Anda di halaman 1dari 12

1 STUDI HUBUNGAN PERILAKU PETERNAK DALAM PENGELOLAAN SANITASI

2 LINGKUNGAN PERKANDANGAN DENGAN SUSPEK PENYAKIT SKABIES

3 STUDY OF LIVESTOCK BEHAVIOR RELATIONSHIP IN COOP ENVIRONMENTAL


4 SANITATION MANAGEMENT WITH SUSPECT OF SCABIES DISEASE

6 Mujahid Fitriadi, Sukardono, Made Sriasih


7 Program Pasca Sarjana Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Dosen Fakultas Peternakan
8 Universitas Mataram Telp/Fax. 0370-681031; HP. 081917305550;
9 Email : mujafatriadi1234@gmail.com.
10
11 ABSTRAK

12 Skabies merupakan salah satu penyakit kulit yang dapat ditularkan oleh hewan ke manusia
13(zoonosis). Salah satu masalah penyakit zoonosis bersumber dari hewan ke manusia adalah penyakit
14skabies, penyakit skabies akibat infestasi tungau sejenis parasit hewan dengan nama Sarcoptes Scabiei
15(S.Scabiei) tipe hominis, atau yang menyerang manusia.Terdapat banyak faktor yang menunjang
16perkembangan penyakit skabies antara lain turunnya imunitas tubuh akibat Human Immunodeficiency
17Virus (HIV), sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya
18promiskuitas (Murtiastutik, 2009). Baur et al. (2013) melaporkan faktor personal higiene, ketersediaan
19air bersih, status sosial ekonomi berpengaruh terhadap prevalensi skabies di India. Tinggginya
20prevalensi skabies antara lain disebabkan oleh faktor kelembaban yang tinggi, rendahnya sanitasi,
21kepadatan, malnutrisi (Onayemi, 2005) dan personal higiene yang buruk, pengetahuan, sikap dan
22perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat (Marufi, 2005). Sanitasi lingkungan yang buruk
23merupakan faktor dominan yang berperan dalam penularan dan tingginya angka prevalensi penyakit
24skabies (Marufi et al, 2005). Berdasarkan data UPTD Dispertanakbun Kecamatan Kediri tahun 2015,
25penyakit skabies pada ternak dilaporkan sejumlah 54 ternak dimana sebagian besar berada di Desa
26Lelede dengan jumlah 25 ternak dan semua merupakan ternak kambing. Data penyakit kulit infeksi di
27Kabupaten Lombok Barat tahun 2014 sejumlah 17.886 kasus meningkat di tahun 2015 yaitu 27.365
28kasus. Di Kecamatan Kediri kasus penyakit kulit infeksi termasuk skabies memiliki kontribusi cukup
29tinggi yaitu 2.847 kasus (Dinas Kesehatan Lombok Barat 2015). Tujuan penelitian adalah untuk
30mengetahui hubungan perilaku peternak dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan dengan
31suspek skabies. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik, populasi adalah peternak di desa
32Lelede Kecamatan Kediri, tekhnik pengambilan sampel menggunakan systematic random sampling,
33dengan jumlah 84 responden, tekhnik analisa data dengan uji statistik chi square. Dikemukakan
34Sugiyono (2010) bahwa skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
35seseorang. Berdasarkan hasil penelitian didapat tingkat pengetahuan responden tentang pengelolaan
36sanitasi lingkungan perkandangan adalah baik (61,9%), sikap responden ragu-ragu terhadap
37pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan (48,8%) dan tindakn responden sebagian besar tidak
38melakukan pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan (57,1%). Dari hasil penelitian didapatkan
39suspek skabies 26 dari 84 responden (30,95%). Hasil uji statistik chi square hubungan pengetahuan
40responden dengan suspek skabies didapat nila p= 0,280> 0,005 menunjukkan tidak ada hubungan,
41hasil uji statistik hubungan tindakan responden dengan suspek penyakit skabies didapat nilai p=
420,298>0,005 menunjukkan tidak ada hubungan dan hasil uji statistik hubungan tindakan responden
43dengan suspek penyakit skabies didapat nilai p= 0,014<0,005 menunjukkan ada hubungan. Simpulan
44penelitian tidak ada hubungan pengetahuan dan sikap responden terhadap pengelolaan sanitasi
45lingkungan perkandangan dengan penyakit suspek skabies namun ada hubungan antara tindakan
46responden dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan dengan suspek penyakit skabies di
47desa Lelede Kecamatan Kediri. Saran agar meningkatkan sikap dan tindakan peternak dalam
48pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan.
49 Keyword: Perilaku, sanitasi kandang dan suspek skabies.
50PENDAHULUAN
51 Berkembangnya zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda bertambahnya
52ancaman penyakit yang mematikan bagi manusia yang ditularkan oleh hewan. Dalam 20 tahun
53terakhir, 75% penyakit baru pada manusia terjadi akibat perpindahan patogen dari hewan ke manusia
54atau bersifat zoonotik, dan dari 1.415 mikroorganisme patogen pada manusia, 61,6% bersumber dari
55hewan (Widodo, 2008).
56 Salah satu masalah penyakit kulit infeksi adalah penyakit skabies, penyakit skabies akibat
57infestasi tungau sejenis parasit hewan dengan nama Sarcoptes Scabiei (S.Scabiei) tipe hominis, atau
58yang menyerang manusia. Di Indonesia prevalensi skabies masih cukup tinggi, menurut Departemen
59Kesehatan RI (2008), prevalensi skabies di Indonesia sebesar 5,60-12,95 % dan skabies menduduki
60urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering (Azizah, 2011). Terdapat banyak faktor yang menunjang
61perkembangan penyakit skabies antara lain turunnya imunitas tubuh akibat Human Immunodeficiency
62Virus (HIV), sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya
63promiskuitas (Murtiastutik, 2009). Ditambahkan pula oleh Handoko (2009) bahwa faktor yang
64menunjang perkembangan penyakit skabies yaitu lingkungan yang tidak bersih, perilaku yang tidak
65mendukung, kesalahan diagnostik dan perkembangan demografi dan ekologi.
66 Baur et al. (2013) melaporkan faktor personal higiene, ketersediaan air bersih, status sosial
67ekonomi berpengaruh terhadap prevalensi skabies di India. Tinggginya prevalensi skabies antara lain
68disebabkan oleh faktor kelembaban yang tinggi, rendahnya sanitasi, kepadatan, malnutrisi (Onayemi,
692005) dan personal higiene yang buruk, pengetahuan, sikap dan perilaku yang kurang mendukung
70pola hidup sehat (Marufi, 2005).
71 Sanitasi lingkungan yang buruk merupakan faktor dominan yang berperan dalam penularan
72dan tingginya angka prevalensi penyakit scabies, Marufi et al., (2005). Menurut Anwar (2003) ruang
73lingkup kesehatan lingkungan mencakup perumahan, pembuangan kotoran manusia, penyediaan air
74bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor, rumah hewan ternak (kandang).
75 Di Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat pada tahun 2015, penyakit skabies pada
76ternak dilaporkan sejumlah 54 ternak dimana sebagian besar berada di Desa Lelede dengan jumlah 25
77ternak dan semua merupakan ternak kambing. Demikian pula penyakit kulit infeksi, di Lombok Barat
78tahun 2014 sejumlah 17.886 kasus meningkat di tahun 2015 yaitu 27.365 kasus, di Kecamatan Kediri
79kasus penyakit kulit infeksi termasuk skabies memiliki kontribusi cukup tinggi yaitu 2.847 kasus.
80Hasil pemeriksaan kondisi sanitasi kandang dan jarak kandang dengan perumahan di Desa Lelede
81didapatkan data kondisi kandang tidak memenuhi syarat kesehatan 53,8 %.
82 Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) peternak
83dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan dan hubungan dengan suspek penyakit skabies.
84MATERI DAN METODE
85 Penelitian ini dilakukan pada Bulan Maret s/d Juni 2016 di Desa Lelede Kecamatan Kediri
86Kabupaten Lombok Barat. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross
87sectiona, pengambilan data dilakukan melalui wawancara tatap muka dengan bantuan kuesioner.
88Peternak bebas memilih untuk menjadi responden tanpa ada paksaan dan telah mendapatkan
89persetujuan komite etik dari Fakultas Kedokteran Universitas Mataram No: 34/UN18.8/ETIK/2016.
90Untuk keperluan penelitian diambil 84 orang peternak sebagai sampel penelitian secara systematic
91Random Sampling (Moleong, 2012). Data yang diperoleh dikumpulkan dan dilakukan penilaian atau
92scoring pada lembar kuesioner. Analisa data dilakukan secara univariat untuk memperoleh prosentase
93responden berdasarkan umur, jenis kelamin, jenis pendidikan serta prosentase masing-masing tingkat
94Pengetahuan, Sikap dan Tindakan dari responden. Variabel yang diamati dalam penelitian ini
95dikelompokkan menjadi dua yaitu variabel bebas (Independent variable) terdiri dari pengetahuan,
96sikap dan tindakan peternak responden terhadap pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan.dan
97variabel terikat (Dependent variable) adalah ada tidaknya suspek penyakit skabies pada peternak
98responden. Perilaku responden dalam penelitian dimaksud dianalisa dengan menggunakan alat bantu
99sofware SPSS for windows 17 dan untuk mengetahui hubungannya dengan suspek penyakit skabies di
100analisa dengan chi square.
101
102
103
104HASIL DAN PEMBAHASAN
105 Tingkat pengetahuan peternak dalam pengelolaan sanitasi perkandangan mayoritas berada
106pada tingkat pengetahuan baik yaitu 52 dari 84 responden (61,9%). Mubarrak (2006) dan
107Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
108pengetahuan seseorang adalah pengalaman dan umur. Bila dilihat dari distribusi responden
109berdasarkan umur menunjukkan sebagian besar responden merupakan peternak dengan umur
110produktif yaitu antara 31- 40 tahun sebanyak 48 dari 84 responden (57,14%). Distribusi responden
111tersebut menunjukkan bahwa responden merupakan kelompok orang yang memiliki usia dewasa,
112dimana mereka telah memiliki kemampuan rasional yang baik dalam memahami informasi tentang
113pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan. Demikian pula dengan pengalam dalam beternak
114sebagian besar responden berpengalaman lebih dari 3 tahun yaitu 56 dari 84 reponden (66.67%), hal
115ini sejalan dengan yang dikemukakan Soekanto (2002) bahwa pengetahuan diperoleh dari informasi
116baik secara lisan ataupun tertulis dari pengalaman seseorang dan Notoatmodjo (2007) juga
117menyebutkan pengetahuan diperoleh dari pengalaman berdasarkan pemikiran kritis.
118 Sikap peternak dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan, dari hasil penelitian
119didapatkan sebagian besar responden menyatakan ragu-ragu dalam pengelolaan sanitasi lingkungan
120perkandangan yaitu sebesar 41 dari 84 responden (48,80%). Semakin tinggi tingkat pendidikan
121seseorang semakin mudah menerima informasi sehingga banyak pula pengetahuan yang dimiliki
122(Effendy, 2008). Tingkat pendidikan yang rendah dari peternak menyebabkan kesadaran sikap
123terhadap lingkungannya juga rendah, tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah
124berpendidikan SD sederajat yaitu 42 reponden (48,81%), hal ini menyebabkan sikap responden ragu-
125ragu dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan.
126 Tindakan responden dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan sebagian besar
127tindakan responden tidak melakukan tindakan pengelolaan terhadap sanitasi lingkungan perkandangan
128yaitu 48 dari 84 responden (57,1%), dapat disimpulkan bahwa upaya tindakan atau kegiatan para
129peternak dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan masih kurang dari harapan secara
130keseluruhan guna menunjang lingkungan yang sehat. Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku itu
131sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yaitu: Faktor enabling atau pendukung, yang terwujud
132dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
133pendukung,. Dari hasil penelitian secara terinci bahwa tidak tersedianya fasiltas atau sarana
134pendukung responden seperti tidak tersedianya sarana pengelolaan limbah kotoran (19,7%), tidak
135tersedianya sarana pengelolaan air limbah (18,0%) dan tidak adanya tempat penampungan limbah
136ternak (12,6%).
137 Tindakan peternak dalam pengelolaan sanitasi lingkungan secara umum dapat disimpulkan
138bahwa sebagian besar tindakan responden tidak melakukan tindakan pengelolaan terhadap sanitasi
139lingkungan perkandangan yaitu 48 dari 84 responden (57,1%). Menurut Sarwono dan Arianto (2004)
140mengatakan bahwa limbah ternak yang berupa kotoran ternak, baik padat (feses) maupun cair (air
141kencing), air bekas mandi ternak, air bekas mencuci kandang dan prasarana kandang) serta sisa pakan
142yang tercecer merupakan sumber pencemaran lingkungan paling dominan di area peternakan. Kondisi
143ini terbukti dari hasil pemeriksaan kualitas air sumur gali, pengambilan sampel kualitas air sumur gali
144sebanyak 5 sampel. Berdasarkan Permenkes RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat
145dan pengawasan kualitas air, didapatkan hasil pemeriksan bahwa kualitas air tidak memenuhi syarat
146kesehatan yaitu melebihi kadar maksimum diperbolehkan MPN coliform yaitu lebih dari 50 MPN
147coliform.
148 Berdasarkan hasil uji statistik chi-square di dapatkan nilai p value yaitu 0,280 yang
149menunjukkan bahwa nilai > 0,05 maka Ho ditolak. Hal ini berarti tidak ada hubungan yang
150signifikan antara pengetahuan peternak dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan dengan
151suspek skabies. Sejalan yang dikemukakan Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan atau kognitif
152merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. pengetahuan yang
153dimiliki responden pada umumnya baru sampai pada tahap tingkatan tahu (know) dan memahami
154(comprehension) pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan, memahami diartikan sebagai
155kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
156menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
157 . Berdasarkan hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value yaitu 0,298 yang
158menunjukan bahwa nilai > 0,05 maka Ho ditolak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada
159hubungan yang signifikan antara sikap peternak dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan
160dengan suspek skabies. Sesuai dengan pernyataan Notoadmodjo (2007) bahwa sikap peternak dalam
161pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan belum pada tahap menghargai (valuing) yaitu
162mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu
163masalah tetapi responden baru pada tahap merespon (responding), memberikan jawaban apabila
164ditanya, mengerjakan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha
165untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar
166atau salah.
167 Hubungan tindakan peternak dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan dengan
168suspek penyakit skabies di dapatkan hasil uji statistik nilai p value yaitu 0,014 yang menunjukan
169bahwa nilai < 0,05 , hal ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tindakan
170peternak dalam pengelolaan sanitasi lingkungan perkandangan dengan suspek skabies. Menurut
171Martinez et.al (2009), dampak lingkungan dari usaha peternakan dapat berupa pencemaran tanah, air
172dan udara yang berpotensi mengganggu kesehatan ternak itu sendiri dan manusia. Dari hasil
173penelitian di dapatkan sebagian besar tindakan responden tidak melakukan tindakan pengelolaan
174sanitasi lingkungan perkandangan yaitu 48 dari 84 responden (57,1%) sehingga dapat disimpulkan
175memiliki hubungan yang signifikan terhadap responden dengan suspek skabies yaitu 26 responden
176(30,95%).
177 Sejalan yang dikemukakan Onayemi (2005) salah satu faktor tinggginya prevalensi skabies
178disebabkan oleh faktor rendahnya sanitasi. Dari data hasil penelitian tindakan responden bahwa tidak
179adanya fasilitas atau sarana pendukung sanitasi seperti tidak ada sarana pengelolaan limbah kotoran
180(19,7%), tidak adanya sarana pengelolaan air limbah (18,0%) dan tidak adanya tempat penampungan
181limbah (12,6%). Hasil penelitian Rianti (2010) juga mengatakan ada hubungan yang signifikan antara
182higiene dan sanitasi lingkungan dengan penyebab timbulnya penyakit kulit termasuk skabies.
183Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Faridawati (2013) yang meneliti tentang hubungan
184antara personal hygiene dan karakteristik individu dengan keluhan gangguan kulit pada pemulung
185(Laskar Mandiri) di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang, menunjukkan bahwa
186kebersihan kulit mempunyai hubungan yang signifikan dengan keluhan gangguan kulit. Hasil
187penelitian di lapangan, diketahui bahwa 14,8% responden tidak memperhatikan kebersihan kulitnya
188seperti tidak memanfaatkan air bersih untuk mandi.
189 Hasil penelitian Wahjoedi (2008) dan Kuspriyanto (2013) melaporkan bahwa prevalensi
190skabies berhubungan dengan pendidikan diperoleh prevalensi skabies lebih tinggi pada santri
191tsanawiyah dibandingkan aliyah, pada penelitiannya di pesantren di Pasuruan Jawa Timur. Demikian
192pula penelitian Raza et al ( 2009) di Pakistan menyatakan tingkat pendidikan rendah (<10 tahun)
193merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian skabies. Berdasarkan tingkat
194pendidikan responden adalah sebagaian besar SD sederajat yaitu 42 reponden (48,81%). Sejalan
195dengan penelitian Ciftci (2006) dan sejalan dengan penelitian Ratnasari (2014) menunjukkan bahwa
196tingkat pendidikan yang rendah (paling tinggi hanya sampai sekolah dasar) cenderung lebih tinggi
197prelevansi skabiesnya secara signifikan dibandingan dengan orang dengan tingkat pendidikan yang
198lebih tinggi.
199 Notoatmodjo (2007) lebih lanjut menyatakan bahwa sebelum orang menghadapi perilaku baru
200dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, dimana responden dalam pengelolaan sanitasi
201lingkungan perkandangan masih pada tahap awarness (kesadaran) dan tahap interest (tertarik) dimana
202orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap objek stimulus dan sudah
203tertarik dengan stimulus akan tetapi belum pada tahap evaluasi (penilaian) yaitu menimbang baik dan
204tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Notoatmodjo (2007) juga menyebutkan suatu sikap belum
205otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu
206perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung (enabling) atau suatu kondisi yang
207memungkinkan,yaitu terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-
208fasilitas atau sarana faktor.pendukung seperti tersedianya sarana air bersih, tersedianya sarana
209pengelolaan limbah kotoran, sarana pengelolaan air limbah dan sarana untuk mengelola kembali
210limbah ternak.
211Kesimpulan
212 Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan peternak dalam pengelolaan sanitasi lingkungan
213 perkandangan dengan suspek skabies.
214DAFTAR PUSTAKA
215
216Anwar, 2003. Sanitasi rumah sakit sebagai investasi, Jakarta
217Arikunto, S., 2009. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi 6. Jakarta : Rineka
218 Cipta.
219Ariza, L., B, Walter., C, Worth., Brockmann., Weber, M.L., H. Feldmeier. 2013. Investigation of
220 Scabies Outbreak in Kindergarten in Costance Germany. Eur J. Clin Microbial Infect Dis
221 (DOI). 10: 1007-96.
222Astriyani,et al., 2010. Perilaku Hygiene Perorangan Pada Narapidana Penderita Penyakit Kulit Dan
223 Bukan Penderita Penyakit Kulit Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kupang Tahun
224 2010.Journal MKM Vol. 05 No. 01 Des 2010.
225Azizah, I.N., Setiyowaty W., 2011. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Pemulung Tentang Personal
226 Hygiene Dengan Kejadian Skabies Pada Balita Di Tempat Pembuangan Akhir Kota
227 Semarang. Dinamika Kebidanan. 1: 1-5.
228Azwar, S., 2011. Sikap dan Perilaku. Dalam: Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya . Yogyakarta:
229 Pustaka Pelajar.
230Azwar, S, 2000. Reliabilitas dan validitas . Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
231Baur. B, Sarkar J.,Manna N., & Bandyopadhyay L. 2013. The Pattern of Dermatological Disorders
232 among Patients Attending the Skin O.P.D of A Tertiary Care Hospital in Kolkata, India.
233 Journal of Dental and Medical Sciences 3.
234Burkhart, C.G ., C.N. Burkhart and K .M. Burkhart, .2000. An epidemiologic and therapeutic
235 reassessment of scabies . Cutis . 65 : 233 240.
236Chandra, 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan, Jakarta, Buku Kedokteran EGC.
237Chiroma, T. M. et al., 2007. Environment Impact on The Quality of Water from Hand-Dug Well in
238 Yola Environs. Leornardo Journal of Sciences.
239Ciftci IK, Karaca S, Dogru O, Cetinkaya Z, & Kulac K., 2006. Prevalence of pediculosis and skabies
240 in preschool nursery children of Afyon, Turkey. Korean Journal of Parasitology 44, 95-98.
241Depkes RI, 1990. Permenkes RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat dan
242 pengawasan kualitas air, Jakarta.
243 Departemen Kesehatan R.I, 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
244Departemen Kesehatan RI, 2007. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
245Depkes RI, 2004. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta
246Departemen Pertanian, 2005. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
247 Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanah.
248 Departemen Pertanian. Jakarta.
249Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
250Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat, 2015. Profil Kesehatan Kabupaten
251 Lombok Barat.
252Dispertanakbun Lobar, 2015. Hasil Pendataan Jumlah Ternak di Kabupaten Lombok Barat. Seksi
253 Keswan
254Diwyanto, K. dan Priyanti, 2009. Pengembangan Industri Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal.
255 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Jurnal Pengembangan Inovasi
256 Pertanian 2(3): 208-228.
257Djuanda, A., 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
258 Jakarta.
259Effendy, Uchjana.O., 2008. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
260Entjang, 2002. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta , Citra Aditya Bakti.
261Fitriawati, 2014. Hubungan Faktor Personal Hygiene, Sanitasi Lingkungan, dan Status Nutrisi
262 Dengan Kejadian Scabies Pada Santri Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede
263 Yogyakarta. Naskah Publikasi.
264Green,L.W and Kreuter, M.W., 2000. Health Promotion Planning : An Educational and
265 Environmental Approach. Mayfield Publising Company. Mountain View. Toronto. London.
266Harahap dan Marwali, 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta.
267Handoko, 2009. Skabies. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (Edisi V).
268Herawati, 2012. Analisis Dampak Ekonomi, Sosial dan Lingkungan dari Pemanfatan Limbah Sapi
269 Perah: Studi Kasus di Deasa Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang
270 Jawa Barat. Skripsi Institut Pertanian Bogor.
271Kamal, 2001. Pengetahuan Sikap Dan Tindakan Para Medis Di Ruang SMF Bedah RSU
272 Zainoel Abidin Banda Aceh Terhadap Infeksi Nosokomial Pada Pasien Post
273 Operasi.Laporan, FKM Unmuh Banda Aceh.
274Kartono dan kartini, 1996, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung, Mandar Maju.
275Khoiron, 2012. Perilaku Peternak Sapi Perah Dalam Menangani Limbah Ternak. Jurnal IKESMA
276 Volume 8 Nomor 2.
277Kusnadi, 2008. Inovasi Teknologi Peternakan Dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Untuk
278 Menunjang Swasembada Daging Sapi. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. Badan
279 Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. ;1(3): 189-205.
280Kusnoputranto, 1986. Kesehatan Lingkungan. Departemen P & K UI, Jakarta.
281Kusnoputranto, 2000. Kesehatan Lingkungan, Fakultas Keehatan Masyarakat, Universitas Indonesia,
282 Depok.
283Kuspriyanto, 2013. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Dan Perilaku Sehat Santri Terhadap Kejadian
284 Skabies Dipondok Pesantren Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Jurnal Ilmiah UNS.;11:21.
285Lawrence, et al., 2004. Control of scabies, skin sores and haematuria in children in the Solomon
286 Islands : Another role for ivermectin . Bull . WHO. 83(1) :34-42.
287Marufi I, Keman S, & Notobroto HB, 2005. Faktor Sanitasi Lingkungan Yang Berperan Terhadap
288 Pprevalensi Penyakit Scabies Studi Pada Santri di Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan.
289 Jurnal kesehatan lingkungan vol 2 no.1, 11 18.
290Martinez dan Jose, Patrick Dabert, Suzelle Barirngton, dan Colin Burton, 2009. L:ivestock Waste
291 Treatment Systems for Enviromental Quality, Food Safety and Sutainability. Jurnal
292 Science Direct Bioresource Technology 100 (2009) 5527 5536.
293Mc Carthy, J .S ., Dj . Kemp, S .P. Walton and B .J . Currie, 2004 . Scabies: More than just an
294 irritation . Postgrad. Med. J . 80 : 382 - 387 .
295Melse, Roland dan Maikel Timmerman, 2009. Sustainable Intensive Livestock Production Demands
296 Manure and Exhaust Air Treatment Technologies. Jurnal Science Direct Bioresource
297 Technology 100 (2009) 5506 5511
298Moleong, 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung.
299Mubarak dan Chayatin, 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori dan Aplikasi. Salemba Medika.
300 Jakarta.
301Murdiati, T.B. dan I. Sendow, 2006. Zoonosis yang ditularkan melalui pangan. Wartazoa 16(1):
302 1420.
303Murtiastutik, 2009. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Yogyakarta: Erlangga.
304Noor dan Nasry, 2008. Epidemiologi Penyakit Menular, Jakarta. PT Rineka Cipta
305Notoatmodjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Rineka Cipta.
306Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
307Notoatmodjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. 1st ed. Jakarta: Rineka Cipta.
308Notobroto,2005. Faktor Sanitasi Lingkungan yang Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit scabies .
309 FKM UNAIR, Surabaya
310Nursalam dan Pariani, 2002. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: CV.Sagung
311 Seto.
312Onayemi O., Isezuo SA. & Njoku CH., 2005. Prevalence of different skin conditions in an
313 outpatients setting in north western Nigeria. International Journal of ermatology 44, 711
314Peraturan Menteri kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan
315 pengawasan Kualitas Air.
316Profil Pembangunan Desa Lelede Kecamatan Kediri tahun 2015
317Ratnasari, AF & Sungkar, S., 2014. Prevalensi Skabies dan Faktor-faktor yang Berhubungan di
318 Pesantren X, Jakarta Timur, Jurnal Universitas Indonesia, Vol.2, No.1, Hal. 251-256
319Raza N, Qadir S. N. R., Agna H., 2009. Risk faktor for scabies among male soldier in Pakistan: case
320 control study. Eastern Mediterranean Health Journal 15,1-6
321Rianti, E.D.D., Palgunandi, B.U., dan Mansyur, 2010. Analisis Tentang Higiene Dan Sanitasi
322 Lingkungan Dengan Penyebab Terjadinya Penyakit Kulit di Kecamatan Asemrowo
323 Surabaya. Jurnal Ilmu Kesehatan. 1(1): 1-10.
324Sarwono dan Arianto, 2002. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong, Jakarta, Penebar Swadaya .
325Sarwono, 2007. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya, Yogyakarta, Gajah
326 Mada University Press.
327Setiawan, 2013. Pengelolaan Limbah Ternak Pada Kawasan Budidaya Ternak Sapi Potong Di
328 Kabupaten Majalengka. Jurnal ilmu ternak, Juni 2013, Vol.13,No.1.
329Setyaningrum, YI., 2013. Skabies Penyakit Kulit Yang Terabaikan : Prevalensi, Tantangan Dan
330 Pendidikan Sebagai Solusi Pencegahan., Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jurnal
331 kesehatan lingkungan 2, 11 18.
332Sihombing, 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat Penelitian
333 Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor.
334Simon et. al., 1995, Introduction to Health Education and Health Promotion Illinois: Wave Lang Press
335 Inc.
336Sinaga dan Damayanti, 2009. Pembuatan Pupuk Cair Dari Sampah Organik dengan Menggunakan
337 Biosca sebagai Starter. Skripsi Thesis.Sumatra Utara: Fakultas Pertanian Universitas
338 Sumatra Utara
339Singarimbun, M. dan Effendi S., 2006. Metode Penelitian Survei. Yogyakarta, LP3ES.
340Simons, M.B.G., Greene, W.H., Gottlieb, N.H., 1995. Introduction to Health Education and Health
341 Promotion. Waveland Press. Inc., Illinois.
342Slamet, J., 2002. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
343Soehadji, 1992. KebijakanPemerintah dalam Industri Peternakan dan Penanganan Limbah Peternakan.
344 Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.
345Soejodono, R.R., 2004. Zoonosis Labora-torium Kesmavet. Departemen Penyakit Hewan dan
346 Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan Institute Pertanian Bogor. 241 hlm

347Soekanto dan Soerjono, 2002. Teori Peranan. Jakarta. Bumi Aksara.

348Soemirat, 2000. Epidemiologi Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

349Sudarmono, A.S dan Sugeng, Y.B., 2008. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
350Sudiarto dan Bambang, 2008. Pengelolaan Limbah Peternakan Terpadu dan Agribisnis yang
351 Berwawasan Lingkungan.Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
352 Universitas Padjajaran Bandung.
353Stone, S.P., Jonathan N.G., Rocky E.B., 2008. In: Fitzpatrick,s Dermatology in General Medicine. 7th
354 ed. New York: McGraw-Hill, pp. 2030-31.
355Sugiarto, 2012. Biology Dasar Pengolahan Limbah :Pengolahan Air Limbah
356 dengan_Teknologi_Bersih.
357Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV.Alfabeta.
358Suharsono, 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius,Yogyakarta.
359 180 hlm.
360Sungkar. S., 1991. Cara pemeriksaan kerokan kulit untuk menegakkan diagnosis skabies. Maj.
361 Parasitol. Ind. 61-64.
362Suryahadi, Nugraha A R, Bey A, dan Boer R., 2000. Laju konversimetan dan faktoremisi metan pada
363 kerbau yang diberi ragi tape lokal yang berbeda kadarnya yang mengandung Saccharomyces
364 cerevisiae. Ringkasan Seminar Program Pascasarjana IPB.
365Vigne, J.D., 2009. Pre-Neolithic wild boar management and introduction to Cyprus more than 11,400
366 years ago. Proc Natl Acad Sci U S A. 106:1613516138. PMID 19706455
367 doi:10.1073/pnas.0905015106
368Wahjoedi, I., 2008. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Skabies pada Pondok Pesantren di Kabupaten
369 Kulon Progo (Studi Ekologi). Naskah Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran
370 Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
371Walton, S.F., D.C. Holt. B.J. Currie, and D.J.Kemp., 2004. Scabies: New future for a neglected
372 disease. Adv. Parasitol. 57: 309376.
373Wawan, A dan Dewi, M., 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan , Sikap dan Perilaku Manusia.
374 Yogyakarta : Nuha Medika
375Wardana, A.H., 2006. Skabies: Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini Dan Masa Datang. Balai
376 Penelitian Veteriner,Wartazoa Vol. 16 No. I Th . 2006.
377Wendel, J. and. Rompalo. A., 2002. Scabies and pediculosis pubis. An update of treatment regimens
378 and general review. CID 35. (Suppl.2): S146S151.
379Widodo H., 2013. Parasitologi Kedokteran. Yogyakarta : D-Medika.
380Widarsa, 2014. Jumlah dan Cara Pemilihan Sampel Penelitian Kesehatan, Fakultas Kedokteran
381 Universitas Udayana, Bali.
382Yuni, W., 2006. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Perorangan Dengan Penyakit Skabies Di
383 Desa Genting Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Jurnal. Kesmas Vol. 3 No. 2.
384
385

Karakteristik %
No
Responden
1 Umur (tahun)
<20 2,40
20-30 22,61
31-40 57,14
41-50 17,85
>50
2 Kelamin
Laki-laki 90,48
Perempuan 9,52
3 Pendidikan
Tidak tamat SD 0
Tamat SD 48,81
Tamat SMP 27,38
Tamat SMA 23,81
Tamat D3/S1 0
386
387 Tabel 1. Analisis deskripsi pengetahuan responden dalam pengelolaan
388 sanitasi lingkungan perkandangan
Kategori penilaian
N responden
Uraian
o
Baik Cukup Kurang
Pengetahuan pemanfaatan air 14
1. bersih 45 (53,6) 25 (29,7) (16,7)
Pengetahuan pengelolaan limbah 46 20 18
2 kotoran (54,8) (23,8) (21,4)
Pengetahuan pengelolaan air 46 23 15
3 limbah (54,8) (27,4) (17,8)
45 23 16
4 Pengetahuan pencemaran tanah (53,6) (27,4) (19,0)
52 21 11
Tingkat pengetahuan responden (%)
(61,9) (25,0) (13,1)
air untuk mandi minum 9.9 14.5
pemanfaatan limbah
sumber air limbah 17.7 sumber limbah 19.4

mengerti air limbah 26 mengelola limbah 21.3

0 10 20 30 0 10 20 30
389
390 Gambar 1. Pengetahuan air bersih Gambar 2. Pengetahuan limbah kotoran

391

dampak pencemaran tanah 12.5


mengerti air limbah
14.4
21.4 penyakit oleh penc. tanah 19.6
pencemaran air limbah
mengerti pencemaran tanah 21.5
19
penyakit air limbah
0 5 10 15 20 25
392
393 Gambar 3. Pengetahuan air limbah Gambar 4. Pengetahuan pencemaran tanah
394
395 Tabel 2. Analisis deskripsi sikap responden dalam pengelolaan sanitasi
396 lingkungan perkandangan
Kategori penilaian responden
N
Uraian Ragu- Tidak
o
Setuju ragu setuju
1. Sikap pemanfaatan air bersih 21 (25,0) 43 (51,2) 20 (23,8)
Sikap pengelolaan limbah 34
2 kotoran 21 (25,0) (40,5) 29 (34,5)
34
3 Sikap pengelolaan air limbah 21 (25,0) (40,5) 29 (34,5)
38
4 Sikap pencemaran tanah 19 (22,6) (45,2) 27 (32,1)
41
Tingkat sikap responden (%) 21 (25,0) 22 (26,2)
(48,8)
397
398

25 21.2 30
25
20
17 25
13 20
15 14
15
10
10
5 5 1.5
0 0
air berish untuk minum dan cuci kebersihan limbah kotoran
399
400 Gambar 5. Sikap pemanfaatan air bersih Gambar 6. Sikap pengelolaan limbah kotoran
401

dimanfaatkan kembali 0.5 pencemaran tanah dapat dikelola kembali 7.9

menganggu kes ehatan 15 pencemaran tanah menimbulkan penyakit 17

Pengelolaan air limbah 25 limbah dapat mencemari tanah 24.3

0 10 20 30 0 10 20 30
402
403 Gambar 7. Sikap terhadap Air limbah Gambar 8. Sikap Terhadap Pencemaran Tanah
404
405
406 Tabel 3. Analisis deskripsi tindakan responden dalam pengelolaan sanitasi
407 lingkungan perkandangan
N Kategori penilaian responden
Uraian
o Ya Kadang Tidak
1. Tindakan pemanfaatan air bersih 15 (17,9) 22 (26,2) 47 (56,0)
2 Tindakan pengelolaan limbah kotoran 14 (16,7) 17 (20,2) 53 (63,1)
3 Tindakan pengelolaan air limbah 15 (17,9) 24 (28,6) 45 (53,6)
4 Tindakan pencemaran tanah 16 (19,0) 20 (23,8) 48 (57,1)
Tingkat tindakan responden (%) 16 (19,0) 20 (23,8) 48 (57,1)
408

tidak untuk mandi sehari hari 14.8 tidak memanfaatkn kembali limbah kotoran 6.7

tidak bersihkan kotoran ternak 11.8


tidak untuk minum ternak dan bersihkan kandang 15.1
tidak menggunakan sarana pengolaan air limbah 19.7

tidak memanfaatkan untuk cuci pakan ternak 26.2 tidak mengelola limbah kotoran 24.9

0 10 20 30 0 10 20 30
409
410 Gambar 9 Tindakan terhadap air bersih Gambar10 Tindakan pengelolaan
411 limbah kotoran
30
tidak memanfaatkan kembali air limbah 18 24.7
25
19.8
20

tidak menggunakan sarana pengelolaan air limbah 18 15 12.6

10

tidak mengelola air limbah yang baik 28 5

0
0 10 20 30 tidak memanfaatkan kembali limbah ternak untuk mencegah pencemaran tanah
412

413Gambar 11 Tindakan terhadap air bersih Gambar 12. Tindakan pengelolaan


414 pencemaran tanah
415 Tabel 4. Hubungan pengetahuan peternak dalam pengelolaan sanitasi
416 lingkungan perkandangan dengan suspek penyakit skabies
Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 2,549a 2 ,280
Likelihood Ratio 2,611 2 ,271
Linear-by-Linear
,051 1 ,821
Association
N of Valid Cases 84
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 3,40.
417

418 Tabel.5. Hubungan sikap peternak dalam pengelolaan sanitasi


419 lingkungan perkandangan dengan suspek penyakit skabies.
Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 2,424a 2 ,298
Likelihood Ratio 2,507 2 ,286
Linear-by-Linear
2,366 1 ,124
Association
N of Valid Cases 84
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 6,50.
420

421 Tabel 6. Hubungan tindakan peternak dalam pengelolaan sanitasi


422 lingkungan perkandangan dengan suspek penyakit skabies
Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 8,609a 2 ,014
Likelihood Ratio 9,190 2 ,010
Linear-by-Linear
7,382 1 ,007
Association
N of Valid Cases 84
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 4,95.
423

424

425

426

427

Anda mungkin juga menyukai