Anda di halaman 1dari 99

TESIS

MELATONIN MENGHAMBATPENURUNANAKTIVITAS
SUPEROKSIDA DISMUTASE TIKUS PUTIH JANTAN
(RATTUS NORVEGICUS) GALUR WISTAR DENGAN
AKTIVITAS FISIK BERLEBIH

LISA SILVANI

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS

MELATONIN MENGHAMBATPENURUNANAKTIVITAS
SUPEROKSIDA DISMUTASE TIKUS PUTIH JANTAN
(RATTUS NORVEGICUS) GALUR WISTAR DENGAN
AKTIVITAS FISIK BERLEBIH

LISA SILVANI
NIM: 1390761029

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
MELATONIN MENGHAMBAT PENURUNANAKTIVITAS
SUPEROKSIDA DISMUTASE TIKUS PUTIH JANTAN
(RATTUS NORVEGICUS) GALUR WISTAR DENGAN
AKTIVITAS FISIK BERLEBIH

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister


Pada Program Magister Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana

LISA SILVANI
NIM : 1390761029

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITASUDAYANA
DENPASAR
2015
Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL :

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And., FAACS Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK
NIP : 194612131971071001 NIP : 194606191976021001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur


Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana

Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)


NIP : 194612131971071001 NIP : 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai
Oleh Panitia Penguji pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Pada Tanggal : 29 Januari 2015

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana


Nomor : 029/UN14.4/HK/2015
Tanggal : 2 Januari 2015

Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd., FAACS


Anggota : Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And.
Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH.
dr. Desak Made Wihandani, Mkes
UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

berkahNya, sehingga penulis dapat menempuh Program Magister Ilmu Biomedik

Kekhususan Anti Aging Medicine dan menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terimakasih

yang sebesar besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Dr. Wimpie Pangkahaila, Sp.And, selaku Pembimbing Utama yang telah

memberikan petunjuk, arahan dan bimbingan selama penyusunan tesis ini.

2. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK selaku pembimbing kedua yang telah banyak

memberikan masukan, pengetahuan, dan bimbingan selama proses penyelesaian

tesis ini.

3. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And., Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra,

MOH., dan dr. Desak Made Wihandani, Mkes., yang telah banyak memberika

arahan, saran, dan bimbingannya kepada penulis selama pembuatan dan

penyelesaian tesis ini.

4. Seluruh dosen Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Udayana, khususnya dr

Ayu Dewi dan Bapak Ketut Tunas yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan

bimbingannya pada penulis selama menempuh pendidikan ini.

5. Seluruh staf Pasca Sarjana Biomedik Anti Aging Medicine atas semua

bantuannya selama masa pendidikan dan pembuatan tesis ini.

6. Teman teman kuliah seangakatan yang senantiasa mendorong dan

menyemangati penulis dalam menyelesaikan program pendidikan dan tesis ini.

7. Bapak I Gde Wiranatha dan Ibu Amy Yelly atas segala bantuannya selama proses

penelitian berlangsung.

8. Suami dan anakku tercinta Vinci Edy dan Salma Zhafirah atas pengertian dan

motivasinya kepada penulis selama proses pendidikan dan penyelesaian tesis ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmatNya kepada semua

pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

Denpasar, 29 Januari 2015

Penulis,

Lisa Silvani
ABSTRAK

MELATONIN MENGHAMBAT PENURUNAN AKTIVITAS SUPEROKSIDA


DISMUTASE PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR
DENGAN AKTIVITAS BERLEBIH

Salah satu penyebab penuaan adalah penumpukan radikal bebas. Radikal bebas yang
berlebih dapat menyebabkan kondisi stres oksidatif. Keadaan ini dapat dicegah dengan
antioksidan baik antioksidan endogen maupun eksogen. Salah satu antioksidan endogen yang
sangat penting adalah enzim Superoksida dismutase. Melatonin dapat mengatur ekspresi gen
beberapa antioksidan endogen seperti Superoksida dismutase, gluthathion peroksidase, dan
katalase. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran melatonin dalam menghambat
penurunan aktivitas Superoksida dismutase dalam hubungannya dengan pencegahan stres
oksidatif.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental menggunakan pre test post test
control group design. Penelitian dilakukan selama 12 hari dengan melibatkan 14 sampel tikus
wistar putih berumur 12 minggu dengan berat badan 150 160 gram. Sampel dibagi menjadi
dua kelompok yaitu kelompok kontrol (plasebo: aquadest) dan kelompok perlakuan (melatonin
10 mg/KgBB). Pengambilan darah dari canthus medialis dilakukan sebelum dan setelah
perlakuan untuk mengukur aktivitas Superoksida Dismutase.
Sebelum perlakuan, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada rerata aktivitas SOD
antara Kelompok Kontrol (96,34 U/ml) dan Kelompok Perlakuan (96,59 U/ml). Setelah
perlakuan, didapatkan perbedaan bermakna pada rerata aktivitas SOD antara Kelompok
Kontrol (86,72 U/ml) dan Kelompok Perlakuan (96,15 U/ml). Hasil analisis Kelompok
Perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna (p> 0,05) pada aktivitas SOD
dengan pemberian melatonin dengan perbedaan rerata aktivitas sebesar 0,44 U/ml. Sementara
pada kelompok kontrol didapatkan penurunan aktivitas SOD yang bermakna setelah aktivitas
fisik berlebih dengan perbedaan rerata sebesar 9,62 U/ml (p< 0,05).
Disimpulkan bahwa pemberian melatonin dapat menghambat penurunan aktivitas
Superoksida Dismutase pada tikus dengan aktivitas fisik berlebih. Melatonin sebagai
penghambat penurunan aktivitas Superoksida dismutase perlu diteliti lebih lanjut pada manusia
untuk penentuan efektivitas dan dosis yang sesuai pada manusia.

Kata Kunci : melatonin, superoksida dismutase, stres oksidatif, aktivitas berlebih, antioksidan
endogen
ABSTRACT

MELATONIN INHIBIT THE DECREASE OF SUPEROXIDE DISMUTASE


ACTIVITY IN ALBINO MALE WISTAR RAT (Rattus norvegicus) WITH
OVERTRAINING

Along with time, being old is a natural process for all the living. One of the cause
of aging is the mounting amount of free radicals. The cumulation of free radical could
induces oxidative stress. This condition could be prevented by antioxidants, endogen or
exogen. One of the most important endogen antioxidants is Superoxide dismutase.
Melatonin regulate gene expression for endogen antioxidants such as Superoxide
dismutase, gluthathione peroxidase, and catalase. The objective of this study was to find
out the role of melatonin in inhibiting the decrease of Superoxide dismutase with its
correlation to oxidative stress process.
This was an experimental pre-test post test control group design. The study
involved 14 albino rats with 12 weeks of ages and weighed at 150 160 grams as
samples for 5 days. The samples were divided into two groups with the first group as
control and placebo (aquadest) was given and the second group was using melatonin 1.5
mg (10 mg/KgBB). Blood was withdrawn from medial canthus to measure the activity of
superoxide dismutase.
Before intervention, there was no significant difference between Control Group
(96.34 U/ml) and Treatment Group (96.59 U/ml). After intervention, superoxide
dismutase activity was different between Control Group ( 86.72 U/ml) and Treatment
Group (96.15 U/ml). Results had shown that the decrease of Superoxide dismutase
activity in Treatment Group (0.44 U/mL) was not statistically significant (p>0.05).
Contrary, there were significant decrease as much as 9.62 U/mL on the superoxide
dismutase activity on the Control Group where placebo was given (p< 0.05).
It was concluded that melatonin inhibited the decrease of superoxide dismutase
activity on overtraining rats.Melatonin as an inhibitor for the decrease of Superoxide
activity need to be studied further in rats to measure lethal dose.

Keyword : melatonin, superoxide dismutase, oxidative stress, overtraining, antioxidants


DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ........................................................................................... i


PRASYARAT GELAR . ................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN..................................................................... ........ iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI THESIS......................................... ....... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT................................................. v
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................. vi
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
ABSTRACT.. . ix
DAFTAR ISI....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL. xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitan ............................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1 Penuaan ........................................................................................................... 5
2.2 Radikal Bebas.. ....................................................................................... 7
2.3 Stres Oksidatif................................................................................................. 13
2.4 Antioksidan ..................................................................................................... 19
2.5 Superoksida Dismutase ................................................................................... 21
2.6 Hormon ........................................................................................................... 23
2.7 Melatonin ...................................................................................................... 24
2.8 Latihan Fisik Berlebih................................................................................... 30

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS


3.1 Kerangka Berpikir ......................................................................................... 37
3.2 Kerangka Konsep .......................................................................................... 39
3.3 Hipotesis Penelitian ...................................................................................... 39
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................................... 40
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 41
4.3 Penentuan Sumber Data ................................................................................ 41
4.4 Teknik Penentuan Sampel............................................................................. 42
4.5 Variabel Penelitian ........................................................................................ 43
4.6 Bahan dan Alat Penelitian ............................................................................. 46
4.7 Prosedur Penelitian ....................................................................................... 47
4.8 Alur Penelitian .............................................................................................. 53
4.9 Analisis Data ................................................................................................. 54

BAB V HASIL
5.1 Uji Normalitas Data...................................................................................... 55
5.2 Uji Homogenitas Data.................................................................................. 56
5.3 Aktivitas Superoksida Dismutase................................................................. 56

BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Subjek Penelitian.......................................................................................... 59
6.2 Distribusidan Varian HasilPenelitian........................................................... 60
6.3 Pemberian AktivitasBerlebih....................................................................... 60
6.4 Pengaruh Melatonin Terhadap Aktivitas SOD............................................. 61
6.5 Peran Melatonin pada Anti Aging Medicine................................................. 64
6.6 KelemahanPenelitian .................................................................................... 65

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 66

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 67

LAMPIRAN.............................................................. 72
DAFTAR TABEL

Halaman
2.1 Jenis ROS dan aktivitasnya ....................................................................... 9
5.1 Hasil Uji Normalitas Aktivitas SOD Sebelum dan Setelah Perlakuan..... . 55
5.2 Hasil Uji Homogenitas Aktivitas SOD Antar kelompok Sebelum dan
Sesudah Diberikan Perlakuan............................................................... ..... 55
5.3 Hasil Uji Analisis Rerata Aktivitas SOD Sebelum Perlakuan.................... 56
5.4 Hasil Uji Analisis Rerata Aktivitas SOD Setelah Perlakuan....................... 56
5.5 Hasil Uji Analisis Komparasi Aktivitas SOD Sebelum dan Sesudah
Perlakuan.............................................................................. ..................... 57
DAFTAR GAMBAR

Halaman
2.1 Radikal bebas mayoritas dan efek kerusakan akibat radikal bebas............. 14
2.2 Berbagai penyakit yang timbul akibat stres oksidatif ................................. 15
2.3 Keseimbangan oksidan antioksidan dan stres oksidatif ........................... 15
2.4 Peran oksidan, antioksida dan penuaan ...................................................... 16
2.5 Proses stres oksidatif dan pertahanan terhadap radikal bebas .................... 17
2.6 Kelenjar Pineal ............................................................................................ 23
2.7 Biosintesis Melatonin ................................................................................. 24
2.8 Pengaturan irama sirkadian dan melatonin ................................................. 25
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ....................................................................... 38
4.1 Bagan Rancangan Penelitian....................................................................... 40
4.2 Bagan Hubungan Antar Variabel.............. .................................................. 43
4.3 Bagan Alur Penelitian. 52
DAFTAR SINGKATAN

DNA Deoxyribo Nucleic Acid


HR Heart Rate
LDL Low Density Lipoprotein
MDA MalonDiAldehid
ROS Reactive Oxygen Species
SOD Superoxide Dismutase
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Ethical Clearance....................................................................... 72


Lampiran 2 Hasil Pengukuran Aktivitas Superoksida dismutase............... 73
Lampiran 4 Uji Normalitas............................................................................ 74
Lampiran 5 Uji T-Independent...................................................................... 75
Lampiran 6 Uji T-Paired............................................................................... 76
Lampiran 7 Foto foto Penelitian................................................................ 78
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penuaan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tak bisa terlepas

begitu saja. Kata penuaan menggambarkan proses akhir kehidupan dimana

pertambahan usia seseorang sudah melewati masa masa produktifnya. Hingga

beberapa tahun lalu, penuaan adalah hal yang pasti. Seiring dengan berjalannya

waktu, menjadi tua adalah bagian alami dari proses kehidupan itu sendiri. Hal ini

diterima menjadi sebuah fakta dan kenyataan oleh masyarakat luas. Namun, usia

dimana seseorang dianggap tua atau usia pensiun ternyata berubah seiring dengan

perkembangan jaman. Kini, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan kelahiran

ilmu baru yaitu Anti Aging Medicine, penuaan dapat diperlambat. Usia harapan

hidup semakin meningkat dan begitupun dengan usia produktivitas.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penuaan pada manusia.

Faktor faktor ini dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa

faktor internal antara lain genetika, proses metabolisme seperti glikosilasi dan

metilasi, dan terbentuknya radikal bebas. Faktor eksternal penyebab penuaan

antara lain adalah gaya hidup dan diet yang tidak sehat (Pangkahila, 2007).

Terdapat berbagai teori tentang proses penuaan. Beberapa teori yang

cukup populer diantaranya adalah teori kerusakan DNA, teori neuroendokrin, teori

autoimun dan teori radikal bebas. Teori radikal bebas menyatakan bahwa penuaan

1
2

disebabkan oleh penumpukan radikal bebas dalam tubuh sehingga mengganggu

struktur alami sel dan mengganggu proses fisiologis tubuh (Pangkahila, 2007).

Reaksi oksidasi menyebabkan gangguan pada komponel sel dan jaringan.

Reaksi oksidasi terjadi karena peran radikal bebas yang mengikat komponen sel

sehingga mengganggu struktur sel normal. Radikal bebas adalah elektron yang

tidak berpasangan sehingga radikal bebas dapat merusak molekul dengan menarik

elektron dari molekul lain (Winarsi, 2007).

Radikal bebas yang berlebih dapat menyebabkan suatu kondisi yang

dikenal dengan stres oksidatif. Stres oksidatif diartikan juga sebagai keadaan

dimana kadar oksidan melebihi kadar antioksidan. Hal ini menyebabkan tubuh

tidak dapat menetralisir radikal bebas yang terjadi (Suryohudoyo, 2000).

Stres oksidatif dapat terjadi akibat polusi lingkungan dan aktivitas fisik

berlebih. Aktivitas fisik berlebih dapat memicu peningkatan radikal bebas melalui

peningkatan proses pernapasan dan reperfusion injury (Cooper, 2001). Radikal

bebas yang terjadi dapat menghambat pembentukan protein dan meningkatkan

peroksidasi lemak. Radikal bebas juga dapat memicu terjadinya proses keganasan

(Winarsi, 2007).

Antioksidan dapat membantu tubuh mengatasi radikal bebas yang terjadi.

Antioksidan bekerja dengan cara menetralisir radikal bebas sehingga radikal bebas

kehilangan reaktivitasnya. Secara garis besar, antioksidan terbagi dua, antioksidan

alami yang dapat dibentuk oleh tubuh seperti katalase, glutathione peroksidase,

dan superoksida dismutase. Grup antioksidan lainnya adalah antioksidan yang


3

didapat dari makanan seperti flavonoid, phenol, vitamin C dan vitamin E

(Winarsi, 2007).

Superoksida dismutase adalah salah satu antioksidan alami yang

diproduksi oleh tubuh. Superoksida dismutase atau SOD berbentuk enzim dan

bekerja dengan cara menetralisir radikal superoksida. Radikal superoksida

dihasilkan sebagai bahan sampingan dalam berbagai proses metabolisme

(Winarsi, 2007).

Salah satu antioksidan yang telah lama dikenal adalah melatonin.

Melatonin merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar pineal dan berperan

dalam siklus sirkadian. Melatonin memiliki aktivitas antioksidan yang sangat

tinggi. Aktivitas antioksidan melatonin ini berperan dalam menetralisir radikal

hidroksil, singlet oksigen, nitritoksida, hidrogen peroksida dan oksigen. Melatonin

meningkatkan ekspresi gen SOD1 yang akan meningkatkan kadar CuZnSOD pada

plasma (Mayo dkk., 2002). Melatonin juga berperan meningkatkan kadar enzim

Superoksida Dismutase melalui jalur sitokrom P450 dalam efektivitasnya untuk

menetralisir radikal superoksida (Inarrea dkk., 2012).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut :

Apakah pemberian Melatonin dapat menghambat penurunan kadar

Superoksida Dismutase pada tikus putih galur wistar jantan dengan aktivitas

fisik berlebih?
4

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui pemberian Melatonin dapat menghambat penurunan aktivitas

Superoksida Dismutase pada tikus putih galur wistar dengan aktivitas fisik

berlebih.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademis

Memberikan informasi ilmiah mengenai peran Melatonin dalam

menghambat penurunan aktivitas Superoksida Dismutase pada tikus putih galur

wistar dengan aktivitas fisik berlebih.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai referensi untuk penelitian lanjutan mengenai peran Melatonin

dalam mengambat penurunan aktivitas Superoksida Dismutase pada tikus putih

galur wistar dengan aktivitas fisik berlebih.


5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

Hingga beberapa tahun lalu, penuaan adalah hal yang pasti. Seiring

berjalannya waktu menjadi tua adalah bagian alami dari proses kehidupan itu

sendiri. Kini, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan kelahiran ilmu baru yaitu

Anti Aging Medicine, penuaan dapat diperlambat.

Penuaan terjadi karena faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor

internal antara lain genetika, glikosilasi, metilasi, dan radikal bebas. Faktor

eksternal penyebab penuaan antara lain adalah gaya hidup dan diet. Penuaan

meliputi proses penurunan beberapa fungsi tubuh yang normal, yaitu: Sistem

imun, sistem endokrin, sistem metabolism, sistem otot, sistem gastrointestinal,

sistem kardiovaskular, sistem seksual dan reproduksi, sistem saraf (Pangkahila,

2007).

Terjadinya penuaan pada seseorang ditandai dengan beberapa gejala fisik

maupun psikis. Gejala gejala fisik yang terlihat antara lain: peningkatan porsi

lemak tubuh, kerutan pada kulit, penurunan daya ingat, kemampuan kerja

berkurang, penurunan masa otot, dan terganggunya fungsi seksual. Sementara itu,

gejala gejala psikis yang dapat terjadi antara lain: sulit tidur, mudah cemas dan

khawatir, menurunnya gairah hidup, dan mudah tersinggung (Pangkahila, 2007).

5
6

Beberapa teori mengenai penuaan antara lain:

1. Teori Wear and tear

Diperkenalkan oleh Dr. August Weissman pada 1882, teori ini menyatakan

bahwa tubuh menjadi lemah dan meninggal akibat dari penggunaan terus meneurs

hinnga terjadi kerusakan (Pangkahila, 2007). Keadaan ini juga diperburuk oleh

penggunaan tubuh yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kebutuhan tubuh itu

sendiri yang akan mempercepat proses penuaan.

2. Teori Program

Teori ini beranggapan bahwa terdapat jam biologis di dalam tubuh

manusia, mulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam sebuah model

yang telah terprogram (Pangkahila, 2007). Teori ini berhubungan dengan panjang

telomere yang semakin memendek sejalan dengan terjadinya proses replikasi

RNA berulangkali. Rentang usia sel ditentukan oleh mekanisme pemendekan

telomere tersebut, dimana hal ini juga berpengaruh secara langsung pada usia

organisme itu sendiri (Hayflick, 1998).

3. Teori Neuroendokrin

Hormon memegang peranan penting dalam proses fisiologis tubuh. Fungsi

hormon ini bekerja dengan baik pada usia muda dan menurun fungsinya seiring

dengan pertambahan usia. Karena itu, teori neuroendokrin menyatakan bahwa

hormon berperan penting pada terjadinya penuaan karena gangguan hormon dapat

menimbulkan gejala dan tanda yang mirip dengan yang terjadi pada proses

penuaan (Pangkahila, 2007).


7

4. Teori Radikal Bebas

Radikal bebas adalah molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang

tidak berpasangan. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan pada struktur

meolekular tubuh dan mengganggu fungsi fisiologis tubuh. Radikal bebas dapat

terjadi melalui proses fisiologis tubuh seperti rantai pernapasan.

Teori radikal bebas yang muncul pada tahun 1954 menyatakan bahwa

penumpukan radikal bebas dalam tubuh yang dipengaruhi oleh faktor genetika

dan lingkungan menyebabkan penuaan dan kematian mahluk hidup (Winarsi,

2007). Teori ini semakin didukung oleh banyaknya penelitian mengenai radikal

bebas, radiasi ionisasi dan efeknya bagi tubuh, pengaruh radikal bebas dalam

patogenesis berbagai penyakit, dan perubahan diet dan pengaruhnya pada radikal

bebas endogen (Harman, 2003).

2. 2 Radikal Bebas

2.2.1 Definisi Radikal Bebas

Radikal bebas adalah molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang

tidak berpasangan dengan molekul lain. Adanya molekul ini membuat radikal

bebas bersifat sangat reaktif karena kecenderungannya untuk menarik elektron

dan berikatan dengan molekul lain sehingga mengubah struktur molekul awal

menjadi suatu radikal. Hal ini terjadi karena adanya pengurangan atau

penambahan satu elektron pada molekul tersebut (Halliwell dan Gutteridge,

2007).
8

2.2.2 Sumber Radikal Bebas

Radikal bebas dapat diperoleh secara endogen dan eksogen. Secara

endogen, radikal bebas dihasilkan oleh rantai pernapasan ketika oksigen yang

dihirup berubah menjadi energi oleh mitokondria sebagai hasil sampingan.Selain

itu, secara endogen radikal bebas juga dapat didapat dari berbagai fungsi fisiologis

tubuh normal lainnya seperti fungsi pencernaan dan metabolisme (Pham-Huy

dkk., 2008). Beberapa sel penghasil radikal bebas antara lain inti sel, mitokondria,

membran sel, retikulum endoplasma, dan lisosom. Secara eksogen, radikal bebas

diperoleh dari polutan, radiasi ultraviolet, asap rokok, pestisida, dan sebagai hasil

sampingan dari metabolisme beberapa obat obatan (Halliwel dan Gutteridge,

2007).

2.2.3 Sifat sifat Radikal Bebas

Beberapa sifat yang dimiliki oleh radikal bebas antara lain (Halliwell dan

Gutteridge, 2007):

1) Sifat reaktivitas yang tinggi

2) Dapat mengubah molekul non radikal menjadi molekul radikal

3) Termasuk ke dalam oksidan karena sifatnya yang mirip

4) Lebih berbahaya dari oksidan karena bersifat menarik elektron sehingga

terbentuk senyawa radikal baru dan pembentukan reaksi berantai

5) Berhenti bila reaktivitasnya dihentikan (quenched)

2.2.4 Jenis-jenis Radikal Bebas


9

Radikal bebas terbagi menjadi dua jenis yaitu radikal bebas oksigen dan

radikal bebas nitrogen. Radikal bebas oksigen adalah radikal bebas dimana

terdapat satu gugus oksigen yang tidak berpasangan dalam strukturnya. Contoh

radikal bebas oksigen antara lain : Superoksida, hidrogen perokisida, dan radikal

hidroksil.

Radikal bebas nitrogen adalah radikal bebas yang memiliki satu gugus

nitrogen yang tidak berpasangan dalam strukturnya. Contoh radikal bebas

nitrogen antara lain : Nitrogen dioksida, peroksinitrit, dan dinitrogen dioksida.

Beberapa jenis radikal bebas yang banyak dijumpai dan berbahaya dapat dilihat

pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1
Jenis ROS dan aktivitasnya
Jenis Struktur Deskripsi Proses Cara
Kimia Pembentukan Kerja
Radikal O2- Radikal bebas Semua sel aerob Mayoritas
Superoksida poten, sangat reaksi
berperan pada kimia
kerusakan sel sebagai
agen
pereduksi
Radikal OH Reaktivitas Melalui DNA,
Hidroksil tinggi radiolisis air protein,
karbohidrat,
lipid
Radikal HO2- Hasil protonasi Dari H2O2 Membran
Hidroperoksil O2 Biologis
Hidrogen H2O2 Hasil samping Protein dan
Peroksida pembentukan lipid
OH
I
Singlet O2 Bentuk lain Dihasilkan oleh Perubahan
Oksigen oksigen fagosit dan DNA
molekuler katalasi oleh
peroksidase
(Sumber : Garcez dkk., 2004)
1
0

2.2.5 Radikal Bebas yang Berbahaya

Terdapat empat jenis radikal bebas yang berbahaya, yaitu (Cadenas dan

Packer, 2002) :

a. Superoksida (O2-)

Superoksida adalah radikal bebas yang paling umum ditemukan dalam

tubuh dan merupakan sumber dari banyak radikal bebas lainnya, termasuk radikal

hidroksil dan radikal hidrogen peroksida. Radikal superoksida dapat terbentuk

pada fosforilasi oksidatif, oksigenasi hemoglobin, reaksi yang dikatalisiss oleh

xantin oksidase, dan reaksi yang dikatalisis oleh NADH/NADPH oksidase

(Cadenas dan Packer, 2002). Radikal superoksida dapat merusak membran sel,

mitokondria, kromosom dan dapat menyebabkan mutasi sel. Superoksida

dinonaktifkan oleh Superoksida dismutase (SOD) dan superoksida reduktase (Sen

dkk., 2000).

b. Hidrogen Peroksida (H2O2)

Hidrogen peroksida dihasilkan dari konversi superoksida oleh

anttioksidan. Hiidrogen peroksida tidak lebih reaktif dari superoksida, dan dapat

dikonversi oleh antioksidan, seperti katalase (yang bekerja di air) atau peroksidase

glutation (yang bekerja dalam lemak). Hidrogen peroksida dapat merusak DNA

dalam sel, yang dapat menyebabkan mutasi dan kanker. Molekul ini juga dapat

mengoksidasi lemak dan menimbulkan aterosklerosis.

c. Radikal Hidroksil (OH)

Merupakan radikal bebas yang paling reaktif dan berbahaya. Terbentuk

saat hidrogen peroksida tidak sepenuhnya nonaktif. Radikal hidroksil merupakan


1
1

radikal bebas yang sangat reaktif dan dapat menyebabkan kerusakan oksidatif dan

mencetuskan reaksi berantai. Beberapa zat seperti besi, kadmium, atau merkuri

dapat merangsang pembentukan hidrogen peroksida.

d. Oksigen Singlet (IO2)

Oksigen hampir selalu terbentuk dalam keadaan berpasangan (O2). Ketika

oksigen terpisah, dua molekul singlet oksigen akan terbentuk. Singlet oksigen

lebih reaktif daripada bentuk oksigen biasanya. Singlet oksigen terbentuk melalui

reaksi reaksi yang dikatalisis oleh enzim monooksidase, mieloperoksidase, dan

prostaglandin endoperoksida sintetase. Kadar singlet oksigen yang tinggi

berpengaruh pada pembentukan penyakit katarak, artritis, dan degenerasi makula.

2.2.6 Tahap Pembentukan Radikal Bebas

Secara umum, terdapat tiga tahapan pembentukan radikal bebas (Winarsi,

2010), yaitu:

1. Tahap Inisiasi, yaitu tahap awal terbentuknya radikal bebas dimana senyawa

non radikal menjadi senyawa radikal. Misalnya:

Fe ++ + H2O2 Fe +++ + OH- + OH

R1 _H + OH R1 + H2O

2. Tahap Propagasi, yaitu tahap terjadinya pemanjangan rantai radikal bebas

akibat reaksi berantai yang meluas.

R2_H + R1 R2 + R1_H

R3_H + R2 R3 + R2_H

3. Tahap Terminasi, yaitu tahap bereaksinya senyawa radikal dengan radikal


1
2

lain atau senyawa penangkap radikal.

R1 + R1 R1_R1

R2 + R1 R2_R1

R2 + R2 R2_R2

2.2.7 Kerusakan Akibat ROS

Radikal bebas dapat mengganggu keseimbangan tubuh melalui beberapa

cara, yaitu dengan cara:

1. Kerusakan membran sel

2. Kerusakan struktur protein

3. Memicu terjadinya peroksidasi lipid

4. Kerusakan struktur DNA

5. Memicu apoptosis sel

Radikal bebas akan menyebabkan proses autooksidasi pada struktur lipid.

Autooksidasi akan merusak struktur lipid. Autooksidasi adalah rangkaian proses

dimana radikal hidro peroksida mengikat atom dari gugus lipid terdekat sehingga

menghasilkan hidroperoksida dan radikal alkil. Proses ini akan terjadi berulang -

ulang dengan adanya radikal alkil dan bantuan oksigen (Beckman dan Ames,

1998).

Pada asam amino, radikal bebas akan menyebabkan penambahan basa atau

gugus gula, menyebabkan patahan pada ikatan DNA atau RNA dan terjadinya

cross linking dengan molekul lain (Beckman dan Ames, 1998).

Pada protein, kerusakan yang terjadi akibat radikal bebas sangat beragam.

Beberapa kerusakan oksidatif yang terjadi diantaranya adalah reaksi dengan


1
3

aldehida, oksidasi gugus sulfhidril, reduksi disulfida, cross linking protein, dan

pemotongan peptida (Beckman dan Ames, 1998).

Reactive Oxygen Species adalah salah satu bentuk radikal bebas oksigen.

ROS membahayakan tubuh karena reaktivitasnya yang tinggi (Simanjuntak,

2006). ROS merupakan radikal bebas yang dapat mengakibatkan perubahan lipid,

protein, dan DNA sehingga berakibat pada stres oksidatif (Finaud dkk., 2006).

Saat ini tidak terdapat penanda diagnosis tunggal untuk latihan fisik

berlebih. Pemeriksaan yang tersedia untuk memeriksa respon biomarker terhadap

latihan (Margonis dkk., 2007). Pengukuran radikal bebas terutama pada proses

oksidasi lemak, yang dikenal sebagai peroksidasi lipid. Proses ini membentuk sisa

metabolisme, salah satunya dikenal sebagai thiobarbituric acid reactive substance

(TBARS) (Cooper, 2001; Cadenas dan Packer, 2002), yang merupakan tes untuk

mengukur peroksidasi lipid. TBARS merupakan tes yang sederhana namun efektif

(Cadenas dan Packer, 2002).

2.3 Stres Oksidatif

Stres oksidatif adalah keadaan dimana tubuh mengalami

ketidakseimbangan antara kadar radikal bebas atau jumlah pro oksidan di dalam

tubuh dengan kemampuan tubuh untuk menetralisir. Hal ini akan menyebabkan

penumpukan radikal bebas yang akan menimbulkan oksidasi makromolekul

seperti protein, lipid, karbohidrat, asam amino, dan DNA seperti yang terlihat

pada Gambar 2.1. Oksidasi makromolekul ini dapat merusak struktur sel dan

jaringan (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Selain itu, penumpukan radikal bebas
1
4

akan berakibat pada apoptosis sel yang akan mengganggu fisiologis tubuh secara

keseluruhan.

Penyebab terjadinya stres oksidatif terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Penurunan kadar antioksidan. Hal ini terjadi pada kurangnya diet yang kaya

akan antioksidan, diet tinggi zat besi sehingga tidak cukup menghasilkan zat

transferin dan adanya defisiensi protein seperti pada pasien kwashiorkor.

2. Peningkatan produksi radikal bebas. Hal ini terjadi ketika adanya peningkatan

paparan tubuh terhadap oksigen, banyaknya toksin yang menghasilkan radikal

bebas, adanya peradangan sehingga terjadi perlawanan dari sistem pertahanan

tubuh yang akan menghasilkan efek sampingan berupa peningkatan radikal

bebas.

Sumber Radikal Bebas Endogen Produksi Radikal Bebas Sumber Radikal Bebas
Eksogen

Kebocoran mitokondria * Polutan, asap rokok

Reaksi Enzimatis O2-, H2O2 * Sinar UV

Reaksi Autooksidasi * Radiasi ionisasi

Hasil samping Pernapasan * Xenobiotik

OH-

Peroksidasi Lemak Perubahan basa DNA Kerusakan Protein

Kerusakan Jaringan

Gambar 2.1 Radikal bebas mayoritas dan efek kerusakan akibat radikal bebas
(Young dan Woodside, 2001)
1
5

Stres oksidatif dapat menyebabkan peningkatan adaptasi, kerusakan sel,

proliferasi sel, dan kematian sel. Stres oksidatif berperan pada patofisiologi

berbagai penyakit saraf, jantung dan pembuluh darah, diabetes, kanker, dan

peradangan pada proses penuaan tubuh (Halliwell dan Gutteridge, 2007;

Garelnabi dkk., 2008). Berbagai penyakit yang dapat timbul akibat stres oksidatif

diilustrasikan dalam Gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2 Berbagai penyakit yang timbul akibat stress oksidatif (Halliwell dan
Gutteridge, 2007)

Stres oksidatif akan menyebabkan berbagai gangguan pada sistem tubuh

diantaranya katarak, alzheimer, asma, peradangan, pre eklampsia, dll. Beberapa

kondisi yang merupakan penyebab kematian yang cukup tinggi seperti gagal

jantung, arteriosklerosis, dan diabetes pun dapat disebabkan oleh radikal bebas

(Halliwell dan Gutteridge, 2007).


1
6

Gambar 2.3 Keseimbangan Oksidan Antioksidan dan Stres Oksidatif (Halliwell


dan Gutteridge, 2007)

Saat normal, jumlah antioksidan dan radikal bebas seimbang, seperti

diilustrasikan pada Gambar 2.3. Sementara pada stres oksidatif, jumlah radikal

bebas lebih banyak dibandingkan jumlah antioksidan. Pada keadaan normal, tubuh

memiliki mekanisme untuk menetralisir radikal bebas melalui aktivasi antioksidan

sehingga stres oksidatif dapat dihindari. Berdasarkan teori radikal bebas,

kerusakan sel yang terjadi karena radikal bebas baru akan terjadi ketika

kemampuan tubuh untuk melakukan mekanisme netralisasi ini terlampaui atau

menurun (Halliwell dan Gutteridge, 2007).


1
7

Gambar 2.4 Peran oksidan, antioksidan, dan penuaan (Beckman dan Ames,
1998)

Terlihat pada Gambar 2.4 di atas bahwa terdapat persilangan antara

oksidan, antioksidan, dan sistem perbaikan sel. Pada keadaan peningkatan radikal

bebas, antioksidan akan menetralisir radikal bebas dan memberikan umpan balik

negatef pada sistem perbaikan sel. Sementara saat sistem perbaikan sel bekerja,

sistem ini juga akan mengirimkan umpan balik negatif pada antioksidan sehingga

antioksidan berhenti bekerja (Beckman dan Ames, 1998).


1
8

Gambar 2.5 Proses stress oksidatif dan pertahanan terhadap radikal bebas
(Halliwell dan Gutteridge, 2006)

Gambar 2.5 di atas memperlihatkan proses yang terjadi pada sistem

pertahanan terhadap radikal bebas. Pada keadaan awal terjadinya stress oksidatif,

ion metal akan dilepaskan untuk mengkatalisa radikal bebas. Pada kerusakan

oksidatif yang lebih berat, permeabilitas mitokondria dapat rusak dan terjadi

pelepasan sitokrom c. Kerusakan DNA yang berat akan menginduksi apoptosis

yang berujung pada kematian sel (Halliwell dan Gutteridge, 2006).


1
9

2.4 Antioksidan

2.4.1 Antioksidan dan Peranannya

Antioksidan adalah zat yang memiliki kemampuan untuk melawan efek

radikal bebas. Antioksidan didefinisikan sebagai zat - zat yang dalam dosis lebih

rendah dari zat yang mudah teroksidasi dapat menghambat proses oksidasi zat

tersebut (Young danWoodside, 2001). Antioksidan bekerja dengan cara mengikat

radikal bebas sehingga radikal bebas tidak lagi bersifat reaktif. Antioksidan

dibutuhkan oleh tubuh untuk menetralisir radikal bebas sehingga tidak

mengganggu ikatan molekul lain dan merusak struktur protein, lemak ataupun

karbohidrat dalam tubuh.

Sebagai penetralisir radikal bebas, peran antioksidan dalam kesehatan

sangat besar. Antioksidan berfungsi sebagai penghambat proses oksidasi. Oksidasi

adalah jenis reaksi kimia yang melibatkan pengikatan oksigen, pelepasan

hidrogen, atau pelepasan elektron. Proses oksidasi adalah proses yang terjadi

secara alami di alam sehingga sulit untuk menghindar dari efek buruk oksidasi.

Maka dari itu, jumlah antioksidan yang memadai diperlukan untuk

keberlangsungan hidup.

2.4.2 Jenis jenis Antioksidan

Pembagian antioksidan didasarkan pada asal, bentuk komponen

antioksidan, dan cara kerjanya. Secara umum, antioksidan terbagi menjadi dua

macam yaitu antioksidan yang berasal dari luar atau eksogen dan antioksidan yang

berasal dari dalam atau endogen (Winarsi, 2007).


2
0

Antioksidan endogen bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal

bebas yang telah terbentuk menjadi senyawa tidak aktif (Winarsi, 2007).

Antioksidan eksogen didapat dari makanan. Beberapa contoh makanan yang

kayaakan antioksidan adalah tomat, jeruk, buah goji berry, dan sebagainya.

Antioksidan eksogen diperlukan oleh tubuh sebagai sistem pertahanan preventif

(Winarsi, 2010). Cara kerja antioksidan eksogen atau non enzimatis ini adalah

dengan memotong reaksi oksidasi berantai atau menangkap radikal bebas tersebut

sehingga tidak lagi bersifat reaktif (Young dan Woodside, 2001).

Antioksidan endogen terutama diperankan oleh beberapa enzim penting,

yaitu:

a. Katalase

Enzim katalase berfungsi untuk merubah hidrogen peroksida menjadi air

dan oksigen. Katalase terbentuk dari 4 sub unit yang terdiri dari molekul NADPH

dan protein Heme. Katalase ditemukan terbanyak di dalam peroksisome dimana

hidrogen peroksida banyak terbentuk. Di dalam tubuh, katalase banyak ditemukan

di dalam eritrosit dan hepar, walaupun hampir semua jaringan tubuh memiliki

sejumlah enzim ini di dalamnya (Brioukhanov dkk., 2004).

Kalatase-Fe(III) + H2O2 Komponen I

Komponen I + H2O2 Katalase-Fe (III) + 2H2O + O2

b. Glutathione Peroksidase

Enzim Glutation peroksidase berfungsi untuk mereduksi glutation

peroksida dengan bantuan hidrogen peroksida atau lipid peroksida. Dengan


2
1

begitu, glutation peroksidase juga membantu menghambat radikal bebas berupa

hidrogen peroksida maupun lipid peroksida (Young dan Woodside, 2001).

ROOH + 2GSH
GSSG + H2O + ROH

Glutation peroksidase terbanyak didapat di sitosol dan mitokondria. Hal

ini sejalan dengan banyaknya hidrogen peroksida di kedua tempat tersebut.

Glutation peroksidase membutuhkan kehadiran selenium agar dapat bekerja

dengan baik. Selain itu, glutation peroksidase juga membutuhkan kadar glutation

tereduksi yang konstan untuk menjalankan fungsinya. Enzim ini ditemukan

terbanyak di dalam hepar, namun hampir semua jaringan tubuh memiliki sejumlah

glutation peroksidase (Young dan Woodside, 2001).

2.5 Superoksida Dismutase (SOD)

Superoksida dismutase adalah salah satu enzim yang berperan sebagai

antioksidan dalam tubuh. Aktivitas SOD dapat dijadikan acuan pengukuran

tingkat stres oksidatif dalam tubuh (Pavani dkk., 2012). Sebagai antioksidan, SOD

bekerja mengkatalisa radikal superoksida yang terdismutasi menjadi hidrogen

peroksida. Di bawah ini adalah contoh rekasi katalisis yang dimaksud.

O2- + O2- + 2H H2O2 + O2

Sekresi dan ekspresi gen antioksidan enzim, salah satunya SOD

dipengaruhi oleh siklus terang gelap. Perusakan siklus sirkadian melatonin

dengan cara pemaparan hewan coba pada cahaya terus menerus akan menurunkan

aktivtas antioksidan enzim pada malam hari, dimana biasanya antioksidan enzim
2
2

akan meningkat (Rodriguez dkk., 2004). Diduga, bahwa hal ini disebabkan oleh

hubungan melatonin dan antioksidan enzim, salah satunya SOD.

Pada manusia, kadar normal SOD adalah sebesar 242 4 mg/L pada

eritrosit, 548 20 g/L pada serum, dan 173 11 g/L pada plasma (Sun dkk.,

1988). Penurunan aktivitas SOD berhubungan dengan kejadian penyakit seperti

reumatoid artritis, anemia fanconi, katarak, infeksi saluran pernapasan, infertilitas

(Winarsi, 2007).

Enzim Superoksida dismutase memiliki 3 tipe, yaitu:

a. Copper Zinc Superoksida dismutase (CuZnSOD)

Terletak dalam sitoplasma dan organel dengan ukuran 32.000 kDA.

Memiliki dua sub unit protein dengan kandungan atom tembaga dan zinc.

CuZnSOD disebut juga sebagai SOD1. CuZnSOD berperan penting dalam sistem

pertahanan tubuh terhadap radikal bebas. Satu unit CuZnSOD diartikan sebagai

banyaknya enzim yang dibutuhkan untuk menghambat autooksidasi pirogalol

sebanyak 50 % (Young dan Woodside, 2001).

b. Mangan Superoksida Dismutase (MnSOD)

Terdapat di dalam mitokondria, MnSOD menjadi antioksidan utama dalam

menghambat kerja superoksida di dalam mitokondria. Terdiri dari 4 sub unit

dengan atom mangan dan memiliki ukuran sebesar 40.000 kDA. Merupakan tipe

SOD terbanyak yang didapat pada cairan ekstraseluler. MnSOD disintesis terbatas

oleh beberapa sel, diantaranya sel endotel dan fibroblast (Young dan Woodside,

2001).

c. Ferrum Superoksida Dismutase (FeSOD)


2
3

FeSOD merupakan enzim yang banyak ditemukan pada organisme

prokaryot yaitu tumbuhan dan bakteri. FeSOD memiliki struktur kimia berupa

tiga ion besi yang berikatan dengan tiga histidin, satu aspartat, dan satu molekul

air (Lah dkk., 1995).

2.6 Hormon

2.6.1 Tinjauan Hormon Secara Umum

Sistem endokrin berperan mengatur metabolisme tubuh manusia. Sistem

ini akan mengeluarkan zat yang disebut hormon dari kelenjar kelenjar yang

endokrin. Hormon-hormon akan menyebabkan perubahan fisiologik dan biokimia

yang menjadi perantara berbagai pengaturan tubuh. Ketika hormon disekresikan

melalui aliran darah, hormon akan dibawa ke jaringan tujuan dimana hormon

akan terikat dengan reseptor hormon dan bekerja sesuai dengan fungsinya. Efek

dari sistem hormonal umumnya berupa pengaturan reaksi enzimatik yang

berlangsung terus menerus.

2.6.2 Jenis Jenis Hormon

Hormon diproduksi oleh kelenjar kelenjar hormonal di dalam tubuh.

Kelenjar kelenjar hormonal dan hormon yang berperan dalam tubuh antara lain

(Pangkahila, 2007): Kelenjar hipofise anterior yang menghasilkan Growth

Hormone, Thyroid Stimulating Hormone (TSH), Adrenocorticotropic Hormone

(ACTH), Prolactin, Lutenizing Hormone (LH), dan Folicle Stimulating Hormone

(FSH), kelenjar hipofise posterior (Oksitosin), kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid,


2
4

kelenjar medulla adrenalis (epinefrin dan norepinefrin), kelenjar korteks adrenal

(kortisol dan aldosterone), kelenjar pankreas (insulin), ovarium (estrogen dan

progesteron), testis (testosteron), timus (hormon timus) dan badan pineal yang

menghasilkan melatonin.

2.7 Melatonin

2.7.1 Fisiologi Melatonin

Kelenjar Pineal

Gambar 2.6 Kelenjar Pineal (Putz dan Pabst, 2000)

Melatonin merupakan hormon alami yang dihasilkan dalam tubuh yang

merupakan antioksidan poten (Reiter dkk., 1997). Melatonin dihasilkan di dalam

tubuh pada kelenjar pineal (Zawilska dkk., 2009). Beberapa sumber melatonin
2
5

selain kelenjar pineal adalah retina, kulit, usus, dan sumsum tulang belakang.

Kelenjar pineal terletak di tengah struktur otak di belakang ventrikel ketiga

(Dubocovich dkk., 2010). Dalam kelenjar pineal, terdapat dua tipe sel yaitu

pinealocytes, yang dibedakan menjadi terang dan gelap yang berfungsi

menghasilkan indolamin (terutama melatonin) dan peptida, dan sel neuroglial (Al-

Hussain, 2006).

Gambar 2.7 Biosintesis Melatonin (McGilion, 2002)

Melatonin atau yang juga disebut N-acethyl-5-methoxytryptamine

disintesis dari serotonin. Pada biosintesis melatonin yang diilustrasikan pada

Gambar 2.7, tryptophan yang sedang bersirkulasi diambil dan diubah menjadi 5-

hydroxytryptophan oleh tryptophan hydroxylase. 5-hydroxytryptophan kemudian

didekarboksilasi menjadi serotonin. Serotonin diubah menjadi melatonin melalui

rangkaian proses yang melibatkan enzim N-acetyl-transferase (NAT) sebagai

pembatas sintesis melatonin dan enzim hydroxyindole-O-methyl-transferase

(HIOMT) (McGilion, 2002). Aktivasi kedua enzim ini ditentukan oleh mRNA
2
6

yang dipengaruhi oleh siklus siang malam. Pembentukan melatonin juga

dipengaruhi oleh beberapa komponen nutrisi, yaitu:

a. Asam folat dan vitamin B6, yang merupakan koenzim tryptophan

Dekarboksilase.

b. Fluvoxamine, yang merupakan penghambat reuptake serotonin.

Gambar 2.8 Pengaturan Irama Sirkadian dan Melatonin (Cardinali dan


Pevet, 1998)

Melatonin melakukan banyak fungsi fisiologisnya dengan bekerja pada

reseptor membran dan nukleus. Namun, banyak dari fungsi tersebut yang tidak

tergantung pada reseptor, seperti perlawanan terhadap radikal bebas, dan

berinteraksi dengan protein sitosol misalnya calmodulin. Melatonin memiliki dua

reseptor yaitu MT1 dan MT2 yang merupakan reseptor reseptor membran yang

memiliki tujuh domain membran dan termasuk dalam keluarga besar dari reseptor

reseptor G protein-coupled. Aktivasi dari reseptor ini akan menginduksi

berbagai respon yang dimediasi oleh pertussis-sensitive dan insensitive G


2
7

proteins. Sementara di dalam sitosol, melatonin berinteraksi dengan calmodulin.

Nuclear binding receptors telah diidentifikasikan di dalam limfosit dan monosit

manusia (Srinivasan dkk., 2005).

Sekresi melatonin menngikuti irama sirkadian dan dapat dipengaruhi oleh

siklus terang gelap, dimana pada kondisis gelap pinealocytes akan mensekresi

melatonin. Sekresi melatonin dimulai pada pukul 22.00 23.00 dan memuncak

pada 03.00 04.00. Konsentrasi terendah melatonin didapatkan pada pukul 07.00

09.00 pagi. Konsentrasi melatonin sangat bergantung pada umur. Bayi yang

berumur kurang dari 3 bulan mensekresi melatonin dalam jumlah yang sangat

kecil dan menjadi teratur setelah 3 bulan kelahiran. Sekresi melatonin pada bayi

berumur kurang dari 3 bulan belum optimal. Sekresi ini menjadi semakin teratur

setelah usia 3 bulan yang kemudian meningkat mengikuti irama sirkadian pada

usia 5 6 bulan. Sekresi melatonin tertinggi (rata - rata 250 pg/ml) adalah pada

umur 1-3 tahun. Mendekati usia pubertas, sekresi melatonin akan mulai

berkurang. Pada orang dewasa muda normal, rerata sekresi melatonin pada siang

hari berkisar pada 10 pg/ml dan 60 pg/ml pada malam harinya. Siklus harian

melatonin sebanding dengan siklus pagi hingga malam dan bertahan pada subjek

normal jika menetap di suasana gelap (Buscemi dkk., 2004).

Sekitar 90% melatonin pada manusia diekskresi dari dalam tubuh melalui

hepar, dimana sel hepar membentuk 6-hydroxymelatonin sebagai sisa

metabolisme yang kemudian diubah menjadi 6-sulfatoxymelatonin dan

glucuronide. Sejumlah kecil melatonin akan dibuang melalui urin dan air liur

(Buscemi dkk., 2004).


2
8

2.7.2 Fungsi dan Manfaat Melatonin

Melatonin dikenal luas karena kegunaannya sebagai zat aktif untuk

membantu gangguan tidur. Melatonin banyak digunakan pada pada kasus jet lag

dan delayed sleep phase syndrome. Sebelumnya, telah diketahui bersama efek

mealtonin pada gangguan tidur dan dampak gangguan tidur pada kesehatan dan

percepatan penuaan (Goldman dan Klatz, 2005).

Melatonin merupakan sebuah antioksidan yang sangat poten. Bahkan

dalam dosis kecil, melatonin mampu menetralisir radikal bebas dan menghambat

terjadinya stres oksidatif. Efek antioksidan melatonin dilakukan oleh melatonin itu

sendiri dan melalui metabolit metabolitnya (Tan dkk., 2007). Melatonin juga

digunakan sebagai pencegah bahaya radiasi ionisasi di Jepang (Reiter dkk., 2001).

Sebagai antioksidan, melatonin terbukti dapat menetralisir radikal

hidroksil dan peroksinitrit. Selain itu, melatonin juga terbukti dapat menetralisir

singlet oksigen, O2, hidrogen peroksida, dan nitric oxide walaupun aktivitasnya

kurang potensial (Inarrea dkk., 2012). Melatonin juga memiliki efek perlindungan

terhadap radikal bebas. Zat ini ditemukan di beberapa organ penting yang sering

mengalami stres oksidatif seperti otak (Galano dkk., 2011).

Melatonin mempengaruhi tingkat antioksidan enzim, salah satunya yaitu

SOD. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ozturk dkk. (2000) pemberian

melatonin meningkatkan aktivitas enzim SOD pada hepar tikus. Penurunan kadar

metabolit melatonin yaitu 6-Sulfatoxymelatonin akan menurunkan aktivitas

CuZnSOD dan meningkatkan kadar LDL serta MDA (Vijayasarthy, 2010).

Melatonin juga berperan dalam menetralisir radikal bebas melalui peningkatan


2
9

aktivitas SOD1 atau CuZnSOD melalui jalur sitokrom mitokondria P450 pada

intermembran mitokondria (Inarrea dkk., 2012). Melatonin juga meningkatkan

ekspresi gen SOD melalui peningkatan level mRNA pada sel PC12 dan sel

neuroblastoma secara invitro (Mayo dkk., 2012). Hal ini menjelaskan adanya

hubungan antara melatonin dan SOD dalam aktivitasnya sebagai antioksidan dan

stres oksidatif.

Cara kerja peningkatan aktivitas SOD oleh melatonin secara pasti belum

diketahui hingga saat ini. Namun berdasarkan penelitian penelitian terdahulu,

dapat dikemukakan beberapa kemungkinan, yaitu (Rodriguez, 2004):

1. Melatonin mengaktivasi reseptor MT1/2 melalui protein penghambat Gi

sehingga menghambat adenilat siklase dan menekan cAMP. Hal ini akan

menghambat Potein Kinase A dan respon cAMP terhadap pengikatan

CREB ATF. Hal ini berujung pada modulasi transkripsi Immediate

Early Gene (IEG) dan transkripsi gen SOD.

2. Melatonin sebagai antioksidan secara langsung akan mengubah status

redoks pada sel yang dapat mereduksi protein dan memulai transkripsi

gen.

3. Melalui reseptor MT1/2, melatonin akan mengaktivasi phospholipase C

pathway dan memfosforilasi Protein Kinase C sehingga mengaktivasi

CREB/ATF dan menginduksi transkripsi IEG.

4. MT1/2 dapat menghambat kompleks Kalsium Kalmodulin dan

menghambat Kalmodulin Kinase. Hal ini akan mengatur NF, Retinoic

Related Receptor (ROR) dan meningkatkan transkripsi gen.


3
0

2.8 Latihan Fisik Berlebih (Overtraining)

2.8.1 Latihan Fisik

Latihan atau olahraga sangat baik dan diperlukan untuk tubuh. Latihan

adalah suatu aktivitas yang dilakukan berulang ulang secara sistematis dalam

jangka panjang, yang bersifat individual dan digunakan untuk meningkatkan

sistem fisiologis dan kebugaran tubuh (Purnomo, 2011). Berolahraga akan melatih

otot otot tubuh, menurunkan massa lemak, mengeluarkan hormon endorfin, dan

meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta membangun ketahanan tubuh.

Olahraga kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan

masyarakat. Kesadaran berolahraga semakin meningkat terutama di kalangan

masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi.

Latihan fisik dikategorikan berdasarkan jenisnya menjadi tiga (Arthritis

Foundation, 2011), yaitu :

a. Latihan anaerobik. Terdiri dari dua macam latihan yaitu isometrik dan

isotonik. Latihan isotonik menguatkan otot dengan mengikutsertakan

pergerakan sendi. Sedangkan latihan isometrik menguatkan otot tanpa

melibatkan pergerakan sendi. Beberapa contoh latihan anaerobik adalah

latihan fungsional, lari cepat, dan latihan beban.

b. Latihan aerobik. Latihan ini merupakan latihan yang menggerakkan otot

otot besar tubuh secara berirama dan terus menerus. Latihan aerobik

berfungsi untuk menguatkan fungsi tubuh secara keseluruhan terutama fungsi


3
1

pernapasan, jantung dan pembuluh darah serta otot dan tulang. Beberapa

contoh latihan aerobik adalah berjalan, berlari, dan bersepeda.

c. Latihan fleksibilitas. Latihan ini biasa dilakukan sebelum dan sesudah latihan

fisik sebagai metode pemanasan dan pendinginan. Latihan fleksibilitas

disebut juga peregangan yang meningkatkan rentang gerak dari sendi dan

otot. Peregangan membantu melindungi sendi dan otot dari trauma saat

latihan fisik berlangsung dan sebagai metode relaksasi di akhir latihan.

Masing masing program latihan memiliki volume, intensitas, dan durasi.

Intensitas suatu latihan dapat diketahui dengan menghitung denyut jantung

berlebih atau Target Heart Rate, yaitu jumlah denyut jantung permenit selama

melakukan aktivitas fisik berlebih (Deborah, 2006). Rumus yang digunakan

adalah HR max = 220 usia. Berdasarkan intensitasnya, latihan dikelompokkan

menjadi (Sukadiyanto, 2005):

a. Low, Heart Rate : 30 % - 50%

b. Intermediate, HR : 50 % - 70%

c. Medium, HR : 70 % - 80 %

d. Subberlebih, HR : 80 % - 90%

e. Berlebih, HR : 90 % - 100 %

2.8.2 Peranan Latihan Fisik Pada Tubuh

Olahraga ternyata dapat membawa efek berbahaya bagi tubuh. Pada saat

berolahraga, tubuh akan membutuhkan banyak energi. Tubuh akan melakukan

kompensasi dengan meningkatkan produksi energinya melalui rantai pernapasan.


3
2

Peningkatan fungsi pernapasan akan menghasilkan radikal bebas seperti radikal

superoksida sebagai hasil sampingannya. Radikal bebas ini dapat memicu

kerusakan pada sel dan struktur lipid, asam amino, dan protein (Cooper, 2001).

Pada latihan atau olahraga sedang, tubuh sebenarnya sedang membangun

ketahanannya terhadap radikal bebas. Secara bertahap, tubuh akan terbiasa dengan

kondisi tersebut sehingga akan memicu respon balik berupa peningkatan produksi

antioksidan endogen. Pada latihan sedang, tubuh akan memperbanyak jumlah

enzim oksidasi dan jumlah serta ukuran mitokondria. Selain itu, latihan fisik jenis

ini dapat menurunkan denyut jantung saat olahraga, meningkatkan efisiensi sistem

pernapasan, sistem hormon dan saraf serta meningkatkan aliran darah ke otot

(Sharkey, 2003).

Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga dengan intensitas rendah.

Olahraga ini adalah program olahraga yang paling efektif, termasuk dalam

pertahanan terhadap radikal bebas (Cooper, 2001). Latihan yang teratur dengan

intensitas yang sesuai dapat mencegah berbagai penyakit kronis seperti diabetes,

kanker, dan serangan jantung. Latihan yang sesuai juga mampu memperpanjang

usia dan meningkatkan kualitas hidup (Sharkey, 2003). Untuk mendapatkan hasil

optimal dan risiko minimal pada pelatihan diperlukan kondisi lingkungan yang

memadai dan dosis pelatihan yang tepat untuk setiap individu. Dosis ini mengikuti

aturan FITT, yaitu Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi yang disarankan

adalah tiga hingga lima kali per minggu dengan intensitas kurang lebih 60-85%

dari denyut jantung berlebih, dengan cara pengukuran yaitu: 220 umur (dalam

tahun). Latihan yang baik dimulai dengan pemanasan selama 15 menit, dan
3
3

diakhiri dengan pendinginan selama 10 menit (Pangkahila, 2009).

2.8.3 Latihan Fisik Berlebih

Tingginya manfaat akan olahraga hanya bisa dicapai bila terjadi

keseimbangan akan beban latihan dan proses regenerasi. Bila beban latihan telah

melampaui proses tersebut, maka tubuh mecapai proses overtraining atau latihan

fisik berlebih.

Pelatihan fisik berlebih seringkali akibat dari (Hatfield, 2001):

a.Volume latihan terlalu banyak.

b.Intensitas pelatihan terlalu tinggi.

c. Durasi pelatihan terlalu panjang.

d. Frekuensi pelatihan terlalu sering

Peningkatan produksi radikal bebas pada latihan fisik dengan intensitas

tinggi menjadi salah satu hal alasan mengapa hal ini harus dihindari. Latihan yang

melebihi kapasitas tubuh dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan, seperti

penuaan dini, kanker, gangguan jantung, gangguan imunitas tubuh, dan lain lain

(Cooper, 2001).

Penemuan mengenai overtraining oleh Ralph Paffenbarger dalam suatu

penelitian pada 16.936 pria alumni Harvard, berusia 35 sampai 74 tahun

menunjukkan penutrunan angka kematian pada pria yang berolahraga secara

teratur. Namun, ternyata pada intesnitas tinggi atau olahraga yang membakar lebih

dari 3000 kalori per minggunya, angka kematian justru meningkat (Cooper,

2001). Hal ini menunjukkan kerugian overtraining dengan jelas.


3
4

Olahraga dengan intensitas tinggi justru membahayakan kemampuan fisik

tubuh. Latihan fisik berlebih atau overtraining adalah sekumpulan gejala dan

tanda yang menunjukan kelelahan mental dan fisik serta adanya penurunan

performa (Darmawan, 2012). Pada keadaan overtraining terjadi peningkatan laju

metabolisme dan penurunan tingkat pengembalian denyut nadi pelatihan ke

denyut nadi istirahat (Hartmann dan Mester, 2000). Pada latihan dengan intensitas

tinggi akan terjadi peningkatan produksi radikal bebas secara masif dan memicu

terjadinya lipid peroksidasi. Lipid peroksidasi adalah pembentukan radikal bebas

secara berantai, dimana radikal bebas sekunder terus terbentuk. Hal ini berujung

pada perusakan makromolekul oleh radikal bebas karena ketidakmampuan tubuh

memproduksi antioksidan secara seimbang untuk menghambat aktivitas oksidan

tersebut (Harman, 2003).

Keadaan overtraining atau latihan fisik berlebih terbagi menjadi dua yaitu

kondisi akut dan kronis. Pada latihan fisik berlebih akut akan terjadi gangguan

metabolisme intramuscular sehingga menurunkan kemampuan pelatihan fisik

berlebih, kelelahan, dan penurunan kemampuan berkompetisi. Sementara pada

keadaan overtraining kronis akan berujung pada perubahan komponen darah,

gangguan sistem saraf otonom dan hormon sehingga mempengaruhi metabolisme

seluruh tubuh secara sistematis (Cunha dkk., 2006).

Overtraining akan menyebabkan kelelahan yang sukar dihilangkan. Selain

itu, beberapa gejala overtraining lainnya adalah: insomnia, depresi, berkurangnya

motivasi diri, menurunnya nafsu makan, meningkatnya resiko kecelakaan, infeksi

berulang, gangguan pencernaan dan penurunan berat badan (Gleeson, 2002).


3
5

2.4.3 Hubungan Latihan fisik berlebihan dan Kerusakan karena Radikal

bebas

Pada orang dengan kesehatan prima, radikal bebas terbentuk perlahan

lahan dan akan dinetralisir oleh sistem antioksidan dalam tubuh untuk

menghindari stres oksidatif. Pada saat pembentukan radikal bebas ini meningkat,

seperti pada overtraining, sistem antioksidan tidak dapat mengantisipasi radikal

bebas yang terbentuk sehingga radikal bebas mulai menyerang tubuh dan

mengganggu sistem fisiologis tubuh (Cooper, 2001).

2.8.4 Pembentukan Radikal Bebas pada Latihan Fisik Berlebih

Saat olahraga, radikal bebas terbentuk melalui dua cara, yaitu :

1. Pelepasan Elektron

Ketika tubuh berolahraga dengan intensitas tinggi, tubuh akan

mengkompensasi dengan meningkatkan respirasi karena adanya peningkatan

kebutuhan oksigen sebesar 100 200 kali lebih tinggi dari keadaan normal.

Peningkatan sistem pernapasan ini akan memicu pengeluaran radikal bebas secara

berlebihan terutama radikal superoksida (Clarkson, 2000; Cooper, 2001; Sauza,

2005).

2. Fenomena Reperfusion Injury

Ketika tubuh berolahraga dengan intensitas tinggi, darah akan dialirkan

terutama pada otot otot rangka. Sementara itu, organ organ lainnya akan

mengalami hipoksia sementara. Kondisi hipoksia jaringan ini akan berakibat pada
3
6

iskemia pembuluh darah dan menyebabkan perubahan xantin dehirogenase

menjadi xantin oksidase yang bersifat irreversibel (Cooper, 2001).

Saat istirahat, pembentukan xantin oksidase akan merangsang reoksigenasi

jaringan. Pembentukan oksigen yang mendadak dalam jumlah banyak

menyebabkan peningkatan pembentukan radikal bebas. Hal ini dikenl dengan

nama reperfusion injury (Cooper, 2001).

Terdapat berbagai penanda diagnosis untuk latihan fisik berlebih. Pemeriksaan

yang tersedia adalah untuk mengukur respon biomarker terhadap latihan

(Margonis dkk., 2007). Salah satunya adalah dengan mengukur hasil sampingan

peroksidasi lipid atau proses oksidasi lemak yaitu thiobarbituric acid reactive

substance (TBARS) (Cooper, 2001; Cadenas dan Packer, 2002).

Kadar antioksidan dipengaruhi oleh stres fisik maupun mental.

Antioksidan alami seperti Gluthathione peroksidase, katalase, dan SOD menurun

kadarnya setelah latihan fisik berlebih kronis. Kadar SOD juga mengalami

penurunan drastis pada pemberian stres akut (Sen dkk., 2000).


3
7

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Salah satu gaya hidup yang tidak sehat adalah aktivitas fisik berlebih.

Olahraga yang dilakukan secara berlebihan dapat memicu pembentukan radikal

bebas dalam kadar tinggi. Radikal bebas ini terbentuk melalui proses pernapasan

dan fenomena reperfusion injury.

Aktivitas radikal bebas dapat ditekan oleh antioksidan. Antioksidan

terbagi menjadi tiga macam yaitu antioksidan primer, sekunder, dan tersier.

Antioksidan primer adalah antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh kita sendiri.

Salah satu antioksidan primer yang berperan dalam tubuh adalah Superoksida

Dismutase (SOD). SOD merupakan enzim yang terdapat dalam tubuh secara

alami. Terdapat 3 macam SOD, yaitu CuZnSOD yang terdapat di dalam sitosol,

MnSOD yang terdapat dalam mitokondria, dan EC-SOD yang terdapat pada ruang

ekstraseluler. SOD sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk menetralisir radikal bebas

terutama senyawa oksigen reaktif seperti radikal superoksida. Pada aktivitas fisik

berlebih kronis akan terjadi penurunan kadar SOD dalam tubuh yang berakibat

pada penurunan kemampuan tubuh untuk menteralisir radikal superoksida. Hal ini

memicu tubuh untuk mengalami stres oksidatif.

Melatonin merupakan salah satu hormon tubuh. Melatonin terutama

berperan sebagai pengatur irama sirkadian tubuh dan antioksidan, Sebagai

37
3
8

antioksidan, melatonin berperan meningkatkan kerja antioksidan alami seperti

Katalase, Glutation peroksidase, dan Superoksida dismutase. Peningkatan kadar

antioksidan oleh melatonin akan membuktikan efektivitas antioksidan melatonin.

Pada penelitian ini, Superoksida dismutase digunakan sebagai marker pengukuran

aktivitas melatonin dalam meningkatkan kadar antioksidan. Peningkatan aktivitas

SOD oleh melatonin akan membantu tubuh untuk mengatasi radikal superoksida

dan menjaga keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Selain itu melatonin

juga bekerja secara lansgung sebagai antioksidan dengan cara menangkap radikal

bebas dan menetralisirnya.


3
9

3.2 Konsep Penelitian

Melatonin

Faktor Internal Faktor


Genetik Eksternal
Hormonal
Makanan
Metabolisme
Stress
Tubuh
Daya Tahan
Tubuh

Tikus putih galur wistar


dengan Aktivitas Fisik
Berlebih

Kadar Superoksida Dismutase

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Pemberian Melatonin menghambat penurunan aktivitas Superoksida

Dismutase pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar jantan dengan

aktivitas fisik berlebih.


40

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan menggunakan

Pre and Post Control Group Design (Pocock, 2008). Rancangan penelitian

digambarkan dengan skema sebagai berikut ini:

P0

O1 O3

P S R P1

O2 O4
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian

Keterangan:

P = Populasi

S = Sampel

R = Random (Metode Simple Random Sampling dengan penomoran)

O1 = Observasi aktivitas superoksida dismutase sebelum perlakuan P0

O2 = Observasi aktivitas superoksida dismutase sebelum perlakuan P1

P0 = Pemberian plasebo pada tikus putih galur wistar selama 7 hari dan aktivitas

fisik

berlebih selama 7 hari

P1 = Pemberian melatonin 1,5 mg pada tikus putih galur wistar selama 7 hari dan

aktivitas fisik berlebih selama 7 hari

40
4
1

O3 = Observasi aktivitas superoksida dismutase sesudah perlakuan P0

O4 = Observasi aktivitas superoksida dismutase sesudah perlakuan P1

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratory Animal Unit Bagian

Farmakologi dan Laboratorium Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana, Bali, Indonesia.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 2 minggu pada 15 - 29 Desember 2014,

dengan rincian sebagai berikut:

7 hari untuk aklimatisasi

5 hari untuk program berenang selama 120 menit setiap hari dan pemberian

melatonin

Sepuluh hari untuk pemeriksaan superoksida dismutase, analisis data, dan

penyusunan laporan

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Kriteria Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar

yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut :

Kriteria Inklusi :

Sehat

Jantan
4
2

Usia 3 bulan

Berat 150 200 gram

Kriteria Drop Out :

Tikus mati selama penelitian berlangsung

4.3.2 Besaran Sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Pocock berikut ini (Pocock,

2008) : 22
f(,
n=
(2 - )
2
1)

Keterangan :

n = Besar Sampel

2 = Rerata hasil sesudah perlakuan

1=Rerata hasil sebelumperlakuan

= Simpangan baku kontrol

= Tingkat kesalahan I (0,05)

= Tingkat kesalahan II (0,10)

f (,) = Besarnya dilihat pada tabel Pocock (10,5)

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan peneliti

sebelumnya (Silvani, 2014), diperoleh rerata aktivitas SOD pada kelompok

melatonin 10 mg/KgBB selama 5 hari pre test = 99,23 U/ml. Rerata aktivitas SOD

kelompok melatonin 10 mg/KgBB selama 5 hari post test = 93,08 U/ml dan
4
3

simpang baku aktivitas SOD = 6,67. Perhitungan sampel dalam penelitian ini

menggunakan = 0,05 dan = 0,10 sehingga diperoleh jumlah sampel menurut

perhitungan di bawah ini :

n= 2(6,67)2 x 10,5 = 7
(99,23- 93,08)2

4.4 Teknik Penentuan Sampel

Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat sesuai kriteria inklusi

diambil secara acak dan sederhana, untuk mendapatkan jumlah sampel yang

sesuai dengan yang didapat melalui perhitungan Rumus Pocock yaitu minimal

sebanyak 7 ekor untuk masing masing kelompok.

4.5 Variabel Penelitian

4.5.1 Klasifikasi Variabel

Variabel Bebas : Melatonin

Variabel Tergantung : Aktivitas Superoksida dismutase

Variabel Terkendali : Varian, umur, berat badan, jenis kelamin tikus.

Pencahayaan, suhu, kelembaban kandang,

makanan
4
4

Variabel Bebas Variabel


Tergantung
Melatonin
Aktivitas
Superoksida

Variabel Terkendali
Varian Tikus
Jenis kelamin, umur, berat
badan tikus
Pencahayaan, suhu,
kelembaban kandang
Diet Standar

Gambar 4.2 Bagan Hubungan Antar Variabel

4.5.2 Definisi Operasional Variabel

1. Melatonin adalah salah satu jenis hormon dan prekursor yang dihasilkan oleh

kelenjar pineal pada malam hari dan traktus gastrointestinal pada siang hari.

Pada penelitian ini digunakan preparat melatonin dengan merk TwinLab yang

diproduksi oleh ISI Brand USA dan diimpor oleh PT Natural Nutrindo

Jakarta. Dosis melatonin yang digunakan pada tikus putih galur wistar adalah

10mg/KgBB sehingga pada penelitian dengan berat tikus minimal 150 gram,

dosis melatonin yang dipakai adalah 1,5 mg per hari. Pemberian melatonin

dilakukan dengan cara melarutkan 1,5 mg serbuk melatonin ke dalam

aquadest hingga 1 ml dan kemudian diberikan menggunakan sonde lambung

(Shida dkk., 1994).


4
5

2. Plasebo adalah substansi atau preparat yang bukan merupakan zat aktif dan

digunakan sebagai suatu kontrol dalam penelitian untuk menentukan

efektivitas obat atau regimen terapi yang digunakan. Plasebo dalam penelitian

lini adalah aquadest yang diberikan per oral menggunakan sonde lambung

dengan volume 1 ml per hari, diberikan secara ad libitum setiap hari pada

malam hari (antara pukul 18.00 19.00 WITa) menggunakan sonde lambung.

3. Superoksida dismutase adalah salah satu jenis antioksidan yang dihasilkan

oleh tubuh. Aktivitas SOD merupakan salah satu acuan pengukuran tingkat

stres oksidatif. SOD bekerja dengan cara menetralisir radikal superoksida

yang banyak dihasilkan pada aktivitas fisik berlebih. Aktivitas SOD diukur

dengan menggunakan spektrofotometri dan SOD Assay Kit. SOD Assay Kit

yang digunakan pada penelitian ini berasal dari perusahaan Biovision dengan

merk Biovision.

4. Diet Standar adalah pakan hewan coba yang diberikan secara teratur yang

dosisnya mengikuti standar dosis keseharian makanan yang dibutuhkan oleh

tikus yang pada penelitian ini diberikan menggunakan HPS 511sebanyak 2 x

10 gram per hari dan pemberian minum secara ad libitum.

5. Tikus yang dipakai dalam penelitian adalah tikus putih (Rattus norvegicus)

galur wistar, berkelamin jantan, berumur tiga bulan, berat 150 160 gram.

6. Berat badan tikus adalah kekuatan tubuh tikus secara vertikal yang

dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan diukur melalui penimbangan dengan

timbangan khusus merk Shunle sebagai salah satu syarat homogenitas

sampel. Berat badan tikus yang dipilih adalah 150 160 gram.
4
6

7. Umur tikus ditentukan dengan melihat tanggal kelahiran yang telah dicatat

oleh dokter hewan pada kandang binatang percobaan. Umur tikus putih galur

wistar yang dipakai adalah 12 minggu.

8. Aktivitas Fisik Berlebih pada penelitian ini dilakukan dengan cara

merenangkan tikus selama 120 menit dalam ember berdiameter 30 cm berisi

air setinggi 20 cm selama 5 hari. Pemberian aktivitas fisik berlebih ini

ditujukan untuk menurunkan SOD (Silvani, 2014).

4.6 Bahan dan Alat Penelitian

4.6.1 Bahan Penelitian

1. Melatonin dari TwinLab

2. Darah tikus putih galur wistar dari vena canthus medialis sebanyak 1 ml

3. Aquadest

4. Anestesi (Ketamin dan Xylazin)

5. SOD Assay Kit merk Biovision

6. Pakan Tikus HPS 511

7. Masker

8. Sarung tangan
4
7

4.6.2 Alat Penelitian

1. Kandang

2. Ember berdiameter 30 cm

3. Tabung evendof

4. Tabung EDTA

5. Tabung Evendof

6. Pipet kapiler hematocrit

7. Spuit 1 cc

8. Spuit 3 cc

9. Sonde

10. Tabung mikropipet 1.5 cc

11. Centrifuge

12. Microplate reader

13. Timbangan digital untuk melatonin

14. Sungkup untuk penatalaksanaan waktu penghentian paparan cahaya

15. Kamera digital untuk dokumentasi

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Pengambilan subjek dan jumlah subjek penelitian

Sampel diambil dari populasi total yang memenuhi kriteria penerimaan

subjek penelitian. Berdasarkan hal tersebut maka :

a. Sampel tikus jantan adalah varian Rattus norvegicus galur wistar berwarna

putih.
4
8

b. Usia 12 minggu karena pada usia ini tikus dianggap telah dewasa dan dapat

makan serta minum sendiri. Pada usia ini, tikus juga dianggap mampu

menerima beban aktivitas fisik berlebih. Usia 12 minggu juga menunjukkan

bahwa tikus berada pada fase produktif

c. Tikus jantan (galur wistar) yang digunakan pada penelitan ini sebanyak 14

ekor.

d. Tikus jantan (galur wistar) dibagi menjadi 2 kelompok masing masing

berjumlah 7 ekor.

e. Tikus jantan (galur wistar) diadaptasi selama 7 hari, dan masing-

masingtikus dari setiap kelompok ditimbang berat badannya. Berat badan

tikuswistar harus berada dalam kisaran 150 160 gram.

f. Kelompok P1 (Perlakuan 1) terdiri dari 7 ekor tikus jantan (galur wistar)

yang diberi plasebo dan diberikan aktivitas fisik berlebih.

g. Kelompok P2 (Perlakuan 2) terdiri dari 7 ekor tikus jantan (galur wistar)

yang diberi melatonin dan aktivitas fisik berlebih.

h. Bila tikus sakit, tikus dieksklusi dan dikonsulkan ke dokter hewan.

i. Setelah penelitian selesai, hewan coba disumbangkan ke FK Udayana untuk

pemeliharaan selanjutnya.

4.7.2 Perhitungan dosis hormon melatonin untuk subjek penelitan

Melatonin didapatkan dari TwinLab. Penulis memilih perusahaan ini

karena proses pembuatannya yang sudah mendapat sertifikat GMP (Good


4
9

Manufacturing Process) dan produk sudah terdaftar di BPOM. Bahan yang

dipakai adalah Melatonin murni.

Dosis melatonin pada percobaan ini mengikuti dosis melatonin pada tikus

berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Ozturk dkk. (2000) yaitu sebesar

10mg/kgBB. Jika berat badan tikus jantan adalah 150 gram = 0,15 kg (dosis

untuk 1 kg berat badan adalah 10 mg), maka dosis untuk 0,15 kg berat badan

adalah 1,5 mg.

Jadi setiap tikus mendapatkan satu setengah kapsul per hari dimana7 tikus

= 10,5 kapsul dilarutkan dengan 7 ml aquadest. Kemudian diberikan pada masing

masing tikus melalui sonde sebanyak 1 ml/hari.

4.7.3 Perhitungan waktu penghentian paparan cahaya setelah konsumsi

melatonin

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ozturk dkk.

(2000) tentang pemberian melatonin pada tikus maka digunakan waktu 1 jam

sebelum paparan cahaya dihentikan. Satu jam setelah melatonin diberikan,

kandang tikus ditutup untuk menghentikan paparan cahaya selama minimal 8 jam

(jumlah waktu tidur yang baik pada manusia) sehingga tikus akan berada dalam

situasi gelap gulita untuk meningkatkan kerja hormon melatonin.

4.7.4 Perhitungan dosis latihan fisik untuk subjek penelitian

Aktivitas fisik berlebih ditujukan untuk memicu stres oksidatif pada tikus.

Pada penelitian mengenai aktivitas fisik berlebih pada tikus yang pernah
5
0

dilakukan sebelumnya, didapatkan waktu renang berlebih berkisar di waktu

rentang 120 menit (Smitha dan Mukkadan, 2014). Penelitian ini dilakukan dengan

cara merenangkan tikus pada air dalam ember dengan diameter 30 cm dan tinggi

20 cm selama 120 menit dalam 5 hari. Setelah perlakuan, tikus diletakkan di atas

kandang beralas handuk agar hangat dan diberikan makanan serta minuman untuk

memulihkan energi.

4.7.5 Plasebo yang diberikan pada tikus

Plasebo yang akan diberikan pada tikus yaitu aquades sebanyak 1 ml/hari

untuk masing masing tikus. Pemberian plasebo dilakukan secara ad libitum

dengan menggunakan sonde lambung.

4.7.6 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium

Pemantauan keselamatan tikus jantan (galur wistar) di laboratorium

(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988) antara lain :

a. Kandang tikus jantan (galur wistar) harus cukup kuat tidak mudah rusak,

mudah dibersihkan (kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah

lepas, harus tahan gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur

harus mudah menyerap air, pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam

padi.

b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan

fisiologi tikus jantan (galur wistar) dengan suhu 20 26 C, dan kelembaban

dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari.


5
1

c. Untuk tikus jantan (galur wistar), luas lantai tiap ekor tikus jantan (galur

wistar) adalah 900 cm2, tinggi 20 cm.

d. Pemberian makanan untuk tikus dengan HPS 511 dengan dosis 2 x 10 gram

secara ad libitum dan pemberian minum sesuai kebutuhan.

e. Tikus putih jantan (galur wistar) harus diperlakukan dengan kasih sayang.

4.7.7. Pengambilan Sampel

a. Anestesi disiapkan dengan cara mencampurkan ketamine sebanyak 0,05 cc

dan xylazin 0,05 cc pada spuit 1 cc. Anestesi diinjeksikan pada vastus

lateralis.

b. Tikus yang telah dianestesi diistirahatkan pada tempat terpisah hingga efek

anestesi bekerja.

c. Darah vena diambil pada canthus medialis salah satu mata dengan spuit 1

cc dan pipet hematokrit.

d. Darah dialirkan ke tabung EDTA melalui dinding tabung secara perlahan.

e. Tutup tabung rapat rapat.

4.7.7 Pengukuran Kadar Superoksida dismutase (Protokol SOD Assay)

a. Lakukan sentrifugasi pada tabung sampel setelah 1 jam pengambilan

darah pada centrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Ambil

plasma sebanyak 300 L menggunakan pipet dan masukan kedalam

tabung 1.5 ml.


5
2

b. Sebanyak 20 L sample solution ditambahkan untuk tiap sampel dan blank

2, dan tambahkan 200 L H2O untuk masing masing blank 1 dan 3.

c. Sebanyak 200 L WST Working Solution ditambahkan untuk masing

masing blank.

d. Kemudian, sebanyak 20 L Dilution Buffer ditambahkan untuk blank 2

dan blank 3.

e. Sebanyak 20 L Enzyme Working Solution ditambahkan untuk setiap

sampel dan blank 1 dengan mempergunakan Multiple Channel pipette.

Kemudian dicampur dengan cara menggoyang perlahan microplate.

f. Setelah itu, sampel diinkubasi pada suhu 37 C selama 20 menit.

g. Lalu, letakkan microplate ke dalam spektrofotometer. Pada layar monitor

akan muncul angka sebagai hasil pembacaan. Pembacaan oleh alat ini pada

prinsipnya berdasarkan dari tingkat perubahan warna. Tingkat perbedaan

warna ini menentukan seberapa banyak cahaya yang diserap, kemudian

dipresentasikan dalam bentuk angka oleh alat spektrofotometer. Hasil yang

didapatkan dari pembacaan spektrofotometer untuk masing masing

sampel dengan bantuan rumus SOD Assay Kit, didapatkan persentase SOD

aktif.

h. Rumus aktivitas SOD (Tingkat Inhibisi) =

(Ablank1 Ablank3) (Asample Ablank2) x 100

(Ablank1 Ablank3)
5
3

4.8 Alur Penelitian

14 ekor tikus Rattus norvegicus jantan usia 3 bulan

Tikus adaptasi selama 1 minggu

Pre Test SOD Pre Test SOD


Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan

Kelompok Kelompok Perlakuan

Kontrol Tikus Tikus direnangkan

direnangkan salaam 120 menit lalu

selama 120 menit diberikan melatonin 1,5

lalu diberikan mg yang dilarutkan

larutan Aquadest 1 dalam Aquadest hingga

mL, hal ini 1 mL, hal ini dilakukan

dilakukan setiap setiap hari selama 5 hari

hari selama 5 hari

Pengukuran Aktivitas Superoksida dismutase (Post Test)

Gambar 4.3 Bagan Alur Penelitian


5
4

4.9 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah langkah sebagai berikut:

Analisis Deskriptif

15.9.1 Analisis normalitas data dengan Uji Shapiro Wilk, didapatkan data

berdistribusi normal (p< 0,05).

15.9.2 Uji homogenitas dilakukan dengan Levenes Test dan didapatkan data

homogen (p> 0,05).

15.9.3 Karena data berdistribusi normal, maka untuk uji komparabilitas

digunakan:

- Uji T Independent pada taraf kemaknaan = 0,05 untuk membandingkan

rerata pre test dan post test kadar enzim Superoksida Dismutase antar

kelompok.

- Uji Paired T digunakan untuk membandingkan rerata kadar Superoksida

dismutase pre dan post masing masing kelompok.

15.9.4 Taraf kepercayaan dalam penelitian ini adalah 95 % ( = 0,05). Data

diolah dengan program SPSS Version 16 for windows.


55

BAB V

HASIL PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan tikus putih galur wistar putih jantan

sebanyak 14 ekor dengan berat badan sekitar 150 160 gram yang terbagi dalam

dua kelompok. Sebanyak 7 ekor tikus ditempatkan pada Kelompok Kontrol dan

mendapatkan perlakuan aktivitas fisik berlebih melalui perenangan selama 120

menit dan pemberian plasebo selama 5 hari. Sementara sebanyak 7 ekor tikus

lainnya ditempakan pada Kelompok Perlakuan dan mendapatkan perlakuan

berupa aktivitas fisik berlebih melalui perenangan selama 120 menit dan

melatonin oral sebanyak 1,5 mg selama 5 hari. Pada bab ini, akan diuraikan hasil

uji normalitas data dan uji efek perlakuannya.

5.1 Uji Normalitas Data

Data kadar aktivitas SuperOksida Dismutase pada Kelompok Kontrol dan

Kelompok Perlakuan diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk.

Hasilnya memperlihatkan bahwa data berdistribusi normal (p> 0,05) yang

ditunjukkan pada Tabel 5.1.

55
5
6

Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Aktivitas SOD Sebelum dan Setelah Perlakuan

Kelompok Subjek n p Keterangan


Kontrol Pre 7 0,42 Normal
Perlakuan Pre 7 0,67 Normal
Kontrol Post 7 0,87 Normal
Perlakuan Post 7 0,68 Normal

5.2 Uji Homogenitas Data

Data kadar aktivitas SuperOksida Dismutase pada Kelompok Kontrol dan

Kelompok Perlakuan diuji homogenisitasnya dengan menggunakan Levennes

test. Hasilnya menunjukkan bahwa data aktivitas SOD sebelum dan setelah

perlakuan homogen (p> 0,05) yang ditunjukkan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2
Hasil Uji Homogenitas Aktivitas SOD Antar kelompok Sebelum dan Sesudah
Diberikan Perlakuan

Kelompok F p Keterangan
Aktivitas SOD Pre 0,35 0,56 Homogen
Aktivitas SOD Post 1,87 0,19 Homogen

5.3 Aktivitas SuperOksida Dismutase

5.3.1 Analisis Komparasi Antar Kelompok

Analisis komparasi antar kelompok dilakukan terhadap hasil pre test dan

post test. Analisis komparasi pre test dilakukan berdasarkan nilai median antara

pre test Kelompok Kontrol dan pre test Kelompok Perlakuan. Sementara analisis

komparasi post test dilakukan berdasarkan nilai median antara post test Kelompok
5
7

Kontrol dan post test Kelompok Perlakuan. Kedua hasil analisis ini ditunjukkan

pada Tabel 5.3 dan 5.4.

Tabel 5.3
Hasil Uji Analisis Rerata Aktivitas SOD Sebelum Perlakuan

Kelompok n Rerata Aktivitas SOD SB p


(U/ml)
Kontrol 7 96,34 3,37
0,89
Perlakuan 7 96,59 3,06

Pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa rerata aktivitas SOD sebelum

perlakuan Kelompok Kontrol adalah 96,34 U/ml dan rerata Kelompok Perlakuan

(melatonin 10 mg) adalah 96,59 U/ml. Analisis dengan Uji T-independent

menghasilkan nilai p sebesar 0,89 U/ml. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan

bermakna di antara ke dua kelompok penelitian sebelum perlakuan (p> 0,05).

Tabel 5.4
Hasil Uji Analisis Rerata Aktivitas SOD Setelah Perlakuan

Kelompok n Rerata Aktivitas SOD SB p


(U/ml)
Kontrol 7 86,72 5,83
0,03
Perlakuan 7 96,15 3,19

Berdasarkan Tabel 5.4 di atas didapatkan bahwa rerata aktivitas SOD

setelah perlakuan Kelompok Kontrol adalah 86,72 U/ml, sementara pada

Kelompok Perlakuan (melatonin 10 mg) sebesar 96,15 U/ml. Analisis dengan Uji

T- Independent menghasilkan nilai p sebesar 0,03. Hal ini menyatakan bahwa


5
8

terdapat perbedaan bermakna pada aktivitas SOD kedua kelompok penelitian

setelah perlakuan (p< 0,05).

5.3.2 Analisis Komparasi Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan

Analisis komparasi diuji berdasarkan median antara sebelum dan

sesudah perlakuan pemberian aktivitas perenangan selama 120 menit dan

melatonin sebanyak 1,5 mg. Hasil analisis kemaknaan dengan uji T-paired

disajikan pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5
Hasil Uji Analisis Komparasi Aktivitas SOD Sebelum dan Sesudah
Perlakuan

Kelompok n Kadar Kadar Perbedaan Rerata SB p


Pre Post Aktivitas SOD
(U/ml) (U/ml) (U/ml)
Kontrol 7 96,34 86,72 9,62 7,27 0,013

Perlakuan 7 96,59 96,15 0,44 3,47 0,75

Berdasarkan Uji T-paired di atas dapat dilihat bahwa perbedaan rerata

aktivitas SOD pada Kelompok Kontrol adalah 9,62 U/ml dengan nilai p sebesar

0,013. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada aktivitas

SOD Kelompok Kontrol sebelum dan sesudah perlakuan (p< 0,05).

Pada Kelompok Perlakuan, didapatkan perbedaan rerata aktivitas SOD

sebelum dan sesudah penelitian sebesar 0,44 U/ml dengan nilai p sebesar 0,75.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada aktivitas

SOD Kelompok Perlakuan (melatonin 10 mg) sebelum dan sesudah perlakuan (p>

0,05).
59

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur wistar

digunakan sebagai hewan coba yang diberikan melatonin setelah perlakuan

aktivitas fisik berlebih dan bertujuan untuk mengukur pengaruhnya pada aktivitas

SuperOksida Dismutase.

Tikus yang digunakan berumur minggu dengan berat badan 150 -160 gram.

Keseluruhan jumlah tikus dalam penelitian ini adalah 14 ekor dengan pembagian

7 ekor diletakkan dalam Kelompok Kontrol (P1) dengan perenangan selama 120

menit dan pemberian aquadest sebanyak 1 ml, sementara 7 ekor tikus lainnya

ditempatkan pada Kelompok Perlakuan (P2) dengan pemberian perenangan

selama 120 menit dan melatonin oral sebanyak 1,5 mg. Penelitian dilakukan

selama 5 hari.

Pemilihan tikus putih galur wistar dalam penelitian ini didasarkan pada

pertimbangan bahwa tikus putih galur wistar putih atau Rattus norvegicus yang

dibiakkan dalam laboratorium memiliki kecenderungan lebih tenang dan jarang

berkelahi. Hal ini membuat tikus putih galur wistar mudah ditangani dan

kemungkinan drop out karena kematian lebih jarang (Smith dan Mangkoewidjojo,

1988).

59
6
0

6.2 Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian

Data hasil penelitian terlebih dahulu diuji distribusi dan variannya. Hasil

analisis data rerata aktivitas SOD pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan

menunjukkan bahwa uji normalitas (Shapiro Wilk) dan homogenitas (Levenes

Test) masing masing kelompok berdistribusi normal dan homogen.

6.3 Pemberian Aktivitas fisik berlebih

Aktivitas fisik berlebih jangka pendek menyebabkan kelelahan, gangguan

metabolisme intramuskular dan penurunan kemampuan pelatihan. Pada aktivitas

fisik berlebih akan terjadi peningkatan radikal bebas yang dapat mengarah pada

keadaan stres oksidatif. Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan oksigen yang

meningkat akibat kelelahan sehingga radikal bebas pun ikut meningkat sebagai

salah satu hasil sampingan dari rantai pernapasan. Salah satu radikal bebas yang

sangat berperan pada proses ini adalah radikal superoksida (Cooper, 2001).

Radikal superoksida dinetralisir oleh enzim Superoksida Dismutase atau

SOD. Untuk radikal bebas jenis ini, Superoksida dismutase merupakan satu

satunya penetralisir menjadi Hidrogen peroksida dan air sebelum radikal hidrogen

peroksida dinetralisir lebih lanjut oleh Gluthathione peroksidase. Aktivitas SOD

setelah pemberian aktivitas fisik berlebih akan menurun dalam 24 jam pertama

hingga 72 jam setelah penghentian aktivitas fisik berlebih (Sen dkk., 2000).

Pada penelitian ini, tikus diberikan pelatihan fisik berlebih berupa

perlakuan renang selama 120 menit setiap hari selama 5 hari. Perenangan tikus
6
1

menggunakan ember berdiameter 30 cm dengan ketinggian air 20 cm (Silvani,

2014).

6.4 Pengaruh Melatonin Terhadap Aktivitas SOD

Melatonin dapat menghambat penurunan SOD melalui pengaturan

ekspresi gen. Melatonin meningkatkan ekspresi gen enzim antioksidan,

diantaranya adalah gen SOD1 dan SOD2 yang mengkode CuZnSOD dan MnSOD

melalui peningkatan level mRNA. Pengaturan ekspresi gen ini dimediasi oleh

reseptor yaitu MT1/MT2 melalui cAMP, phospholipase C atau konsentrasi

kalsium intrasel (Mayo dkk., 2012). Melatonin juga diketahui dapat meningkatkan

dan menekan factor transkripsi yang terlibat pada ekspresi gen enzim antioksidan

seperti SOD (Won dkk., 2000).

Melatonin juga mengaktivasi SOD melalui aktivitas sitokrom P450 pada

Intermembrane Mitochondrial Space (IMS) untuk mencegah perusakan gugus

thiol SOD oleh radikal superoksida (Inarrea dkk., 2012).

Pemberian perlakuan perenangan selama 120 menit dapat menyebabkan

kondisi overtraining. Overtraining jangka panjang terjadi selama beberapa

minggu hingga beberapa bulan. Penelitian ini sendiri berfokus pada overtraining

jangka pendek dengan waktu perlakuan selama 5 hari.

Berdasarkan hasil analisis di atas, didapatkan bahwa aktivitas SOD

menurun pada Kelompok Kontrol dan tetap pada Kelompok Perlakuan. Hasil ini

dapat disebabkan oleh adanya peningkatan kadar radikal superoksida, hidrogen

peroksida, dan nitric oxide segera setelah aktivitas fisik berlebih (Djordjevic dkk.,
6
2

2012). Peningkatan radikal bebas akan memicu SOD untuk bekerja menetralisir

radikal bebas tersebut. Saat SOD bekerja, enzim ini terurai sehingga aktivitasnya

dalam darah berkurang.

Berdasarkan hasil analisis didapatkan aktivitas SOD pada Kelompok

Kontrol dan Perlakuan berdistribusi normal (p < 0,05) baik sebelum perlakuan

maupun setelah perlakuan. Selain itu, varian antar kelompok sebelum dan setelah

penelitian menurut Levenes test adalah normal. Ke dua hasil ini menunjukkan

bahwa syarat pengukuran data aktivitas SOD telah terpenuhi. Analisis dilanjutkan

dengan uji komparabilitas dengan menggunakan Uji T-Independent untuk

mengukur komparabilitas antar kelompok sebelum dan setelah perlakuan.

Berdasarkan hasil analisis uji komparabilitas aktivitas SOD sebelum

perlakuan didapatkan bahwa rerata aktivitas SOD Kelompok Kontrol sebesar

96,34 U/mL sementara rerata aktivitas SOD Kelompok Perlakuan sebesar 96,59

U/mL. Analisis kemaknaan dengan Uji T-Independent menunjukkan nilai p

sebesar 0, 89. Hasil ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara

aktivitas SOD kedua kelompok sebelum perlakuan.

Sementara pada hasil analisis uji komparabilitas aktivitas SOD setelah

perlakuan didapatkan bahwa rerata aktivitas SOD Kelompok Kontrol sebesar

86,72 U/mL sementara rerata aktivitas SOD Kelompok Perlakuan sebesar 96,15

U/mL. Analisis kemaknaan dengan Uji T Independent menunjukkan nilai p

sebesar 0,03. Hasil ini menyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara

aktivitas SOD kedua kelompok setelah perlakuan.


6
3

Proses analisis dilanjutkan dengan uji hipotesis komparatif menggunakan

uji T-paired. Pada Kelompok Kontrol hasil analisis uji hipotesis sebelum dan

setelah perlakuan menunjukkan adanya penurunan aktivitas SOD sebesar 9,62

U/mL dari sebelum perlakuan ke setelah perlakuan. Selain itu, juga didapatkan

nilai p sebesar 0,013. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna

antara aktivitas SOD sebelum perlakuan dengan aktivitas SOD setelah perlakuan

pada Kelompok Kontrol.

Pada Kelompok Perlakuan dengan pemberian melatonin oral sebanyak 10

mg/KgBB didapatkan adanya kenaikan pada rerata aktivitas SOD sebesar 0,44

U/mL. Sementara hasil analisis uji hipotesis menghasilkan nilai p sebesar 0,75.

Dari data ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara

aktivitas SOD sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok dengan pemberian

melatonin.

Berdasarkan hasil analisis pada Kelompok Kontrol didapatkan penurunan

aktivitas SOD yang bermakna. Pada aktivitas fisik berlebih terjadi peningkatan

radikal bebas yang akan mengarah pada keadaan stres oksidatif. Kenaikan kadar

radikal bebas ini dipicu oleh peningkatan pemakaian oksigen karena kelelahan

yang terjadi setelah aktivitas fisik berlebih. Pemakaian oksigen oleh rantai

pernapasan akan menghasilkan radikal bebas sebagai hasil sampingannya.

Peningkatan radikal bebas oleh sistem pernapasan yang didominasi oleh radikal

superoksida akan dinetralisir oleh enzim SOD. Untuk menetralisir radikal

superoksida, enzim SOD bekerja dengan mengikat radikal bebas dan

mengubahnya menjadi hidrogen peroksida. Keadaan ini menyebabkan SOD tidak


6
4

lagi dalam bentuk yang sama. Hal ini menjelaskan terjadinya penurunan aktivitas

SOD setelah aktivitas fisik berlebih.

Pada Kelompok Perlakuan, tidak didapatkan adanya perbedaan bermakna

antara aktivitas SOD sebelum dan setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian melatonin 10 mg/KgBB dapat mencegah penurunan aktivitas SOD

pada aktivitas fisik berlebih jangka pendek.

6.5 Peran Melatonin pada Anti Aging Medicine

Penumpukan radikal bebas dapat menyebabkan stress oksidatif yang

kemudian akan mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Radikal bebas dapat

diakibatkan salah satunya oleh aktivitas fisik berlebih. Pemberian melatonin

secara oral dapat menghambat penurunan SOD yang bermanfaat untuk

menetralisir radikal bebas tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pemberian melatonin pada

tikus putih galur wistar yang mengalami aktivitas fisik berlebih dapat

menghambat penurunan aktivitas Superoksida dismutase. Pada Kelompok Kontrol

terlihat adanya penurunan aktivitas SOD yang cukup jauh dari sebelum perlakuan

ke aktivitas SOD setelah perlakuan yang bermakna secara statistik.

Peningkatan aktivitas SOD dapat meningkatkan efektivitas tubuh dalam

menetralisir radikal bebas sehingga mencegah terjadinya stres oksidatif.

Pencegahan stres oksidatif merupakan salah satu perhatian utama dalam Anti

Aging Medicine. Jika stres oksidatif dapat dicegah atau diminimalisir, maka
6
5

penuaan dapat berjalan lebih lambat, tubuh dapat berfungsi dengan baik lebih

lama dan kualitas hidup dapat dipertahankan (Pangkahila, 2007).

6.6 Kelemahan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dosis melatonin sebesar 10

mg/KgBB dalam volume 1 mL. Berdasarkan penelitian pendahuluan oleh penulis,

didapatkan bahwa pada dosis 10 mg/KgBB aktivitas SOD meningkat dan

menurun pada dosis melatonin sebesar 30 mg/KgBB.

Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu 5 hari dalam bentuk aktivitas

fisik berlebih jangka pendek untuk menurunkan aktivitas SOD dengan cepat. Oleh

karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam jangka waktu yang lebih

lama untuk mengetahui efek melatonin pada SOD pada aktivitas fisik jangka

panjang.

Pada penelitian ini, melatonin diitujukan sebagai tindakan pencegahan

dimana melatonin diberikan bersamaan dengan awal mula aktivitas fisik berlebih.

Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek melatonin terhadap

peningkatan SOD sebagai tindakan kuratif.


66

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap tikus yang diberikan aktivitas fisik

berlebih setiap hari dan melatonin sebanyak 1,5 mg selama 5 hari, didapatkan

simpulan sebagai berikut:

Pemberian melatonin sebanyak 1,5 mg menghambat penurunan aktivitas

SOD pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar dengan aktivitas fisik

berlebih.

7.2 Saran

Beberapa saran yang diberikan setelah penelitian ini adalah:

1. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut dengan pemberian melatonin setelah

terjadinya penurunan SOD untuk mengetahui efek melatonin terhadap

peningkatan SOD.

2. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk menentukan dosis letal (LD50)

pada tikus sebelum melanjutkan penelitian pada manusia.

3. Perlu dirumuskan dosis dan waktu pemberian yang tepat agar melatonin dapat

meningkatkan aktivitas SOD secara maksimal.

66
6
7

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hussain, S.M. 2006. The Pinealocytes of The Hman Pineal Gland:: A Light
and Electron Microscopic Study. Folia Morphology, Vol 65 (3): 181 7.
Arthritis Foundation. 2011. Types of Exercise [cited Mei.02]. Available at:
http://www.arthritis.org/types-exercise.php. Accessed on 05/09 2014.
Beckman, K.B., and Ames, B.N. 1998. The Free Radicals Theory of Aging
Matures. Physiology Reviews. 1998 Apr;78(2):547 81.
Brioukhanov, A.L., Netrusov, A.I. 2004. Catalase and Superoxide Dismuatse:
Distribution, Properties, and Physiological Role in Cells of Strict
Anaerobes. Biochemistry, Vol 69 (9): 949-62.
Buscemi, N., Vandermeer, B., Pandya, R., Hooton, N., Tjosvold, L., Hartling, L.,
Baker, G., Vohra, S., and Klassen, T., 2004. Melatonin for Treatment Sleep
Disorders : Summary of Evidence Report/Technology Assessment. Agency
for Healthcare Research and Quality. Number 108.

Cadenas, E., Packer, L. 2002. Expanded Caffeic Acid and Related Antioxidant
Compound: Biochemical and Cellular Effects. Handbook of Antioxidants.
Second edition. California : Marcel Dekker, Inc. p. 279-303.
Cardinalli, D.P., Pevet, P. 1998. Basic Aspects of Melatonin Action. Sleep Med
Rev. 1998 Aug;2 (3):175 90.
Cooper, K.H. 2001. Sehat Tanpa Obat, Empat Langkah Revolusi Antioksidan
yang Mengubah Hidup Anda. Cetakan ke-1. Bandung : Penerbit Kaifa. Hal :
73-89.

Cunha, G. D. S., Ribeiro, J. L., & Oliveira, A.R.D. 2006.Overtraining: theories,


diagnosis and markers. Revista Brasileira de Medicina do Esporte, 12(5),
297-302.

Darmawan, R. 2012. Astaxanthin Mencegah Efek Nekrosis dan Peradangan Otot


pada Tikus yang Mengalami Overtraining (Tesis). Denpasar: Universitas
Udayana.
Deborah, A.W. and Charles, A.B. 2006. Foundations of Physicial Education
Exercise Science and Sport. Mc Graw-Hill. International Edition
Djordjevic, DZ., Cubrilo, DG., Barudzic, NS., Vuletic, MS., Zivkovic, VI., Nesic,
M., Radovanovic, D., Djuric, DM., Jakovlejic, VLj. 2012. Comparisons of
Blood Pro/Antioxidants Level Before and After Acute Exercise in Athletes
and Non Anthletes. General Physiology and Biophysics. Jun 31(2):211-9.
6
8

Dubocovich, M. L., Delagrange, P., Krause, D. N., Sugden, D., Cardinali, D. P.,
and Olcese, J., 2010. International Union of Basic and Clinical
Pharmacology LXXV : Nomenclature, Classification, and Pharmacology of
G Protein-Coupled Melatonin Receptors. Pharmacological Reviews. Vol.62
No.3 : 343 380.
Finaud, J., Lac, G. Filaire, E. 2006. Oxidative Stress : Relationship with Exercise
and Training. Sport Medicine. Volume 36 No. 4 p : 327 358.
Galano, A., Tan, D. and Reiter, R. 2011. Melatonin as a naturally against
oxidative stress: a physicochemical examination. J Pineal Res 51:116.
Garcez M, Bordin D, Peres W, Salvador M. 2004. Free Radicals and Reactive
Species. In: Ulbra, editor. Free Radicals and The Cellular Response To The
Oxidative Stress. Canoas: Porto Alegre; 2004. Pp. 13 34.
Garelnabi, M. O., Brown, W. V. & Le, N. A. 2008. Evaluation of a novel
colorimetric assay for free oxygen radicals as marker of oxidative stress.
Clinical biochemistry, 41 (14-15), 1250-1254.
Gleeson, M. 2000. Special features of the Olympics: Effects of the Exercise on the
Immune System. Immunology and Cell Biology (2000) 78, 483 484.
Goldmann, R., Klatz, R., 2005. Anti-Aging Desk Reference 2005 : Hormones and
Pharmacological Agents. Anti-Aging Therapeutics. Vol.VII : 308 311.
Halliwell, B., and Gutteridge, J.M.C. 2006. Free Radicals in Biology and
Medicine, Ed 4. Oxford. Clarendon Press.
Halliwell, B., and Gutteridge, J.M.C. 2007. Free Radicals in Biology and
Medicine. Fourth Edition. New York. USA. Oxford University Press.
Harman, D. 2003. Free Radical Theory of Aging. Antioxidants and Redox
Signaling. Volume:5 Issue:5 July, 5.
Hartmann, U., Mester,J. 2000. Training and overtraining markers in selected sport
events. Medicine and Science in Sports and Exercises., Vol. 32, No. 1, p.
209-215, 2000.
Hatfield, F.C. 2001. Overeaching and Overtraining. International Sport Science
Association. Page: 1-11.
Hayflick, L. 1998. How and Why We Age. Experimental Gerontology Nov Dec
33(7-8):639-53.
Inarrea, P., Casanova, A., Cadenas, E. 2012. Melatonin adn Steroid Hormones
Activate Intermembrane Cu,Zn Superoxide Dismutase by Means of
Mitochondrial Cytochrom P450. Free Radicals in Biology and Medicine.
Jun 1, 2011;50(11):1575 1581.
6
9

Lah MS., Dixon, M.M., Pattridge, K.A., Stallings, W.C., Fee, J.A., Ludwig, M.L.
1995. Structurefunction in Escherichia coli iron superoxide dismutase:
comparisons with the manganese enzyme from Thermus thermophilus,
Biochemistry 34 (1995) 16461660.
Margonis, K., Fatouros, I.G., Jamurtas, A.Z., Nikolaidis, M.G., Douroudos, I.,
Chatzinikolaou, A., Mitrakov, A., Mastorakos, G., Papassotiriou, I.,
Taxildaris, K.,Kouretas, D. 2007. Oxidative stress biomarkers responses to
physical overtraining: Implications for diagnosis. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17697935. Accessed on 05/09 2014.

Mayo, JC., Sainz, RM., Antoli, I., Herrera, F., Martin, V., Rodriguez, C. 2002.
Melatonin Regulation of Antioxidant Enzyme Gene Expression. Cell
Molecular and Life Sciences, Vol 59(10):1706 13.
McGillion, F., 2002. The Pineal Gland and The Ancient Art of
Iatromathematica.Journal of Scientific Exploration. Vol. 16, No. 1: pp 19-
38.

Ozturk, G., Coskun, S., Erbas, D., Hasanoglu, E. 2000. The Effect of Melatonin
on Liver Superoxide Dismutase, Serum Nitrate, and Thyroid Hormone
Level. The Japanese Joural of Physiology, 2000, Feb 50(1): 149 53.
Pangkahila, W. 2007. Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas
Hidup.
Anti-Aging Medicine. Cetakan ke-1. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Pavani B.Ch., Kumar S.V., Ramarao J., Rau B.R., dan Mohanty S. 2012. Role of
Biochemical Marker for Evaluation of Oxidative Stress in Cataract. Int J
Pharm Bio Sci, 2(2): 178-184.
Pham-Huy, L.A.P., He, H., Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidants in
Disease and Health. International Journal of Biomedical Sciences, 4: 89-96.
Pocock, S.J. 2008. The size of a clinical trial, Clinical Trials, A Practical
Approach. John Willey & Sons. P. 123-127.
Purnomo, M. 2011. Asam Laktat dan Aktivitas SOD Eritrosit Pada Fase
Pemulihan. Setelah Latihan Subberlebih. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan
Indonesia.Vol 1, No 2 Nov.

Putz, R., and Pabst, R., 2000. Otak, Enchepalon. Atlas Anatomi Manusia Sobotta
Jilid 1: Kepala, Leher, Ekstremitas Atas. Edisi 21 : 282 285.
Reiter, R., Tan, D., Korkmaz, A. and Manchester, L. (2011b) The disaster in
Japan: utility of melatonin in providing protection against ionizing radiation.
Journal of Pineal Research, 50: 357358.
7
0

Reiter, R., Tang, L., Garcia, JJ., Munos-Hoyos, A. Pharmacological Aactions of


Melatonin in Oxygen Radical Pathophysiology. 1997. Life Sci, Vol 60 (25):
2255-71.
Rodriguez, C., Mayo, J.C., Martin, V., Antolin, I., Herera, F., Rosa, M.S., Reiter,
R.J. Regulation of Antioxidant Enzymes: A Significant Role for Melatonin.
Journal of Pineal Research, 36: 1 9.

Sauza, T.P., Oliveira, P.R., Pereira, B. 2005. Physical Exercise and Oxidative
Stress Effect on Intense Physical Exercise on Urinary Chemiluminescence
and Plasmatic Malondialdehyde. Rev Bras Med Esporte, Vol 11, No 1
Jan/Feb.
Sen, C.K., Pachter, L., Hnninen, O. 2000. Handbook of Oxidants and
Antioxidants in Exercise. Amsterdam : Elsevier, hal : 269 270.
Sharkey, B.J. 2003. Kebugaran dan Kesehatan.Cetakan Pertama. Penerbit PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Shida, C.S., Castrucci, A.M., Lamy-Freund, M.T. 1994. High Melatonin
Solubility in Aqueous Medium. Journal of Pineal Research, May
;16(4):198-201.
Silvani, L. 2014. Perbandingan Dosis Melatonin Menghambat Penurunan
Aktivitas Superoksida Dismutase pada Lama Aktivitas fisik berlebih
Berbeda. Denpasar. Universitas Udayana. (Unpublished)
Simanjuntak K. 2006. Peningkatan Radikal Bebas Akibat Aktivitas Xantin
Oksidase. Volume 6. Nomor 1. Jakarta: Profesi Medika, hal : 23 29.
Smith, J.B., Mangkoewidjojo, S. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Coba di Daerah Tropis. Tikus Laboratorium (Rattus
norvegicus): 37 57. Penerbit Universitas Indonesia.

Smitha, K.K., Mukkadan, JK. 2014. Effect of Different Forms of Acute Stress in
The Generation of Reactive Oxygen Species in Albino Wistar Rats. Indian
Journal of Physiology and Pharmacology. Vol 58, No 4 July.
Srinivasan, V., Maestroni, G., Cardinali, D., Esquifino, A., and Miller, S., 2005.
Melatonin, Immune Function, Aging. Pubmed Central. Immun Ageing.
2005; 2: 17. Published online 2005 November 29. doi: 10.1186/1742-4933-
2-17.
Sukadiyanto. 2005. Pengantar Teori dan Metodologi Melatih Fisik. Yogyakarta:
Penerbit FIK Universitas Negeri Yogyakarta.
Sun, Y. Oberley, L.W., Li, Y. 1988. A Simple Method For Clinical Assay of
Superoxide Dismutase. Clinical Chemistry, Vol 34 (3): 497 500.
Suryohudoyo, P. 2000. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler.
Perpustakaan Nasional RI. Jakarta :Penerbit CV Sagung Seto. hal : 31- 47.
7
1

Tan, D.X., Manchester LC, Terron MP, Flores LJ, Reiter RJ. One molecule, many
derivatives: a never-ending interaction of melatonin with reactive oxygen
and reactive-nitrogen species? Journal of Pineal Research, 2007b;42:2842.
Vijayasarathy, K., Shanti Naidu, K., Sastry, B.K.S..2010. Melatonin metabolite 6-
Sulfatoxymelatonin, Cu/Zn Superokside Dismutase, Oxidized LDL and
Malondialdehide in Unstable Angina. International Journal of
Cardiology, 2010;144(2): 315 317.
Winarsi, H. 2007. Antioksidan alami dan radikal bebas. Cetakan ke-
2.
Yogyakarta: Kanisnus.
Winarsi, H. 2010. Antioksidan Alami & Radikal Bebas. Potensi dan
Aplikasinya dalam Kesehatan. Cetakan ke-4. Yogyakarta : Penerbit
Kanisius. hal : 12 - 15,19,29-36,86-106.
Won, J.S., Song, D.K., Huh, S.O. 2000. Efect of Melatonin on The Regulation of
Proenkephalin and Prodymorphin mRNA Levels Induced by Kainic Acid in
The Rat Hippocampus. Hippocampus, Vol 10: 236 243.
Young,I.S., Woodside, J.V. 2001. Antioxidants in health and disease. Journal
of Clinical Pathology, 54:176-186.
Zawilska, J.B., Skene, D.J., Arendt, J. 2009. Physiology and Pharmacology of
Melatonin in Relation to Biological Rhytms. Pharmacological Reports,
61(3):383-410.
7
2

Lampiran 1

Ethical Clearance
7
3

Lampiran 2

Hasil Pengukuran Aktivitas Superoksida dismutase

No Kontrol Perlakuan
Pre Test Post Test Pre Test Post Test
1 91,48 95,43 94,48 97,43
2 96,19 81,28 101,86 98,81
3 99,19 92,86 95,48 96,09
4 100,48 76,86 93,24 95,86
5 93,90 94,38 93,04 94,62
6 98,43 94,76 96,81 93,43
7 99,33 68,09 98,28 96,62
Mean 96,34 86,72 96,59 96,15
7
4

Lampiran 3

Uji Normalitas Data

Uji Normalitas Data

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Kelomp Statisti Statisti Si
ok c df Sig. c df g.
Pre Kontrol .31
.243 7 .200* .897 7 5
Perlakua .59
.167 7 .200* .935 7
n 2
Post Kontrol .08
.300 7 .056 .833 7
6
Perlakua .24
.232 7 .200* .885 7
n 8
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
7
5

Lampiran 4

Uji T-Independent

Group Statistics
Std.
Error
Kelompok N Mean Std. Deviation Mean
Pre Kontrol 7 96.9800 3.26677 1.23472
Perlakuan 7 94.4629 2.05345 .77613
Post Kontrol 7 86.2400 10.86797 4.10771
Perlakuan 7 96.6871 1.70626 .64491

Independent Samples Test


Levene's
Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
Si 95%
g. Std. Confidence
(2 Mea Erro Interval of
- n r the
tai Diff Diff Difference
Sig le eren eren Low Upp
F . t df d) ce ce er er
P Equal -
2.55 .13 1.7 .1 2.51 1.45 5.69
r variances 12 .660
0 6 26 10 71 840 471
e assumed 43
Equal -
variances 1.7 10. .1 2.51 1.45 5.76
.727
not 26 101 15 71 840 224
96
assumed
P Equal -
- - -
o variances 24.1 .00 .0 4.15 19.5
2.5 12 10.4 1.38
s assumed 85 0 27 802 067
13 471 759
t 0
Equal -
- - -
variances 6.2 .0 4.15 20.5
2.5 10.4 .387
not 96 44 802 067
13 471 51
assumed 7
7
6

Lampiran 5

Uji T-Paired

Uji T-paired

Kelompok = Perlakuan

Paired Samples Statisticsa


Std. Error
Mean N Std. Deviation Mean
Pair 1 Pre 94.4629 7 2.05345 .77613
Post 96.6871 7 1.70626 .64491
a. Kelompok = Perlakuan

Paired Samples Correlationsa


N Correlation Sig.
Pair 1 Pre & Post 7 .248 .591
a. Kelompok = Perlakuan

Paired Samples Testa

Paired Differences
95% Confidence Sig.
Std. Std. Interval of the (2-
Me Deviat Error Difference
taile
an ion Mean Lower Upper t df
d)
P Pre -
ai 2.2 2.320 - -
-
.87724 4.3708 2 6 .044
r Post
2 95 .07777 .
0
1 4 5
2 36
9
a. Kelompok =
Perlakuan
7
7

Kelompok = Kontrol

Paired Samples Statisticsa


Std. Error
Mean N Std. Deviation Mean
Pair 1 Pre 96.9800 7 3.26677 1.23472
Post 86.2400 7 10.86797 4.10771
a. Kelompok = Kontrol

Paired Samples Correlationsa


N Correlation Sig.
Pair 1 Pre & Post 7 -.557 .194
a. Kelompok = Kontrol

Paired Samples Testa

Paired Differences
95% Confidence Sig.
Std. Std. Interval of the (2-
Me Devia Error Difference
taile
an tion Mean Lower Upper t df
d)
P Pre
1.0 -
ai 7 12.97 4.904 22.739 2
4 1.2598 . 6 .071
r Post 492 06 80
0 0 1
1
0E 90
1
a. Kelompok =
Kontrol
7
8

Lampiran 6

Foto Foto Penelitian

Melatonin Kapsul 3 mg dari TwinLab

Pemeliharan Tikus Selama Penelitian


7
9

Pemberian melatonin melalui sonde

Alat dan Bahan untuk pemberian melatonin (melatonin yang telah diencerkan,
Spuit 3 cc, sonde)
8
0

Kondisi kandang saat gelap (dengan blitz)

Alat dan bahan untuk perlakuan anestesi injeksi


8
1

Pemberian Injeksi anestesi sebelum pengambilan darah

Pengambilan darah dari canthus medialis dan penempatannya di tabung reaksi


8
2

Centrifuge
8
3

Pemisahan plasma setelah sentrifugasi

Anda mungkin juga menyukai