Awig Awig
Awig Awig
NISA AYUNDA
H351110011
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Kelembagaan Awig-
awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai di Kabupaten Lombok Timur
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Nisa Ayunda
H351110011
RINGKASAN
NISA AYUNDA. Efektivitas Kelembagaan Awig-awig Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan Pantai di Kabupaten Lombok Timur. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT
dan ZUZY ANNA.
Kata Kunci: awig-awig, kelembagaan lokal, sumber daya perikanan pantai, IAD,
bioekonomi, DEA
SUMMARY
NISA AYUNDA. The Institutional Effectivity of Awig-awig in Coastal Fisheries
Management in Lombok Timur. Supervised by ACENG HIDAYAT and ZUZY
ANNA.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN AWIG-AWIG
PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI DI
KABUPATEN LOMBOK TIMUR
NISA AYUNDA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya da Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji luar komisi pada Ujian Thesis: Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Judul Tesis : Efektivitas Kelembagaan Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan Pantai di Kabupeten Lombok Timur
Nama : Nisa Ayunda
NIM : H351110011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc. Agr
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah ekonomi kelembagaan, dengan judul Efektivitas
Kelembagaan Awig-awig dalam Mengelola Sumber Daya Perikanan Pantai di
Kabupaten Lombok Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir.Aceng Hidayat, MT dan Ibu
Dr. Dra. Zuzy Anna, MSi selaku pembimbing. Di samping itu, ucapan terima kasih
penulis juga sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc selaku
Kepala Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan (ESL), Ibu Eka Intan
Kumala Putri, Bapak Sahad Simanjuntak, Bapak Yusman Syaukat, Bapak Ahyar
selaku dosen-dosen di lingkungan Program Studi ESL atas diskusi-diskusi dan ilmu-
ilmu yang telah diberikan, Ibu Sofie selaku sekretaris Program Studi, Ibu Intan
selaku sekretaris Departemen ESL, Bapak Kastana selaku sekretaris Program Studi
Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropik (ESK), teman-teman di Program Studi ESL
dan ESK, dan para staf Departemen ESL atas dukungan dan kerja samanya selama
penulis menempuh pendidikan di Program Study ESL.
Tidak mengurangi rasa hormat, penulis juga sampaikan rasa terima kasih
kepada Badan Kerja Sama Luar Negeri (BKLN) yang telah memberikan Beasiswa
Unggulan (BU-BKLN) dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PSPKL-
IPB) melalui Governing Marine Conservation Area for Sustainable Fisheries Project
yang telah membantu dalam sebagian pembiayaan penelitian ini. Penulis juga tidak
lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Lombok Timur, Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL)
Kabupaten Lombok Timur (Pak M. Sholeh, Pak Tahir, Pak Yanto, dan Pak
Syaifullah), teman-teman di Lombok Timur dan kepada Bapak Dedi Adhuri
(Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)) atas informasi, saran-saran,
dan diskusi-diskusinya.Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Bapak
Soedarno dan Ibu Sugiyati, papa dan mama tercinta yang telah memberikan restu
kepada penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. Mbak Rini
Kusumawati dan Kakak Krystof Obidzinski atas dukungan baik psikologis dan
financial, serta diskusi-diskusi ringan tentang sosial anthropologi, juga untuk Mas
Yudha Pria Kusuma dan Mbak Yuli atas bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Nisa Ayunda
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN iv
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Hipotesisi 4
1.4 Tujuan Penelitian 4
1.5 Manfaat Penelitian 4
1.6 Struktur Penulisan Tesis 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Kelembagaan dalam Mengelola Sumber Daya Perikanan 7
2.1.1 Karakteristik Sumber Daya Perikanan 7
2.1.2 Karakteristik Pemanfaat Sumber Daya Perikanan 8
2.1.3 Peraturan yang Disepakati 9
2.1.4 Tata Kelola Sumber Daya Perikanan 11
2.2 Telaah Penelitian Terdahulu 12
3. METODE PENELITIAN 15
3.1 Metode Penelitian 15
3.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian 15
3.1.2 Metode Pengumpulan Data 16
3.2 Metode Analisis Data 17
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Topografi 21
4.2 Kondisi Demografi 21
4.3 Potensi Sumber Daya Perikanan 24
5. KELEMBAGAAN AWIG-AWIG PENGELOLAAN SUMBER DAYA 29
PERIKANAN PANTAI
5.1 Pendahuluan 29
5.2 Tinjauan Pustaka 30
5.3 Metode Penelitian 33
5.4 Metode Analisis Data 34
5.5 Hasil dan Pembahasan 34
5.5.1 Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai 35
Kabupaten Lombok Timur
5.5.2 Peraturan yang Disepakati 38
5.6 Simpulan 44
6. EVALUASI DAMPAK KELEMBAGAAN AWIG-AWIG TERHADAP
SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI 45
6.1 Pendahuluan 45
6.2 Tinjauan Pustaka 46
6.3 Metode Penelitian 47
6.4 Metode Analisis Data 48
6.5 Hasil dan Pembahasan 50
6.5.1 Bioekonomi Surplus Produksi 50
6.5.2 Degradasi dan Depresiasi 57
6.5.3 Efisiensi DEA 60
6.6 Simpulan 72
1.1 Jumlah lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas di wilayah
perairan pantai Kabupaten Lombok Timur tahun 2002-2013 3
2.1 Klasifikasi hak kepemilikan 9
2.2 Tipe hak kepemilikan dengan pemilik, hak pemilik, dan kewajiban
pemilik 10
3.1 Indikator, parameter, dan data yang diperlukan dalam penelitian 20
4.1 Kecamatan, desa pesisir, dan jumlah nelayan tahun 2006-2010 24
4.2 Jumlah perahu tangkap di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan
tempat pendaratan tahun 2012 25
4.3 Jumlah alat tangkap yang dipergunakan di Kabupaten Lombok
Timur berdasarkan tipe dan tempat pendaratan tahun 2012 25
4.4 Produksi perikanan laut dan jumlah alat tangkap di Kabupaten
Lombok Timur tahun 2003-2007 26
4.5 Potensi wilayah budidaya laut di Kabupaten Lombok Timur 27
4.6 Penyebaran wilayah potensi budidaya air payau 27
4.7 Potensi budidaya ikan air tawar 28
5.1 Design principles 32
5.2 Aktor, tugas, dan kewenangan dalam awig-awig pengelolaan
perikanan pantai 36
5.3 Contoh perbedaan peraturan dalam awig-awig pengelolaan sumber
daya perikanan pantai 40
5.4 Pemetaan hak kepemilikan berdasarkan Schlager dan Ostrom (1992) 43
6.1 Hasil estimasi produksi aktual sumber daya ikan demersal 51
6.2 Hasil estimasi standarisasi upaya penangkapan 52
6.3 Hasil estimasi parameter biologi dengan CYP 53
6.4 Rincian kebutuhan melaut 54
6.5 Hasil estimasi biaya melaut dari alat tangkap pancing dan bagan
sampan 54
6.6 Hasil estimasi real price dan real cost tahun 2002-2011 55
6.7 Hasil estimasi produksi aktual dan produksi lestari 55
6.8 Hasil estimasi h, x, upaya, rente dengan parameter biologi CYP
dengan Maple 14 56
6.9 Upaya aktual, produksi aktual, dan rente aktual 57
6.10 Hasil estimasi nilai koefisien laju degradasi 58
6.11 Hasil estimasi nilai koefisien laju depresiasi 59
6.12 Data alat tangkap sebagai DMU 60
6.13 Nilai efisiensi alat tangkap sebagai DMU 61
6.14 Projection of potential improvment alat tangkap sebagai DMU 62
6.15 Data tahun sebagai DMU 63
6.16 Nilai efisiensi tahun sebagai DMU 63
6.17 Projection of potential improvment tahun sebagai DMU 65
6.18 Data nelayan pancing rawai sebagai DMU 66
6.19 Nilai efisiensi nelayan pancing rawai sebagai DMU 67
6.20 Projection of potential improvment nelayan pancing rawai sebagai
DMU 68
6.21 Data nelayan bagan sampan sebagai DMU 69
6.22 Nilai efisiensi nelayan bagan sampan sebagai DMU 70
6.23 Projection of potential improvment nelayan bagan sampan sebagai 71
DMU
7.1 Evaluasi awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai
Kabupaten Lombok Timur 76
7.2 Perbaikan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur 78
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Rendah Tinggi
Sulit
Barang bersama
Barang publik
(CPR)
Pembatasan
dalam satu unit alat tangkap, keadaan ini akan memicu pada pemanfaatan sumber
daya perikanan secara tangkap lebih (over-exploited) dan memicu konflik dalam
memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada (Grafton et al. 2004).
Berbagai pengelolaan dilakukan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya
perikanan, agar terhindar dari permasalahan tersebut di atas, antara lain melalui
pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) dan pemahaman kondisi
sumber daya perikanan secara biologi dan ekonomi. Pengaturan kelembagaan dibuat
untuk mengatur hak kepemilikan (property right) dalam memanfaatkan sumber daya
perikanan. Pengaturan hak kepemilikan berkaitan dengan siapa yang berhak dan
berwewenang untuk melakukan pengaturan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam
dan bagaimana pengaturan pemanfaatan sumber daya alam dibuat dan dilaksanakan
(Schlager dan Ostrom 1992; Ostrom et al. 1994; Agrawal 2003; Dolsak dan Ostrom
2003; Imperial dan Yandle 2003; Hidayat 2005; Petersen 2006; Fauzi 2010).
Pengetahuan kondisi sumber daya perikanan secara biologi berdasarkan
informasi-nformasi tentang bagaimana stok sumber daya perikanan, seberapa kondisi
sumber daya perikanan yang telah dimanfaatkan, seberapa keuntungan yang didapat
dari kegiatan penangkapan dan kondisi maximum sustainable yield (MSY); maximum
economic yield (MEY) sebagai standar pengukuran apakah sumber daya perikanan
sudah dimanfaatkan secara efisien (Petersen 2006; Fauzi 2010).
Sehingga, para ekonom perikanan diharapkan dapat melihat keuntungan dan
manfaat dari kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan secara signifikan melalui
struktur hak kepemilikan dan kondisi sumber daya perikanan, agar pemanfaatan
sumber daya perikanan dapat lebih terkontrol baik secara biologi dan ekonomi
(Petersen 2006).
Beberapa pengelolaan terhadap sumber daya perikanan telah dikembangkan,
antara lain pengelolaan oleh pemerintah (state property); pengaturan oleh individu
(private property); dan pengaturan bersama (common property) (Schlager dan
Ostrom 1992; Hidayat 2005). Pada penelitian ini, lebih membahas pada pengelolaan
secara bersama. Beberapa dekade terakhir ini, pengelolaan secara bersama dijadikan
sebagai salah satu alternatif pengelolaan sumber daya perikanan yang lebih efisien,
dikarenakan pengelolaan ini dilakukan pada wilayah yang tidak terlalu luas, dan hak
kepemilikan terutama dalam hak pembuatan peraturan dan sanksi berasal dari
kesepakatan bersama oleh para pemanfaat sumber daya perikanan yang tinggal di
sekitar sumber daya berada (Schlager dan Ostrom 1992). Salah satu pengelolaan
sumber daya perikanan secara bersama yang berkembang di Indonesia adalah
kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten
Lombok Timur. Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten
Lombok Timur ini merupakan adopsi dari kelembagan lokal yang berkembang di
masyarakat Bali dan Lombok (Indrawasih 2008; Syaifullah 2009).
Sejak tahun 2003, kelembagaan awig-awig ini telah dibukukan dalam awig-
awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Lombok Timur, dan di tahun 2006
telah diakui secara formal oleh pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur dengan
ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan
Sumber Daya Perikanan Pantai Secara Partisipatif (Indrawasih 2008).
3
Tabel 1.1 Jumlah lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas di wilaya perairan
pantai Kabupaten Lombok Timur tahun 2002-2013
Tahun Jumlah lokasi kegiatan penangkapan ikan degan bom dan potas
2002 8
2003 6
2004 5
2005 5
2006 7
2007 10
2008 10
2009 10
2010 11
2011 11
2012 12
2013 12
Sumber: Data Primer, Diolah
4
Tabel 1.1 memperlihatkan lokasi kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan
potas di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur terus bertambah setiap
tahun. Berdasarkan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig sejak tahun
2003, nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas ini
banyak yang merupakan nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur sendiri (Syaifullah
2009).
Berdasarkan informasi-informasi tersebut di atas, beberapa pertanyan yang
mendasari penelitian ini berdasarkan informasi dan permasalahan di atas, antara lain:
1. bagaimana kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur;
2. bagaimana dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan
pantai di Kabupaten Lombok Timur;
3. bagaimana implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Kabupaten Lombok Timur.
1.3 Hipotesis
Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum
penelitian ini adalah mengevalusi efektifitas kelembagaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai menuju kepada pemanfaatan sumber daya perikanan
yang lestari di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur. Tujuan khusus penelitian
ini meliputi:
1. analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Kabupaten Lombok Timur;
2. evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap pemanfaatan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur;
3. evaluasi implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Kabupaten Lombok Timur.
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang ada, hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. informasi tentang kinerja kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur; dan
2. rekomendasi dalam perbaikan kinerja kelembagaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur.
5
Penulisan tesis ini terbagi menjadi delapan bab. Bab Pertama, pendahuluan,
berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, hipotesis, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan struktur penulisan tesis. Bab Kedua, tinjauan pustaka,
berisikan tentang kajian-kajian pustaka terkait penelitian ini. Bab Ketiga, metode
penelitian dan kerangka analisis data, berisikan tentang waktu dan tempat penelitian,
metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab Keempat, keadaan umum
lokasi penelitian, berisikan tentang gambaran umum kondisi Kapubaten Lombok
Timur, yang meliputi kondisi geografis, topografis, demografis, dan potensi sumber
daya perikanan yang dimiliki oleh Kabupaten Lombok Timur.
Bab Kelima, analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur, berisikan pendahuluan, tinjauan
pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dari tujuan
pertama penelitian ini. Analisis ini dilakukan dengan pendekatan Institutional
Analysis Development (IAD) yang meliputi analisis peraturan yang disepakati,
analisis situasi aksi, dan analisis aktor. Bab Keenam, dampak kelembagaan awig-
awig terhadap sumber daya perikanan pantai, berisikan pendahuluan, tinjauan
pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dari tujuan
kedua penelitian ini. Evaluasi dampak kelembagaan dilakukan dengan pendekatan
analisis bioekonomi surplus produksi, analisis degradasi dan depresiasi, dan analisis
efisiensi Data Envelopment Analysis (DEA).
Bab Ketujuh, implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai
di Kabupaten Lombok Timur, berisikan pendahuluan, tinjauan pustaka, metode
penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dari tujuan ketiga penelitian ini.
Evaluasi implikasi kebijakan dilakukan dengan mengevaluasi hasil-hasil yang
diperoleh pada Bab kelima dan keenam, dan memberikan beberapa rekomendasi
untuk perbaikan kelembagaan awig-awig berdasarkan hasil analisis yang telah ada.
Bab Kedelapan, kesimpulan dan saran, berisikan kesimpulan dan saran dari hasil
penelitian secara keseluruhan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik
sumber daya
Hasil
Peraturan yang
disepakati
Evaliasi
kriteria
Gambar 2.1 Kerangka IAD
(Ostrom et al. (1994)
1996:3). Demikian pula sumber daya perikanan, sebagai sumber daya alam yang
memiliki daya gerak yang sangat tinggi dan sebagai sumber daya alam terbarukan,
persediaannya di alam tergantung secara biologi dan ekonomi (Hanna et al. 1996;
Petersen 2006). Secara biologi, persediaan sumber daya perikanan ini berkaitan
dengan kematian (mortality) dan produksi (production). Berapa stok sumber daya
perikanan yang ada, seberapa sumber daya perikanan yang telah dimanfaatkan, dan
kondisi maximum sustainable yield (MSY) digunakan sebagai standar pengukuran
apakah sumber daya perikanan dimanfaatkan secara efisien atau tidak (Hanna et al.
2006; Petersen 2006; Fauzi 2010). Secara ekonomi, persediaan sumber daya
perikanan berkaitan dengan upaya penangkapan (effort) dan hasil tangkapan (yield)
oleh manusia. Kondisi maximum economic yield (MEY), berapa keuntungan dari
kegiatan penangkapan, dan melihat bagaimana kondisi open access mempengaruhi
kedua kondisi (MSY dan MEY) tersebut digunakan sebagai standar pengukuan
apakah sumber daya perikanan telah dimanfaatkan secara efisien (Hanna et al. 1996;
Petersen 2006; Fauzi 2010).
Selain pemahaman tersebut di atas, perubahan kualitas dan kuantitas sumber
daya alam dan lingkungan juga dapat dilihat dari laju degradasi, deplesi dan
depresiasi. Pada penelitian ini, laju degradasi, deplesi, dan degradasi merujuk kepada
Fauzi dan Anna (2005). Di mana, deplesi merupakan tingkat/laju pengurangan stok
dari sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-renewable resources). Dalam hal
ini terjadi jumlah penurunan stok sumber daya alam yang jauh di atas laju penurunan
stok yang seharusnya, atau terjadi laju eksploitasi yang lebih tinggi dari yang
seharusnya (contoh pemanfaatan pasir laut). Degradasi merupakan penurunan
kualitas/kuantitas sumber daya alam yang terbarukan (renewable resources). Dalam
hal ini, kemampuan alami sumber daya alam terbarukan untuk beregenerasi sesuai
kapasitas produksinya telah berkurang (contoh sumber daya ikan). Keadaan ini
memperlihatkan baik deplesi dan degradasi lebih ditujukan pada perubahan kondisi
fisik sumber daya alam dan lingkungan. Sedangkan, depresiasi sendiri lebih
ditujukan kepada mengukur perubahan nilai moneter dari kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan, atau dengan kata lain depresiasi sebagai
pengukuran deplesi atau degradasi yang dirupiahkan.
Beberapa literatur seperti Ostrom (1990), Ostrom et al. (1994) dan Hanna et al.
(1996) berpendapat bahwa perubahan pada kualitas dan kuantitas sumber daya alam
dan lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan oleh manusia akan membawa kepada the tragedy of the commons-
Hardin (1968), sehingga diperlukan pengelolaan untuk mengatur pemanfaatan
sumber daya perikanan, salah satunya melalui penerapan property rights (hak
kepemilikan) atas sumber daya alam dan lingkungan agar terhindar dari the tragedy
of the commons-Hardin ini.
Tujuan dari mengatur hak kepemilikan atas sumber daya perikanan, antara lain
untuk mengatur siapa yang memiliki hak dan kewenangan dalam mengelola sumber
daya perikana, siapa yang berhak untuk memanfaatkan sumber daya perikanan, dan
kegiatan-kegiatan apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam mengambil
manfaat atas sumber daya perikanan (Ostrom 1990; Hanna et al. 1996).
Schlager dan Ostrom (1992) membagi hak kepemilikan atas sumber daya alam
dan lingkungan terutama yang memiliki karakteristik sebagai CPR seperti sumber
daya perikanan menjadi access (hak akses), withdrawal (hak memanfaatkan),
management (hak manajemen), exclusion (hak ekslusif), dan alienation (hak alienasi)
(Tabel 2.1).
Hak akses merupakan hak untuk memasuki suatu wilayah di mana sumber
daya alam dan lingkungan berada, misalnya hak untuk memasuki suatu wilayah
perairan. Hak memanfaatkan merupakan hak untuk mengambil manfaat dari sumber
daya alam dan lingkungan yang ada di suatu wilayah tertentu, misalkan hak untuk
menangkap sumber daya ikan (Schlager dan Ostrom1992).
Hak manajemen merupakan hak untuk mengelola pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan yang ada, misalkan seberapa banyak sumber daya perikanan
yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan dalam suatu wilayah perairan. Hak eksklusif
merupakan hak untuk melakukan pembatasan pada pemanfaatan sumber daya alam
dan lingkungan, dan memiliki hak untuk mentrasfer atau memindahtangankan hak
kepemilikan tersebut. Hak alienasi merupakan hak untuk menjual, menyewakan atau
keduanya atas hak kepemilikan yang dimiliki. Kelima hak kepemilikan ini dapat
dimiliki oleh beberapa pihak yang berbeda, sehingga memungkinkan satu pihak
hanya memiliki hak akses saja, atau satu pihak dapat juga memiliki lebih dari satu
hak kepemilikan (Schlager dan Ostrom1992).
Hak Eksklusif x x
Hak Alienasi x
Sumber: Schlager dan Ostrom (1992)
10
Pengaturan hak kepemilikan berdasarkan klaim atas sumber daya alam dan
lingkungan dapat dibedakan menjadi hak kepemilikan secara bebas (open access );
hak kepemilikan pada swasta (private property); hak kepemilikan pada pemerintah
(state property); dan hak kepemilikan bersama (common property) (Hanna et al.
1996) (Tabel 2.2).
Hak kepemilikan secara bebas (Open access), dicirikan bahwa tidak ada pihak
yang mengklaim hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan, sehingga siapa
saja dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan yang ada
tanpa ada kewajiban apapun terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang
dimanfaatkan dan/atau pemanfaat yang lain (Hanna et al. 1996; Fauzi 2010). Hak
kepemilikan pada swasta, hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan
diklaim oleh pihak swasta/individu. Pengaturan ini dicirikan adanya pengontrolan
dalam mengakses sumber daya alam dan lingkungan baik dengan pembatasan
wilayah dan pembatasan jumlah sumber daya alam dan lingkungan yang
diperbolehkan untuk dimanfaatkan (Hanna et al. 1996; Imperial dan Yandle 2005).
Tabel 2.2 Tipe hak kepemilikan dengan pemilik, hak pemilik, dan kewajiban pemilik
Tipe Pengaturan Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik
Individu/Swasta Individu/swasta Ada kontrol dalam Mengindari
mengakses penggunaan yang
tidak dapat diterima
oleh sosial
Bersama/Komunal Bersama Tidak ada pembatasan Pemeliharaan dan
atas kepemilikan pembatasan tingkat
penggunaan sumber
daya
Negara Pemerintah Pengaturan secara Menjaga penggunaan
formal secara sosial
Hak kepemilikan pada negara, hak kepemilikan sumber daya alam dan
lingkungan diklaim oleh pemerintah. Pengaturan ini dicirikan pemerintah yang
memiliki hak dan kewenangan dalam pembuatan kebijakan dalam mengelola sumber
daya alam dan lingkungan yang ada. Hak kepemilikan bersama, hak kepemilikan
sumber daya alam dan lingkungan diklaim secara bersama. Pada hak kepemilikan
bersama, masyarakat di sekitar sumber daya alam dan lingkungan biasanya yang
memiliki klaim hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan (Hanna et al.
1996; Imperial dan Yandle 2005).
Selain pengaturan hak kepemilikan berdasarkan klaim atas sumber daya alam,
pengaturan hak akses terhadap sumber daya alam juga dinilai sangat penting. Di
mana, hak akses ini dapat dibedakan menjadi akses terbuka (open access), dan akses
terbatas (limited access) (Fauzi 2010).
11
Komunal Terbuka
(Open access)
Individu Terbatas
(Limited Access)
Arena aksi dalam kerangka IAD meliputi situasi aksi dan aktor yang terlibat
dalam kelembagaan (Gambar 2.1). Arena aksi ini merupakan inti analisis dari
kerangka IAD, predeksi-predeksi dan penjelasan tindakan-tindakan dari para aktor
yang terlibat dalam kelembagaan (Ostrom et al. 1994).
Telah banyak cara untuk mengelola agar pemanfaatan sumber daya perikanan
menuju pada pemanfaatan yang berkeadilan dan berkelanjutan baik secara biologi
dan ekonomi. Tetapi, pengelolaan tidak mudah dilaksanakan terhadap sumber daya
perikanan sebagai CPR, dan beberapa pengelolaan menagalami kegagalan. Seperti
penerapan Total Allowable Catch (TAC) sebagai salah satu contoh pengelolaan yang
dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan ini didasarkan pada data-data perikanan dan
input dari kegiatan penangkapan, sehingga lebih ditujukan pada pembatasan
pemanfaat, upaya penangkapan, dan jumlah tangkapan. Tetapi, karena pengaturan ini
berlaku secara formal, mengakibatkan tingginya upaya penangkapan dan hanya
beberapa nelayan saja (yakni nelayan yang memiliki modal besar dalam kegiatan
12
Salah satu pengelolaan sumber daya perikanan pantai secara bersama yang
berkembang di Indonesia adalah kelembagan awig-awig. Awig-awig ini merupakan
norma, peraturan, larangan, dan sanksi yang tidak tertulis mengenai hubungan antar
masyarakat seperti perkawinan, pencurian, dan sebagainya yang berkembang di
mayarakat Bali dan Lombok (Indrawasih 2008). Di beberapa wilayah pesisir
Lombok, awig-awig ini diadopsi untuk mengelola sumber daya perikanan pantai
(Hidayat 2005; Solihin dan Satri 2007; Indrawasih 2008; Adrianto 2011).
Hidayat (2005); dan Solihin dan Satria (2007) memaparkan hasil penelitian
dengan berawal dari ketidakefektifan pengelolaan sumber daya perikanan yang
dilakukan oleh pemerintah terutama pemerintah pusat. Hidayat (2005) memaparkan
bahwa beberapa kendala pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain
berkurangnya anggaran dari pemerintah; tingginya biaya transaksi (terutama dalam
pengumpulan informasi, biaya pembuatan peraturan dan penegakkan hukum, biaya
operasional (terutama untuk petugas keamanan), dan biaya monitoring); dan
menurunya koordinasi dari pemerintah (baik pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, dan sebaliknya).
13
Keterangan:
: wilayah penelitian
penangkapan. Kawasan Pringgebaya pada penelitian ini, diwakili oleh Desa Labuhan
Lombok, Kecamatan Pringgabaya sebagai lokasi desa penelitian.
Kawasan Labuhan Haji merupakan kawasan yang terletak paling dekat dengan
ibu kota Selong. Hari Sabtu dan Minggu (weekends) pagi, Labuhan Haji banyak
dikunjungi oleh penduduk dari luar Desa Labuhan Haji terutama dari Kota Selong,
yang bertujuan untuk berekreasi dan/atau membeli ikan segar. Nelayan lokal di
kawasan Labuhan Haji menggunakan sampan yang bermesin motor tempel dan alat
tangkap pancing dalam melakukan kegiatan penangkapan. Kawasan Labuhan Haji
pada penelitian ini diwakili oleh Desa Labuhan Haji, Kecamatan Labuhan Haji
sebagai desa penelitian.
Kawasan Sakra Timur, seperti kawasan Labuhan Haji, nelayan lokal di
kawasan ini melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan sampan
bermesin tempel dan alat tangkap pancing. Kawasan Sakra Timur pada penelitian ini,
diwakili oleh Desa Gelanggang, Kecamatan Sakra Timur sebagai lokasi penelitian.
Kawasan Teluk Jukung, seperti kawasan Pringgebaya, di kawasan ini terdapat
pelabuhan terbesar di Kabupaten Lombok Timur dan memiliki jumlah nelayan
terbanyak di wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur. Awig-awig pengelolaan
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur diyakini sebagai perkembangan dari
awig-awig yang diinisiasi oleh kelompok nelayan di Kawasan Teluk Jukung.
Nelayan lokal di kawasan Teluk Jukung melakukan kegiatan penangkapan dengan
menggunakan sampan bermotor tempel dan alat tangkap pancing. Kawasan Teluk
Jukung pada penelitian ini diwakili oleh Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak
sebagai desa penelitian.
Kawasan Teluk Serewe dan Teluk Ekas terletak di bagian Selatan Kabupaten
Lombok Timur. Teluk Serewe dan Teluk Ekas berbatasan langsung dengan
Samudera Hindia, tetapi letak kedua teluk ini masih berada di wilayah perairan yang
terlindungi, sehingga banyak digunakan sebagai wilayah budidaya laut seperti
budidaya rumput laut, lobster, dan jenis ikan laut lainnya. Nelayan lokal di kawasan
ini banyak menggunakan sampan bermotor tempel dan alat tangkap pancing dalam
melakukan kegiatan penangkapan. Kawasan Teluk Serewe pada penelitian ini
diwakili Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru; dan Kawasan Teluk Ekas diwakili Desa
Batu Nampar, Kecamatan Jerowaru sebagai desa penelitian.
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa
informasi tentang kelembagaan awig-awig yang diperoleh melalui wawancara
langsung dengan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan sumber daya perikanan
pantai di wilayah periaran pantai Kabupaten Lombok Timur. Pengambilan sample
pada penelitian ini, menggunakan snow-ball sampling yang dilakukan dengan
mengadaptasi Reed et al. (2009) dan Prell et al. (2009), yakni dengan menentukan
terlebih dahulu beberapa aktor yang terlibat dalam kelembagaan awig-awig di
Kabupaten Lombok Timur dan melakukan wawancara, kemudian dari informasi ini
ditentukan beberapa aktor berikutnya yang terlibat dalam kelembagaan awig-awig.
Selain melalui wawancara langsung, data primer juga didapatkan melalui
pengumpulan data secara observasi. Observasi dilakukan dengan pengamatan tidak
mendetail hanya dengan mendeskripsikan apa yang ada di lapangan, karena data
observasi digunakan untuk mendukung hasil data wawancara.
17
Metode analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan
kuantitatif yang merupakan adopsi dari kerangka analisis kelembagaan Institutional
Analysis Develompent (IAD) yang dikembangkan oleh Ostrom et al. (1994) (Gambar
2.1) dengan menyesuaikan kondisi di lapangan. Pada kerangka analisis kelembagaan
IAD yang dikembangkan oleh Ostrom et al. (1994) terdapat tiga bagian analisis
yakni:
1. Kondisi fisik sumber daya, kondisi masyarakat, dan peraturan yang disepakati
Pada bagian pertama dalam penerapan kerangka analisis IAD ini dengan
menganalisis kondisi fisik sumber daya, kondisi masyarakat, dan peraturan yang
disepakati. Kondisi fisik sumber daya, menganalisis bagaimana karakteristik sumber
daya alam dan lingkungan yang dimanfaatkan. Kondisi masyarakat, menganalisis
karakteristik masyarakat teutama pemanfaat sumber daya alam dan lingkungan, yang
biasanya merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar sumber daya alam dan
lingkungan berada. Peraturan yang disepakati, analisis peraturan, larangan dan
sanksi yang disepakati bersama dalam mengakses, memanfaatkan dan mengelola
sumber daya alam dan lingkungan. Pengaturan ini dapat berupa peraturan secara
formal maupun informal (Ostrom et al. 1994; Polsik dan Ostrom1999; Mokhahlane
2009).
2. Arena aksi
Arena aksi pada kerangka analisis IAD ini merupakan inti dari analisis
kelembagaan, prediksi-predeksi, dan penjelasan tentang perilaku dari pada aktor
yang terlibat dalam kelembagaan. Arena aksi ini meliputi analisis situasi aksi dan
aktor. Situasi aksi menganalisis kondisi sosial di mana para aktor saling berinteraksi,
melakukan pertukaran barang dan jasa, penyelesaian permasalahan, dan perselisihan,
dan beberapa kegiatan lain yang terjadi saat para aktor ini memanfaatkan sumber
daya alam dan lingkungan. Aktor menganalisis bagaimana preferensi dan tindakan-
tindakan yang dilakukan para aktor yang terlibat dalam siatuasi aksi (Ostrom et al.
1994).
3. Hasil
Bagian terakhir dari kerangka analisis IAD adalah hasil (outcome). Bagian
hasil menganalisis interaksi antara karakteristik sumber daya alam dan lingkungan,
karakteristik masyarakat pemanfaat sumber daya alam dan lingkunga, peraturan yang
disepakati, dan kondisi yang terjadi pada arena aksi. Biasanya lebih berbicara pada
bagaimana akibat dari pelaksanaan kebijakan yang ada, apakah telah berjalan secara
efisien (efficiency) baik secara ekonomi dan fiskal, berkeadilan (equity), dapat
18
Tabel 3.1 Indikator, parameter, dan data yang diperlukan dalam penelitian
Tujuan Indikator Parameter Data yang Diperlukan Analisis
1. Analisis Kelembagaan a. Peraturan yang Bagaimana peraturan, Peraturan, larangan, dan The Institutional Analysis
Awig-awig disepakati larangan, dan sanksi yang sanksi yang disepakati, and Development (IAD)
b. Situasi aksi disepakati, siapa saja yang aktoryang turut serta framework (Adaptasi
c. Aktor berperan serta dalam awig- dalam awig-awig, dan Dolsak dan Ostrom, 2003)
awig, bagaimana peran dari bagaimana struktur
setiap aktor, bagaimana organisasi
pembagian tugas dan
kewenangan
2. Evaluasi Dampak a. Kondisi sumber daya a. MSY Data produksi perikanan, Analisis bioekonomi
Kelembagaan Awig-awig perikanan pantai b. Penangkapan aktual harga ikan yang berlaku, surplus produksi Gorgon-
Terhadap Sumber Daya b. Kondisi pemanfaat c. Rente sustainable biaya yang diperlukan Schaefer (GS), Analisis
Perikanan Pantai sumber daya perikanan d. Rente aktual dalam melakukan upaya Degradasi dan Depresiasi,
pantai e. Degradasi penangkapan Data Envelopment
c. Teknologi f. Depresiasi Analysis (DEA) (Adaptasi
g. Efisiensi Fauzi (2010), Fauzi
(2010), Fauzi dan Anna
(2005), Anna (2003), dan
Fare et.al. (2000).
3. Evaluasi Implikasi a. Analisis kelembagaan Bagaimana interaksi yang Hasil dari analisis The Institutional Analysis
Kebijakan Pengelolaan awig-awig terjadi antara hasil analisis kelembagaan awig-awig and Development (IAD)
Sumber Daya Perikanan b. Evaluasi dampak kelembagaan awig-awig dan evalusi dampak framework (Adaptasi
Pantai kelembagaan terhadap dengan evaluasi dampak kelembagaan terhadap Dolsak dan Ostrom, 2003)
sumber daya perikanan kelembagaan terhadap sumber daya perikanan
pantai sumber daya perikanan pantai
21
rumah ditemukan yang pada awalnya tinggi bangunan 2 m di atas permukaan tanah,
tetapi saat ini, hanya tinggal 0,5 m di atas permukaan tanah. Kondisi ini diakibatkan
gelombang pasang tinggi yang melanda Kabupaten Lombok Timur pada awal tahun
2013.
83%
60%
17%
13%
Tabel 4.1 Kecamatan, desa pesisir, dan jumlah nelayan tahun 2006-2010
Jumlah Nelayan Per Tahun
No Kecamatan Desa/Kelurahan
2006 2007 2008 2009 2010
1 Jerowaru - Jerowaru 851 851 854 854 854
- Pemongkong 2.264 2.264 2.284 2.284 2.284
- Sukaraja 175 175 179 179 179
- Batu Nampar 871 871 876 876 876
Jumlah 4.161 4.161 4.193 4.193 4.193
2 Keruak - Tanjung Luar 5.253 5.253 5.278 5.278 5.278
- Pijot 757 757 759 759 759
Jumlah 6.010 6.010 6.037 6.037 6.037
3 Sakra Timur - Surabaya 265 265 266 266 266
- Gelanggang 340 340 342 342 342
Jumlah 605 605 608 608 608
4 Labuhan Haji - Penede Gandor 245 245 249 249 249
- Labuhan Haji 985 985 989 989 989
- Suryawangi 175 175 176 176 176
- Ijobalit 95 95 95 95 95
- Korleko 90 90 90 90 90
Jumlah 1.590 1.590 1.599 1.599 1.599
5 Pringgabaya - Kerumut 155 155 155 155 155
- Pohgading 60 60 60 60 60
- Batuyang 95 95 - - -
- Pringgabaya 227 324 330 330 330
- Labuhan Lombok 1.680 1.777 1.877 1.877 1.877
Jumlah 2.217 2.411 2.422 2.422 2.422
6 Sambelia - Labu Pandan 317 317 323 323 323
- Sugian 739 739 620 620 620
- Belanting 375 375 379 379 379
- Obel-obel 235 235 300 300 300
Jumlah 1.666 1.666 1.622 1.622 1.622
Total Jumlah 16.249 16.411 16.481 16.481 16.481
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok TimurTahun 2006-2010
Tabel 4.3 Jumlah perahu tangkap di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan tempat
pendaratan tahun 2012
Pelabuhan Jukung atau Perahu Motor Kapal Jumlah
No
Pendaratan Perahu Sampan Tempel Motor Total
1 Tanjung Luar 10 965 179 1.154
2 Labuhan Haji 62 237 2 301
3 Labuhan Lombok 77 121 110 308
4 Batu Nampar 103 1.540 12 1.655
5 Sugian 212 203 39 454
6 Sakra Timur 15 72 3 90
Jumlah 479 3.138 345 3.962
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur 2012
Tabel 4.2 Jumlah alat tangkap yang dipergunakan di Kabupaten Lombok Timur
berdasarkan tipe dan tempat pendaratan tahun 2012
Tj. Lab. Lb. Bt. Sakra
No Alat Tangkap Sugian Jumlah
Luar Haji Lombok Nampar Timur
1 Payang 366 - 13 19 - - 398
2 Purse Seine 37 - 15 - - - 52
3 Jaring Insang H 52 56 68 - 90 24 290
4 Jaring Insang Ttp 226 75 88 152 27 54 622
5 Jaring Lkr.Apung 12 - - - 8 - 20
6 Jaring Klitik 280 84 128 425 52 34 1.003
7 Bagan Tancap 33 - - 40 - - 73
8 Bagan Sampan - - 25 - 7 - 32
9 Pancing Rawai 588 90 178 149 30 20 1.055
10 Pancing Biasa 409 215 92 205 334 175 1.430
11 Pancing Tonda 397 111 199 122 130 43 1.002
12 Pancing Ulur 245 103 172 85 52 31 688
13 Pukat Pantai 6 - 6 - - - 12
14 Bubu 79 12 - 22 17 15 145
Jumlah 2.730 746 984 1.219 747 396 6.822
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur 2012
tangkapan didaratkan pagi hari. Nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur bekerja
sebagai pemilik kapal sekaligus anak buah kapal (ABK).
Kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan yang dapat dikembangkan di
Kabupaten Lombok Timur antara lain perikanan tangkap; budidaya ikan laut;
budidaya ikan air payau; dan budidaya ikan air tawar, dengan potensi sumber daya
perikanan dari berbagai jenis ikan laut; ikan air tawar; mangrove; terumbu karang;
dan lamun. Potensi sumber daya perikanan di Kabupaten Lombok Timur menyebar
di Kecamatan Jerowaru, Kecamatan Keruak, Kecamatan Pringgabaya, dan
Kecamatan Sambelia (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).
Bila dibandingkan antara jumlah produksi dengan jumlah keseluruhan alat
tangkap yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur dari tahun
2002-2011 (Tabel 4.4), menujukkan produksi sumber daya perikanan laut pada tahun
2003 dan 2004 mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2002.
Kemudian produksi mengalami peningkatan pada tahun 2005 sampai mencapai
produksi tertinggi pada tahun 2008 sebesar 15.074,80 ton. Pada tahun 2009 hingga
2011 mengalami penurunan produksi kembali.
Salah satu pemicu fluktuasi jumlah produksi adalah adanya kenaikan jumlah
alat tangkap setiap tahun (Tabel 4.4). Terlihat pada tahun 2002 dan 2003 tidak ada
penambahan jumlah alat tangkap tetapi produksi menurun, sehingga nelayan
cenderung untuk menurunkan jumlah alat tangkap yang ada pada tahun 2004. Pada
tahun 2005, jumlah alat tangkap meningkat hingga pada tahun 2008. Pada tahun
2009, 2010, dan 2011 terlihat bahwa jumlah alat tangkap terus meningkat yang
diikuti dengan penurunan hasil produksi perikanan laut. Keadaan ini, diduga bahwa
kegiatan penangkapan di Kabupaten Lombok Timur telah melampaui titik maxsimum
sustainable yield (MSY). Dugaan ini didasarkan pada makin bertambah upaya dalam
penangkapan menyebabkan produksi sumber daya perikanan penurun (Fauzi 2010).
Selain itu, keadaan ini juga dipicu dari makin maraknya penangkapan ikan dengan
bom dan potas di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur (Syaifullah
2009).
Tabel 4.4 Produksi perikanan laut dan jumlah alat tangkap di Kabupaten Lombok
Timur tahun 2003-2007
Tahun Produksi (ton) Jumlah Alat Tangkap (unit)
2002 13.168,70 5.331
2003 12.769,00 5.331
2004 12.563,30 5.207
2005 12.591,60 5.313
2006 12.691,50 5.395
2007 14.761,30 5.987
2008 15.074,80 6.304
2009 13.942,00 6.087
2010 13.384,80 6.090
2011 13.095,30 6.718
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, 2010
teripang, dan kerang-kerangan. Jenis sumber daya laut ini sesuai dengan kondisi
perairan Kabupaten Lombok Timur yang berkarang dan landai. Potensi wilayah
pengembangan budidaya laut meliputi Kecamatan Jerowaru 3.420,00 ha; Kecamatan
Keruak 452,00 ha; Kecamatan Labuhan Haji 157,00 ha; Kecamatan Pringgabaya
754,13 ha; dan Kecamatan Sambelia 2.059,18 ha (Tabel 4.5).
Jerowaru 1.408,50
Keruak 50,00
Sakra Timur 150,00
Labuhan Haji 75,00
Pinggabaya 375,00
Sambelia 1.441,50
Jumlah 3.500,00
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, 2010
28
seperti di Kecamatan Jerowaru kondisi perairan lebih kepada teluk yang terlindungi,
karena wilayah perairan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sedangkan
pada wilayah perairan di Kecamatan Pringgabaya, Kecamatan Keruak, Kecamatan
Sakra Timur, dan Kecamatan Labuhan Haji lebih diutamakan sebagai wilayah
penangkapan dan penyeberangan dari pada wilayah budidaya.
Potensi wilayah budidaya ikan air tawar di Kabupaten Lombok Timur hampir
menyebar di seluruh Kecamatan. Budidaya ikan air tawar ini meliputi budidaya
kolam, minapadi, dan karamba (Tabel 4.7). Tabel 4.7 memperlihatkan pemanfaatan
wilayah budidaya air tawar masih 23,83% dari total luas wilayah potensi yang ada,
dengan pemanfaatan wilayah untuk kolam 16,38%; minapadi 7,45%; dan karamba
0,002% dari luas potensi wilayah yang ada.
Jenis ikan yang dibudidayakan di kolam antara lain ikan mas 3,10 ton; ikan
nilai 52,91 ton; ikan patin 0,50 ton; ikan gurami 2,40 ton; ikan bawal 0,40 ton; dan
ikan lele 61,50 ton. Budidaya minapadi meliputi ikan mas 2,50 ton; dan ikan nilai
4,16 ton. Budidaya karamba meliputi ikan mas 3,10 ton; dan ikan nila 52,91 ton
(BKPM 2013).
Potensi sumber daya perikanan lainnya yang dapat dikembangkan di
Kabupaten Lombok Timur adalah ekosistem bakau (mangrove), terumbu karang
(coral reef), dan lamun (seagress). Luas ekosistem mangrove mencapai 1.589,82 ha
yang tersebar di beberapa lokasi di Kabupaten Lombok Timur, seperti Kecamatan
Jerowaru 364,81 ha; Kecamatan Keruak 40,00 ha; dan Kecamatan Sambelia 1.185,00
ha (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).
Potensi terumbu karang merata hampir di seluruh perairan laut di Kabupaten
Lombok Timur yang berada pada kedalaman 8,034,0 meter dengan perkiraan luas
mencapai 321,04 km2. Kondisi ekosistem terumbu karang pada beberapa lokasi
cukup memperihatinkan seperti pada perairan Labuhan Lombok, Sambelia, Labuhan
Haji, dan Pemokong yang disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan sumber daya
perikanan yang tidak ramah lingkungan seperti penggalian terumbu karang untuk
bahan kapur, dan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan potas. Walupun
demikian, di beberapa lokasi seperti di Gili Sulat, Gili Lawang, Pantai Surga,
Tanjung Ringgit, Sarewe, dan Teluk Sunut kondisi terumbu karang relatif masih baik
(DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).
Ekosistem lamun di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur termasuk
kaya akan jenis, yakni hampir 11 jenis dari 12 jenis lamun yang ada di perairan
Indonesia, dengan wilayah penyebaran di perairan Serewe, Teluk Ekas, Pijot, Gili
Petagan, Gili Sulut, dan Gili Lawang (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).
5. ANALISIS KELEMBAGAAN AWIG-AWIG PENGELOLAAN
SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI DI KABUPATEN
LOMBOK TIMUR
ABSTRAK
Kelembagaan awig-awig merupakan norma, hukum adat, peraturan, larangan,
dan sanksi yang tidak tertulis mengenai hubungan antar masyarakat yang
berkembang di wilayah Bali dan Lombok. Di Kabupaten Lombok Timur,
kelembagaan awig-awig diadopsi untuk mengelola sumber daya perikanan pantai
melalui awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai. Pada bagian ini,
penulis menfokuskan pembahasan hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan
sumber daya perikanan pantai melalui pendekatan kerangka analisis Institutional
Analyisis Development (IAD) dengan menganalisis situasi aksi, aktor, dan peraturan
yang disepakati. Hasil analisis menunjukkan kelembagaan awig-awig sampai saat ini
belum berjalan secara efektif yang ditandai dengan belum semua aktor yang
memanfaatkan sumber daya perikanan pantai terlibat secara aktif dalam kelembagaan
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan, peraturan yang disepakati masih
lemah dalam memberikan batas pengaturan, dan resiko keselamatan jiwa yang tinggi
pada kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig. Keadaan ini mengakibatkan
masih ditemukan beberapa lokasi kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas,
serta hilangnya salah satu pulau kecil di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok
Timur.
5.1 Pendahuluan
Sumber daya alam seperti sumber daya perikanan, yang memiliki karakteristik
fisik sumber daya milik bersama (1.1) dan secara alami tidak memiliki batasan
wilayah yang jelas, sehingga pemanfaatan sumber daya perikanan ini cenderung
open access yakni siapa saja diperbolehkan untuk memanfaatkan sumber daya
perikanan dan tanpa ada kewajiban untuk memeliharanya. Keadaan ini yang sering
menjadi kritik pada pemanfaatan sumber daya perikanan, karena menyebabkan
kegiatan tidak memberikan manfaat baik secara biologi dan ekonomi (Grafton 2004).
31
Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan agar sumber daya perikanan ini dapat
dimanfaatkan secara efisien baik biologi dan ekonomi (Petersen 2006). Salah satu
pengaturan ini adalah melalui pengaturan hak kepemilikan. Pengaturan hak
kepemilikan dilakukan dengan harapan jika ada kejelasan siapa pemegang hak
kepemilikan, maka akan ada kejelasan siapa yang berhak dan berwewenang untuk
membuat peraturan dalam suatu wilayah perairan, siapa saja dan seberapa banyak
yang dibolehkan untuk memiliki hak mengakses dan memanfaatkan sumber daya
perikan, seberapa banyak sumber daya perikanan dapat dimanfaatkan, tindakan
seperti apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, peraturan seperti apa yang
digunakan, prosedur seperti apa yang harus diikuti, dan imbalan seperti apa yang
akan diberikan kepada individu berdasarkan tindakan yang dilakukan (Ostrom 1990;
Hanna et al. 1996).
Bagian ini membahas tentang hasil analisis situasi aksi dan analisis aktor. Pada
penelitian ini, dibatasi pada analisis aktor yang turut serta dalam kelembagaan awig-
awig di Kabupaten Lombok Timur dan bagaimana tugas dan kewenangan dari para
aktor, bagaimana para aktor ini melaksanakan tugas dan kewenangan yang ada.
Bagian ini membahas tentang hasil analisis peraturan yang disepakati, yang
dilakukan dengan identifikasi dan analisis pada peraturan, larangan, dan sanksi dari
awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Lombok Timur apakah awig-
awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur telah
memenuhi kriteria pada design principle (Ostrom, 1990).
dengan menggunakan bom dan potas di wilayah perairan Desa Tanjung Luar
(Syaifullah 2009).
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki
program Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
(Coastal Community Development and Fisheries Resource Management Project)
atau yang lebih dikenal dengan Co-Fish Project sebagai salah satu program
penguatan kelembagaan lokal memberikan dukungan kepada kelembagaan awig-
awig ini. Sehingga, awig-awig yang semula hanya berpusat pada Desa Tanjung Luar
diperluas pada seluruh wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur, dengan
membagi wilayah perairan menjadi tujuh kawasan dan setiap kawasan memiliki satu
lembaga informal yang bertugas untuk membuat awig-awig, dan nama awig-awig
desa diubah menjadi awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Lombok Timur.
Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok
Timur ini kemudian dibukukan sejak tahun 2003. Selain, dilakukan pembagian
wilayah perairan, peraturan yang disepakati dalam awig-awig juga diperbaiki, dan
aktor yang terlibat juga lebih diperluas dengan melibatkan lembaga informal dan
formal, serta awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai ini mendapatkan
dukungan secara formal dari pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur dengan
ditetapkan Perda Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Pantai Secara Partisipatif.
Tabel 5.2 Aktor, tugas dan kewenangan dalam awig-awig pengelolaan perikanan
pantai
Aktor Anggota Tugas dan Kewenangan
Nelayan Lokal Nelayan lokal dan pembudidaya Sebagai pemanfaat sumber daya
sumber daya perikanan perikanan pantai Kabupaten
Lombok Timur, dan membantu
dalam kegiatan pengawasan
perikanan dan penerapan
peraturan
KPPL Kawasan Wakil dari nelayan lokal, tokoh Menjaga dan mengawasi sumber
agama, tokoh masyarakat, daya perikanan, melaksanakan
pamswakarsa, pengusaha dan menegakkan awig-awig,
perikanan, pemerhati mengkoordinir sumbangan dari
lingkungan, dan wanita nelayan masyarakat, dan memberikan
masukan dalam rangka rangka
penyempurnaan awig-awig
KKPK Wakil dari KPPL Kawasan, Memberikan penilaian dan
nelayan lokal, pembudidaya, pertimbangan terhadap suatu
wanita nelayan, perguruan tingg, usulan kegiatan usaha di wilayah
unit pelaksana teknis pesisir
penangkapan ikan
Pemerintah Pemerintah Kabupaten Lombok Bertanggung jawab akan
Daerah Timur, Dinas Kelautan dan peraturan secara formal,
Perikanan, Dinas Kelautan, mengakui keberadaan awig-awig,
Pemerintah Kecamatan, penentu pembagian wilayah,
Pemerintah Desa dan Perikanan menetapkan kepenguruan KPPL
Propinsi Nusa Tenggara Barat Kawasan, menetapkan
kepengurusan KKPK,
menyediakan bantuan teknis,
melakukan koordinasi antar
pemerintah daerah, melakukan
kegiatan pengawasan, pemerintah
desa bersama dengan pemerintah
kecamatan, dan BPD menetapkan
awig-awig
Pemerintah Pusat Kementiraan Kelautan dan Penyedia dana dan bantuan teknis
Perikanan melalui program pengembangan
kelembagaan lokal, melakukan
kegiatan monitoring akan
pelaksanaan awig-wig
Perguruan Tinggi Universitas Mataram Melakukan kegiatan
pendampingan, dan pelatihan
Sumber: Data primer, Awig-awig pengelolaan perikanan pantai 2003, dan Perda nomor 9 tahun 2006,
Data Diolah
37
tinggi, dan unit pelaksana teknis penangkapan ikan. KKPK ini memiliki tugas dan
kewenangan dalam memberikan penilaian dan pertimbangan terhadap suatu usulan
kegiatan usaha di wilayah pesisir, sehingga pertemuan KKPK ini sering digunakan
sebagai tempat untuk berkoordinasi antar KPPL Kawasan.
Pemerintah daerah yang turut serta dalam awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai, meliputi pemerintah propinsi melalui Dinas Kelautan dan
Perikanan Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur,
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, Pemerintah Kecamatan
dan Pemerintah Desa, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berada di
wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur.
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki tugas
dan kewenangan sebagai lembaga formal yang melakukan kegiatan pengawasan
perikanan di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Lombok Timur memiliki tugas dan kewenangan dalam melaksanakan
pengawasan perikanan secara formal; mengesahkan kepengurusan KPPL Kawasan
dan memberikan rekomendasi pada peraturan yang disepakati dalam awig-awig agar
peraturan tidak menyimpang dari peraturan formal yang berlaku; membagi wilayah
perairan; dan mengadakan penyuluhan dan pelatihan.
Pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur memiliki tugas dan kewenangan
dalam pengakuan atas awig-awig melalui penetapan peraturan daerah; pengesahan
kepengurusan KKPK; dan melakukan koordinasi antar pemerintah daerah.
Pemerintah Kecamatan, Desa dan BPD memiliki tugas dan kewenangan dalam
mengesahkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai, dan turut serta
dalam kegiatan penyuluhan dan pelatihan.
Pemerintah pusat diwakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki
tugas dan kewenangan dalam penyedia dana dan bantuan teknis melalui program
pembangunan masyarakat pantai dan pengelolaan sumber daya perikan (costal
community development and fisheries resource management project-cofish), dan
kegiatan monitoring pelaksanaan awig-awig. Tetapi, sayangnya program iniseperti
kebanyakan program pemerintah yakni hanya terjadi beberapa tahun sajasaat
penelitian ini dilaksanakan, telah berakhir. Universitas Mataram sebagai wakil dari
pihak perguruan tinggi dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai
memiliki tugas dan kewenangan dalam pendampingan, penyuluhan dan pelatihan
baik saat pembuatan peraturan dan pembukuan peraturan.
Saat ini, hanya tiga dari enam aktor yang masih aktif menlaksanakan tugas dan
kewenangan yang ada. Ketiga aktor yang masih aktif dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan yang ada antara lain nelayan lokal, KPPL Kawasan, dan pemerintah
daerah yang diwakili oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur.
Sedangkan, ketiga aktor yang lain, KKPK, pemerintah pusat, dan perguruan tinggi,
peran serta mereka lebih banyak dirasakan saat program co-fish dari pemerintah
pusat berjalan, dan saat program ini telah berakhir peran serta mereka sudah tidak
tampak di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur. Hal ini juga yang sering
menjadi kritik bahwa program oleh pemerintah pusat selalu terbatas oleh waktu
(Adhuri dan Indrawasih, 2003).
Pelaksanaan tugas dan kewenangan oleh aktor yang masih aktif pun bukan
tidak memiliki hambatan dengan berakhirnya program co-fish ini. Hal ini terlihat
dengan adanya penurunan kualitas dan kuantitas dari kegiatan pengawasan perikanan
terutama oleh KPPL Kawasan karena tidak ada lagi pemberi dana operasional
38
terbesar untuk kegiatan pengawasan perikanan, yang tersisa hanya speet boat yang
tidak dapat digunakan, karena tingginya biaya operasional. Di sisi lain, resiko
keselamtan jiwa juga dirasakan menjadi salah satu hambatan dari pelaksanaan
pengawasan perikanan. Di mana, jika nelayan lokal memperingatkan nelayan lokal
lain yang melakukan pelanggaran, maka ada kemungkinan nelayan lokal yang
memperingatkan ini yang menjadi sasaran bom dan potas, sehingga mereka
kelihangan pekerjaan.
Selain itu, ketidakaktifan wanita nelayan, nelayan budidaya, dan nelayan
pengolah hasil laut dalam kelembagaan awig-awig, menunjukkan bahwa tidak semua
aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten
Lombok Timur mendukung keberdaaan awig-awig. Ketidakikutsertaan wanita
nelayan hanya dikarenakan kegiatan pengawasan perikanan berbahaya bagi wanita.
Di sisi lain, wanita nelayan turut serta aktif dalam membatu kegiatan penagkapan
yang dilakukan oleh suami mereka. Wanita nelayan ini banyak yang berprofesi
sebagai pedagang ikan, yakni menjual hasil tangkapan suami mereka.
Sedangkan nelayan budidaya, terutama nelayan budidaya yang melakukan
kegiatan budidaya laut (seperti budidaya rumput laut, ikan kerapu, dan lain
sebagainya) juga memanfaatkan wilayah perairan. Jika tidak ada kerja sama di antara
nelayan tangkap dan nelayan budidaya, maka akan memicu konflik wilayah.
Demikian pula dengan nelayan pengolah hasil laut, di mana, nelayan pengolah hasil
laut ini memanfaatkan sumber daya laut untuk diolah menjadi ikan kering atau
dipindang, sehingga, jika hasil laut yang dijual merupakan hasil tangkapan dari bom
dan potas, hasil olahan juga akan memiliki kualitas yang buruk, sehingga nilai jual
pun tidak tinggi.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, sebagai wakil dari
pemerintah daerah yang masih aktif dalam menjalankan tugas dan kewenangan yang
ada, tidak dapat menjalankan tugas dan kewenangan secara maksimal karena adanya
perampingan anggaran dari pemerintah daerah sendiri, yang mengakibatkan kegiatan
penyuluhan dan pengawasan perikanan yang biasanya dapat dilakukan sebulan
sekali, saat ini hanya dapat dilakukan tiga bulan sekali, atau setahun dua kali.
Penurunan pelaksanaan tugas dan kewenangan dari para aktor yang terlibat
dalam kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di
Kabupaten Lombok Timur (terutama kegiatan pengawasan perikanan),
mengakibatkan masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggar terhadap awig-awig
terutama kegiatan penangkapan dengan bom dan potas yang ditandai dengan masih
ditemukan beberapa lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas (Lampiran 1)
dan hilangnya hilangnya satu pulau kecil (gili) di kawasan Sambelia.
Keterangan:
: batas wilayah kawasan
1. Kawasan Sambelia
2. Kawasan Pringgebaya
3. Kawasan Labuhan Haji
4. Kawasan Sakra Timur
5. Kawasan Teluk Jukung
6. Kawasan Teluk Serewe
7. Kawasan Teluk Ekas
Tabel 5.4 Pemetaan hak kepemilikan berdasarkan Schlager dan Ostrom (1992)
Aktor Hak Akses dan Hak manajemen Hak Eksklusif Hak
memanfaatkan Alienasi
Nelayan lokal
KPPL Kawasan
Pemerintah Daerah
Sumber: Data primer, Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai 2003 dan Perda nomor
9 tahun 2006, Diolah
5.3 Simpulan
ABSTRAK
Pemanfaatan akan sumber daya perikanan sebagai sumber daya alam yang
bersifat CPR cenderung kepada pemanfataan secara open access. Banyak
pengelolaan dilakukan untuk mengatur pemanfaatan pada sumber daya perikanan
seperti kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai
Kabupaten Lombok Timur. Bagaimana suatu pengelolaan dilaksanakan berdampak
pada kondisi sumber daya perikanan yang dikelola. Pada bagian ini, peneliti
menfokuskan pada evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya
perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur melalui pendekatan bioekonomi
surplus produksi GS, analisis degradasi dan depresiasi, serta analisis efisiensi DEA.
Hasil analisis data perikanan tahun 2002-2011 dan kegiatan penangkapan oleh
nelayan lokal, menunjukkan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur masih belum berjalan secara efektif,
karena upaya penangkapan yang mengalami peningkatan setiap tahun diiringi oleh
produksi sumber daya perikanan yang terus menurun, nilai produksi aktual telah
melebihi nilai MSY, nilai upaya penangkapan aktual mendekati titik perpotongan
TR-TC yang ditunjukkan dengan penurunan rente aktual (kerugian yang terus
meningkat), nilai degradasi dan nilai depresiasi telah mendekati nilai ambang batas
degradasi, dan penggunaan teknologi melebihi kapasitas input untuk mendapatkan
per satuan output dalam kegiatan penangkapan.
6.1 Pendahuluan
perikanan yang kurang tepat, maka akan menyebabkan pada konflik antar nelayan
seperti konflik teknologi dan konflik wilayah (Ostrom et al. 1994).
Sedangkan, ketidaktepatan pemahaman pada sumber daya perikanan oleh
pemanfaat tidak langsung seperti pemerintah maupun pembuat kebijakan, maka akan
mengarah kepada misleading dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan. Dan,
bagaimana pelaksanaan pengelolaan sumber daya perikanan ini dapat mempengaruhi
bagaiman sumber daya perikanan ini dimanfaatkan (Dolsak dan Ostrom 2003).
Selain pengetahuan dan pemahaman kondisi fisik sumber daya perikanan,
pengetahuan dan pemahaman kondisi pemanfaat sumber daya perikanan ini yang
ditekankan pada kondisi sosial dan ekonomi dari pemanfaat langsung sumber daya
alam juga sangat penting dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Sebagai contoh,
bagaimana kondisi sosial-ekonomi dari nelayan ini akan mempengaruhi bagaimana
preferensi nelayan tersebut akan sumber daya perikanan, dan kebiasaan-kebiasaan
yang dipilih dalam pemanfaatan sumber daya perikanan seperti pemilihan waktu
penangkapan, pemilihan wilayah penangkapan, dan seberapa banyak sumber daya
perikanan yang akan diambil dalam sekali melaut (Ostrom et al. 1994).
Pengetahuan dan pemahaman akan kondisi sumber daya alam dan kondisi
sosial ekonomi pemanfaat sumber daya ini akan mempengaruhi bagaimana teknologi
yang dipilih dalam mengambil manfaatkan sumber daya alam, seperti pemilihan jenis
perahu, alat tangkap, dan alat bantu penangkapan. Penggunaan teknologi ini juga
dapat berdampak langsung terhadap pemanfaatan sumber daya perikanan (Dolsak
dan Ostrom 2003).
Berdasarkan informasi tersebut di atas, maka peneliti memandang penting
untuk mengevaluasi dampak awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai
terhadap sumber daya perikanan pantai. Pada penelitian ini, evaluasi dampak
kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan dilakukan dengan
pendekatan analisis bioekonomi surplus produksi GS, analisis degradasi dan
depresiasi sumber daya perikanan, dan analisis efisiensi DEA dengan mengikuti
langkah-langkah yang dikembangkan oleh Anna (2003), Fauzi dan Anna (2005),
Fauzi (2010), dan Fauzi (2010).
sumber daya, upaya pemanfaatan pada sisi biaya, dan bagaimana hubungan
keduanya dengan percepatan pemanfataan sebagai akibat dari keuntungan yang
diterima dari hasil penjualan sumber daya tersebut. Pada kegiatan penangkapan ikan,
hubungan sosial-ekonomi yang terbentuk di antara pemanfaat sumber daya
perikanan, merupakan salah satu faktor penting, tidak hanya untuk pertukaran
informasi tentang kondisi sumber daya perikanan, tetapi juga menyangkut tentang
seberapa keuntungan yang didapat dari hasil kegiatan penangkapan ikan tersebut
(Gordon 1954; Fauzi, 2010).
Untuk laju depresiasi pada dasarnya sama dengan laju degradasi, hanya
menggunakan parameter-parameter ekonomi, sebagai berikut:
1
= (12)
1+
Dengan: = Laju Depresiasi
= Rente sustainable
= Rente aktual
6.4.3 Efisiensi DEA
Analisis efisiensi dari teknologi yang digunakan oleh nelayan lokal Kabupaten
Lombok Timur, pada penelitian ini, melalui pendekatan Data Envelopment Analysis
(DEA). Pendekatan ini berorientasi pada input dan output yang dikembangkan
pertama kali oleh Charnes, Cooper, dan Rhode (1978) (Fare et al. 2000). Anna
(2003) dan Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa di dalam DEA, efisiensi
diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala
relatif efisien seluruh unit tidak boleh melebihi 100%. Secara matematis, efisiensi
dalam DEA merupakan solusi dari persamaan :
max = (13)
Dengan kendala:
1 untuk setiap unit ke-j
Dengan: = pembobotan untuk output
= jumlah output
= pembobotan untuk input
= jumlah input
dasar laut dan sumber daya ikan kakap dan kerapu melakukan fase bertelur pada
wilayah perairan yang berkarang (Hallacher 2003; WWF-Indonesia 2009; Mazurek
2011; Sudrajat 2011) (Lampiran 5).
Pemanfaat sumber daya perikanan pantai dan teknologi pada penelitian ini
dibatasi pada nelayan lokal yang menggunakan sampan dan mesin tempel dengan
alat tangkap pancing rawai dan bagan sampan yang melakukan kegiatan
penangkapan di wilayah perairan pantai (perairan laut yang lebarnya sampai dengan
4 mil dihitung dari garis pasang surut terendah) di Kabupaten Lombok Timur.
Nelayan ini dipilih karena mendominasi nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur.
ton
500,00
0,00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
tahun
Gambar 6.1 Total share produksi ikan demersal berdasarkan alat tangkap
Keadaan ini juga dirasakan oleh nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur.
Beberapa tahun yang lalu, untuk menangkap ikan demersalan dengan pancing rawai
sederhana dalam 1 hari bisa mendapatkan ikan sebanyak 8-10 kg dan kegiatan
penangkapan hanya dilakukan di wilayah yang tidak jauh dari darat, yakni tidak lebih
dari 2 mil. Tetapi saat ini, dalam 1 hari melaut hanya mendapatkan ikan sebanyak 3-
4 kg saja, dan saat musim paceklik, 1 hari melaut bisa tidak mendapatkan ikan sama
sekali, walau harus berkeliling sepanjang perairan pantai dan jika kondisi kapal dan
cuaca memungkinkan penangkapan dilakukan lebih ke tengah yakni antara 3-4 mil.
Kesulitan dalam melakukan kegiatan penangkapan ini, diyakini karena makin
maraknya kegiatan penangkapan ikan menggunakan bom dan potas. Sedangkan,
keadaan alam yang tidak menentu seperti gelombang tinggi, angin kencang, dan
hujan sudah dianggap bukan lagi halangan untuk melakukan kegiatan penangkapan.
1500,00 400
300
1000,00 Produksi Aktual (ton) ribu hari
ton
200 melaut
Upaya Aktual (hari melaut)
500,00
100
0,00 0
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
tahun
Gambar 6.2 Grafik perbandingan upaya dan produksi aktual tahun 2002-2011
Tahap ketiga analisis bioekonomi pada penelitian ini adalah menentukan nilai
parameter biologi seperti parameter pertumbuhan (r), koefisien daya tangkap (q), dan
daya dukung sumber daya perikanan dan lingkungan (carrying capacity) (K).
Estimasi parameter biologi ini dilakukan dengan pendekatan metode CYP yang
dibantu oleh perangkat microsoft office excel 2007 (Tabel 6.3 dan Lampiran 7).
Berdasarkan estimasi parameter biologi didapatkan parameter pertumbuhan (r)
sebesar 1,3325; koefisien daya tangkap (q) sebesar 0,000196179; dan carrying
capacity (K) sebesar 639,038ton.
Regression Statistics
Multiple R 0,917609647
R Square 0,842007465
Adjusted R Square 0,789343286
Standard Error 0,338600696
Observations 9
54
Total biaya/upaya didapatkan dengan membagi total biaya dengan total upaya.
Kemudian nilai ini dikalikan dengan rasio landing ikan demersal tahun 2002 (pada
penelitian ini menggunakan based line tahun 2002). Dengan demikian didapatkan
nilai real cost per unit standar upaya penangkapan tahun 2002 sebesar Rp. 2.079,15.
Untuk mendapatkan nilai biaya series dari tahun 2002-2011, dilakukan penyesuaian
biaya unit standarisasi upaya penangkapan tahun 2002 dengan indeks harga
konsumen tahunan dari Badan Pusat Statistik (Tabel 6.5).
Tabel 6.5 Hasil estimasi biaya melaut dari alat tangkap pancing dan bagan sampan
Biaya/Upaya
Rata-Rata Biaya Rata-RataAlat Total Biaya Total Biaya/Upaya
Nelayan (Rp./hari
Per Tahun (Rp.) Tangkap (unit) (Rp./unit) (Rp./hari melaut)
melaut)
Data harga didapatkan selain dari data primer juga dengan melakukan
perhitungan rataan geometric dari data produksi Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Lombok Timur (Tabel 6.6). Tabel 6.6 memperlihatkan bahwa pada nilai
real price dan real cost terus mengalami kenaikan dengan rata-rata real price sebesar
21,42 juta rupiah dan rata-rata real cost sebesar 0,25 juta rupiah. Hasil ini juga
mendukung hasil analisis pada estimasi produksi aktual sumber daya ikan demersal
dan standarisasi upaya, yakni dengan penurunan sumber daya ikan demersal,
menunjukkan terjadi kelangkaan sumber daya ikan demersal, yang mengakibatkan
peningkatan harga ikan demersal di sisi harga, dan peningkatan upaya kegiatan
penangkapan di sisi biaya.
55
Tabel 6.6 Hasil estimasi real price dan real cost tahun 2002-2011
Tahun Real Price (Juta Rp.) Real Cost (Juta Rp./hari melaut)
Tabel 6.7 dan Gambar 6.3 menunjukkan selama periode 2002-2011, nilai
produksi aktual ikan demersal di Kabupaten Lombok Timur selalu berada di atas
produksi lestari. Kondisi ini mendukung hasil analisis-analisis sebelumnya, bahwa
produksi sumber daya ikan demersal di Kabupaten Lombok Timur telah mengalami
penurunan produksi.
56
1200,00
1000,00 Produksi Aktual (ton)
800,00
Produksi Lestari (ton)
ton 600,00
400,00
200,00
0,00
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
tahun
Gambar 6.3 Grafik produksi aktual dengan produksi lestari ikan demersal
Langkah kedua pada analisis upaya lestari pada penelitian ini adalah
melakukan pendugaan produksi lestari-upaya (Yield-Effort Curve) dan pendugaan
total benefit (Total Revenue-TR) dan total biaya (Total Cost-TC) (Tabel 6.8 dan
Lampiran 8). Tabel 6.8 merupakan hasil dari perhitungan untuk h, x, effort, rent
dengan parameter biologi CYP dari hasil analisis parameter biologi pada Tabel 6.3.
Hasil perhitungan ini dilakukan dengan 3 skenario pengelolaan, yakni pengelolaan
Open access, Sole owner (MEY), dan Maximum sustainable yield (MSY).
Perhitungan ini dilakukan sesuai dengan langkah-langkah yang dikembangkan oleh
Fauzi dan Anna (2005); dan Fauzi (2010) dari pengembangan perhitungan
bioekonomi GS.
Tabel 6.8 terlihat bahwa jika pengelolaan perikanan di Kabupaten Lombok
Timur dilakukan secara open access, maka hasil tangkapan memperlihatkan nilai
paling kecil yakni 74,47 ton; nilai upaya paling tinggi yakni 613.601,14 hari melaut;
Sedangkan, jika pengelolaan dilakukan secara MSY, maka hasil tangkapan paling
tinggi dengan nilai 212,89 ton dan nilai upaya lebih rendah dibandingkan keadaan
open access, yakni dengan nilai 339.635,71 hari melaut. Saat, pengelolaan dilakukan
secara MEY, nilai produksi sebesar 210.90 ton; dan nilai upaya sebesar 306.751,57
hari melaut.
Tabel 6.8 Hasil estimasi h, x, upaya, rente dengan parameter biologi CYP dengan
maple 14
Parameter/
Open Access Sole Owner MSY
variable
x (ton) 61,87 350,46 319,52
h (ton) 74,47 210,90 212,89
E (hari melaut) 613.501,14 306.751,57 339.635,71
(Rp juta) 0 3.719,87 3.677,12
Pendugaan total benefit dan total biaya dilakukan dengan memasukan faktor
harga dan biaya. Berdasarkan Fauzi (2010), untuk mengembangkan model GS ini,
beberapa asumsi perlu digukanan untuk memudahkan pemahaman, antara lain:
1. Harga per satuan ourput diasumsikan konstan atau kurva permintaan
diasumsikan elastis sempurna;
2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan;
3. Spesies sumber daya ikan bersifat tunggal;
4. Struktur pasar bersifat kompetitif;
57
Tabel 6.10 dan Gambar 6.4 menunjukkan laju degradrasi tertinggi pada tahun
2006 dengan nilai 0,383 dan laju degradasi terrendah pada tahun 2011 dengan nilai
0,158. Pergerakan pada koefisien laju degradasi ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi produksi aktual yang dihasilkan, maka akan semakin tinggi pula laju degradasi
yang dihasilkan. Jika nilai produksi aktual menurun, maka koefisien degradasi juga
menurun. Pergerakan ini lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6.4.
Gejala ini menunjukkan bahwa jika ada kegiatan penangkapan sumber daya
perikanan, maka jumlah sumber daya perikanan yang ditangkap mengalami
pengurangan stok sejumlah dengan hasil yang ditangkap. Keadaan inilah yang
dipahami sebagai degradasi, karena kita tidak dapat mengetahui secara pasti seberapa
banyak sumber daya perikanan yang tersedia di perairan, maka untuk mengetahui
seberapa besar degradasi dari kegiatan penangkapan melalui pendekatan dari
seberapa besar sumber daya perikanan yang ditangkap dari perairan (Fauzi dan Anna
2005).
600,00
0,200
400,00
200,00 0,100
0,00 0,000
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
tahun
Estimasi nilai koefisien laju depresiasi pada penelitian ini dilakukan dengan
membandingkan antara rente aktual dengan rente lestari (Tabel 6.11 dan Gambar
6.5). Rente didapatkan dari hasil pengurangan antara penerimaan dengan biaya.
Sehingga, nilai rente aktual didapatkan dari hasil pengurangan antara penerimaan
aktual dengan biaya aktual. Penerimaan aktual ini didapatkan dari perkalian antara
produksi aktual dengan harga, sedangkan biaya aktual didapatkan dari perkalian
antara upaya aktual dengan biaya. Rente lestari didapatkan dari hasil pengurangan
antara penerimaan lestari dengan biaya lestari. Penerimaan lestari didapatkan dari
pengalikan antara produksi lestari dengan harga, dan biaya lestari dihasilkan dari
pengalian antara upaya dengan biaya.
Tabel 6.11 Hasil estimasi nilai koefisien laju depresiasi
Rente Rente Koefisien
Tahun
Aktual (Juta Rp.) Lestari (Juta Rp.) Depresiasi
2002 -36.934,27 -46.362,49 0,285
2003 -41.974,92 -54.492,14 0,214
2004 -38.129,58 -51.605,03 0,205
2005 -68.609,07 -71.981,82 0,259
2006 -74.594,58 -80.953,47 0,253
2007 -100.729,36 -105.045,79 0,261
2008 -94.649,99 -95.317,50 0,268
2009 -77.685,23 -77.647,55 0,269
2010 -91.650,27 -90.543,65 0,271
2011 -98.885,22 -96.338,37 0,274
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan 2002-2011, Data Diolah
0,200 Koefisien
500,00 Depresiasi
0,100
0,00 0,000
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
tahun
Analisis DEA dengan alat tangkap sebagai DMU, nilai input dengan
memasukkan rata-rata nilai upaya, ukuran sampan, ukuran mesin, dan tenaga kerja
dari alat tangkap pancing rawai dan bagan sampan selama setahun, dan nilai output
dengan memasukkan rata-rata produksi dari alat tangkap pancing dan bagan sampan
selama setahun. Berdasarkan analisis pada teknologi yang digunakan oleh nelayan
lokal Kabupaten lombok Timur, maka analisis efisiensi pada peneliti dibedakan
sampan yang berukuran 7x1,5x0,5 m dengan sampan berukuran 8x1,5x0,5 m untuk
alat tangkap pancing dan bagan (Tabel 6.12).
Hasil penilaian dengan analisis DEA seperti pada Tabel 6.13; Gambar 6.11;
dan Lampiran 7. Hasil penilaian menunjukkan alat tangkap pancing rawai dengan
sampan berukuran 7x1,5x0,5 m dan sampan berukuran 8x1,5x0,5 m memiliki nilai 1
atau dengan kata lain kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap
pancing lebih efisien bila dibandingkan alat tangkap bagan sampan. Alat tangkap
bagan sampan dengan ukuran sampan 8x1,5x0,5 m memiliki nilai 0,497; dan alat
tangkap bagan sampan dengan ukuran sampan 7x1,5x0,5 m memiliki nilai yang
paling tidak efisien yakni dengan nilai 0,475.
Tabel 6.13 Nilai efisiensi alat tangkap sebagai DMU
No. DMU Nilai Ranking
1 Pancing1 1 1
2 Pancing2 1 1
3 Bagan Sampan1 0,475869 4
4 Bagan Sampan2 0,497189 3
Keterangan: Pancing1: nelayan pancing rawai dengan sampan berukuran 7x1.5x0.5 meter; Pancing2: nelayan
pancing rawai dengan sampan berukuran 8x1.5x0.5 meter; Bagan Sampan1: nelayan bagan
sampan dengan sampan berukuran 7x1.5x0.5 meter; Bagan Sampan2: nelayan bagan sampan
dengan sambpan berukuran 8x1.5x0.5 meter
Bagan Sampan1
Bagan Sampan2
DMU
Pancing2
Pancing1
ukuran mesin 125 PK; dan jumlah tenaga kerja 532 ABK; serta mendapatkan hasil
output produksi sebesar 1,944 ton. Sedangkan, untuk bagan sampan1 dengan nilai
efisiensi 0,47 memiliki nilai input kegiatan penangkapan selama setahun sebesar
upaya 6.510 hari melaut; ukuran sampan 354,375 GT; ukuran mesin 816 PK; dan
tenaga kerja 270ABK; serta produksi hanya sebesar 0,939 ton. Dari kedua contoh ini
terlihat bahwa, alat tangkap bagan sampan1 memiliki nilai efisiensi yang lebih kecil
dari pancing1, karena penggunaan input dari bagan sampan1 yang melebihi
kemampuan input maksimum untuk mendapatkan per satuan output. Keadaan ini
didukung dengan tanda negatif dari %, di mana, agar kegiatan penangkapan bagan
sampan1 menjadi efisien, maka harus mengurangi nilai upaya penangkapan sebesar
60%; nilai GT sebesar 52%; nilai PK sebesar 69%; dan nilai ABK sebesar 52% dari
kegiatan penangkapan yang saat ini dilakukan. Nilai prosentase ini menunjukkan
bahwa alat tangkap bagan sampan1 harus mengurangi nilai upaya penangkapan
sebesar 3.931,61 hari melaut; mengurangi nilai ukuran sampan sebesar 185,73 GT;
dan mengurangi nilai ukuran mesin sebesar 559,03 PK; dan mengurangi nilai tenaga
kerja sebesar 141,51 ABK.
1 Pancing1 1
Hasil nilai efisiensi dengan tahun sedagai DMU dapat dilihat pada Tabel 6.16;
Gambar 6.9; dan Lampiran 7. Hasil penilaian menunjukkan hanya di tahun 2004 saja
yang memiliki nilai efisiensi 1, sedangkan tahun 2002, 2003, 2005, 2006, 2007,
2008, 2009, 2010 dan 2011 memiliki nilai yang rendah, dan ada kecenderungan nilai
efisiensi ini dari tahun 2005 sampai 2011 terus mengalami penurunan dan menjauh
dari angka 1.
1 2002 0,8316 3
2 2003 0,9012 2
3 2004 1,0000 1
4 2005 0,4199 5
5 2006 0,4459 4
6 2007 0,3295 6
7 2008 0,2150 7
8 2009 0,2021 8
9 2010 0,1591 9
10 2011 0,1174 10
64
Hasil rangking dari nilai efisiensi menepatkan tahun 2011 pada rangking
terakhir dengan nilai efisiensi 0,1174; diikuti tahun 2010 dengan nilai 0,1591; tahun
2009 dengan nilai 0,2021; tahun 2008 dengan nilai 0,2150; tahun 2007 dengan nilai
0, 3295; tahun 2006 dengan nilai 0,4459; tahun 2005 dengan nilai 0,4199; tahun
2002 dengan nilai 0,8316; dan tahun 2003 dengan nilai 0,9012. Rangking pertama
ditempati tahun 2004 dengan nilai efisiensi 1. Gambar 6.9 memberikan gambaran
secara grafik dari nilai efisiensi dengan tahun sebagai DMU.
DMU
0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000 0,6000 0,7000 0,8000 0,9000 1,0000
Nilai efisiensi
6.5.3.3 DEA dengan nelayan pancing dan nelayan bagan sampan sebagai DMU
Analisis efisiensi DEA ketiga pada peneltian ini dilakukan pada nelayan
pancing dan nelayan bagan sampan sebagai DMU. Analisis efisiensi ini dilakukan
dengan menganalisis nilai efisiensi dari masing-masing nelayan lokal yang menjadi
responden, yakni dengan membandingan nilai efiesiensi nelayan pancing rawai
sesama nelayan pancing rawai; dan nelayan bagan sampan sesama nelayan bagan
sampan. Seperti pada analisis DEA sebelumnya, nilai input-output dengan
memasukkan rata-rata nilai upaya, GT, PK, dan ABK selama setahun dari nelayan
lokal yang menggunakan alat tangkap pancing rawai dan bagan sampan pada
variable input, dan estimasi rata-rata produksi dari nelayan pancing dan nelayan
bagan sampan selama setahun sebagai variable output.
Hasil penilaian efisiensi dengan menggunakan analisis DEA dapat dilihat pada
Tabel 6.19; Gambar 6.10; dan Lampiran 7. Hasil penilaian menunjukkan pancing4,
pancing7, dan pancing10 yang memiliki nilai 1, sedangkan pancing3, pancing5,
pancing6, dan pancing9 memiliki nilai 0,8. Pancing1 dan pancing8 memiliki nilai
efisiensi 0,5. Dan, pancing2 memiliki nilai efisiensi 0,4. Keadaan ini menunjukkan
bahwa hanya sekitar 33% atau kurang dari 50% nelayan pancing rawai yang
melakukan kegiatan penangkapan secara efisien.
67
Pancing1
Pancing3
DMU
Pancing6
Pancing10
Pancing4
Sedangkan nelayan pancing rawai2 yang memiliki nilai efisiensi paling kecil
yakni 0,4 melakukan kegiatan penangkapan selama satu tahun dengan menggunakan
nilai input upaya 8.004 hari melaut; ukuran sampan 362 GT; ukuran mesin 552 PK;
dan tenaga kerja 276 ABK; dengan hanya menghasilkan output produksi sebesar
1,10 ton. Ketidakefisienan ini terlihat bahwa, penggunaan input oleh nelayan pancing
rawai2 telah melebihi kapasitas input maksimum yang dapat digunakan untuk
mendapatkan per satuan outpu. Sehingga, nelayan pancing rawai2 agar kegiatan
penangkapann menjadi efisien harus mengurangi nilai input upaya sebesar 75%; GT,
PK, dan ABK sebesar 50%.
68
Seperti pada hasil nilai efisiensi alat tangkap dan tahun sebagai DMU, nelayan
pancing rawai sebagai DMU juga memperlihatkan adanya penggunaan input yang
69
melebihi batas maksimum input yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan per
satuan output, sehingga sangat penting untuk dilakukan pembatasan hari melaut dan
pembatasan jumlah sampan dan alat tangkap pada kegiatan penangkapan oleh
nelayan lokal di Kabupaten Lombok Timur.
ranking kesembilan. Gambaran secara grafik dari nilai efisiensi nelayan bagan
sampan terlihat pada Gambar 6.11
Tabel 6.22 Nilai efisiensi nelayan bagan sampan sebagai DMU
No. DMU Score Rank
1 Bagan Sampan1 1 1
2 Bagan Sampan2 0,8 4
3 Bagan Sampan3 0,6 7
4 Bagan Sampan4 0,8 4
5 Bagan Sampan5 0,8 4
6 Bagan Sampan6 0,4 9
7 Bagan Sampan7 0,4 9
8 Bagan Sampan8 0,6 7
9 Bagan Sampan9 1 1
10 Bagan Sampan10 1 1
Bagan Sampan6
Bagan Sampan8
DMU
Bagan Sampan5
Bagan Sampan1
Bagan Sampan10
Tabel 6.23 Projection of potential improvement nelayan bagan sampan sebagai DMU
DMU Score
No. Projection Difference %
I/O Data
1 Bagan Sampan1 1
Upaya (hari melaut) 8.004 5.244 -2.760 -34,48%
Ukuran sampan (GT) 414 362,25 -51,75 -12,50%
Ukuran mesin (PK) 1.104 552 -552 -50,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 276 0 0,00%
Produksi (ton) 1,38 1,38 0 0,00%
2 Bagan Sampan2 0,8
Upaya (hari melaut) 8.004 4.195,2 -3.808,8 -47,59%
Ukuran sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1.104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 1,104 1,104 0 0,00%
3 Bagan Sampan3 0,6
Upaya (hari melaut) 5.016 3.009,6 -2.006,4 -40,00%
Ukuran sampan (GT) 396 207,9 -188,1 -47,50%
Ukuran mesin (PK) 528 316,8 -211,2 -40,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 158,4 -105,6 -40,00%
Produksi (ton) 0,792 0,792 0 0,00%
4 Bagan Sampan4 0,8
Upaya (hari melaut) 5.016 4.012,8 -1.003,2 -20,00%
Ukuran sampan (GT) 346,5 277,2 -69,3 -20,00%
Ukuran mesin (PK) 528 422,4 -105,6 -20,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 211,2 -52,8 -20,00%
Produksi (ton) 1,056 1,056 0 0,00%
5 Bagan Sampan5 0,8
Upaya (hari melaut) 8.004 4.195,2 -3.808,8 -47,59%
Ukuran sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1.104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 1,104 1,104 0 0,00%
6 Bagan Sampan6 0,4
Upaya (hari melaut) 8.004 2.097,6 -5.906,4 -73,79%
Ukuran sampan (GT) 362,25 144,9 -217,35 -60,00%
Ukuran mesin (PK) 1.104 220,8 -883,2 -80,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 110,4 -165,6 -60,00%
Produksi (ton) 0,552 0,552 0 0,00%
7 Bagan Sampan7 0,4
Upaya (hari melaut) 5.016 2.006,4 -3.009,6 -60,00%
Ukuran sampan (GT) 396 138,6 -257,4 -65,00%
Ukuran mesin (PK) 528 211,2 -316,8 -60,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 105,6 -158,4 -60,00%
Produksi (ton) 0,528 0,528 0 0,00%
8 Bagan Sampan8 0,6
Upaya (hari melaut) 8004 3146,4 -4857,6 -60,69%
Ukuran sampan (GT) 362,25 217,35 -144,9 -40,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 331,2 -772,8 -70,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 165,6 -110,4 -40,00%
Produksi (ton) 0,828 0,828 0 0,00%
9 Bagan Sampan9 1
Upaya (hari melaut) 8.004 5.244 -2.760 -34,48%
Ukuran sampan (GT) 414 362,25 -51,75 -12,50%
Ukuran mesin (PK) 1104 552 -552 -50,00%
Tenaga kerja (ABK) 276 276 0 0,00%
Produksi (ton) 1,38 1,38 0 0,00%
10 Bagan Sampan10 1
Upaya (hari melaut) 5.016 5.016 0 0,00%
Ukuran sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi (ton) 1,32 1,32 0 0,00%
72
Hasil ini mendukung hasil analisis efisiensi pada alat tangkap, tahun, dan
nelayan pancing rawai sebagai DMU, di mana, penggunaan input untuk kegiatan
penangkapan oleh nelayan lokal di Kabupaten Lombok Timur saat ini telah melebihi
kapasitas maksimum input untuk mendapatka per satuan output.
Hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya
perikanan pantai memperlihatkan bahwa ketidakefektifan kelembagaan awig-awig
pengelolaan sumber daya perikanan pantai masih memberikan dampak negatif
terhadap sumber daya perikanan pantai. Keadaan ini diduduk dari hasil analisis
bioekonomi surplus produksi, analisis degradasi dan depresiasi, sert analisis efisiensi.
Berdasarkan hasil analisis bioekonomi, peningkatan nilai upaya aktual tahun 2002-
2011 diikuti dengan penurunan hasil produksi; nilai upaya yang ada telah melebihi
nilai upaya pada kondisi MSY dan MEY; dan nilai rente ekonomi yang terus
mengalami penurunan. Hasil analisis degradasi dan depresiasi menunjukkan bahwa
nilai laju degradasi dan depresiasi telah mendekati nilai ambang batas degradasi.
Hasil analisis efisiensi teknologi yang digunakan dalam kegiaat penangkapan oleh
nelayan lokal menunjukkan bahwa penggunaan input telah melebihi kapasiatas
maksimum input untuk mendapatkan per satuan output. Hasil analisis yang ada
menynjukkan bahwa sangat penting untuk melakukan kegiatan monitoring; dan
kejelasan batas-batas pengaturan, terutama dalam batasan penggunaan alat tangkap,
alat bantu penangkapan, sampan, mesin, dan tenaga kerja dalam kegiatan
penangkapan. Pada kenyataannya, memang sangat sulit untuk membatasi kegiatan
penangkapan, tetapi kegiatan penangkapan ini dapat dialihkan pada kegiatan
konservasi atau kegiatan pariwisata seperti persewaan kapal oleh nelayan lokal yang
dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan nelayan yang lain.
6.6 Simpulan
ABSTRAK
7.1 Pendahuluan
Pembangunan perikanan dan kelautan baik dalam skala global maupun dalam
skala lokal telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan ini selain
dipicu oleh faktor biologi, di mana, hampir 75% stok sumber daya global sudah tidak
memberikan manfaat secara biologi (telah mengalami biological overfishing), juga
dipicu oleh perubahan sosial, ekonomi, dan kelembagaan serta politik yang memaksa
beberapa negara yang memiliki laut melakukab turning the tide terhadap kebijakan
perikanan dan kelautan mereka (Fauzi 2005). Dengan demikian, erat kaitannya
antara kondisi sumber daya perikanan dengan bagaimana kelembagaan dalam
mengelola sumber daya perikanan ini.
Berbagai model pengelolaan dikembangkan untuk mengatur sumber daya
perikanan, agar terhindar dari kondisi degradasi dan permasalahan lainnya terkait
pada kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan seperti konflik teknologi dan
konflik wilayah. Pada dasarnya, pengelolaan ini dibuat untuk mengatur hak
kepemilikan dalam memanfaatkan sumber daya perikanan (Schlager dan Ostrom
74
1992; Ostrom et al. 1994; Agrawal 2003; Dolsak dan Ostrom 2003; Imperial dan
Yandle 2003; Hidayat 2005).
Salah satu contoh kelembagaan lokal yang berkembang di Indonesia untuk
mengelola sumber daya perikanan pantai adalah awig-awig pengelolaan sumber daya
perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur. Kelembagaan awig-awig ini bertujuan
untuk mengatasi konflik yang marak terjadi di antara nelayan lokal dengan nelayan
pendatang dan antar nelayan lokal sendiri, terkait persaingan wilayah penangkapan
dan persaingan penggunaan teknologi terutama alat tangkap yang menyebabkan
kondisi sumber daya perikanan pantai tindak memberikan manfaat secara biologi dan
ekonomi seperti penurunan hasil tangkapan; kerusakan ekosistem terumbu karang
dan mangrove; hilangnya salah satu pulau kecil (Gili) di wilayah perairan Kabupaten
Lombok Timur; dan penurunan pendapatan nelayan lokal (Syaifullah 2009). Atas
dasar ini, penulis menganggap penting untuk mengevaluasi implikasi kebijakan
pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur.
masyarakat lokal terutama yang terlibat secara langsung pada kegiatan pemanfaatan
sumber daya perikanan pantai seperti melibatkan nelayan budidaya, nelayan
pengolah hasil perikanan, dan wanita nelayan.
Tabel 7.2 Perbaikan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan
pantai di Kabupaten Lombok Timur
Perbaikan Awig-awig Pengelolaan Pelaksanaan
Sumber Daya Perikanan Pantai
Proses Meningkatkan peran Nelayan tangkap membantu dalam mencarikan
pembentukan nelayan lokal dalam pakan alami untuk nelayan pembudidaya;
awig-awig kelembagaan awig- dan/atau Nelayan tangkap bersama-sama
awig nelayan pembudidaya mengembangkan usaha di
bidang parawisata dengan melakukan kegiatan
1 hari keliling pantai (one day trip)
Meningkatkan peran Melibatkan secara aktif wanita nelayan dalam
wanita nelayan dalam kepengurusan KPPL Kawasan
kelembagaan awig-
awig
Isi peraturan Pembatasan hari Menanbahakan dalam peraturan awig-awig
yang melaut pengelolaan sumber daya perikanan pantai
disepakati tentang pembatasan jumlah hari mereka melaut
Pembatasan jumlah Menambahkan dalam peraturan awig-awig
alat tangkap pengelolaan sumber daya parikanan pantai
tentang pembatasan kepemilikan alat tangkap
saat melakukan 1 (satu) kali kegiatan
penangkapan
Meningkatkan Setiap warga yang melaksanakan pernikahan
pemahaman akan dan selamatan (kelahiran, khitanan, dan
sumber daya kematian) diwajibkan untuk menanam pohon
perikanan dan mangrove, melakukan penebaran benih ikan,
lingkungan dan/atau turut dalam rehabilitasi terumbu
karang yang ada; dan, setiap 1 minggu sekali
atau setidaknya satu bulan sekali, dilaksankanan
kegiatan bersih-bersih pantai, yakni dengan
bersama-sama membersihkan pantai dari
sampah-sampah terutama sampah plastik.
Ketiga aktor ini juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
memanfaatkan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur. Seperti
pada nelayan budidaya, terutama nelayan yang melakukan kegiatan budidaya laut
banyak ditemukan di kawasan Teluk Ekas dan Teluk Serewe. Nelayan pengolah hasil
perikanan ini banyak ditemukan di kawasan Pringgebaya. Sedangkan wanita nelayan
ini banyak yang bekerja sebagai pengolah hasil perikanan dan pedagang ikan. Wanita
nelayan ini sering membantu dalam memasarkan hasil tangkapan dari suami mereka.
Pengutan isi peraturan yang disepakati, dengan memambahkan batasan hari
melaut, batasan penggunaan alat tangkap, dan peningkatan pemahaman kondisi
sumber daya perikanan dan lingkungan. Pembatasan hari melaut, dilakukan untuk
mengurangi kelebihan input terutama pada kegiatan penangkapan yang dilakukan
oleh nelayan pancing dan bagan sampan. Pembatasan jumlah hari ini, dapat
dilakukan dengan menambahkan peraturan dalam awig-awig pengelolaan sumber
daya perikanan pantai bahwa setiap nelayan diperbolehkan melaut dalam sebulan
hanya beberapa hari saja dan di hari-hari tertentu, dilarang melakukan kegiatan
penangkapan. Sampai saat ini, sebenarnya nelayan lokal hanya melaut selama 20-23
hari dalam sebulan, sehingga kebiasaan ini dapat ditambahkan dalam peraturan awig-
awig, dan jika nelayan melanggar aturan ini, maka dikenakan denda dalam jumlah
yang disesuaikan berdasarkan kesepakatan bersama.
Selain itu, pembatasan hari melaut terutama untuk kegiatan penangkapan ini
dapat dialihkan kepada kegiatan pariwisata, misalnya dengan menyewakan perahu
untuk kegiatan sehari berkeliling perairan. Kegiatan ini telah dilakukan oleh nelayan
lokal di kawasan Sambelia, di mana, saat mereka tidak melakukan kegiatan
penangkapan, mereka menyewakan perahu mereka untuk kegiatan pariwisata, seperti
berkeliling wilayah perairan pantai, mengunjungi beberapa pulau kecil, dan/atau
mengantarkan para wisatawan untuk bersnorkling dan diving di kawasan Sambelia.
Pembatasan jumlah alat tangkap, dilakukan untuk mengurangi kelebihan input
terutama pada kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pancing dan
bagan sampan. Pentingnya pembatasan kepemilikan alat tangkap ini karena sampai
saat ini pengkontrolan akan kepemilikan alat tangkap ini belum dilakukan, sehingga
tidak ada pengkontrolan akan alat tangkap yang diperbolehkan untuk digunakan oleh
nelayan lokal dalam melakukan satu kali kegiatan penangkapan, yang menyebabkan
nelayan dapat menggunakan lebih dari satu alat tangkap dalam melakukan satu kali
penangkapan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan pendataan dan monitoring pada
nelayan lokal dan kepemilikan alat tangkap, dan saat ada pelanggaran akan batas
kepemilikan alat tangkap ini, maka nelayan tersebut dikenakan denda sesuai dengan
kesepatan dalam peraturan yang disepakati.
Peningkatan pemahaman kondisi sumber daya perikanan dan lingkungan ini
dapat dilakukan dengan menambahkan dalam peraturan dalam awig-awig
pengelolaan sumber daya perikanan pantai tentang kewajiban terutama bagi
masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, saat mereka menyelenggarakan
pernikahan dan/atau selamatan untuk melakukan penanaman mangrove, penebaran
bibit ikan, dan/atau turut dalam program rehabilitasi terumbu karang. Dengan
kewajiban ini, maka secara tidak langsung akan meningkatkan pemahaman
masyarakat setempat akan pentingnya perawatan dan pelestarian sumber daya
perikanan dan lingkungan. Selain itu, kegiatan bersih-bersih pantai yang dilakukan
seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali ini juga dapat membantu peningkatan
pemahaman terhadap sumber daya perikanan dan lingkungan.
80
7.6 Simpulan
8.1 Kesimpulan
8.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang ada, antara lain:
1. Perbaikan pada proses pembentukan dengan lebih melibatkan masyarakat lokal,
seperti nelayan perikanan tangkap, nelayan budidaya, nelayan pengolah hasil
perikanan dan kelauatan, dan wanita nelayan;
2. Perbaikan pada isi peraturan yang disepakati dengan menambahkan batasan hari
melaut, batasan penggunaan alat tangkap, dan peningkatan pemahaman kondisi
sumber daya perikanan dan lingkungan;
3. Perbaikan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig dengan meningkatkan
peran serta lembaga formal terutama pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA
7
93
Lampiran 5 Gambar sampan mesin tempel yang digunakan oleh nelayan lokal
Kabupaten Lombok Timur
94
Lampiran 6 Contoh sumber daya ikan yang ditangkap oleh nelayan lokal
Kabupaten Lombok Timur
95
2002 312 749 26 233688 8112 0,00311 0,002752 0,885031 7179,36768 240867,3677
2003 348 749 26 260652 9048 0,00337 0,003647 1,082319 9792,81873 270444,8187
2004 242 977 32 236434 7744 0,003739 0,004171 1,11538 8637,50284 245071,5028
2005 288 1034 30 297792 8640 0,001317 0,001163 0,882675 7626,30828 305418,3083
2006 288 1034 32 297792 9216 0,001667 0,001395 0,836954 7713,37177 305505,3718
2007 312 1149 32 358488 10094 0,001185 0,001191 1,004761 10142,0103 368630,0103
2008 312 1149 32 358488 9984 0,000804 0,001019 1,268089 12660,6043 371148,6043
2009 312 1055 30 329160 9360 0,000756 0,000795 1,051466 9841,71859 339001,7186
2010 336 1055 30 354480 10080 0,000595 0,000724 1,217748 12274,8977 366754,8977
2011 336 1055 32 354480 10752 0,000439 0,000424 0,965283 10378,7259 364858,7259
96
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0,917609647
R Square 0,842007465
Adjusted R Square 0,789343286
Standard Error 0,338600696
Observations 9
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 2 3,666117 1,833058488 15,98823889 0,003944
Residual 6 0,687903 0,114650432
Total 8 4,35402
97
r=2*(1-b)/(1+b) 1,332584055
q=-c*(2+r) 0,000196179
K=(EXP((a*(2+r)/(2*r)))/q) 639,0383151 ton
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
99
>
>
>
>
>
>
>
>
100
Score
In Rank order
Rank DMU Score
1 Pancing1 1
1 Pancing2 1
Bagan
3 Sampan2 0,497189
Bagan
4 Sampan1 0,475869
DMU
Bagan Sampan2
DMU
Pancing1
0 0,10,20,30,40,50,60,70,80,9 1
Efficiency
101
(i)Upaya
(ii)Ukuran (iii)Ukuran (iv)Tenaga Prod. Aktual
Tahun (hari
sampan (GT) mesin (PK) kerja (ABK) (ton)
melaut)
2002 240867 1295895,04 2669637,60 914898,60 749,04
2003 270445 1295895,04 2669637,60 914898,60 911,36
2004 245072 898042,61 1850032,80 634015,80 916,40
2005 305418 939054,38 1934520,00 662970,00 402,33
2006 305505 1310843,25 2700432,00 925452,00 509,38
2007 368630 1299676,63 2677427,95 917568,39 437,00
2008 371149 1430428,95 2946787,20 1009879,20 298,33
2009 339002 1370252,81 2822820,00 967395,00 256,19
2010 366755 1370636,10 2823609,60 967665,60 218,13
2011 364859 1601375,18 3298948,80 1130566,80 160,11
0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000 0,6000 0,7000 0,8000 0,9000 1,0000
Nilai efisiensi
103
DMU Score
No Projection Difference %
I/O Data
1 2002 0,83
Upaya (hari melaut) 240867,37 40553,41 -200313,96 -16,84%
Ukuran sampan (GT) 1295895,04 561862,38 -734032,65 -43,36%
Ukuran mesin (PK) 2669637,60 1157477,24 -1512160,36 -43,36%
Tenaga kerja (ABK) 914898,60 396673,44 -518225,16 -43,36%
Produksi (ton) 749,04 0,00 749,04 0,00%
2 2003 0,90
Upaya (hari melaut) 270444,82 26720,59 -243724,23 -9,88%
Ukuran sampan (GT) 1295895,04 402789,36 -893105,68 -31,08%
Ukuran mesin (PK) 2669637,60 829775,30 -1839862,30 -31,08%
Tenaga kerja (ABK) 914898,60 284368,29 -630530,31 -31,08%
Produksi (ton) 911,36 0,00 911,36 0,00%
3 2004 1,00
Upaya (hari melaut) 245071,50 0,00 -245071,50 0,00%
Ukuran sampan (GT) 898042,61 0,00 -898042,61 0,00%
Ukuran mesin (PK) 1850032,80 0,00 -1850032,80 0,00%
Tenaga kerja (ABK) 634015,80 0,00 -634015,80 0,00%
Produksi (ton) 916,40 0,00 916,40 0,00%
4 2005 0,42
Upaya (hari melaut) 305418,31 197824,64 -107593,67 -64,77%
Ukuran sampan (GT) 939054,38 544786,97 -394267,41 -58,01%
Ukuran mesin (PK) 1934520,00 1122300,63 -812219,37 -58,01%
Tenaga kerja (ABK) 662970,00 384618,21 -278351,79 -58,01%
Produksi (ton) 402,33 0,00 402,33 0,00%
5 2006 0,45
Upaya (hari melaut) 305505,37 169282,16 -136223,21 -55,41%
Ukuran sampan (GT) 1310843,25 811665,46 -499177,79 -61,92%
Ukuran mesin (PK) 2700432,00 1672089,65 -1028342,35 -61,92%
Tenaga kerja (ABK) 925452,00 573033,75 -352418,25 -61,92%
Produksi (ton) 509,38 0,00 509,38 0,00%
6 2007 0,33
Upaya (hari melaut) 368630,01 251763,28 -116866,73 -68,30%
Ukuran sampan (GT) 1299676,63 871428,93 -428247,70 -67,05%
Ukuran mesin (PK) 2677427,95 1795206,75 -882221,20 -67,05%
Tenaga kerja (ABK) 917568,39 615226,60 -302341,79 -67,05%
Produksi (ton) 437,00 0,00 437,00 0,00%
7 2008 0,21
Upaya (hari melaut) 371148,60 291367,44 -79781,17 -78,50%
Ukuran sampan (GT) 1430428,95 1138078,00 -292350,95 -79,56%
Ukuran mesin (PK) 2946787,20 2344523,09 -602264,11 -79,56%
Tenaga kerja (ABK) 1009879,20 803480,16 -206399,04 -79,56%
Produksi (ton) 298,33 0,00 298,33 0,00%
8 2009 0,20
Upaya (hari melaut) 339001,72 270489,75 -68511,97 -79,79%
Ukuran sampan (GT) 1370252,81 1119196,79 -251056,02 -81,68%
Ukuran mesin (PK) 2822820,00 2305626,47 -517193,53 -81,68%
Tenaga kerja (ABK) 967395,00 790150,10 -177244,90 -81,68%
Produksi (ton) 256,19 0,00 256,19 0,00%
9 2010 0,16
Upaya (hari melaut) 366754,90 308420,45 -58334,45 -84,09%
Ukuran sampan (GT) 1370636,10 1156874,71 -213761,39 -84,40%
Ukuran mesin (PK) 2823609,60 2383245,65 -440363,95 -84,40%
Tenaga kerja (ABK) 967665,60 816750,60 -150915,00 -84,40%
Produksi (ton) 218,13 0,00 218,13 0,00%
10 2011 0,12
Upaya (hari melaut) 364858,73 322039,44 -42819,29 -88,26%
Ukuran sampan (GT) 1601375,18 1444467,72 -156907,46 -90,20%
Ukuran mesin (PK) 3298948,80 2975708,10 -323240,70 -90,20%
Tenaga kerja (ABK) 1130566,80 1019790,53 -110776,27 -90,20%
Produksi (ton) 160,11 0,00 160,11 0,00%
104
DMU
Pancing2
Pancing3
DMU
Pancing5
Pancing4
Efficiency
105
No. DMU Score
I/O Data Projection Difference %
1 Pancing1 0,5
Upaya(hari melaut) 4752 2376 -2376 -50,00%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 173,25 -173,25 -50,00%
Ukuran mesin (PK) 528 264 -264 -50,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 132 -132 -50,00%
Produksi (ton) 1,32 1,32 0 0,00%
2 Pancing2 0,4
Upaya(hari melaut) 8004 1987,2 -6016,8 -75,17%
Ukuran Sampan (GT) 362,25 144,9 -217,35 -60,00%
Ukuran mesin (PK) 552 220,8 -331,2 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 110,4 -165,6 -60,00%
Produksi (ton) 1,104 1,104 0 0,00%
3 Pancing3 0,8
Upaya(hari melaut) 8004 3974,4 -4029,6 -50,34%
Ukuran Sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
4 Pancing4 1
Upaya(hari melaut) 4752 4752 0 0,00%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi (ton) 2,64 2,64 0 0,00%
5 Pancing5 0,8
Upaya(hari melaut) 8004 3974,4 -4029,6 -50,34%
Ukuran Sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
6 Pancing6 0,8
Upaya(hari melaut) 8004 3974,4 -4029,6 -50,34%
Ukuran Sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
7 Pancing7 1
Upaya(hari melaut) 4752 4752 0 0,00%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi (ton) 2,64 2,64 0 0,00%
8 Pancing8 0,5
Upaya(hari melaut) 5016 2376 -2640 -52,63%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 173,25 -173,25 -50,00%
Ukuran mesin (PK) 528 264 -264 -50,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 132 -132 -50,00%
Produksi (ton) 1,32 1,32 0 0,00%
9 Pancing9 0,8
Upaya(hari melaut) 8004 3974,4 -4029,6 -50,34%
Ukuran Sampan (GT) 414 289,8 -124,2 -30,00%
Ukuran mesin (PK) 1104 441,6 -662,4 -60,00%
Tenaga Kerja (ABK) 276 220,8 -55,2 -20,00%
Produksi (ton) 2,208 2,208 0 0,00%
10 Pancing10 1
Upaya(hari melaut) 4752 4752 0 0,00%
Ukuran Sampan (GT) 346,5 346,5 0 0,00%
Ukuran mesin (PK) 528 528 0 0,00%
Tenaga Kerja (ABK) 264 264 0 0,00%
Produksi (ton) 2,64 2,64 0 0,00%
106
DMU
Bagan Sampan7
Bagan Sampan8
DMU
Bagan Sampan4
Bagan Sampan10
0 0,10,20,30,40,50,60,70,80,9 1
Efficiency
107
RIWAYAT HIDUP
Peneliti dilahirkan di Lumajang, Jawa Timur pada tanggal 8 Maret 1982, anak
ketiga dari Bapak Soedarno, BA dan Ibu Sugiyati. Peneliti menyelesaikan Sekolah
Menengah Atas di SMAN 1 Kota Probolinggo pada tahun 2000 dan melanjutkan
pendidikan Strata 1 (S1) di Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro,
Semarang dan selesai pada tahun 2004.
Sebelum peneliti memutuskan untuk bergabung pada Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor Program Magister Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan tahun
2011, pada tahun 2006 sampai dengan Tahun 2009 peneliti bekerja magang pada
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Probolinggo. Peneliti juga pernah bekerja
sebagai Tenaga Pendamping Desa (TPD) dari Program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP) Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
dan ditempatkan pada Kota Probolinggo pada tahun 2007 dan 2008. Selain itu, pada
Tahun 2006 sampai dengan Tahun 2009. peneliti juga pernah bekerja sebagai Dosen
pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bayuangga. Kota Probolinggo.
Selama menempuh pendidikan di pascasarjana IPB, peneliti mendapatkan
Beasiswa Unggulan dari Badan Kerjasama Luar Negeri (BU-BKLN), dan sebagian
kegiatan penelitian mendapatkan dana dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (PSPKL-IPB) melalui Governing Marine Conservation Area for Sustainable
Fisheries Project.