Anda di halaman 1dari 6

Tatalaksana Difteria

1. Tujuan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria (Jain et al, 2016)
2. Tatalkasana umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah
baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan
lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat
atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3,
7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap
bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (3)
3. Tatalaksana Khusus
Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS) Antitoksin harus diberikan segera setelah
dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian
pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini biasa meningkat sampai 30%. (Smith et al, 2016). Dosis ADS Menurut Lokasi
Membran dan Lama Sakit Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian Difteria Hidung
20.000 Intramuscular Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena Difteria Faring 40.000
Intramuscular / Intravena Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena Kombinasi lokasi
diatas 80.000 Intravena Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena Terlambat
berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji
kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit
dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara
intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara
desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit
dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI
seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis
atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (Both L et al,
2017; Hifumi et al, 2017)
Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan
organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro,
termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi
terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang
dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada
penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Dosis : Penisilin prokain 25.000-50.000
U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari. Penisilin G
kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis.
Amoksisilin. Rifampisin. Klindamisin. Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita
dengan difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-
kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil
berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (8)
Kortikosteroid; belum terdapat kesepakatan mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat
penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak
terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama
14 hari. C. Pengobatan Penyulit Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar
hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible.
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi. D. Pengobatan Karier Karier adalah mereka yang tidak
menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negative tetapi mengandung basil difteria
dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi.
Pengobatan terhadap kontak difteria; biakan Uji Schick Tindakan (-) (-) Bebas isolasi :
anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria (+) (-)
Pengobatan karier berupa penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama 1 minggu (+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI (-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif),
sesuaikan dengan status imunisasi
4. Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. (8)
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya,
keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang
dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus
difteria dapat disebabkan oleh karena :
a. Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
b. Adanya miokarditis dan gagal jantung,
c. Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan
kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya
trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas
tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring
(10,5%) (1). 2. 9. Pencegahan Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah
seseorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi
difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai
antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi
pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan. (Gowin et al,
2016; Hammarlund et al, 2016)
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya
dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua
preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu
pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5
Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih
dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D)
digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena
imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan
yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri
yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi
reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi. (Fallo et al, 2016) Rencana (Jadwal) : Untuk
anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri (D). seri
pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral
seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan
umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun). (Trucchi
dan Zoppi, 2015; Weinberger, 2017)
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan dosis
ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua. Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi
digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun
harus mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun.
Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5
mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali
kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun. (Alsarraf H et al, 2017; Mogensen et al,
2017)
Daftar pustaka
Alsarraf H, Dedic E, Bjerrum MJ, et al. 2017. Biophysical comparison of diphtheria
and tetanus toxins with the formaldehyde-detoxified toxoids, the main components
of diphtheria and tetanus vaccines. Virulence. 2017 Apr 21:0. doi:
10.1080/21505594.2017.1321726.
Both L, White J, Mandal S, Efstratiou A. 2014. Access to diphtheria antitoxin for
therapy and diagnostics. Euro Surveill. 2014 Jun 19;19(24)
Fallo AA, Neyro SE, Manonelles GV, et al. 2016. Prevalence of Pertussis Antibodies in
Maternal Blood, Cord Serum, and Infants From Mothers With and Those Without
Tdap Booster Vaccination During Pregnancy in Argentina. J Pediatric Infect Dis
Soc. 2016 Dec 30. pii: piw069. doi: 10.1093/jpids/piw069
Gowin E, Wysocki J, Kauna E, witek-Kocielna B, Wysocka-Leszczyska J,
Michalak M, Januszkiewicz-Lewandowska D. 2016. Does vaccination ensure
protection? Assessing diphtheria and tetanus antibody levels in a population of
healthy children: A cross-sectional study. Medicine (Baltimore). 2016
Dec;95(49):e5571
Hifumi T, Yamamoto A, Ato M, et al. 2017. Clinical Serum Therapy: Benefits,
Cautions, and Potential Applications. Keio J Med. 2017 Apr 28. doi:
10.2302/kjm.2016-0017-IR
Jain A, Samdani S, Meena V, Sharma MP. 2016. Diphtheria: It is still prevalent!!!. Int
J Pediatr Otorhinolaryngol. 2016 Jul;86:68-71. doi: 10.1016/j.ijporl.2016.04.024
Mogensen SW, Andersen A, Rodrigues A. 2017. The Introduction of Diphtheria-
Tetanus-Pertussis and Oral Polio Vaccine Among Young Infants in an Urban
African Community: A Natural Experiment. EBioMedicine. 2017 Mar;17:192-198.
doi: 10.1016/j.ebiom.2017.01.041.
Smith HL, Cheslock P, Leney M, Barton B, Molrine DC. 2016. Potency of a human
monoclonal antibody to diphtheria toxin relative to equine diphtheria anti-toxin in a
guinea pig intoxication model. Virulence. 2016 Aug 17;7(6):660-8. doi:
10.1080/21505594.2016.
Trucchi C, Zoppi G. 2015. Decennial diphtheria-tetanus adult boosters: are they really
necessary?. J Prev Med Hyg. 2015 Jun 10;56(1):E44-8.
Weinberger B. 2017. Adult vaccination against tetanus and diphtheria: the European
perspective. Clin Exp Immunol. 2017 Jan;187(1):93-99. doi: 10.1111/cei.12822.
Hammarlund E, Thomas A, Poore EA, et al. 2016. Durability of Vaccine-Induced
Immunity Against Tetanus and Diphtheria Toxins: A Cross-sectional Analysis. Clin
Infect Dis. 2016 May 1;62(9):1111-8. doi: 10.1093/cid/ciw066

Anda mungkin juga menyukai