Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

CHOLESTASIS

I. Konsep Penyakit
I.1 Definisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam
jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-
zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan kolesterol di
dalam darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North American Society for
Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (NASPGHAN), kolestasis apabila
kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan
bila kadar dari bilirubin total lebih dari 5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari
bilirubin total (Benchimol dkk., 2009; Bhatita, 2014).

I.2 Etiologi
Kolestasis Ekstrahepatik
- Atresia bilier ekstrahepatik
- Kista duktus koledokus
- Perforasi spontan duktus biliaris komunis
- Inspissated bile syndrome
- Caroli syndrome

Hepatoseluler

- Infeksi Hepatitis virus


- Sifilis Infeksi
- TORCH
- Varicela
- Leptospirosis
- Infeksi HIV
- Sepsis
- Tuberkulosis
- Infeksi saluran kemih
- Cytomegalo virus (CMV)

Kelainan metabolic

- Kelainan metabolisme asam amino (tirosinemia)


- Kelainan metabolisme lemak (penyakit Gaucher, penyakit Niemann-Pick, Sindrom
Wolman)
- Kelainan metabolisme karbohidrat (galaktosemia, intoleransi fruktosa herediter,
glycogen storage disease)
- Kelainan metabolisme asam empedu Kelainan metabolik bilirubin (Dubin-Johnson
syndrome, Rotor syndrome)
- Kelainan mitokondria
- Defisiensi alfa-1 antitripsin
- Trisomi 18,21

Kelainan endokrin

- Hipotiroid
- Hipopituitarisme

Bedasarkan klasifikasinya penyebab kolestasis, yaitu :

a. Kolestasis intrahepatik
Kolestasis intrahepatik terjadi karena kelainan pada hepatosit atau elemen duktus
biliaris intrahepatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi, retensi serta
regurgitasi bahan-bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam
empedu serta kolesterol ke dalam plasma, dan selanjutnya pada pemeriksaan
histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem
biliaris di dalam hati (Bisanto, 2011; Ermaya, 2014)

b. Kolestasis ekstrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik. Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah proses imunologis, infeksi
virus terutama Cytomegalo virus, Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia
dan kelainan genetik. Akibat dari penyebab tersebut maka akan terbentuk kelainan
berupa nekroinflamasi, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan pembuntuan
saluran empedu ekstrahepatik (Arief, 2012; Ermaya, 2014).

I.3 Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah
- ikterus atau kulit dan mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua
minggu,
- urin berwarna lebih gelap,
- tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul (akholik)

Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat dijumpai


- hepatomegali,
- splenomegali,
- gagal tumbuh, dan
- wajah dismorfik

Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan kolestasis adalah

- hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit metabolik,


- hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat,
- perdarahan oleh karena defisiensi vitamin K,
- hiperkolesterolemia,

I.4 Patofisiologi
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan
kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,
kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin
terkonjugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu
sedang bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu
adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana
permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apical
(kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi
sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme
dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu. Salah
satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonjugasi /
bilirubin indirek (Arief, 2010).

Bilirubin tidak terkonjugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter
pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang
mengandung P450 menjadi bilirubin terkonjugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam
empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggung jawab
terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit
kedalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan
dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu
menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Proses yang terjadi di hati seperti
inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada
transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi
terkonjugasi (Areif, 2010).

Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural:


a. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas
darihepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu,
danlemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu.
b. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan
gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi
akanterganggu.
c. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi
serum protein albumin-globulin akan menurun.
d. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan
kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA
reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer
sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas
hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi
produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.
e. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila
kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena
Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.
f. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir
dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya
akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis.
Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal.
g. Mekanisme kerusakan hati sekunder
Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati
melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan
kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan
terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na+, K+-
ATPase, Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat
terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga
terganggu.Sistem transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang
mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl
leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam
empedu.

h. Proses imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal
pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu
sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit.
Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier (Nazer, 2010).

I.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk mengetahui tipe kolestasis. Pada
pemeriksaan penunjang terdapat beberapa metode pemeriksaan yang mencakup:
pemeriksaan laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati dan kolangiografi intraoperatif
(Benchimol dkk., 2009; Bisanto, 2011; Ermaya, 2014). a. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin yang
dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan mengetahui hasil dari komponen
bilirubin kita dapat membedakan antara kolestasis dengan hiperbilirubinemia
fisiologis. Dikatakan kolestasis apabila didapatkan kadar billirubin direk lebih dari 1
mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau kadar billirubun direk lebih dari
20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5 mg/dl.
2) Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT 5 kali, hal
ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.
3) Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal ini
menunjukkan adanya proses infeksi.
4) Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang
mengalami kolestasis.
5) Serum lipoprotein-X meningkat pada kolestasis yang disebabkan oleh obstruksi.
6) Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin biasanya normal
tetapi mungkin memanjang, yang dapat dikoreksi dengan vitamin K. g. Kadar gula
darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk mendeteksi kelainan yang
berhubungan dengan metabolik.
7) Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya infeksi
Toksoplasma, Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes.
8) Pemeriksaan FT4 dan TSH.
9) Pemeriksaan biakan bakteri (biakan urin dan darah).
10) Pemeriksaan hepatitis B dan pemeriksaan kadar -1 antitripsin.

b. Pemeriksaan Tinja
Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3 porsi
(dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis ekstrahepatik hampir
selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik (Girard dan Lacaille, 2008;
Tufano dkk., 2009; Oswari, 2014).

Cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah :


1. Porsi I diambil pada pukul 06.00 14.00
2. Porsi II diambil pada pukul 14.00 22.00
3. Porsi III diambil pada pukul 22.00 06.00

Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang berwarna gelap kemudian
setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul tiga sampel. Apabila dalam beberapa
hari pemeriksaan didapatkan hasil tinja yang berwarna dempul, maka kemungkinan besar
pasien tersebut mengalami kolestasis ekstrahepatik. Pada pasien dengan kolestasis
intrahepatik biasanya hasil pemeriksaan tinja yang diperiksa hasilnya normal.

c. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mendeteksi adanya tanda triangular cord dibagian atas
percabangan vena porta. Ultrasonografi memiliki sensitivitas 85%, spesifisitas 100%,
dan akurasi 95% untuk mendiagnosis atresia bilier ekstrahepatik (Oswari, 2007;
Bisanto, 2011)

d. Biopsi hati
Pada atresia bilier dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile plug,
portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada pasien dengan hepatitis neonatal
idiopatik dengan metode ini akan didapatkan gambaran pembengkakan sel difus,
transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal (Oswari, 2007).

I.6 Penatalaksaaan
Secara garis besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Penatalaksanaan Kausal
Terapi spesifik kolestasis sangat tergantung dari penyebabnya. Kolestasis
ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier, tindakan operasi Kasai dan
transpalantasi hati merupakan cara yang efektif untuk tata laksananya. Tindakan
operasi Kasai efektif bila dikerjakan pada umur <6 minggu dengan angka
keberhasilan mencapai 80-90% , apabila dilakukan pada umur 10-12 minggu angka
keberhasilannya hanya sepertiga saja. Tatalaksana kolestasis intrahepatik dengan
medikametosa sesuai dengan penyebab merupakan tatalaksana yang tepat .

b. Penatalaksanaan suportif
Tata laksana suportif kolestasis bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan
perkembangan seoptimal mungkin. Tata laksana suportif meliputi: (Oswari, 2007;
Putra dan Karyana, 2010, Bisanto, 2011).
1) Medikamentosa
Pemberian medikamentosa pada kolestasis bertujuan untuk meningkatkan aliran
empedu. Medikamentosa yang biasanya diberikan antara lain:
a. Asam ursodeoksikolat
Obat ini umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang
disebabkan kolestasis. Disamping itupula obat ini berfungsi sebagai
hepatoprotektor. Dosis yang diberikan adalah: 1020 mg/kgBB/Hari.
b. Kolestramin
Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi
sirkulasi enterohepatik. Dosis: 0,25-0,5 g/kgbb/hari.

2) Nutrisi
Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis.
Penurunan eksresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis
intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Bayi dengan
kolestasis membutuhkan asupan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal
untuk mengejar pertumbuhan. Untuk menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal
mungkin dengan terapi nutrisi, digunakan formula khusus dengan jumlah kalori
120-150% dari kebutuhan normal serta vitamin, mineral dan trace element:
a. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 130-150% kebutuhan bayi
normal sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein 2-3 gr/kgbb/hari.
b. Vitamin yang larut dalam lemak: vitamin A 5000-25000 IU/hari, vitamin D
Calcitriol 0,05-0,2 ug/kgbb/hari, vitamin E 25-50 IU/kgbb/hari, dan vitamin K
2-5 mg (IM) selama 3 hari berturut-turut apabila pasien dengan pemanjangan
faal hemostasis, pasien tanpa pemanjangan faal hemostasis berikan vitamin K
2-5 mg (IM) setiap 2-3 minggu.

3) Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama penderita dengan kelainan


hati yang progresif yang memerlukan transplantasi hati (Oswari, 2007; Putra dan
Karyana, 2010; Bisanto, 2011).

II. Rencana asuhan keperawatan klien dengan kolestasis


II.1 Pengkajian
II.1.1 Riwayat Keperawatan
II.1.1.1 Anamnesis
Riwayat ikterus lebih dari 14 hari, keluarga pasien yang menderita
kolestasis, lahir prematur atau berat lahir rendah, riwayat kehamilan
dengan infeksi TORCH, hepatitis B, infeksi intrapartum, pemberian nutrisi
parenteral, sepsis dan ISK. Bayi dengan atresia bilier biasanya lahir
dengan berat badan yang normal, sedangkan pada bayi dengan kolestasis
intrahepatik lahir dengan berat badan lahir rendah (Arief, 2012).

II.1.2 Pemeriksaan fisik : data focus


Inspeksi :
Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan
kolestasis, dan merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada
umumnya gejala ikterik akan muncul pada pasien apabila kadar bilirubin
sekitar 7 mg/dl (Girard dan Lacaille, 2008; Benchimol dkk., 2009).

Pasien dengan kolestasis dapat dijumpai juga adanya splenomegali,


perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi vitamin K, urin berwarna gelap
seperti teh, tinja warnanya pucat (akholik), sampai bisa didapatkan pasien
dengan gagal tumbuh (Kader dan Balistreri, 2011; Arief, 2012).

Palpasi
Pemeriksaan abdomen bisa ditemukan adanya hepatomegali, apabila
didapatkan kosistensi hepar keras, tepi tajam, dan permukaan noduler, hal
tersebut dapat diperkirakan hepar sudah mengalami fibrosis atau sirosis.
Hepar yang teraba pada daerah epigastrium maka dapat dicerminkan sebagai
sirosis. Rasa nyeri tekan pada palpasi merupakan mekanisme peregangan dari
kapsula Glissoni yang disebabkan karena edema.

II.1.3 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk mengetahui tipe
kolestasis. Pada pemeriksaan penunjang terdapat beberapa metode pemeriksaan
yang mencakup: pemeriksaan laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati dan
kolangiografi intraoperatif (Benchimol dkk., 2009; Bisanto, 2011; Ermaya, 2014).
a. Pemeriksaan laboratorium
11) Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin
yang dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan mengetahui hasil
dari komponen bilirubin kita dapat membedakan antara kolestasis dengan
hiperbilirubinemia fisiologis. Dikatakan kolestasis apabila didapatkan kadar
billirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl
atau kadar billirubun direk lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih
dari 5 mg/dl.
12) Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT 5
kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.
13) Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka
hal ini menunjukkan adanya proses infeksi.
14) Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang
mengalami kolestasis.
15) Serum lipoprotein-X meningkat pada kolestasis yang disebabkan oleh
obstruksi.
16) Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin
biasanya normal tetapi mungkin memanjang, yang dapat dikoreksi dengan
vitamin K. g. Kadar gula darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk
mendeteksi kelainan yang berhubungan dengan metabolik.
17) Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya
infeksi Toksoplasma, Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes.
18) Pemeriksaan FT4 dan TSH.
19) Pemeriksaan biakan bakteri (biakan urin dan darah).
20) Pemeriksaan hepatitis B dan pemeriksaan kadar -1 antitripsin.

e. Pemeriksaan Tinja
Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3
porsi (dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis
ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik
(Girard dan Lacaille, 2008; Tufano dkk., 2009; Oswari, 2014).

Cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah :


4. Porsi I diambil pada pukul 06.00 14.00
5. Porsi II diambil pada pukul 14.00 22.00
6. Porsi III diambil pada pukul 22.00 06.00

Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang berwarna gelap
kemudian setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul tiga sampel.
Apabila dalam beberapa hari pemeriksaan didapatkan hasil tinja yang
berwarna dempul, maka kemungkinan besar pasien tersebut mengalami
kolestasis ekstrahepatik. Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik biasanya
hasil pemeriksaan tinja yang diperiksa hasilnya normal.

f. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mendeteksi adanya tanda triangular cord dibagian atas
percabangan vena porta. Ultrasonografi memiliki sensitivitas 85%, spesifisitas
100%, dan akurasi 95% untuk mendiagnosis atresia bilier ekstrahepatik
(Oswari, 2007; Bisanto, 2011)

g. Biopsi hati
Pada atresia bilier dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile
plug, portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada pasien dengan
hepatitis neonatal idiopatik dengan metode ini akan didapatkan gambaran
pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler
fokal (Oswari, 2007).

II.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 :
II.2.1 Definisi
II.2.2 Batasan karakteristik
II.2.3 Faktor yang berhubungan

Diagnosa 2 :

II.2.4 Definisi
II.2.5 Batasan karakteristik
II.2.6 Faktor yang berhubungan

II.3 Perencanaan
Diagnosa 1 :
II.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria)
II.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional

Diagnosa 2 :
II.3.3 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria)
II.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional

III.Daftar Pustaka
Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(.) ()

Anda mungkin juga menyukai