Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

APLIKASI SADZ ADZ-DZARIAH

DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Analisis terhadap Penerapan Sadz Adz-Dzari'ah dalam Kompilasi

Hukum Islam

Dalam merumuskan Kompilasi Hukum Islam di samping merefer dari

kitab-kitab salaf yang sudah lama menjadi referensi para hakim dalam

memutuskan perkaranya di Pengadilan Agama, juga dilakukan beberapa

penambahan pemikiran yang tidak ada dalam kitab-kitab kuning. Karena itu,

dalam merumuskan pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam digunakan beberapa

metode ijtihad yang ada dalam disiplin ushul fiqh. Dari mulai metode

istihsan, maslahat mursalah, sadz adz-dzari'ah dan lainnya. Dalam konteks

kajian ini akan difokuskan pada aplikasi metode sadz dzariah dalam pasal-

pasal KHI.

Berikut akan dikaji beberapa pasal yang dalam perumusannya

menggunakan sadz adz-dzari'ah:

1. Pasal 1 item e tentang taklik talak.

Taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria


setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji
talak yang digantungkan pada suatu keadaan tertentu yang mungkin
terjadi di masa yang akan datang.

Pasal di atas mempunyai implikasi yang jelas yakni putusnya

hubungan pernikahan akibat dari tidak dipenuhinya janji-jani yang ada

44
45

dalam akta nikah. Perumusan talik talak ini secara eksplisit tidak ada

dalam kajian kitab-kitab kuning. Dirumuskannya pasal ini adalah untuk

mencegah adanya kesewenang-wenangan suami dalam mengarungi

kehidupan rumahtangga. Taklik ini menutup jalan kerusakan terjadinya

mafsadat berupa pengabaian tugas-tugas suami dalam memberi nafkah

bagi istri dan anak-anaknya, melakukan pembinaan rumah tangga dan

tugas-tugas lain yang mendukung terbentuknya rumah tangga yang

sakinah, mawaddah dan rahmat sesuai dengan tujuan pernikahan.

Dengan deskripsi ini dapat disimpulkan bahwa perumusan pasal 1

item e adalah menggunakan metode sadz adz-dzari'ah. Dengan ini jelas

bahwa metode ini digunakan untuk menolak mafsadat dan memberikan

maslahat bagi kehidupan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan apa yang

dimaksud Hasbi Ash-Shiddiqi tentang sadz adz-dzari'ah yakni mencegah

sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan atau

menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan.1

2. Pasal 5 ayat 1 dan 2 tentang pencatatan perkawinan

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap


perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.
22 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Pasal di atas merupakan hal yang baru karena dalam terminologi

fiqh klasik tidak ditemukan adanya aturan pencatatan perkawinan. Aturan

ini semata-mata hanya untuk menolak kemafsadatan berupa perkawinan

1
Hasbi As-Syiddiqi, Hasbi As-Syidiqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1996, hlm. 220
46

yang dilakukan dengan banyak wanita tanpa bisa terdeteksi sehingga

merugikan pihak wanita dan anak-anaknya kelak. Adanya pencatatan

perkawinan bisa digunakan untuk mencegah perkawinan liar yang

dilakukan oleh laki-laki karena tidak adanya dokumen atau status

pernikahan yang secara hitam putih mempunyai kekuatan hukum.

Dengan pencatatan perlawinan ini maka hak-hak istri dan anak-anak

sudah jelas karena mempunyai kekuatan hukum sehingga sewaktu-waktu

suami ingin menikah lagi harus ada pra syarat lain yakni persetujuan

isteri pertama. Di samping itu, pencatatan perkawinan juga untuk tertib

administrasi dan hukum. Dengan dicatatkannya perkawinan, maka dapat

menolak kemafsadatan dan memperoleh kemaslahatan. Sementara itu,

menurut Ahmad Rofiq, pencatatan perkawinan ini untuk lebih

menyadarkan masyarakat betapa penting nilai keadilan dan ketertiban

dalam sebuah perkawinan yang menjadi pilar tegaknya kehidupan rumah

tangga. Pasal ini dapat menghindarkan akibat negatif yang lebih besar.2.

Selanjutnya yang berkaitan dengan pasal ini adalah pasal 6 ayat

1 dan 2 yakni:

(1) Untuk memenuhi dalam pasal 5, setiap perkawinan harus


dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah.
(2) Pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Memperhatikan pasal di atas, dapat dipahami bahwa pencatatan

perkawinan yang dilakukan di hadapan dan di bawah pengawasan

2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.
109
47

Pegawai Pencatat Nikah tersebut adalah syarat administratif. Artinya

perkawinan tetap sah karena standar sah tidaknya perkawinan adalah

ditentukan oleh norma-norma agama. Pencatatn perkawinan di depan

PPN adalah agar suatu saat kelak terjadi pelalaian kewajiban oleh salah

satu pihak, dapat dilakukan upaya hukum. Dengan adanya catatn

perkawinan maka upaya hukum ini akan mempunyai bukti-bukti otenstik

dan sah. Ini tentu mencegah tyerjadinya kerusakan pengurangan hak-hak

salah satu pihak yang tanpa adanya pencatatan bisa hilang sama sekali.

Misalnya terjadi perceraian tetapi tidak mempunyai bukti otentik, dan

salah satu pihak kehilangan hak kepemilikan harta bersama, maka tidak

bias memperoleh hak tersebut karena tidak mempunyai bukti otentik dan

sah. Untuk itu Kompilasi Hukum Islam lebih lanjut mengatur dalam pasal

7 ayat 1, 2, dan 3 tentang Akta Nikah:

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
(b) Hilangnya Akta Nikah.
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan.
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

Disamping hal-hal di atas, manfaat pencatatan perkawinan di

hadapan PPN dengan dibuktikan akta nikah dapat menjadi upaya

preventif menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau


48

penyimpangan syarat dan rukun-rukun perkawinan baik menurut hukum

agama maupun perundang-undangan. Secara lebih detail Ahmad Rofiq

menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan memberikan manfaat,

pertama, memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kompetensi

relative dari PPN. Kedua, menghindari terjadinya pemalsuan atau

penyimpangan hukum lainnya, seperti identitas calon mempelai dan

status perkawinan mereka, termasuk kemungkinan terjadinya perbedaan

agama yang mereka anut. Belum lagi dengan pemalsuan umur sehingga

terjadi kawin muda yang menjadi pemicu perceraian di beberapa

Pengadilan Agama.3

3. Pasal 8 tentang putusnya perkawinan

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan


surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk
putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.

Pasal ini menunjukkan bahwa mafsadat adanya cerai secara

sembarangan atau perceraian sesuka hati. Perkawinan bertujuan untuk

membentuk keluarga yang abadi. Dengan demikian pasal ini akan

mempersulit proses perceraian sehingga tujuan tadi dapat terwujud. Arti

mempersulit di sini adalah bahwa dengan ketentuan pasal ini maka

keretakan rumah tangga dapat dicoba dibangun dan diharmoniskan

kembali lewat sidang-sidang pengadilan. Hakim berupaya mendamaikan

semaksimal mungkin. Hal ini karena perceraian yang terburu-buru tanpa

harus ditetapkan di depan persidangan tentu membawa mafsadat baik

3
Ibid., hlm. 112-113.
49

bagi suami istri yang bersangkutan maupun anak-anak mereka.

Perceraian jelas berpengaruh pada kondisi anak. Dengan demikian, pasal

ini memberikan sebuah pencegahan timbulnya mafsadat akibat perceraian

yang terburu-buru dan emosional. Pengadilan mempunyai wewenang dan

kesempatan untuk mendamaikan keduanya sehingga rumah tangga dapat

dibangun terus. Dengan demikian, pasal di atas yang mengatur putusnya

perkawinan harus di depan sidang pengadilan merupakan prinsip

mempersulit perceraian terutama bagi pasangan yang tidak ada alasan

syari untuk bercerai.

4. Pasal 44 KHI tentang larangan pernikahan antara wanita Islam dengan

laki-laki non muslim. Pasal ini dirumuskan demi mencegah terjadinya

kerusakan yakni diduga dengan kuat bahwa wanita Islam yang menikah

dengan laki-laki non muslim akan terpengaruh menjadi kafir. Kerusakan

yang mungkin diakibatkan dari pernikahan ini sangat fatal karena

menyalahi prinsip pemeliharaan agama (hifdz al-din) yang sangat

ditekankan dalam Islam. Bukan hanya itu, pernikahan model ini

dikhawatirkan akan menjerumuskan anak-anak dan wanita tersebut dalam

kekufuran dan kemusyrikan. Dalam perumusan pasal ini jelas

menggunakan metode sadz adz-dzari'ah yakni mencegah terjadinya

kerusakan dalam hal agama baik wanita muslim maupun anak-anaknya.

5. Pasal Tentang syarat beristri lebih satu

KHI memperbolehkan seseorang beristri lebih dari satu, akan tetapi

harus dengan izin Pengadilan Agama. Izin ini didasarkan pada kenyataan
50

bahwa istri tidak bisa melahirkan, tidak dapat menjalankan kewajiban

sebagai istri atau cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Di samping itu ada ketentuan pasal 58 item sebagai berikut:

Pasal 58:
a. Adanya persetujuan istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka

Pasal di atas memberikan sebuah syarat bahwa ketika ingin

beristri lebih dari satu maka harus ada persetujuan istri sebelumnya. Ini

tentu mengandung maksud agar tidak terjadi kemafsadatan bagi istri dan

anak (keluarga) pertama ketika suami menikah lagi. Ini sesuai dengan

konsep Asy-Syatibi tentang sadz adz-dzari'ah yakni at-tawasulu bi ma

maslahatun ila mafsadatin, maksudnya adalah seseorang melakukan

suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung

suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu

kemafsadatan.4 Menikah lagi adalah diperbolehkan agama, akan tetapi

apabila tidak mempertimbangkan pasal 58 ayat 1 item a dan b, maka

pernikahan lagi akan membawa kemafsadatan. Berdasarkan konsep ini

maka menikah lebih darii satu harus ada izin dari istri sebelumnya dan

ada kesanggupan menjamin keperluan hidup istri-istri dan anaknya.

Relevan dengan pembahasan pasal ini adalah kaidah fiqhiyyah darul

mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih.5

4
Pendapat As Syatibi ini sebagaimana dikutip oleh Harun Nasroen, Ushul Fiqih I,
Jakarta: Logos, 1996, hlm. 188
5
Lihat Imam Jalaluddin Abdurrahman As Suyuti, , Asbah Wan Nadlair, Semarang:
Toha Putra, tt
51

Dari berbagai pasal di atas, metode sadz adz-dzariah diaplikasikan

dalam rangka mencegah kemafsadatan. Namun tidak menutup kemungkinan

bahwa di samping menggunakan metode syad adz-dzari'ah beberapa pasha di

atas juga menggunakan metode lain yang saling memperkuat. Misalnya

dengan menggunakan kaidah fiqhiyyah darul mafasid muqaddamun ala

jalbil mashalih dan kaidah maslahat mursalah.

Penggunaan sadz adz-dzari'ah dalam pasal-pasal KHI membawa

kemaslahatan bagi umat Islam khususnya dalam bidang hukum keluarga. Ini

akan memelihara tujuan syara (maqashid al-syariah). Karena pentingnya

maqashid al-syariah ini para ulama menjadikan sebagai salah satu kriteria

dalam melakukan ijtihad. Adapun inti dari maqashid al-syariah adalah

mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau mearik

maslahat dan menolak mudlarat.6 Inilah siginifikansi metode syad adz-

dzari'ah dalam merealisasikan maqashid al-syariah.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam perumusan pasal-pasal KHI

dilakukan dengan mencari data dalam kitab kuning dan yurisprudensi. Di luar

ini dilakukan dengan cara ijtihad secara kolektif oleh para ulama yang

terkemuka. Dalam konteks ini maka aplikasi sadz adz-dzriah tentu dipakai

dalam merumuskan pasal-pasal KHI. Belum lagi ketika pasal-pasal KHI juga

mengambil pendapat lembaga fatwa seperti dari MUI, NU dan

Muhammadiyah. Tentu ketiga organisasi tersebut dalam penetapan fatwanya

menggunakan berbagai metode ijtihad termasuk sadz adz-dzari'ah.

6
Lihat Yusdani dan Amir Muallim, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta:
UII Press, 1999, hlm. 52
52

B. Implikasi Penggunaan Sadz adz-Dzariah dalam KHI terhadap

Pengembangan Hukum Islam

Penggunaan Sadz Azd-Dzari'ah (dan tentunya metode yang lainnya)

dalam perumusan KHI merupakan pemikiran luar biasa bagi pemikiran

fiqih di Indonesia. Di tengah-tengah terbelenggunya umat Islam pada

pemikiran ulama salaf atau kitab kuning oriented dan enggannya untuk

melakukan ijtihad, KHI seakan menjadi titik tolak pengembangan hukum

Islam secara nasional. Ahmad Rofiq menilai bahwa telah terjadi pembakuan

hasil ijtihad dan anggapan bahwa hasil ijtihad pada masa lampau

merupakan sesuatu yang par-exllence dan serba melingkupi.7

Padahal, dalam perjalanannya, hukum Islam (baca: fiqh) mengalami

pertumbuhan dan perkembangan yang menunjukkan suatu dinamika

pemikiran keagamaan dan menggambarkan benturan-benturan agama

dengan perkembangan sosial budaya di mana hukum itu tumbuh. Kedua hal

tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah berhenti di mana pun dan

kapan pun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang

mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historical dari

perkembangan fiqh secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame

work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi

karakteristik perkembangan Islam itu sendiri. Namun demikian dengan

menilik sejarah, maka dalam dunia fiqh telah terjadi distorsi pemahaman

7
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gamamedia, Yogyakarta,
2001
53

dan kejumbuhan yang disebabkan adanya taklid buta (irrational appeal).8

Taklid buta inilah yang kemudian menyebabkan hukum Islam berhenti

dalam ijtihad. Bukan karena pintu ijtihad yang sudah ditutup, tetapi karena

memang budaya taklid, kemalasan intelektual dan merasa cukup dengan

pendapat para imam mujtahid dan ulama mazhab abad klasik skolastik.

Kondisi inilah yang memicu upaya pengembangan dan pembaharuan

hukum Islam.

Upaya pengembangan dan pembaharuan hukum Islam ini juga

terjadi di Indonesia. Namun, meskipun upaya-upaya pengembangan dan

pembaharuan hukum Islam sudah dilakukan, apa yang terjadi dalam

perumusan KHI mempunyai pengaruh yang lebih besar mengingat

dilakukan secara nasional, bersama-sama oleh para ulama/ahli dari berbagai

disiplin ilmu, dan hasilnya banyak menjadi rujukan hukum para hakim

pengadilan agama.

Dengan demikian, aplikasi metode sadz azd-dzari'ah dan metode

ushul fiqih maun kaidah fiqih lainnya dalam KHI tentu sangat besar

pengaruhnya dalam pengembangan dan pembaharuan hukum Islam di

Indonesia. Dengan ini maka akan ada upaya untuk melakukan ijtihad-

ijtihad dalam konteks kekinian. Upaya ini penting karena menurut A. Qodri

Azizi, bahwa pada dasarnya hukum Islam dihadirkan dalam rangka

merealisasikan kemaslahatan umat manusia (li-tahqiq mashalih al-nas)9,

8
Munim A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Bandung: Risalah Gusti, 1995, hlm 1
9
Tujuan tahqiq mashalih al-nas atau merealisasikan maslahat bagi manusiaini sesuai
dengan maqashidus syariah. Dalam kajian ushul fiqih, kemslahatan dibagi menjadi tiga,
pertama, maslahat mutabarah yaitu maslahah yang didasarkan untuk memudahkan menjalankan
54

yang harus selalu sesuai dengan tuntutan perubahan. Dalam kerangka inilah

selalu diperlukan ijtihad dan ijtihad baru. Jangankan perbedaan antara umat

sekarang dengan masa lebih seribu tahun lalu; masa hidup imam Syafii

saja diperlukan dua pendapat berbeda yang disebut qaul qadim (pedapat

Imam Syafii di Jazirah Arab, sebelum pindah ke Mesir) dan qaul jadid

(pendapat Imam Syafii ketika ia pindah ke Mesir).10

Penggunaan Sadz adz-dzari'ah dalam KHI menunjukkan pula

pentingnya mazhab manhaji. Menurut Ahmad Qodri, bermadzhab fil

manhaj yang masih dalam cakupan atau definisi bermadzhab adalah

mengikuti metodologi atau manhaj yang dipakai oleh imam pendiri

madzhab, katakanlah Imam Syafii. Dalam tingkatan ini seseorang harus

berani mengambil resiko untuk berbeda pendapat dengan Imam Syafii

dalam tataran hasil pemikirannya, meskipun manhajnya mengikutinya.

Ulama yang mengikuti metodologi yang dipakai oleh Imam Syafii, masih

tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Syafii, meskipun dalam

pendapat operasionalnya mempunyai perbedaan dengan imamnya. Dalam

mempraktekkan madzhab fil manhaj berarti sudah mempraktekkan ijtihad,

printah-perintah Allah. Hukum Allah menurut kebanyakan fuqaha memiliki alasan khusus (illah),
misalnya bagi kesejahteraan hidup, akal budi, keturunan dan harta benda, bagi pelanggaran
dikenakan hukuman seperti pembalasan (qisas) untuk pembunuhan, pemotongan tangan bagi para
pencuri dan seterusnya. Kedua, maslahat mulghat yaitu maslahat yang berasal dari pemikiran
manusia yang berlawanan dengan nash atau konsensus. Contoh maslahat ini misalnya mengenai
hak yang sama antara laki-laki dan perempuan sebagai ahli waris untuk memiliki tanah milik dan
sebagai saksi di pengadilan. Ketiga, maslahah mursalah adalah kegunaan umum yang tidak diatur
langsung dengan kepentingan al-Syari. Para fuqaha memberikan contoh Khalifah Abu Bakar
yang menghimpun al-Quran, memerangi mereka yang enggan membayar zakat dan menunjuk
sahabat Umar untuk menggantikannya sebagai khalifah. Lihat: Abd al-Wahhab Khalaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1977, hlm. 84-86
10
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan
Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 32
55

Namun masih terbatas dengan manhaj yang dipakai oleh imam Syafii, dan

belum melangkah lebih jauh lagi dengan mengembangkan metodologi

berijtihad. Dalam kenyataannya, praktek ijtihad ini selalu ada dan tidak

pernah berhenti, sesuai dengan kasus yang muncul di zamannya. Artinya

para fuqaha tidak pernah membiarkan kasus ini tidak mendapatkan jawaban

hukum Islam. Sudah barang tentu ketika melakukan ijtihad para ulama

pengikut madzhab itu akan selalu menggunakan metodologi yang telah

dipakai dan dibakukan oleh imamnya. Di sini ulama mempraktekkan

ijtihad, namun belum sampai mengembangkan metodologi.11

Dalam rangka pengembangan metodologi ini bisa juga dipakai

metodologi dan pendekatan kontemporer seperti hermeneutika dan

pendekatan empiris induktif. Pendekatan hermeneutika seperti sudah

banyak dilakukan oleh Fazlur Rahman dengan model tafsir double

movement, Ali Ashghar Engineer, Amin Abdullah dan lainnya. Sementara

pendekatan empiris induktif sangat penting mengingat selama ini model

pendekatan yang digunakan adalah model pendekatan normatif-deduktif

(ilahiyah, theocentris, Subyektive theological transcendentalism) yang

cenderung didominasi oleh Aristotelian logic yang bercirikan dichotomic

logic atau dalam bahasa John Dewey in pairs of dichotomies, yang

bercirikan eternalistic-absolistic-spiritualisticlogic. Dengan model logika

ini maka ushul fiqh cenderung mendekati masalah secara hitam-putih,

benar-salah, halal-haram, dan yang semacamnya. Akibatnya, pemikiran

11
A. Qodri Azizi, Redefinisi Madzhab dan Ijtihad, Semarang: Makalah IAIN
Walisongo, 2003, hlm. 4
56

yang bersifat sempit, dan kaku. Apalagi bila dikaitkan dengan perubahan

masyarakat modern, pendekatan ini kurang realistis. 12

Pendekatan yang harus dikedepankan dalam upaya ini adalah

pendekatan empiris-induktif yang menunjukkan gejala berbeda dengan

pendekatan normatif-deduktif, jika tidak bertentangan. Model ini lebih

bernuansa Hegelian Logic yang bercirikan dialektical logic. Berdasarkan

logika Hegel ini maka every one of them was (and is) right within its own

field. Artinya, kebenaran itu bersifat relatif, dan diyakini bersifat luwes,

fleksibel sekaligus dipandang mampu mengikuti denyut jantung

perkembangan masyarakat yang tetap berlandaskan prinsip-prinsip yang

ada.13

Berbagai penggunaan metodologi baik ushuliyah maupun fiqhiyyah

serta beberapa pendekatan kontemporer bisa memicu akselerasi

pengembangan hukum Islam tanpa harus keluar dari madzhab fiqih yang

sudah diakui secara mu'tabar. Dengan ini maka konsep madzhab manhaji

menjadi penting dan pada akhirnya membuka peluang yang lebih besar

dalam melakukan ijtihad.

Oleh karenanya madzhab manhaji ini dapat dipalikasikan dalam

bentuk ijtihad kontemporer dengan dilakukan secara bersama-sama

(jamai). Sehingga perasaan kurang percaya diri dan khawatir dianggap

suul adab karena berani berbeda dengan imam madzhabnya tidak akan

12
Ahmad Minhaji, Persoalan Gender dalam Prespektif Metodologi Study Hukum
Islam, dalam Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hlm. 191-192
13
Ibid.,
57

terjadi. Demikian juga halnya dengan syarat-syarat ijtihad yang sekarang

ini masih diperdebatkan, dapat dijembatani dengan model madzhab

manhaji dengan ijtihad secara kolektif. Sehingga syarat-syarat yang ketat

dapat sebagaimana diharuskan oleh para ulama tidak harus dipenuhi oleh

satu orang saja (ijtihad fardi), akan tetapi bisa secara kolektif sesuai dengan

spesifikasi ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Dengan pola mazhab

manhaji ini pula klaim universalitas Islam yang selalu sesuai dengan zaman

bisa mendapat tempat yang proporsional. Sebab dengan klaim ini akan

dihadapkan pada suatu kesimpulan bahwa pada akhirnya yang bersifat

selalu sesuai dengan zaman pastilah sesuatu yang bersifat prinsip atau

moral values, yakni prinsip-prinsip moral yang universal. Bukan

pemecahan dan jalan keluar Islam yang faktual dan ad hoc pada suatu

zaman tertentu.14 Sesuatu yang bersifat prinsip dalam kajian ini berarti

mengacu pada hal metodologi dan sumber yang melahirkan hukum-hukum

fiqih. Pada gilirannya perlu juga diingat apa yang merupakan prinsip

(moral values) adalah syari'ah bukannya fiqih.

Apabila tidak diluruskan maka akan terjadi distorsi pemahaman fiqh

sebagai sesuatu yang sama dengan syari'at. Dengan demikian, kajian fiqh

yang selama ini difahami sebagai warisan ulama abad klasik-skolastik-

tidak lagi mampu mengimbangi kemajuan modernitas. Hukum Islam (baca:

fiqih) seharusnya difahami sebagai upaya manusiawi yang melibatkan

proses penalaran (reasionis), baik dalam tataran teoritis maupun praktis,


14
Budi Munawar Rahman, Penafsiran Islam Liberal atas Isu-Isu Gender dan
Feminisme, dalam Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 28
58

dalam memahami, menjabarkan dan mengelaborasikan hukum-hukum

agama. Dengan menyebut manusiawi, dimaksudkan untuk membedakan

dengan syariat yang secara longgar dipakai untuk menyebut agama Islam

yang merujuk kepada hukum Tuhan sebagaimana terkandung dalam

korpus-korpus wahyu, yang melibatkan unsur-unsur manusia. Pendeknya,

fiqih adalah refleksi dari syariat. Pemahaman terhadap substansi syariah

dan fiqih ini, setidaknya menjadikan seseorang dapat arif dan bijaksana

mensikapi fiqih.15

Pemahaman terhadap substansi syariah sebagai prinsip-prinsip

moral universal dan fiqih sebagai hasil pemahaman terhadapnya akan

melahirkan dinamika dalam pemikiran hukum fiqh sebagai respon terhadap

konteks sosio kultural yang selalu berubah. Dari sinilah pengembangan

hukum Islam mutlak diperlukan agar Islam yang shalih likulli zaman wa

makan benar-benar terwujud. Dan KHI telah memulai dengan

memposisikan hukum Islam secara proporsional dengan menggunakan

Sadz adz-dzari'ah dan metode lainnya dalam merumuskan pasal-pasal yang

akan dijadikan rujukan bagi umat Islam Indonesia. Dengan demikian,

semangat yang dikandung dalam perumusan KHI agar sesuai dengan

konteks keindonesiaan menjadikan sebuah upaya yang harus didukung

dalam pengembangan dan pembeharuan hukum Islam. Lebih jauh,

meskipun KHI menggunakan metode ushul fiqih atau kaidah fiqhiyyah,

KHI bukan berarti sama sekali melupakan hasil ijtihad para ulama

15
Ahmad Rofiq, Op. Cit., hlm. 6.
59

terdahulu. KHI juga tetap banyak merefer pendapat mereka selama masih

relevan dalam konteks kekinian. Di sinilah ada upaya penghormatan

terhadap karya masa lalu yang brilliant.

Anda mungkin juga menyukai