Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM KIMIA ANALISIS

PERCOBAAN POTENSIOMETRI
(PENGUKURAN POTENSIAL)

DISUSUN OLEH:
GOLONGAN II
KELOMPOK 7

I Made Kusuma Adi Suyadnya (1408505063)


Tamara Candra Paramitha (1408505064)
Made Bayu Yogiswara (1408505065)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
PERCOBAAN POTENSIOMETRI
(PENGUKURAN POTENSIAL)

I. TUJUAN
1.1. Membuat kurva hubungan potensial (mV)-volume pentiter.
1.2. Menentukan titik akhir titrasi HCl dengan NaOH.
1.3. Menghitung kadar asam klorida.

II. DASAR TEORI


2.1. Natrium Hidroksida
Natrium Hidroksida memiliki rumus kimia NaOH dengan berat molekul 40
g/mol dengan titik leleh 318oC dan titik didih 1.390oC. NaOH bersifat basa dan sangat
korosif sehingga disebut sebagai soda kaustik. Natrium hidroksida mengandung tidak
kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 100,5% alkali jumlah dihitung sebagai NaOH,
mengandung Na2CO3 tidak lebih dari 3,0%. Natrium hidroksida berbentuk pelet,
serpihan atau batang atau bentuk lain, berwarna putih atau praktis putih, massa
melebur, keras, rapuh dan menunjukkan pecahan hablur. Bila dibiarkan di udara akan
cepat menyerap karbon dioksida dan lembab, mudah larut dalam air dan dalam etanol
netral serta disimpan dalam wadah tertutup rapat (Depkes RI, 1995; Myers, 2007).
Karena sifat NaOH yang higroskopik dan mudah menyerap CO2 di udara, CO2
dapat mengalami perubahan kadar. Oleh karena itu, sebelum digunakan larutan
NaOH harus distandarisasi untuk dapat menjamin kadarnya. NaOH yang diketahui
memiliki kadar 0,1 N distandarisasi dengan menggunakan larutan asam oksalat 0,1 N
(Gandjar dan Rohman, 2007).
2.2. Asam Klorida
Asam klorida memiliki rumus molekul HCl dengan berat molekul 36,5 g/mol.
Secara molekular, asam klorida terdiri dari 2,8% atom hidrogen (H) dan 97,2% atom
klor (Cl). HCl 36% memiliki titik didih pada 61 oC. Asam Klorida mengandung tidak
kurang dari 35 % dan tidak lebih dari 38% HCl. Pemerian cairan dari HCl adalah

1
tidak berwarna, berasap, mudah menguap, dan bau merangsang. Jika diencerkan
dengan dua bagian air asap akan hilang (Depkes RI, 1979; Myers, 2007). Pada
penentuan kadar Asam klorida digunakan metode potensiometri karena tidak ada
indikator yang sesuai untuk menentukan titik akhir titrasi (Gandjar dan Rohman,
2007).
2.3. Asam Oksalat
Asam oksalat memiliki rumus molekul C2H2O4. Asam oksalat mengandung
tidak kurang dari 99,5% C2H2O4. Asam oksalat berbentuk hablur, tidak berwarna,
larut dalam air dan etanol (95%) P. Penetapan kadar asam oksalat dilakukan dengan
menimbang asam oksalat kurang lebih 3 gram, dilarutkan dalam 50 mL air bebas
CO2 P, dititrasi dengan NaOH 1 N menggunakan indikator fenolftalein P (Depkes RI,
1979).

Gambar 1. Struktur Kimia Asam Oksalat (Oxtoby, 2001).


2.4. Indikator Phenolphthalein
Phenolphthalein tidak mengandung kurang dari 98 % dan tidak lebih dari
101% C20H14O4 dihitung terhadap zat yang telah diberikan. Pemerian serbuk putih
atau putih kekuningan lemak, tidak berbau, stabil di udara (Depkes RI, 1995).
Phenolphthalein merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan pada
titrasi asam basa. Indikator phenolphthalein (pp) yang memiliki dua bentuk tautomer
yaitu bentuk benzenoid dan quinoid. Bentuk benzenoid yang tidak berwarna
(colourless) akan terbentuk dalam suasana asam sedangkan bentuk quinoid yang
berwarna merah muda akan terbentuk pada suasana basa. Sehingga, dengan adanya
perubahan pH dari rentang pH asam ke rentang pH basa, akan terjadi perubahan
warna karena adanya perubahan bentuk indikator pp sesuai dengan gambar berikut
(Ahluwalia et al., 2005).

2
Gambar 2. Proses Tutomerisasi Phenolphthalein (Ahluwalia et al., 2005).
Perubahan warna indikator dari suasana asam ke suasana basa tidak terjadi
tiba-tiba, melainkan akan terjadi pada rentang pH tertentu yang dikenal sebagai
rentang pH indikator. Setiap indikator memiliki rentang pH tersendiri dan biasanya
sekitar dua unit pH. Sebagai contoh adalah indikator phenolphthalein yang memiliki
rentang pH 8,3-10,0 (Ahluwalia et al., 2005)
2.5. Potensiometri (Pengukuran Potensial)
Potensiometri merupakan salah satu cara pemeriksaan fisiko-kimia yang
menggunakan peralatan listrik untuk mengukur potensial elektrode indikator. Prinsip
potensiometri didasarkan pada pengukuran potensial listrik antara elektrode pengukur
(elektrode indikator) dan elektrode pembanding yang dicelupkan pada larutan. Untuk
mengukur potensial pada elektrode indikator harus digunakan elektrode standar yaitu
berfungsi sebagai pembanding yang mempunyai harga potensial tetap selama
pengukuran (Gandjar dan Rohman, 2007).
Manfaat potensiometri secara umum yaitu untuk menetapkan tetapan
kesetimbangan. Sedangkan manfaat metode potensiometri ini dalam analisis di
bidang farmasi yaitu potensiometri digunakan untuk penentuan titik akhir titrasi pada
titrasi asam basa, titrasi redoks, titrasi pengendapan dan titrasi pembentukan
kompleks (Khopkar, 2003). Potensiometri memiliki beberapa keuntungan yaitu:
1. Sangat berguna ketika tidak ada indikator yang sesuai untuk menentukan titik
akhir titrasi, misalkan ketika sampel yang akan dititrasi keruh atau berwarna

3
dan ketika daerah titik ekivalen sangat pendek sehingga tidak ada indikator
yang cocok
2. Biayanya yang relatif murah dan sederhana. Voltmeter dan elektroda jauh
lebih murah daripada instrumen saintifik yang paling modern
3. Pada saat potensial sel dibaca pada metode potensiometri, tidak terdapat arus
yang mengalir dalam larutan dimana arus residual tatanan sel dan efek
polarisasi dapat diabaikan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Potensiometri merupakan aplikasi langsung dari persamaan Nernst.
Potensiometri dilakukan dengan cara pengukuran dua elektroda tidak terpolarisasi
pada kondisi arus nol, yang mana persamaan ini menyatakan adanya hubungan antara
potensial relatif suatu elektroda dengan konsentrasi spesies ioniknya yang sesuai
dalam larutan (Khopkar, 2003). Persamaan Nernst menyatakan hubungan antara
potensial elektrode dan perbandingan aktifitas bentuk teroksidasi dan bentuk
tereduksi ion-ion yang hendak ditentukan:

RT [C ]c [ D] d
E E0 ln
nf [ A] a [ B ]b
Keterangan:
E0 : konstanta khas untuk sel
R : konstanta gas (8,314 volt coulombs/0K/mol)
T : suhu absolut
n : jumlah elektron yang terlibat dalam reaksi
F : Faraday (96.500 coulomb/volt)
(Harvey, 2000).
Dalam memperoleh titik akhir titrasi secara potensiometri, bergantung pada
konsentrasi dan kekuatan asam serta basa. Hasil yang baik dapat diperoleh kecuali
dalam pada asam atau basa sangat lemah (k<10-8) serta dalam larutan encer. Metode
ini dapat digunakan untuk titrasi asam basa bervalensi banyak, tetapi hanya dapat
dilakukan untuk senyawa dengan selisih harga pKa atau pKb minimal dua satuan.
Potensial pada titik ekuivalen, dihitung pada persamaan :

4
E = k 0,0592 pH (25)

Keterangan :
k = potensial asimetri, tergantung pada system elektroda yang digunakan.
(Widjaja dkk., 2015).
Pada potensiometri digunakan alat berupa elektroda indikator dan elektroda
pembanding. Elektroda indikator merupakan elektroda yang potensialnya bergantung
pada konsentrasi ion yang akan ditetapkan dan proses pemilihannya berdasarkan jenis
senyawa yang hendak ditentukan. Sedangkan elektroda pembanding adalah elektroda
yang potensialnya diketahui dan selama pengukuran energi potensialnya tetap
konstan. Elektroda pembanding yang banyak digunakan adalah elektroda kalomel
karena potensial yang dihasilkan tetap konstan. Antara elektroda pengukur atau
elektroda indikator dengan elektroda pembanding terdapat jembatan arus atau garam
dengan larutan elektrolit yang di dalamnya terdapat transport ion arus (Roth dan
Blaschke, 1994). Elektroda indikator untuk pengukuran potensiometri terdiri dari tiga
jenis yaitu:
1. Elektroda Ion Logam
Pada elektroda ini yang memenuhi persyaratan adalah elektroda logam perak,
karena konsentrasi ion perak akan ditentukan oleh hasil kali kelarutan
senyawa perak yang sukar larut dan konsentrasi anion yang terlibat.
2. Elektroda Lembam (Inert)
Suatu logam inert, biasanya platina juga bekerja dengan baik sebagai
elektroda indikator untuk berbagai pasangan redoks. Fungsi logamnya untuk
membangkitkan kecendrungan sistem tersebut dalam mengambil atau
melepaskan elektron.

3. Elektroda Indikator Selektif Ion


Elektroda indikator selektif ion banyak digunakan untuk pemeriksaan kimia,
elektroda ini hanya peka terhadap salah satu ion saja sehingga elektroda ini

5
disebut dengan elektroda selektif ion atau elektroda khas ion. Salah satu jenis
elektrodanya adalah indikator gelas yang mempunyai tanggapan yang bolak-
balik terhadap ion hidrogen sehingga sering digunakan untuk pengukuran pH.
Selain elektroda gelas, elektroda selektif ion yang lain biasanya juga terdiri
atas garam yang sukar larut yang dimasukkan ke dalam acuan yang lemban
secara kimiawi atau terdiri atas sebuah hablur garam yang sukar larut. Sebagai
contoh, selaput hablur Ag2S bersifat selektif terhadap ion S 2-, sementara Ag2S
yang didalamnya mengandung hablur CuS bersifat selektif terhadap ion Cu2+
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Elektroda yang dapat digunakan sebagai elektroda pembanding terdiri dari
tiga jenis. Elektroda pembanding adalah elektroda yang potensialnya diketahui dan
selama pengukurannya tetap konstan. Elektroda pembanding yang banyak digunakan
adalah elektroda kalomel karena potensial yang dihasilkan konstan. Antara elekroda
pengukur (elektroda indikator) dan elektroda pembanding terdapat jembatan arus atau
garam dengan larutan elektrolit yang di dalamnya terdapat transpor ion arus. Di
dalam penggunaan analisis elektrokimia, diperlukan suatu elektrode pembanding
(refference electrode) yang memiliki syarat harga potensial setengah sel yang
diketahui, konstan, dan sama sekali tidak peka terhadap komposisi larutan yang
sedang diselidiki (Roth dan Blaschke, 1994). Syarat-syarat dari elektrode pembanding
adalah:
a. Mematuhi persamaan Nersnt dan bersifat reversibel;
b. Memiliki potensial elektroda yang konstan terhadap waktu;
c. Segera kembali ke harga potensial semula apabila dialiri arus yang kecil;
d. Hanya memiliki efek hysterisis yang kecil jika diberi suatu siklus suhu;
e. Merupakan elektroda yang bersifat nonpolarisasi secara ideal
(Day dan Underwood, 1998).
Elektroda yang dapat digunakan sebagai elektroda pembanding terdiri dari
tiga jenis yaitu:
1. Elektroda Hidrogen Baku

6
Elektroda hidrogen baku (EHB) yang disebut juga dengan elektroda hidrogen
normal (EHN). Susunan EHB terdiri atas elektroda platina yang dilapisi
dengan serbuk platina yang sangat halus (platina hitam, Pt black) yang
dicelupkan ke dalam larutan ion hidrogen 1 M. platina hitam berfungsi untuk
memperluas permukaan elektroda untuk mempertahankan agar reaksi yang
terjadi pada elektroda berlangsung cepat dan setimbang.
2. Elektroda Kalomel
Elektrode hidrogen baku merupakan elektroda pembanding yang utama
karena harga potensial elektroda ini dianggap nol, elektrode pembanding
kalomel ini mudah dan kompak didalam penggunaannya. Saat ini elektroda
pembanding dan elektroda indikator sering digabung menjadi satu kesatuan
misalnya elektroda kalomel jenuh dimasukkan ke dalam rakitan elektroda
gelas membentuk satu kesatuan elektroda yang disebut dengan elektrode
gabungan.Elektroda kalomel merupakan elektrode yang terdiri dari lapisan Hg
yang ditutupi dengan pasta Merkuri (Hg), Merkuri Klorida/Kalomel (Hg 2Cl2)
dan kalium klorida (KCl). Elektroda kalomel jenuh biasanya banyak
digunakan oleh para pakar kimia analitik karena banyak tersedia di pasaran
dan konsentrasi klorida tidak mempengaruhi harga potensial elektroda. Harga
potensial SCE adalah 0,244 V pada 25o C dibandingkan terhadap elektroda
hidrogen standar (Day dan Underwood, 1998). Elektroda kalomel ditunjukan
oleh gambar di bawah ini.

7
Gambar 3. Susunan elektroda kalomel jenuh (A dan B); dan elektroda gabungan
kalomel jenuh gelas (C) (Gandjar dan Rohman, 2007).
3. Elektroda Perak-perak Klorida
Elektroda ini terdiri atas kawat perak atau kawat platina yang dilapisi perak
yang disalut secara elektrolisis dengan lapisan tipis perak klorida. Kawat ini
tercelup ke dalam larutan kalium klorida yang konsentrasinya diketahui
(Gandjar dan Rohman, 2007).Elektroda perak/perak klorida merupakan
elektroda yang terdiri dari suatu elektroda perak yang dicelupkan kedalam
larutan KCI yang dijenuhkan dengan AgCI. Biasanya elektroda ini dibuat dari
suatu larutan jenuh atau 3,5 M KCI yang harga potensialnya dalah 0,199 V
(jenuh) dan 0.205 V (3,5M) pada 25o C. Kelebihan elektroda ini dapat
digunakan pada suhu yang lebih tinggi sedangkan elektroda kalomel tidak
(Day dan Underwood, 1998).
Untuk suatu titrasi asam basa, elektroda indikator dapat berupa elektroda
hidrogen atau suatu elektroda lain yang peka akan ion hydrogen, untuk titrasi
pengendapan halida menggunakan perak nitrat, untuk perak dengan klorida akan
digunakan elektroda perak, dan untuk titrasi redoks misalnya dengan besi (II) dengan
dikromat digunakan kawat platinum (sebagai elektroda redoks) (Khopkar, 2003).
Nilai potensial elektroda standar merupakan ukuran kuantitatif dari kemampuan unsur
untuk melepas elektron dan merupakan ukuran kekuatan unsur itu sebagai reduktor,
sehingga makin negatif potensialnya, maka makin kuat sebagai reduktor (Gandjar dan

8
Rohman, 2007). Skema susunan eksperimental untuk titrasi potensiometri
ditunjukkan oleh gambar berikut:

Gambar 4. Alat Pengukur pH dalam Potensiometri (Roth dan Blaschke, 1994)


Pada metode titrasi potensiometri, penentuan titik akhir titrasi ini tidak
memerlukan penambahan indikator melainkan dengan mengamati lonjakan
perubahan potensial yang drastis sehingga titik ekivalen yang didapat akan lebih
tepat. Dalam penerapannya metode analisis ini didasarkan pada hubungan antara
potensial elektrode relatif dengan konsentrasi larutan dalam suatu sel kimia. Dalam
metode potensiometri, informasi mengenai komposisi yang terdapat dalam sampel
diperoleh melalui perbedaan potensial antara dua elektroda (Gandjar dan Rohman,
2007). Selisih potensial tersebut diukur dengan potensiometer atau pH-meter yang
merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengukur pH suatu larutan dan dapat
juga digunakan untuk mengikuti titrasi asam-basa atau menentukan titik akhir titrasi
asam-basa sebagai penganti indikator (Khopkar, 2003).
2.6. Validasi Metode
Validasi metode suatu proses yang digunakan untuk membuktikan bahwa
metode yang terjamin sistem, metode yang divalidasi menggunakan sistem yang
terjamin dikembangkan dan akhirnya proses yang dilakukan mencapai kesuksesan
dan data yang diperoleh valid atau akurat. Validasi metode sering digunakan dalam
metode analisis, salah satu contoh sebelum melkukan suatu analsis terhadap suatu

9
bahan atau senyawa yang ingin dianalisis sebaiknya metode yang di gunakan harus di
validasi terlebih dahulu untuk memverifikasi metode tersebut untuk mendapatkan
hasil yang akurat dan tercapai. Selain itu metode validasi dapat digunakan dalam
pengembangan metode dalam hal ini didasarkan pada literatur yang sudah ada
menggunakan metode sebelumnya. Berikut beberapa alasan kenapa metode harus
dianalisis:
1. Metode baru dikembangkan untuk mengatasi problem analisis tertentu;
2. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau
karena munculnya suatu problem yang mengarahkan bahwa metode baku
tersebut harus direvisi;
3. Penjamin mutu yang mrngindikasikan bahwa metode baku telah berubah
seiring dengan berjalannya waktu;
4. Metode baku digunakan di laboratorium yang berbeda, dikerjakan oleh
analisis yang berbeda, atau dikerjakan dengan alat yang berbeda;
5. Untuk mendemonstrasikan kesetaraan antar 2 metode, seperti antara metode
baru dan metode baku
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Berikut jenis-jenis validasi metode dalam metode analisis yang digunakan
dalam melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter mampu untuk mengatasi
masalah dalam metode analisis:
1. Ketepatan (Akurasi)
Akurasi merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai
terukur dengan nilai yang diterima baik nilai konvensi, nilai sebenarnya , atau
nilai rujukan.
2. Presisi
Presisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya
diekspresikan sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah sampel yang
berbeda signifikan secara staistik. Presisi dilakukan dengan 3 tingkatan yang
berbeda yaitu:
a. Keterulangan yaitu ketepatan pada kondisis percobaan yang sama
(berulang) baik orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya;

10
b. Presisi antara yaitu ketepatan pada kondisi percobaan yang berbeda, baik
orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya;
c. Ketertiruan merujuk pada hasil hasil dati laboratorium yang lain.
3. Spesifisitas
Spesifisitas merupakan kemampuan untuk mengukur analit yang dituju secara
tepat dan spesifik dengan adanya komponen komponen lain dalam matriks
sampel seperti ketidakmurniaan, produk degradasi, dan komponen matriks.
ICH membagi spesifisitas menjadi 2 kategori yakni uji identifikasi dan uji
kemurnian atau pengukuran. Tujuan identifikasi, spesifisitas ditunjukan
dengan kemampuan suatu metode analisis untuk membedakan antar senyawa
yang mempunyai stuktur molekul yang hampir sama. Tujuan kemurnian
ditunjukan oleh adanya daya pisah dua senyawa yang berdekatan.
4. Batas deteksi (LOD)
Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel
yang masih dapat dideteksi, meskipun tidal selalu dapat dikuantifikasi. LOD
merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah analit di atas
atau di bawah nilai tertentu.
5. Batas Kuantifikasi (LOQ)
Batas kuantifikasi sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang
dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi
operasional metode yang digunakan . Sebagaimana. 9 LOD dan LOQ juga
diekspresikan sebagai konsentrasi dengan akurasi dan presis.

6. Linieritas
Linieritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-hasil
uji yang secara langsung proposional dengan konsentrasi analit pada kisaran
yang diberikan. Linieritas juga digunakan untuk mengukur ukuran seberapa
baik kurva kalibrasi yang menghubungkan antara respon(y) dengan
konsentrasi (x).
7. Kisaran
Kisaran suatu metode didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dan tertinggi
yang mana suatu metode suatu metode analisis menunjukan akurasi, presisi,

11
dam linieritas yang mencukupi. Kisaran-kisaran konsentrasi yang diuji
tergantung pada jenis metode dan kegunaannya.
8. Kekerasan
Kekerasan merupakan tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh di bawah
kondisi yang bermacam macam yang diekspresikan sebagai persen standar
deviasi relatif(% RSD). Menentukan kekerasan suatu metode akan bervariasi
tergantung pada kompleksitass metode dan waktu yang tersedia untuk
melakukan validasi.Penentuan kekerasan metode percobaan misalnya
pengecekan kolom kromatografi yang berbeda atau pengaruh operasionalisasi
metode pada laboratorium yang berbeda.
9. Ketahanan
Ketahanan merupaka kapasitas metode untuk tetap tidak terpengaruh oleh
adanya variasi parameter metode yang kecil. Ketahanan dievaluasi dengan
melakukan variasi parameter pameter metode seperti. Presentase pelarut
oranik, pH, kekuatan ionik, suhu, dan sebagainya.Mengevaluasi ketahanan
suatu metode adalah dengan memvariasikan parameter parameter penting
dalam suatu metode secara sistematis lalu mengukur pengaruhnya pada
pemisahan.
10. Stabilitas
Memperoleh hasil hasil analisis yang reprodusibel dan reliabel, maka
sampel, reagen dan baku yang digunakan harus stabil pada waktu tertentu.
Stabilitas semua latutan dan reagen sangat pentig, baik yang berkaitan dengan
suhu atau yang berkaitan dengan waktu.
(Gandjar dan Rohman, 2007).
III. ALAT DAN BAHAN
III.1. Alat
a Labu ukur 50 mL dan 100 mL
b Pipet ukur 1 mL, 5 mL dan 10 mL
c Pipet tetes
d Labu erlenmeyer 100 mL
e Potensiometer

12
f Buret 25 mL
g Statif
h Bulb filler
i Tissue
j Lap
k Elektrode gelas
l Beaker Glass 15 mL dan 50 mL
m Alluminium foil
n Sendok tanduk
o Batang pengaduk

III.2. Bahan
a Larutan NaOH 0,1 N
b Larutan HCl 0,1 N
c Larutan Asam Oksalat 0,1 N
d Aquadest
e Indikator Phenolphthalein

IV. PROSEDUR PRAKTIKUM


IV.1. Perhitungan Pembuatan Larutan
a Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N
Diketahui : Normalitas NaOH = 0,1 N
Volume NaOH= 100 mL
BM NaOH = 40 g/mol
Ditanya : Massa NaOH yang ditimbang = ?

Hitungan : NaOH Na + + OH -

Ek NaOH = 1 grek/mol

13
N 0,1 grek/L
M NaOH = = = 0,1 M
ek 1 grek/mol

massa 1000
M =
BM V (mL)

massa 1000
0,1 M =
40 g/mol 100 mL

massa = 0,4 gram

Jadi, ditimbang 0,4 gram NaOH untuk membuat lerutan NaOH dengan
konsentrasi 0,1 N.
b Pembuatan Larutan Asam Oksalat 0,1 N
Diketahui : Normalitas Asam Oksalat = 0,1 N
Volume Asam Oksalat= 50 mL
BM Asam Oksalat = 126,07 g/mol
Ditanya : Massa Asam Oksalat yang ditimbang = ?

Hitungan : H2 C2 H4 2H + + C2 O2-4

Ek H2 C2 H4 = 2 grek/mol

N 0,1 grek/L
M asamoksalat = = = 0,05 M
ek 2 grek/mol

massa 1000
M =
BM V (mL)

massa 1000
0,05 M =
126,07 g ram /mol 50 mL

massa = 0,315 gram

Jadi, ditimbang 0,315 gram asam oksalat untuk membuat larutan asam
oksalat dengan konsentrasi 0,1 N.

c Pembuatan Larutan HCl 0,1 N

14
Diketahui : Normalitas HCl = 0,1 N
BM HCl = 36,5 gram/mol
BJ HCl = 1,19 gram/mL
Volume Asam Oksalat= 100 mL
Larutan stok HCl = 37 % b/b
Ditanya : Volume HCl yang dipipet = ...?
N 0,1 grek/L
Hitungan : M asamklorida= = = 0,1 M
ek 1 grek/mol

massa 1000
M =
BM V (mL)

massa 1000
0,1 M =
36,5 g ram /mol 100 mL

massa = 0, 365 gram

HCl yang tersedia 37% b/b = 37 gram HCl/100 gram air


37 gram/ 100 gram = 0,365 gram/ X gram
0,365 gram x 100 gram
X gram = 37 gram

X gram = 0,986 gram


massa 0,986 gram
V = BJ = 1,19 gram/mL = 0,83

mL
Jadi, dipipet 0,83 mL HCl untuk membuat larutan HCl dengan konsentrasi
0,1 N.

4.2. Prosedur Kerja


4.2.1 Penyiapan Larutan
a. Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N

15
Ditimbang sebanyak 0,4 gram NaOH kemudian dimasukan ke dalam gelas
beaker. Ditambahkan aquadest secukupnya lalu diaduk sampai larut. Dimasukkan ke
dalam labu ukur 100 mL. Ditambahkan aquadest sampai tanda batas 100 mL
kemudian digojog hingga homogen.
b. Pembuatan Larutan Asam Oksalat 0,1 N

Ditimbang sebanyak 0,315 gram asam oksalat kemudian dimasukan ke

dalam gelas beaker. Ditambahkan aquadest secukupnya dan diaduk sampai larut.
Dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL. Ditambahkan aquadest hingga tanda batas
50 mL kemudian digojog hingga homogen.
c. Pembuatan Larutan HCl 0,1 N
Ditambahkan aquadest ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian dipipet
sebanyak 0,83 mL HCl 37% b/b. Ditambahkan kembali aquadest sampai tanda batas
100 mL kemudian di gojog hingga homogen.

4.2.2 Pengukuran Potensial


a. Penyiapan Buret
Dibersihkan buret dan dipasang pada statif dengan baik lalu diisi buret dengan
larutan NaOH 0,1 N sebanyak 25 mL.
b. Standarisasi NaOH 0,1 N dengan Asam Oksalat 0,1 N
Dipipet larutan asam oksalat 0,1 N sebanyak 5 mL ke dalam erlenmeyer.
Ditambahkan 3 tetes indikator phenolphthalein ke dalam erlenmeyer. Dimasukkan
larutan NaOH 0,1 N ke dalam buret. Larutan asam oksalat kemudian dititrasi hingga
terjadi perubahan warna larutan menjadi merah muda stabil. Dicatat volume NaOH
yang digunakan. Dilakukan pengulangan sebanyak dua kali.
c. Penyiapan Alat Potensiometer
Dihubungkan potensiometer dengan sumber listrik. Dicuci elektroda gelas
dengan sedikit aquadest dan bersihkan dengan tissue. Diatur alat agar menunjukkan
nilai potensial. Dikalibrasi alat dengan mencelupkan elektroda gelas pada larutan

16
standar dengan pH 4 dan pH 10. Dicuci elektroda gelas dengan aquadest tiap
pergantian larutan.
d. Pengukuran Beda Potensial Larutan
Dipipet larutan HCl sebanyak 10 mL, dimasukkan kedalam labu erlenmeyer.
Dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N dimana penambahan volume pentiter
disesuaikan dengan buku petunjuk praktikum pada tabel penambahan pentiter. Diukur
beda potensial (mV) dengan potensiometer. Dicatat mV pada setiap penambahan
NaOH. Dicatat volume larutan NaOH pada titik akhir titrasi. Dihitung kadar larutan
HCl.

V. SKEMA KERJA
V.1. Pembuatan Larutan Percobaan
V.1.1. Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N
Ditimbang sebanyak 0,4 gram NaOH kemudian dimasukan ke dalam
gelas beaker

Ditambahkan aquadest secukupnya dan diaduk sampai larut

Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, ditambahkan aquadest


hingga tanda batas 100 mL

Digojog hingga homogen

V.1.2. Pembuatan Larutan Asam Oksalat 0,1 N

Ditimbang sebanyak 0,315 gram asam oksalat lalu dimasukan ke


dalam gelas beaker

17
Ditambahkan aquadest sebanyak 50 mL dan aduk sampai larut
V.1.3. Pembuatan Larutan HCl 0,1 N

Ditambahkan sedikit aquadest ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian


dipipet sebanyak 0,83 mL HCl 37% b/b

Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL

Ditambahkan kembali aquadest sampai tanda batas 100 mL kemudian


digojog hingga homogen.

V.2. Pengukuran Potensial


V.2.1. Penyiapan Buret

Dibersihkan buret dan dipasang pada statif dengan baik

Buret diisi dengan NaOH sebanyak 25 mL

V.2.2. Standarisasi NaOH 0,1 N dengan Asam Oksalat 0,1 N


Dipipet larutan asam oksalat 0,1 N sebanyak 10 mL ke dalam
erlenmeyer 25 mL

Ditambahkan 3 tetes indikator phenolphthalein ke erlenmeyer,


dimasukkan NaOH 0,1 N kedalam buret

Larutan asam oksalat kemudian dititrasi hingga terjadi perubahan


warna larutan menjadi merah muda stabil
18
Dicatat volume NaOH yang digunakan, dilakukan pengulangan titrasi
sebanyak 2 kali

V.2.3. Penyiapan Alat Potensiometer

Dihubungkan potensiometer dengan sumber listrik

Dicuci elektroda gelas dengan sedikit aquadest dan bersihkan dengan


tissue

Diatur alat agar menunjukkan nilai potensial

Dikalibrasi alat dengan mencelupkan elektroda gelas pada larutan


standar dengan pH 4 dan pH 10

Dicuci elektroda gelas dengan aquadest setiap pergantian larutan

V.2.4. Pengukuran Beda Potensial Larutan

Dipipet larutan HCl 0,1 N sebanyak 10 mL ke dalam labu erlenmeyer

Dititrasi dengan NaOH 0,1 N sesuai dengan penambahan pentiter yang


ada pada tabel

19
Diukur potensial (mV) dengan potensiometer

Dicatat mV pada setiap penambahan NaOH

Dicatat volume larutan NaOH pada titik akhir titrasi

Dihitung kadar larutan HCl

VI. HASIL DAN PERHITUNGAN


VI.1. Hasil Pengukuran
a. Proses Standarisasi
Dilakukan standarisasi NaOH dengan baku primer Asam Oksalat. Diperoleh
hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Standarisasi Larutan NaOH dengan Asam Oksalat
Titrasi Volume (Asam Volume NaOH Perubahan Warna
oksalat)
1 10 mL 9,8 mL Bening - Merah muda
2 10 mL 9,8 mL Bening - Merah muda

3 10 mL 9,8 mL Bening - Merah muda

b. Proses Penetapan kadar


Tabel 2. Hasil Potensial dari Penambahan Volume Pentiter
Volume Peniter Uji (mL) Potensial (mV)
2,00 312

20
2,00 304
1,00 297
1,00 287
1,00 278
1,00 261
0,50 249
0,20 241
0,20 230
0,10 216
0,10 196
0,10 171
0,10 46
0,10 -147
0,10 -202
0,10 -226
0,10 -239
0,10 -246

6.2. Analisis Data dan Perhitungan


6.2.1. Penentuan Normalitas NaOH
Diketahui :
Volume Asam Oksalat = 10mL
Normalitas Asam Oksalat = 0,1 N
Volume NaOH pada titrasi I = 9,8 mL
Volume NaOH pada titrasi II = 9,8 mL
Volume NaOH pada titrasi III = 9,8 mL
Ditanya : Normalitas rata-rata NaOH = .....?
Penyelesaian :
Molaritas Asam Oksalat
H2C2O4 2 H+ + C2O42-
2 H + 2 H2O
+
2 H3O+
H2C2O4 + 2 H2O2 H3O+ + C2O4-

21
1 mol H2C2O4 ~ 2 mol H+, maka ekivalen = 2 grek/mol
N
M H2C2O4 = Ek

0,1 grek / L
= 2 grek /mol

= 0,05 M

mol H2C2O4 = M x volume

= 0,05 M x 10 mL

= 0,5 mmol

Persamaan Reaksi Kesetimbangan NaOH dan H2C2O4


Reaksi : H2C2O4.2H2O + 2NaOH Na2C2O4 + 4H2O
Mula-mula : 0,5 mmol 1,0 mmol - -
Bereaksi : 0,5 mmol 1,0 mmol 0,5 mmol 2,0 mmol
Sisa : - - 0,5 mmol 2,0 mmol

mol NaOH yang bereaksi = 1 mmol


NaOH Na+ + OH-
Valensi NaOH = 1 ekivalen/mol
a. Titrasi I
- Molaritas NaOH I
mol
M = V

1,0 mmol 1 mmol


= 10,25 ml 9,8 mL

= 0,102 M
- Normalitas NaOH I

22
N = M valensi
= 0,102 M 1 ekivalen/mol
= 0,102 N
b. Titrasi II
- Molaritas NaOH II
mol
M = V

1,0 mmol 1 mmol


= 10,25 ml 9,8 mL

= 0,102 M
- Normalitas NaOH I
N = M valensi
= 0,102 M 1 ekivalen/mol
= 0,102 N
c. Titrasi III
- Molaritas NaOH III
mol
M = V

1,0 mmol 1 mmol


= 10,25 ml 9,8 mL

= 0,102 M
- Normalitas NaOH I
N = M valensi
= 0,102 M 1 ekivalen/mol
= 0,102 N
NI + N II +NIII
Normalitas Rata-rata NaOH = 3

23
0,102 + 0,102 + 0,102
= 3 = 0,102 N

Standar deviasi:

Titrasi ke- N NaOH (x) x x x


Nrata-rataNaOH ( ) x- (x- )2
I 0,102 N 0,102 N 0N 0
II 0,102 N 0,102 N 0N 0
III 0,102 N 0,102 N 0N 0
x 0
(x- )2

(SD)
(x - x ) 2

n -1
Standar Deviasi

= 0
2

=0

Standar Deviasi
Nilai Standar Deviasi Relatif = Rata-rata N NaOH x 100

0
= x 100
0,102
=0%
Normalitas NaOH = rata-rata N NaOH standar deviasi

= ( 0,102 0 ) N

6.2.2. Penentuan Titik Ekivalen dan Titik Akhir Titrasi


a. Perhitungan Derivat
- Turunan Pertama:
mV m V2 - mV 1
=
V V2 - V1

24
Rumus ini berikutnya akan diterapkan untuk menentukan turunan pertama mV

mV
pada kolom V pada tabel

- Turunan Kedua:
mV mV
2
-
mV V 2 V 1
=
V2 V2 - V 1

Rumus ini berikutnya akan diterapkan untuk menentukan turunan pertama mV

2 mV
pada kolom V 2 pada tabel berikut.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Potensial Titrasi HCl dengan NaOH


Data Titrasi Derivatif I Derivatif II
2 mV /
V rata-rata mV / V V rata-rata
V (mL) mV
data derivatif I V
2

2 312
3 mL -4
4 304 3,75 mL -2
4,5 mL -7
5 297 5 mL -3
5,5 mL -10
6 287 6 mL 1
6,5 mL -9
7 278 7 mL -8
7,5 mL -17
8 261 7,875 mL -9,333333333
8,25 mL -24
8,5 249 8,425 mL -45,71428571
8,6 mL -40
8,7 241 8,7 mL -75

25
8,8 mL -55
8,9 230 8,875 mL -566,6666667
8,95 mL -140
9 216 9 mL -600
9,05 mL -200
9,1 196 9,1 mL -500
9,15 mL -250
9,2 171 9,2 mL -10000
9,25 mL -1250
9,3 46 9,3 mL -6800
9,35 mL -1930
9,4 -147 9,4 mL 13800
9,45 mL -550
9,5 -202 9,5 mL 3100
9,55 mL -240
9,6 -226 9,6 mL 1100
9,65 mL -130
9,7 -239 9,7 mL 600
9,75 mL -70
9,8 -246

26
KURVA DERIVAT I
12
10
8
6
Potensial (mV)
4
2
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Volume (mL)

Gambar 5. Kurva Derivat Pertama

KURVA DERIVAT II
12
10
8

Potensial (mV) 6
4
2
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Volume (mL)

Gambar 6. Kurva Derivat Kedua

b. Penentuan Titik Akhir Titrasi


Volume ekivalen = 9,3 mL
- 6800
Titik Akhir Titrasi = 9,3 mL + 0,1 mL
-6800 - 13800

27
= 9,3 mL + 0,033 mL
= 9,333 mL

Kurva Hubungan Potensial (mV) dengan Volume Pentiter (mL)


400
300
200
100
Potensial (mV) potensial (mV)
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
-100
-200
-300

Volume Pentiter (mL)

Gambar 7. Kurva hubungan potensial (mV) dengan volume pentiter (mL)

6.2.3. Perhitungan Kadar HCl


Diketahui :
Volume NaOH pada saat titik akhir titrasi = 9,333 mL
N NaOH = 0,102 N
Volume larutan HCl = 10 mL
Ditanyakan :
- Molaritas HCl = .?
- Normalitas HCl = .?
- Kadar HCl = .?
Penyelesaian :
NaOH + HCl NaCl + H2O
a. Perhitungan Molaritas HCl
Normalitas NaOH = 0,102 N
ekivalen NaOH = 1 grek/mol

28
N
M = ek

0,0986 N 0,102 N
= 1 grek /mol 1 grek /mol

= 0,102 M

Mol NaOH = Mol HCl

M NaOH V NaOH = M HCl V HCl

0, 102 M 9,333 mL = M HCl 10 mL

M HCl = 0,095 M

b. Normalitas HCl
Valensi HCl = 1 ekivalen/mol
N HCl = M HCl x valensi HCl

= 0,095 M 1 ekivalen/mol

= 0,095 N

c. Kadar HCl
Massa HCl (mg) = mol HCl x BM HCl
= 0,95 mmol 36,5 mg/mmol
= 34,675 mg
= 0,0347 gram

29,528 mg 0,0347 gram


Kadar HCl (% b/v) = 10 ml 1,18 gram/mL X 10 mL

= 0,00294 gram/ 100 gram

29
= 0,00000294% b/v
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan pengukuran kadar HCl secara elektrokimia
dengan menggunakan alat potensiometri. Tujuan dari percobaan ini ialah untuk
menentukan hubungan antara nilai beda potensial dengan volume titran, menentukan
titik akhir titrasi dari larutan sampel HCl dengan basa kuat (NaOH), sehingga
nantinya dapat digunakan untuk menghitung kadar zat yang akan dianalisis.
Penentuan kadar HCl dilakukan melalui metode titrasi asam basa dimana larutan
asam yang digunakan adalah HCl dan basa yang digunakan adalah NaOH 0,1 N.
Potensiometri merupakan salah satu cara pemeriksaan fisiko-kimia yang
menggunakan peralatan listrik, didasarkan pada pengukuran potensial listrik antara
elektrode pengukur (elektrode indikator) dan elektrode pembanding yang dicelupkan
pada larutan untuk mengetahui konsentrasinya. Besarnya potensial elektroda
indikator bergantung pada konsentrasi ion-ion tertentu dalam larutan. Dengan
menggunakan persamaan Nernst, dapat dihitung konsentrasi ion dalam larutan secara
langsung (Gandjar dan Rohman, 2007).
Potensiometri digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi pada titrasi asam
atau basa, di mana ketetapan untuk dapat menemukan titik akhir secara potensiometri
bergantung pada konsentrasi dan kekuatan asam serta basa. Dalam suatu titrasi
potensiometri, titik akhir ditemukan dengan menentukan volume yang menyebabkan
suatu perubahan relatif besar dalam potensial apabila titran ditambahkan.
Potensiometri digunakan terutama pada pengukuran potensial larutan-larutan dalam
air dan secara langsung sangat berguna untuk menentukan aktivitas suatu zat di dalam
suatu campuran yang berkeseimbangan, karena keseimbangan tidak terganggu oleh
pengukuran (Day dan Underwood, 1988).
Metode potensiometri digunakan dalam titrasi asam basa dimaksudkan agar
titik ekivalen atau titik akhir titrasi dapat ditentukan dengan tepat. Selain itu, tidak
dibutuhkan indikator dalam penentuan titik akhir titrasi melainkan hanya dengan
mengamati lonjakan perubahan potensial yang drastis sehingga titik ekivalen yang

30
didapat akan lebih tepat. Kelebihan dari metode potensiometri adalah biayanya yang
relatif lebih murah, voltmeter dan elektroda yang digunakan jauh lebih murah
dibandingkan dengan instrumen-intrumen saintifik modern lainnya. Metode
potensiometri lebih kompak, kuat, dan pemakaiannya instrumennya lebih mudah,
selain itu metode potensiometri pada dasarnya bersifat nondestruktif terhadap
sampelnya, dalam artian bahwa penyisipan elektroda tidak mengubah komposisi
larutan uji (Day dan Underwood, 2002).
Asam klorida merupakan suatu asam monoprotik, yaitu asam yang
memberikan lebih dari satu proton yang berupa ion H+ dan apabila bereaksi dengan
suatu basa akan membentuk air. Penentuan kadar Asam klorida dilakukan dengan
metode potensiometri karena tidak ada indikator yang sesuai untuk menentukan titik
akhir titrasi. Selain itu, metode potensiometri juga digunakan apabila sampel yang
akan dititrasi keruh dan berwarna sehingga menyebabkan kesulitan saat penentuan
titik akhir dan ketika daerah titik ekivalen sangat pendek sehingga tidak ada indikator
yang cocok (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pada titrasi asam basa ini, digunakan larutan baku NaOH. Namun, sebelum
dilakukan penetapan kadar dari sampel, dilakukan pembakuan larutan NaOH. NaOH
merupakan zat yang tidak stabil di udara, yaitu bersifat higroskopik dan mudah
menyerap CO2 di udara (Depkes RI, 1995), sehingga kadarnya dapat berubah-ubah.
Oleh karena itu, sebelum digunakan larutan NaOH harus distandarisasi untuk dapat
menjamin kadar NaOH secara pasti.
NaOH yang diketahui memiliki kadar 0,1 N distandarisasi dengan
menggunakan larutan asam oksalat 0,1 N. Dalam praktikum ini asam oksalat
digunakan sebagai baku primer karena memiliki tingkat kemurnian yang tinggi
(Gandjar dan Rohman, 2007). Adapun syarat senyawa dapat digunakan sebagai
larutan baku primer yaitu mempunyai kemurnian yang sangat tinggi (100 0,02)%
atau dapat dimurnikan dengan penghabluran kembali, mudah didapat, mudah
dimurnikan, mudah dikeringkan, dan disimpan dalam keadaan murni, tidak
teroksidasi oleh O2 dari udara dan tidak berubah oleh CO2 dari udara, susunan

31
kimianya tepat sesuai jumlahnya, tidak berubah selama penimbangan, mempunyai
berat ekivalen yang tinggi sehingga kesalahan penimbangan akan menjadi lebih kecil,
mudah larut, dan reaksi dengan zat yang ditetapkan harus stoikiometri, cepat, dan
terukur (Gandjar dan Rohman, 2007).
Titrasi asam oksalat dengan NaOH akan menghasilkan garam yang
terhidrolisis dalam larutan yang tergantung pada konstanta disosiasi asam. Pada titik
ekivalen, pH akan berada di atas 7 sehingga indikator yang digunakan adalah
phenolphthalein (pp). Indikator phenolphthalein (pp) yang memiliki dua bentuk
tautomer yaitu bentuk benzenoid dan quinoid. Bentuk benzenoid yang tidak berwarna
(colourless) akan terbentuk dalam suasana asam sedangkan bentuk quinoid yang
berwarna merah muda akan terbentuk pada suasana basa. Sehingga, dengan adanya
perubahan pH dari rentang pH asam ke rentang pH basa, akan terjadi perubahan
warna karena adanya perubahan bentuk indikator PP (Ahluwalia et al., 2005).
Hal pertama yang dilakukan dalam praktikum ini adalah pembuatan larutan.
Adapun larutan yang dibuat adalah larutan asam oksalat sebayak 100 ml, larutan
asam oksalat sebanyaj 50 ml, dan larutan HCl sebanyak 100 ml. Pembuatan larutan
NaOH 0,1 N dilakukan dengan melarutkan 0,4 gram NaOH dalam 100 ml aquadest
hingga larut dengan bantuan pengadukan dan penggojogan. Larutan HCl dibuat
dengan memipet 0,83 ml HCl 37%b/b, kemudian ditambahkan air sampai volume
100 ml dan digojog hingga homogen, sedangkan larutan asam oksalat sudah tersedia
di lab sehingga tidak diperlukan pembuatan larutan asam oksalat pada ari praktikum.
Sebelum penetapan kadar, baku sekunder NaOH 0,1 N harus distandarisasi
atau dibakukan dengan larutan baku primer yaitu larutan asam oksalat 0,1 N.. Dalam
titrasi, terdapat dua komponen utama yaitu titrat dan titran. Titrat adalah larutan yang
mengandung senyawa yang akan dianalisis, sedangkan titran adalah larutan baku
yang diteteskan pada titrat dengan teliti untuk menganalisis senyawa pada titrat.
Seluruh perhitungan dalam titrasi didasarkan pada konsentrasi titran sehingga
konsentrasi titran harus dibuat secara teliti (Gandjar dan Rohman, 2007). Standarisasi
larutan baku sekunder NaOH menggunakan larutan baku primer asam oksalat

32
(C2H2O4.2H2O) dilakukan dengan tujuan untuk memastikan konsentrasi NaOH secara
tepat. Standarisasi larutan baku sekunder NaOH dilakukan dengan memipet larutan
asam oksalat sebanyak 10 ml, kemudian di masukan ke dalam labu Erlenmeyer, dan
ditambahkan tiga tetes indikator phenolphthalein. Selanjutnya, dititrasi dengan
larutan NaOH hingga dicapai titik akhir titrasi yang ditandai dengan terbentuknya
warna merah muda stabil pada larutan.Adapun reaksi yang terjadi pada proses
standarisasi sebagai berikut.
H2C2O4 + 2 NaOHNa2C2O4 + 2 H2O
Adapun setelah melakukan titrasi larutan NaOH dengan asam oksalat
(C2H2O4.2H2O), volume yang diperlukan untuk mencapai titik akhir titrasi dicatat dan
kemudian konsentrasi larutan baku NaOH dapat dicari dengan rumus berikut.

(Parning dkk., 2006).


Dimana Va dan Vb masing-masing merupakan volume asam dan basa yang
digunakan; Ma dan Mb masing-masing merupakan konsentrasi asam dan basa yang
digunakan; serta ek a dan ek b masing-masing merupakan valensi asam dan basa dari
larutan itu sendiri (Parning dkk., 2006). Pada praktikum kali ini yang dilakukan
pertama kali standarisasi NaOH sebanyak tiga kali yang bertujuan untuk
mendapatkan hasil yang akurat dengan sedikit kesalahan. Titrasi pertama sebagai
kontrol, titrasi kedua sebagai pembanding, dan titrasi ketiga sebagai pengkoreksi.
Data yang diperoleh dari titrasi yang telah dilakukan, volume NaOH yang digunakan
pada titrasi I sebanyak 9,8 mL; titrasi II sebanyak 9,8 mL; titrasi III sebanyak 9,8
mL, sehingga dari ketiga titrasi diperoleh normalitas larutan NaOH menggunakan
rumus pengenceran dan diperoleh data normalitas rata-rata NaOH adalah 0,102 N.
Hasil yang didapat sudah sesuai dengan normalitas sebenarnya yaitu 0,1 N. Dari nilai
normalitas rata-rata tersebut, didapat hasil standar deviasi relatif sebesar 0%. Dengan

33
demikian, standarisasi NaOH sudah memenuhi syarat presisi dengan standar deviasi
relatif kurang dari 2%.
Sebelum dilakukan penetapan kadar dengan alat potensiometri, terlebih
dahulu dilakukan penyiapan alat potensimetri. Penyiapan alat potensiometri diawali
dengan menghubungkan potensiometer ke sumber listrik dan mencuci elektroda gelas
dengan sedikit aquadest dengan cara disemprotkan menggunakan pipet tetes.
Dikeringkan elektroda gelas dengan kertas saring dan dilakukan kalibrasi
potensiometer dengan menggunakan larutan yang memiliki 2 pH yang berbeda yaitu
pH 4 (asam) dan pH 10 (basa). Kalibrasi adalah bagian dari pemeliharaan alat, yang
bertujuan untuk memastikan bahwa hasil pengukuran dari alat tersebut dapat diterima
dan masuk dalam rentang validasi yang diperlukan. Kalibrasi pH meter harus
dilakukan secara rutin, setiap kali potensiometri akan dilakukan (Brady, 1999).
Kalibrasi alat dilakukan dengan cara mencelupkan elektroda gelas pada larutan
standar pH basa dan netral dengan begitu sensitifitas dari alat dapat diketahui dan
dapat diketahui apakah potensiometri masih bekerja dengan baik atau tidak.
Penggunaan pH yang berbeda memiliki tujuan yaitu untuk mengoreksi sensitifitas
alat pada setiap suasana pH. Angka yang ditunjukkan pada alat ukur hampir
mendekati pH seharusnya.
Selanjutnya dilakukan penetapan kadar sampel dengan menggunakan
potensiometer. Penetapan kadar sampel HCl dilakukan melalui pengukuran potensial
sampel setelah penambahan NaOH yang telah di standardisasi. Volume penambahan
NaOH disesuikan dengan tabel yang telah tersedia. Setiap penambahan NaOH dalam
jumlah tertentu, diukur nilai potensialnya dan dicatat dalam table pengukuran
potensiometri.
Penentuan kadar HCl dilakukan dengan titrasi asam basa menggunakan
larutan NaOH 0,1 M sebagai titran dan larutan HCl sebagai larutan sampel yang
nantinya akan ditentukan kadarnya. Pada proses titrasi larutan HCl yang digunakan
dipipet sebanyak 10 mL. Larutan HCl yang dititrasi sebanyak 10 mL yang bertujuan
agar pH meter yang digunakan dapat tercelup ke dalam larutan sehingga

34
memaksimalkan kerja dari pH meter tersebut. Larutan pentiter yaitu NaOH 0,1 M
ditambahkan sedikit demi sedikit melalui buret ke dalam beker glass yang telah
mengandung larutan sampel yaitu HCl sesuai dengan yang tertera pada petunjuk
praktikum. Agar diperoleh larutan yang homogen pada setiap penambahan pentitir
maka dilakukan pengadukan yang dilakukan dengan batang pengaduk, dan setiap
pergantian larutan yang baru dititrasi, elektroda harus dicuci dengan aquadest
terlebih dahulu, dan dikeringkan dengan kertas tisu. Adapun reaksi yang terjadi pada
proses titrasi adalah sebagai berikut :

Prinsip potensiometri didasarkan pada pengukuran potensial listrik antara


elektrode indikator dan elektrode pembanding yang dicelupkan pada larutan (Gandjar
dan Rohman, 2007). Elektrode yang digunakan adalah elektrode membran gelas.
Elektrode ini mempunyai tanggapan yang bolak balik terhadap ion hidrogen.
Elektrode ini terdiri atas bola gelas khusus berdinding tipis yang di dalamnya terdapat
elektrode pembanding yang dicelupkan ke dalam larutan penyangga. Lapisan gelas
ini bertindak sebagai selaput ion yang selektif, yakni hanya ion hidrogen atau proton
yang dapat melewatinya (Gandjar dan Rohman, 2007). Sehingga pada elektrode gelas
ini potensialnya bergantung pada konsentrasi ion H+ yang dihasilkan oleh sampel
HCl. Dalam potensiometer terdapat elektrode gelas yang berfungsi sebagai elektrode
indikator. Elektrode indikator adalah elektrode yang potensialnya bergantung pada
konsentrassi ion yang akan ditetapkan dan dipilih berdasarkan jenis senyawa yang
hendak ditentukan.
Mekanisme kerja dari potensiometer dalam mengukur potensial adalah sebagai
berikut. Ketika elektrode gelas dicelupkan ke dalam larutan, terjadi kesetimbangan
antara ion-ion hidrogen yang berada di bagian tipis bola gelas dan ion hidrogen yang
terdapat dalam larutan yang diuji. Elektrode gelas akan membiarkan ion H + untuk
menembusnya, tetapi dilakukan penahanan ion yang lain. Semakin besar konsentrasi
ion hidrogen dalam larutan HCl, semakin banyak ion hidrogen yang masuk ke dalam

35
lapisan gelas tersebut. Hal ini menyebabkan pada saat awal-awal titrasi, nilai
potensial yang dihasilkan besar besar. Semakin banyak pentiter yang ditambahkan,
semakin sedikit ion hidrogen yang terdapat dalam larutan HCl, karena ion hidrogen
akan bereaksi dengan ion OH- membentuk air. Ini akan menyebabkan ion hidrogen
yang memasuki lapisan gelas akan semakin sedikit sehingga muatan elektrode gelas
berkurang, maka nilai potensial pun akan menurun dan titik akhir titrasi pun telah
tercapai. Titik akhir titrasi dari larutan HCl sampel ditentukan dengan cara melihat
lonjakan perubahan potensial yang terjadi secara drastis dengan perubahan volume
pentiter (larutan NaOH) yang kecil.

Ketika titran ditambahkan, ion hidrogen yang terdapat pada larutan HCl akan
berkurang karena ion hidrogen akan bereaksi dengan ion hidroksida (OH -) yang
berasal dari larutan NaOH dan membentuk air (H2O). Akibatnya, ion hidrogen yang
menembus lapisan gelas juga akan semakin sedikit sehingga muatan elektroda gelas
berkurang. Muatan elektroda gelas yang berkurang menyebabkan nilai potensial
menurun dan akan menurun secara signifikan ketika titik akhir titrasi dicapai. Titik
akhir titrasi ditandai dengan penurunan nilai potensial yang signifikan. Hal ini dapat
dilihat pada kurva hubungan antara poyensial dan volume pentiter sebagai berikut:

Kurva Hubungan Potensial (mV) dengan Volume Pentiter (mL)


500

Potensial (mV) 0
potensial (mV)
0 5 10 15
-500

Volume Pentiter (mL)

Gambar 8. Kurva Hubungan Potensial dengan Volume Pentiter


Pada kurva di atas terlihat adanya lonjakan potensial. Lonjakan potensial ini
disebabkan oleh tercapainya titik ekivalen atau titik akhir titrasi dimana ion hidrogen
yang berasal dari HCl telah habis bereaksi dengan ion hidroksida yang berasal dari
NaOH, sehingga tidak terdapat lagi ion hidrogen dan jumLah ion hidroksida menjadi

36
meningkat. Tidak adanya ion hidrogen secara tiba-tiba pada elektrode gelas akan
menyebabkan meningkatnya arus yang dihasilkan oleh elektrode gelas secara tiba-
tiba dan kemudian akan menurun secara tiba-tiba pula. Sedangkan semakin
bertambahnya NaOH pada saat titik ekuivalen telah tercapai maka potensial akan
terus menurun secara perlahan.
Berdasarkan hasil pengukuran, terjadi penurunan potensial drastis pada
penambahan NaOH sekitar 9,3 mL. Penurunan secara signifikan diakibatkan dari ion
hidrogen yang telah habis bereaksi dengan ion hidroksida. Berdasarkan hasil
pengamatan, titik akhir titrasi terjadi ketika adanya perubahan nilai potensial yang
signifikan dari 46 mV menjadi -147 mV. Dengan mengetahui titik akhir titrasi pada
volume NaOH sebesar 9,3 mL, dapat diketahui bahwa normalitas dari sampel HCl
adalah sebesar 0,095 N dengan kadar HCl sebesar 0,00000294% b/v. Dari hasil
tersebut dapat dikatakan bahwa normalitas yang didapat melalui praktikum hampir
mendekati normalitas sebenarnya secara teoritis yaitu 0,1 N.

VIII. PENUTUP
VIII.1. Kesimpulan
VIII.1.1. Dari kurva hubungan antara volume pentiter dengan nilai potensial
terjadi lonjakan potensial dari 46 mV menjadi -147 mV.
VIII.1.2. Volume ekivalen dari titrasi dengan potensiometri ditentukan dengan
menggunakan turunan kedua potensial terhadap volume titran yang
digunakan. Volume ekivalen yang diperoleh sebesar 9,3 mL.
VIII.1.3. Kadar HCl 0,1 N hasil titrasi sebesar 0,00000294% b/v.

DAFTAR PUSTAKA

37
Ahluwalia, V. K., S. Dhingra, dan A. Gulati. 2005. College Practical Chemistry.
Hyderabad: Universities Press.
Day, R. A. dan A. L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Gandjar, I. G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. USA: McGraw-Hill.
Khopkar, S. M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Myers, R. L. 2007. The 100 Most Important Chemical Compounds. USA: Greenwood
Publishing Group.
Oxtoby, D. W. 2001. Prinsip-Prinsip Kimia Modern Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Roth, H. J. dan G. Blaschke. 1994. Analisis Farmasi. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Widjaja, I. N. K., dkk. 2015. Petunjuk Praktikum Kimia Analisis. Jimbaran: Jurusan
Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana.

LAMPIRAN

38
Gambar 1. Kalibrasi alat Gambar 2. Kalibrasi alat
potensiometri dengan pH 4 potensiometri dengan pH 10

Gambar 3. Hasil Standarisasi NaOH 0,1 N

TUGAS DAN PERTANYAAN


1. Buat kurva antara volume pentiter vs potensial

39
Kurva Hubungan Potensial (mV) dengan Volume Pentiter (mL)
400
300
200
100
Potensial (mV) potensial (mV)
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
-100
-200
-300
Volume Pentiter (mL)

2. Tentukan titik akhir titrasinya dan Hitung kadar sampel yang telah disiapkan oleh
Dosen atau Asisten
Penurunan harga potensial ini terjadi saat titik akhir titrasi tercapai yaitu pada
saat volume pentiter NaOH 0,102 N sebanyak 9,333 mL.
- Kadar HCl
Massa HCl (mg) = mol HCl x BM HCl
= 0,95 mmol 36,5 mg/mmol
= 34,675 mg
= 0,0347 gram

Kadar HCl (% b/v) = (0,0347 gram)/(1,18 gram/mL X 10 mL)


= 0,00294 gram/ 100 gram
= 0,00000294% b/v

40

Anda mungkin juga menyukai