Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat sendiri
ketentuan mengenai masalah perpajakannya, namun Indonesia juga tidak mungkin
lepas dari pergaulan internasional yang juga bersinggungan dengan masalah
pajak.
Transaksi antar kedua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan
aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau
seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara,
agar tidak menghambat investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak
yang memberatkan wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang
mengadakan transaksi tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk
mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap
negara dipastikan mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut.
Pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana
setiap negara mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional
yang sering disebut Konvensi Wina.
Indonesia merupakan subjek hukum internasional, karena telah
menandatangani Konvensi Wina, dan sebagai subjek hukum internasional,
Indonesia tidak bisa menghindari pelaksanaan tax treaty, manakala masyarakat
Indonesia telah berhubungan dan memperoleh penghasilan di negara lain tersebut.
Banyaknya masalah tax treaty yang terjadi dewasa ini membuat penulis tertarik
untuk membahas tentang Tax Treaty dan segala cara pencegahannya.
Dalam rangka mengelola kekayaan perusahaan untuk memperoleh laba
dan memaksimalkan nilai perusahaan, manajemen perusahaan akan membuat
keputusan melalui pertimbangan yang matang. Salah satu komponen penting yang
menjadi pertimbangan perusahaan adalah pajak, oleh karenanya pajak harus
direncanakan dengan baik.

1
Upaya untuk meminimalkan beban pajak dilakukan dengan membuat
perencanaan pajak (tax planning). Secara sederhana tax planning adalah upaya-
upaya yang dilakukan Wajib Pajak untuk meminimalisir pajak terhutang. Tax
planning dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi
ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan
(unlawful). Istilah yang sering digunakan adalah tax avoidance (penghindaran
pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Tax avoidance dilakukan dengan
cara-cara yang tidak melanggar ketentuan yang berlaku, yaitu memanfaatkan
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam ketentuan perpajakan. Sedangkan tax
evasion dilakukan dengan cara-cara yang bersifat illegal, yaitu melanggar
ketentuan perpajakan. Seringkali dalam praktik antara tax avoidance dan tax
avasion sulit untuk dibedakan. Walaupun secara legal tax avoidance dan tax
avasion dapat dibedakan, namun secara ekonomis baik perencanaan pajak melalui
tax avoidance maupun tax avasion sama-sama mengakibatkan berkurangnya
penerimaan pajak.

2
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Penghindaran Pajak

Penghindaran pajak atau perlawanan terhadap pajak adalah hambatan-


hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan
berkurangnya penerimaan kas negara. Perlawanan terhadap pajak terdiri dari
perlawanan aktif dan perlawanan pasif. Dalam buku-buku perpajakan Indonesia,
penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai kegiatan yang legal
(misalnya meminimalkan beban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan) dan
penyelundupan pajak (tax evasion/tax fraud) diartikan sebagai kegiatan yang
ilegal (misalnya meminimalkan beban pajak dengan memanipulasi pembukuan).
2.2 Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
Penggelapan Pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari
pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian
dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara terdiri dari wajib pajak besar
(berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan
penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang
terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri,
dll).
2.3 Pengertian Penggelapan Pajak
Pengertian Tax Evasion menurut Defiandry Taslim (2007), yaitu :
Tax evasion (penggelapan pajak) yaitu usaha-usaha untuk memperkecil jumlah
pajak yang terutang atau menggeser beban pajak yang terutang dengan melanggar
ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku. Tax evasion merupakan pelanggaran
dalam bidang perpajakan sehingga tidak boleh di lakukan, karenapelaku tax
evasion dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana.
Pengertian Tax Evasion menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:147), yaitu :
Pengelakan Pajak (tax evasion) merupakan usaha aktif Wajib Pajak dalam hal

3
mengurangi, menghapuskan, manipulasi ilegal terhadap utang pajak atau
meloloskan diri untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang telah terutang
menurut aturan perundang-undangan.
Pengertian Tax Evasion menurut Lyons Susan M dalam Erly Suandy (2008:7),
yaitu:
Tax Evasion is the reduction of tax by ilegal means. The distincion,however, is not
always easy. Some example of tax avoidance scheme include locatting assets in
offshore jurisdiction, delaying repatriation of profit earn in low-tax foreign
jurisdiction, ensuring that gains are capital rather than income so the gains are
not subject to tax (or a subject at a lower rate), spreading of income to other tax
payers with lower marginal tax rates and taking advantages of tax incentives.
2.4 Indikator Penggelapan Pajak
Adapun yang menjadi indikator dari Penggelapan Pajak menurut M Zain
(2008:51), yaitu :
1. Tidak menyampaikan SPT.
2. Menyampaikan SPT dengan tidak benar.
3. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan NPWP atau Pengukuhan
PKP.
4. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong.
5. Berusaha menyuap fiskus.
2.5 Penyebab Penggelapan Pajak
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:149) yang menyebabkan terjadinya tax
evasion yaitu :
1. Kondisi lingkungan
Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yang tak terpisahkan dari
manusia sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu saling bergantung satu sama
lain. Hampir tidak ditemukan manusia di dunia ini yang hidupnya hanya
bergantung pada diri sendiri tanpa memperdulikan keberadaan orang lain, begitu
juga dalam dunia perpajakan, manusia akan melihat lingkungan sekitar yang
seharusnya mematuhi aturan perpajakan. Mereka saling mengamati terhadap
pemenuhan kewajiban perpajakan. Jika kondisi lingkungannya baik (taat aturan),
masing-masing individu akan termotivasi untuk mematuhi peraturan perpajakan

4
dengan membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya jika
lingkungan sekitar kerap melanggar peraturan. Masyarakat menjadi saling meniru
untuk tidak mematuhi peraturan karena dengan membayar pajak, mereka merasa
rugi telah membayarnya sementara yang lain tidak.
2. Pelayanan fiskus yang mengecewakan
Pelayanan aparat pemungut pajak terhadap masyarakat cukup menentukan
dalam pengambilan keputusan wajib pajak untuk membayar pajak. Hal tersebut
disebabkan oleh perasaan wajib pajak yang merasa dirinya telah memberikan
kontribusi pada negara dengan membayar pajak. Jika pelayanan yang diberikan
telah memuaskan wajib pajak, mereka tentunya merasa telah diapresiasi oleh
fiskus. Mereka menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai meskipun hanya
sekedar dengan pelayanan yang ramah saja. Tapi jika yang dilakukan tidak
menunjukkan penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat merasa malas
untuk membayar pajak kembali.
3. Tingginya tarif pajak
Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak dalam hal
pembayaran pajak. Pembebanan pajak yang rendah membuat masyarakat tidak
terlalu keberatan untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun masih ingin berkelit
dari pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang terhadap aturan perpajakan
karena harta yang berkurang hanyalah sebagian kecilnya. Dengan pembebanan
tarif yang tinggi, masyarakat semakin serius berusaha untuk terlepas dari jeratan
pajak yang menghantuinya. Wajib pajak ingin mengamankan hartanya sebanyak
mungkin dengan berbagai cara karena mereka tengah berusaha untuk mencukupi
berbagai kebutuhan hidupnya. Masyarakat tidak ingin apa yang telah diperoleh
dengan kerja keras harus hilang begitu saja hanya karena pajak yang tinggi.
4. Sistem administrasi perpajakan yang buruk
Penerapan sistem administrasi pajak mempunyai peranan penting dalam
proses pemungutan pajak suatu negara. Dengan sistem administrasi yang bagus,
pengelolaan perpajakan akan berjalan lancar dan tidak akan terlalu banyak
menemui hambatan yang berarti. Sistem yang baik akan menciptakan manajemen
pajak yang profesional, prosedur berlangsung sistematis dan tidak semrawut. Ini
membuat masyarakat menjadi terbantu karena pengelolaan pajak yang tidak

5
membingungkan dan transparan. Seandainya sistem yang diterapkan berjalan jauh
dari harapan, mayarakat menjadi berkeinginan untuk menghindari pajak. Mereka
bertanya-tanya apakah pajak yang telah dibayarnya akan dikelola dengan baik
atau tidak. Setelah timbul pemikiran yang menyangsikan kinerja fiskus seperti itu,
kemungkinan besar banyak wajib pajak yang benar-benar `lari` dari kewajiban
membayar pajak.
2.6 Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Penghindaran Pajak (tax avoidance) merupakan tindakan legal, dapat
dibenarkan karena tidak melanggar undang-undang, dalam hal ini sama sekali
tidak ada suatu pelanggaran hukum yang dilakukan. Tujuan penghindaran pajak
adalah menekan atau meminimalisasi jumlah pajak yang harus dibayar.
a. Pengertian Penghindaran Pajak
Pengertian Tax Avoidance menurut Lyons Susan M dalam Erly Suandy (2008:7),
yaitu:
Tax Avoidance is a term used to describe the legal arrangements of tax fairs
affairs so as to reduce his tax liability. Its often to pejorative overtones, for
example it is use to describe avoidance achieved by artificial arrengements of
personal or bussiness affair to take advantage of loopholes, ambiguities,
anomalies or other deficiencies of tax law. Legislation designed to counter
avoidance has become more commonplace and often involves highly complex
provision.
Pengertian Tax Avoidance menurut Harry Graham dalam Siti Kurnia Rahayu
(2010:147), yaitu :
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) merupakan usaha yang sama yang tidak
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pengertian Tax Avoidance menurut Robert H Anderson dalam Siti Kurnia Rahayu
(2010:147), yaitu :
Cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan dan dapat dibenarkan terutama melalui perencanaan
perpajakan.
Pengertian Tax Avoidance menurut NA Barr SR James AR Prest dalam Siti Kurnia
Rahayu (2010:147), yaitu :

6
Sebagai manipulasi penghasilannya secara legal yang masih sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah
pajak yang terutang.
b. Indikator Penghindaran Pajak
Adapun yang menjadi indikator dari Penghindaran Pajak menurut Arnold dan
McIntyre (1995) dilakukan dengan 3 cara, yaitu :

Menahan Diri

Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan
sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh :

- Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau


- Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar
dari pajak atas pemakaian barang tersebur. Sebagai gantinya,
menggunakan ikat pinggang dari plastik.

Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan menganggap
perbuatan seorang perokok yang mengurangi kebiasaan merokoknya sebagai
orang yang menghindari pajak. Malah, orang yang mengurangi, atau malah tidak
merokok sama sekali dianggap sebagai tindakan terpuji.

Pindah Lokasi

Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi
ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh:

Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan


modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan
oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi,
SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus
sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang
mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada
pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka
cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih

7
rendah. Hal ini tidak tercela karena merupakan hak asasi setiap orang untuk
memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya.

Penghindaran Pajak Secara Yuridis

Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang


dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan
kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan
dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh:

Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut


undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam
penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan
menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras
dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang.

Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole) yang


dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh
perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan
sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus
dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang paling sedikit namun tetap
dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

Permasalahannya adalah apakah penghindaran pajak selalu legal? Menurut


Roy Rohatgi (2002: 342), di banyak negara penghindaran pajak dibedakan
menjadi penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance/tax
planning/tax mitigation) dan yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax
avoidance).

Artinya, penghindaran pajak dapat saja dikategorikan sebagai kegiatan legal dan
dapat juga dikategorikan sebagai kegiatan ilegal. Suatu penghindaran pajak
dikatakan ilegal apabila transaksi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan
penghindaran pajak atau transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan usaha yang

8
baik (bonafide business purpose). Oleh karena itu, untuk mencegah praktik
penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, sebagian besar
negara telah mempunyai ketentuan anti penghindaran pajak (Brian J. Arnold dan
Michael J. McIntyre, 2002:81). Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga
wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan
suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan,
maka negara juga tidak membutuhkan kerelaan wajib pajak. Yang dibutuhkan
oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi
negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan
kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini. Mengingat pajak adalah beban yang
akan mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya
semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya
untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan
dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini
perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus
penggelapan pajak :

Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar


hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar
misalnya.

Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;

Transaksi export fiktif,

Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan

Jika kita analogikan pajak dengan karcis tol, Jika kita lewat jalan tol namun
tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita
menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa,

9
maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara
tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.

2.7 Skema Penghindaran Pajak

Beberapa skema penggelapan pajak yang umumnya dilakukan oleh


perusahaan adalah:

2.7.1 Transfer Pricing


Transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan (transfer)
barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak dalam transaksi bisnis maupun finansial (Gunadi:1994). Dalam konteks
perpajakan transfer pricing digunakan untuk merekayasa pembebanan harga suatu
transaksi antara perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa
dalam rangka meminimalkan beban pajak yang terutang secara keseluruhan atas
grup perusahaan. Dari sisi negara, praktik transfer pricing dapat mengakibatkan
distorsi penerimaan negara dari sektor pajak.
Menurut Griffin dan Pustay, perusahaan multinasional berusaha untuk
memaksimalkan laba bersih setelah pajak dengan cara they may manipulate
transfer prices to shift reported profits from high-tax countries to law-tax
countries. Skema transfer pricing yang umumnya dilakukan oleh perusahaan
adalah:
Menggelembungkan inter company cost.
Membebankan biaya royalti atas pemakaian merek dagang milik induk
perusahaan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Memperbesar biaya bahan baku dan atau memperkecil penghasilan dari
penjualan barang.
Memperkecil omzet penjualan melalui transaksi maklon.
Pinjaman saham melalui perusahaan PMA, dilakukan dengan cara :
(1) membebankan biaya bunga dari pinjaman pemegang saham kepada
pemberi pinjaman di luar negeri, atau

10
(2) penghindaran PPh pemotongan dan pemungutan (withholding tax), yaitu
melalui praktik pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham, dan praktik
pemakaian bahan baku untuk perusahaan di luar negeri dan pemakaian merek
dagang induk perusahaan tanpa pembayaran royalti kepada induk perusahaan di
luar negeri.
2.7.2 Pemanfaatan Tax Haven Country
Negara tax haven merupakan suatu lokasi yang menawarkan kewajiban
pajak yang rendah atau daerah yang tidak akan dikenakan pajak di mana para
pengusaha melakukan usaha. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Azzara
(1999), a tax haven is a location which offer a low-tax or no-tax environment for
which businessman can operate.
Namun demikian, beberapa ahli perpajakan ada yang berpendapat bahwa
negara tax haven tidak dapat didefinisikan dengan jelas karena sifatnya sangat
relatif, yaitu tergantung pada ketentuan masing-masing negara. Suatu negara dapat
saja disebut sebagai tax haven oleh negara lain apabila negara tersebut
memberikan suatu insentif dalam kegiatan perekonomian di suatu daerah tertentu
dalam wilayah negara tersebut. Jadi, apakah suatu negara akan diklasifikasikan
sebagai negara tax haven atau tidak oleh negara lain tergantung dari definisi
negara tax haven yang diberikan oleh negara lain tersebut.
Karena tidak ada definisi yang jelas, maka untuk menentukan bahwa suatu negara
sebagai tax haven dapat berdasarkan beberapa keriteria sebagai berikut
(Zain:2005):
Tidak memungut pajak sama sekali atau apabila memungut pajak maka
tarifnya sangat rendah.
Memiliki peraturan yang ketat tentang rahasia bank dan atau rahasia bisnis
dan tidak akan mengungkapkan kerahasiaan tersebut kepada siapapun atau
negara manapun, walaupun hal itu dimungkinkan pengungkapannya
berdasarkan perjanjian internasional.
Tersedia fasilitas alat komunikasi modern yang memungkinkan
komunikasi ke seluruh dunia tanpa ada hambatan apapun.
Pengawasan yang longgar terhadap lalu lintas devisa, termasuk deposito
yang berasal dari negara asing, baik perorangan maupun badan.

11
Adanya promosi dan kepercayaan bahwa negara-negara tax haven
merupakan pusat keuangan yang baik dan terjamin.
Para peneliti di bidang international taxation pada umumnya membagi negara tax
haven dalam empat kelompok (Darussalam, Danny dan Indrayagus:2007), yaitu:
Classical tax haven, yaitu negara yang tidak mengenakan pajak
penghasilan sama sekali atau menerapkan tarif pajak penghasilan yang
rendah (no-tax haven).
Tax havens, yaitu negara yang menerapkan pembebasan pajak atas sumber
penghasilan yang diterima dari luar negeri (no tax on foreign source of
income).
Special tax regimes, yaitu suatu negara yang memberikan fasilitas pajak
khusus bagi daerah-daerah tertentu di wilayah negaranya.
Treaty tax havens, yaitu negara yang mempunyai treaty network yang
sangat baik serta menerapkan tarif pajak yang rendah untuk withholding
tax atas passive income.

2.7.3 Thin Capitalization


Thin capitalization merupakan modal terselubung melalui pinjaman yang
melampui batas kejawaran. Pinjaman dalam konteks thin capitalization ini adalah
pinjaman berupa uang atau modal dari pemegang saham atau pihak-pihak lain
yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak peminjam (Rohatgi:2002).
Pada umumnya bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman yang
bukan penduduk di negara peminjam dapat dijadikan pengurang pada penghasilan
kena pajak si peminjam, sedangkan dividen tidak dapat dijadikan sebagai
pengurang. Menurut Gunadi (1994), pemberian pinjaman dalam skema thin
capitalization dapat dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut:
Direct loan. Pinjaman diperoleh secara langsung dari investor (pemegang
saham). Dari pinjaman tersebut investor mendapatkan bunga yang
besarnya pada umumnya ditentukan oleh investor tersebut.
Back to back loan. Investor menyerahkan dananya kepada mediator
sebagai pihak ketiga untuk langsung dipinjamkan kepada anak perusahaan
dengan memberinya imbalan.

12
Paralel loan. Investor luar negeri mencari mitra perusahaan Indonesia
yang mempunyai anak perusahaan yang berada di negara investor. Sebagai
imbalan atas pemberian pinjaman kepada anak perusahaan (Indonesia) di
negara investor, selanjutnya investor meminta kepada perusahaan
Indonesia untuk juga memberikan pinjaman kepada anak perusahaan milik
investor di Indonesia.

2.7.4 Treaty Shopping


Tax treaty dapat dijadikan objek untuk melakukan aktivitas penghindaran
pajak, meskipun tujuan dari tax treaty pada hakekatnya adalah untuk mencegah
penghindaran pajak. Skema treaty shopping dilakukan oleh penduduk suatu
negara yang tidak memiliki tax treaty mendirikan anak perusahaan di negara yang
memiliki tax treaty dan melakukan kegiatan investasinya melalui anak perusahaan
tersebut, sehingga investor dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-
fasilitas perpajakan lainnya yang tercantum dalam tax treaty.
Skema treaty shopping dilakukan untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas
dalam tax treaty (treaty benefit). Padahal treaty benefit hanya boleh dinikmati
oleh residen (subjek pajak dalam negeri) dari kedua negara yang mengikat
perajanjian. Untuk dapat memanfaatkan treaty benefit harus memenuhi dua syarat
(Mansury:1999):
Syarat formal (administrative requirement), yaitu pembuktian bahwa yang
bersangkutan adalah residen (penduduk) dari negara yang mengikat
perjanjian berupa Certificate of Residence yang diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang di negara treaty partner.
Syarat material (substantive requirement), yaitu Wajib Pajak di negara
treaty partner memang benar-benar residen di negara partner tersebut,
bukan residen negara ketiga.

2.7.4.1 Beneficial owner dan treaty shopping

Khusus untuk penghasilan atas dividen, bungan, dan royalti,


perjanjian penghindaran pajak berganda menambahkan satu persyaratan

13
lagi selain sebagai resident untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif
yang disediakan, yaitu beneficial owner.

2.7.4.2 Limitation on benefits sebagai anti treaty shopping

OECD telah memberikan jalan keluar untuk mencegah


penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda dengan
beberapa alternatif, seperti: (i) looh-through approach; (ii) the channel
approach; (iii) the limitation on benefits approach; dan (iv) bonafide test.

Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung di India dalam


putusannya menyatakan bahwa jika otoritas pajak India ingin
menyatakan bahwa negara pihak ketiga (non-resident country) tidak
berhak untuk mendapatkan fasilitas yang disediakan dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda, maka negara harus mengadopsi ketentuan
limitation of benefits seperti yang terdapat dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda India-US. Maksud diadakan ketentuan
limitation of benefits tersebut adalah dalam rangka untuk mencegah
penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak bergandaoleh subjek
pajak yang tidak berwenang dan dalam rangka untuk kepastian hukum
bagi subjek pajak.

Sehubungan dengan ketentuan limitation of benefits, perjanjian


penghindaran pajak berganda Indonesia saat ini mempunyai pasal
limitation of benefits hanya dengan USA. Akan tetapi, untuk dapat
memasukkan (renegosiasi) pasal tersebut dalam perjanjian penghindaran
pajak berganda yang masih berlaku saat ini adalah sesuatu yang sangat
sulit karena dalam praktik, masa berlakunya perjanjian penghindaran pajak
berganda dengan satu negara sampai renegosiasi rata-rata sekitar 14 tahun.
Hal ini bisa terjadi karena suatu renegosiasi memerlukan adanya
kepentingan bersama dari dua negara yang mengadakan renegosiasi

14
perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut. Oleh karena itu,
keinginan sepihak untuk memasukkan anti penghindaran pajak dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda banyak menemui kendala dalam
praktiknya.

2.7.4.3 SAAR sebagai anti treaty shopping


Banyak negara, pada umumnya, telah memiliki ketentuan
khusus anti penghindaran pajak (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR)
untuk mencegah praktik treaty shopping dalam undang-undang pajak
domestik mereka. Di lain pihak, meskipun ketentuan khusus anti
penghindaran pajak (SAAR) sudah diatur dalam ketentuan pajak
domestik di suatu negara tetapi tidak cukup efektif untuk menangkal
praktik treaty shopping seperti yang dinyatakan oleh Arnold (Tidak
cukup kuat dapat diartikan bahwa dalam pembuatan UU Pajak sangat
sulit untuk memprediksi skema-skema khusus penghindaran pajak
yang akan dilakukan oleh subjek pajak di kemudian hari). Untuk dapat
menangkal praktik penghindaran pajak perlu adanya kombinasi antara
ketentuan umum anti penghindaran pajak (General Anti Avoidance
Rule/ GAAR) dan ketentuan khusus anti penghindaran pajak.
2.7.4.4 GAAR sebagai anti treaty shopping
Paragraf 22 dan 22.1 OECD Commentary atas Pasal 1
menyatakan bahwa ketentuan anti penghindaran pajak domestik
seperti "substance over form principle", "economic substance", dan
ketentuan umum anti penghindaran pajak (General Anti Avoidance
Rule/ GAAR) tidak bertentangan dengan perjanjian penghindaran
pajak berganda. Akan tetapi, sudah ada kesepakatan antara negara
anggota OECD bahwa penerapan GAAR ini harus dilaksanakan
dengan hati-hati agar jangan sampai terjadi pemajakan berganda.
Penerapan ketentuan GAAR hanya bisa dilaksanakan jika sudah
terdapat bukti yang sangat jelas bahwa perjanjian penghindaran pajak
berganda telah disalahgunakan.
Ketentuan GAAR dapat dikembangkan melalui Undang-Undang
pajak penghasilan atau dikembangkan oleh pengadilan pajak melalui
putusan-putusannya. Salah satu doktrin yang dikembangkan oleh

15
pengadilan di banyak negara dalam menyangkal praktik treaty
shopping, melalui pendirian conduit company/paperbox company,
yaitu dengan cara membuat aturan tentang step transaction doctrine.
Ketentuan tentang step transaction doctrine tersebut telah
dikembangkan di Pengadilan Pajak AS (US Tax Court).
Terkait dengan ketentuan step transaction doctrine, Pengadilan
Pajak AS menyatakan bahwa suatu rangkaian transaksi yang secara
formal dibuat terpisah akan dibatalkan dan dijadikan sebagai satu
transaksi yang tidak terpisahkan. Selain itu, dalam rangka untuk
menangkal complex series of transactions yang tidak mempunyai
tujuan bisnis, semata-mata untuk menghindari pajak, Pengadilan Pajak
AS memberikan 3 (tiga) macam alat uji untuk menerapkan ketentuan
step transaction doctrine sebagai berikut ini:

1. Binding Commitment Test

Apabila terdapat serangkaian transaksi, maka apabila setelah tahap


pertama dijalankan, ternyata ada suatu kesepakatan yang mengikat
untuk menjalankan tahap yang kedua, maka transaksi yang terpisah
tersebut akan dianggap tidak ada.

2. The End Result Test

Apabila terdapat transaksi yang sudah direncanakan dari awal


bahwa transaksi tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan jika sampai ke tahap yang terakhir, maka transaksi
yang terpisah tersebut akan dianggap tidak ada.

3. The Mutual Interdependence Test

Apabila tahap-tahap yang terpisah tersebut adalah merupakan satu


kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga jika suatu bentuk formal
yang dibuat pada tahap yang pertama dijalankan, maka tahap
pertama tersebut tidak akan mempunyai arti apapun jika tidak
dijalankan sampai rangkaian dari tahap-tahap tersebut lengkap.

16
Dalam pasal-pasal perjanjian penghindaran pajak berganda
terdapat ketentuan untuk menangkal agar suatu perjanjian
penghindaran pajak berganda tidak disalahgunakan oleh subjek
pajak yang tidak berhak (treay shopping) seperti pasal limitation of
benefits. Akan tetapi, untuk memasukkan pasal-pasal tersebut ke
dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, yang masih
berlaku, tidak mudah untuk dilakukan.

Ketentuan anti penghindaran pajak domestik diperkenankan


sepanjang terdapat bukti yang jelas bahwa perjanjian penghindaran
pajak berganda telah disalahgunakan. Walaupun suatu negara telah
mempunyai SAAR untuk menangkal praktik treaty shopping, tetapi
ketentuan tersebut masih belum cukup. Oleh karena itu, dibutuhkan
GAAR, yang dapat dikembangkan melalui undang-undang pajak
penghasilan atau melalui putusan pengadilan pajak, sebagai
pelengkap. Menurut Brian J. Arnold, dalam beberapa kasus GAAR
harus dapat meng-override SAAR, jika tidak, maka para pelaku
penghindaran pajak akan memanfaatkan kelemahan teknis dari
undang-undang pajak penghasilan. Akan tetapi, hal ini bukan
berarti bahwa GAAR kedudukannya lebih tinggi dari SAAR.

2.7.5 Controlled Foreign Corporation (CFC)

Controlled Foreign Company (CFC) adalah perusahaan terkendali yang


dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang berada di negara-negara yang
mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax haven
country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan penghasilan
dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance).

Penghindaran pajak oleh Wajib Pajak dalam negeri ini dilakukan dengan
mengalihkan penghasilan dari luar negeri ke perusahaan CFC yang sengaja
dibentuk di negara tax haven country. Agar tidak dikenakan pajak, laba dari
perusahaan CFC ini tidak dibagikan kepada pemegang sahamnya, yaitu Wajib

17
Pajak dalam negeri. Dengan kata lain, Wajib Pajak dalam negeri ini tidak meminta
haknya atas laba yang diperoleh CFC.

Untuk mengantisipasi penghindaran pajak jenis ini, Undang-undang Pajak


Penghasilan telah memuat ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2). Ketentuan ini
sebagaimana, ketentuan lain dalam Pasal 18, adalah ketentuan anti penghindaran
pajak (anti avoidance rule). Selengkapnya bunyi dari Pasal 18 ayat (2) Undang-
undang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut :

Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib


Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri
selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan
sebagai berikut:

besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling


rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau

secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki


penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor.

Berdasarkan ketentuan di atas, apabila ada Wajib Pajak dalam negeri yang
memiliki CFC, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri tersebut sehingga tidak ada celah untuk
menunda pengakuan laba agar tidak dikenakan pajak di Indonesia.

Sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 18 Ayat (2) UU PPh ini, Menteri
Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib
Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri
Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek.

Peraturan Menteri Keuangan ini mencabut ketentuan sebelumnya yaitu


Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994 tentang Penetapan Saat

18
Diperolehnya Dividen Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri
Yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan Di Bursa Efek.

2.8 Diskriminasi dalam konteks perpajakan

Dalam konteks perpajakan istilah diskriminasi diartikan sebagai perlakuan


perpajakan yang kurang menguntungkan atas suatu subyek pajak tertentu
dibandingkan dengan subyek pajak lainnya dalam kondisi yang sama. Dengan
kata lain :

1. Perlakuan yang tidak sama atas kasus yang sama


2. Perlakuan yang sama atas kasus yang tidak sama

OECD Model menyatakan bahwa setiap Negara yang mengadakan perjanjian


penghindaran pajak berganda dilarang melakukan diskriminasi atas subyek pajak
dalam negeri dari Negara mitra perjanjian berdasarkan kewarganegaraan dalam
mengaplikasikan ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian penghindaran
pajak berganda. Hal ini diatur dalam OECD Model pasal 24 yang berbunyi
sebagai berikut :

National of Contracting State shall not subjected in the other contracting


state to any taxation or any requirement connected therewith, which is
other or more burdensome than the taxation and connected requirement to
which nationals od the other state in the same circumtances, in particular
with respect to residence, are or may subjected. This provision shall
notwithstanding the profision of article 1, also apply to persons who are
not residents of one or both of the contracting states.

Tujuan dari pasal yang mengatur tentang non diskriminasi ini pada dasarnya
adalah sebagai berikut :

1. Mencegah diskriminasi pengenaan pajak yang kurang menguntungkan


oleh suatu Negara atas subyek pajak dalam negeri Negara yang berstatus
sebagai warga Negara asing

19
2. Mencegah diskriminasi pengenaan pajak yang kurang menguntungkan
oleh suatu Negara terhadap subyek pajak dalam negeri dari Negara lain
yang memperoleh penghasilan dari Negara tsb melalui 3 skema berikut :
Permanent estabilishment yang didirikan di Negara oleh subyek
pajak dalam negeri Negara lain (non diskriminasi atas pemajakan
permanent estabisihment)
Perhitungan biaya bunga, royalty, dan pembebanan biaya lainnya
yang dibayarkan kepada subyek pajak dalam negeri dari asing
sebagai dasar pengurangan penghasilan bruto (non diskriminasi
atas pembebanan biaya)
Perusahaan di suatu Negara yang dimiliki oleh subyek pajak
negara lain (non diskriminasi atas perusahaan milik subyek pajak
luar negeri)

2.9 Non Diskriminasi atas Kewarganegaraan

Tujuan nomor 1 dari pasal 24 OECD model tentang non diskriminasi atas
kewarganegaraan dibahas pada pasal 24 ayat 1 OECD model yang berbunyi
sebagai berikut :

National of Contracting State shall not subjected in the other


contracting state to any taxation or any requirement connected therewith,
which is other or more burdensome than the taxation and connected
requirement to which nationals of the other state in the same
circumstances, in particular with respect to residence, are or may
subjected. This provision shall notwithstanding the provision of article 1,
also apply to persons who are not residents of one or both of the
contracting states.

Dilihat dari deskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa subyek pajak tidak
boleh dibebankan pajak yang lebih berat dari subyek pajak lain di Negara yang
sama pada kasus yang sama berdasarkan pada kewarganegaraan.

Selain pasal 24 ayat 1 OECD Model, terdapat pasal 24 ayat 2 yang


ditunjukan kepada subyek pajak yang tidak memiliki status nationality (stateless).
Yang berbunyi :

20
Stateless person who residents of a constracting state shall not be subjected in
either contracting state to any taxation or any requirement connected therewith,
wich is other or more burdensome than the taxation and connected requirements
to wich nationals of the state concerned in the same circumtances, in particular
with respect to residence, are or may be subjected.

Konsisten dengan ketentuan pasal 24 ayat 1, pasal 24 ayat 2 menyatakan


bahwa subyek pajak yang tidak memiliki nationality yang menjadi subyek pajak
dalam negeri di Negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak
berganda tidak boleh diberi perlakuan pajak kurang menguntungkan di Negara
mitra perjanjian lainnya dibandingkan dengan subyek pajak dalam negeri lainya
yang memiliki status kewarganegaraan.

Selain itu perlu diperhatikan bahwa perlindungan atas perlakuan non


diskriminasi dalam pasal 24 ayat 1 tidak sebatas diberikan kepada masing masing
subyek pajak dalam negeri yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak
berganda, tetapi juga diberikan kepada subyek pajak yang memiliki
kewarganegaraan dari Negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak
berganda walaupun subyek pajak yang dimaksud bukan merupakan subyek pajak
dalam negeri dari Negara yang mengadakan perjanjian.

2.10 Non diskiriminasi atas permanent estabilishment

Diskriminasi atas permanent estabilishment diatur oleh OECD Model


pasal 3 sebagai berikut :

The taxation on a permanent establishment which an enterprise of a


Contracting State has in the other Contracting State shall not be less
favourably levied in that other State than the taxation levied on
enterprises of that other State carrying on the same activities. This
provision shall not be construed as obliging a Contracting State to
grant to residents of the other Contracting State any personal
allowances, reliefs and reductions for taxation purposes on account of

21
civil status or family responsibilities which it grants to its own
residents.

Maksud dari pasal 24 ayat 3 OECD Model adalah jika suatu perusahaan
yang merupakan sumber pajak dalam negeri dari suatu Negara mempunyai
permanent estabilishment dinegara lain, maka perlakuan perpajakan atas
permanent estabilishment tersebut tidak boleh kurang menguntungkan
dibandingkan perusahaan lain di Negara asing tersebut dengan syarat kegiatan
usaha yang dilakukan adalah sama. Tetapi perlakuan perpajakan atas permanent
estabilishment dapat dibedakan sepanjang perbedaan perlakuan pajak tersebut
tidak menyebabkan dikenakan pajak yang lebih berat.
Apabila terdapat subyek pajak orang pribadi yang mempunyai permanent
estabilishment di Negara lain maka bisa saja subyek pajak tersebut memperoleh
perlakuan pajak yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan subyek orang
pribadi dari Negara lain dikarenakan dua kali pengurangan PTKP. Oleh karena itu
OECD pasal 24 ayat 3 memperkenankan negara subyek pajak orang pribadi
tersebut untuk tidak memberikan PTKP orang pribadi dengan klausul sebagai
berikut :

This provision shall not be constructed as obliging a contracting


state to grant to resident of other contracting state any personal
allowances, reliefs and reductions for taxation purposes on account of
civil status or family responsibilities which it grants to its own
residence

Menurut Kees van Raad pengaturan non diskriminasi diatas (pasal 24 ayat
1, 2, dan 3) adalah pengaturan prinsip non diskriminasi yang berdasarkan atas
status kewarganegaraan.

2.11 Non diskriminasi atas pembebanan biaya


Pasal 24 ayat 4 OECD model memberikan aturan tentang persamaan
perlakuan perpajakan atas biaya bunga, royalty, dan pembebanan biaya lainnya

22
sebagai pengurangan penghasilan kena pajak tanpa membedakan pembiayaan
tersebut dibayarkan kepada subyek pajak dalam negeri dari Negara sumber
ataupun domisili. Berikut ini adalah bunyi pasal 24 ayat 4 dari OECD model :

interest, royalties and other disbursements paid by an enterprise of a


Contracting State to a resident of the other Contracting State shall, for
the purpose of determining the taxable profits of such enterprise, be
deductible under the same conditions as if they had been paid to a
resident of the first-mentioned State.

Maksud dari pasal 24 ayat 4 diatas adalah pembayaran royalty, bunga dan
beban beban lainnya sebagai pengurang pengurang penghasilan kena pajak yang
dibayarkan baik ke resident luar maupun dalam negeri diperlakukan sama dengan
syarat kondisi yang sama.
Model ini tunduk pada pasal 9 ayat 1, pasal 11 ayat 6 dan pasal 12 ayat 4
yaitu jika terbukti terdapat isu transfer pricing maka Negara residen dapat
melakukan adjustment selama dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa dan pembebanan tidak mencerminkan harga pasar yang wajar.

2.12 Non diskriminasi atas perusahaan milik subyek pajak luar negeri
Ketentuan Pasal 24 ayat 5 melarang suatu Negara mengenakan pajak yang
kurang menguntungkan kepada suatu perusahaan dimana perusahaan tersebut
dimiliki oleh subyek pajak Negara lain. Berikut ini adalah pasal 24 ayat 5 OECD
model :

Enterprises of a Contracting State, the capital of which is wholly or


partly owned or controlled, directly or indirectly, by one or more
residents of the other Contracting State, shall not be subjected in the
first-mentioned State to any taxation or any requirement connected
therewith which is other or more burdensome than the taxation and
connected requirements to which other similar enterprises of the
firstmentioned State are or may be subjected.

23
2.13 Jenis pajak yang dicakup oleh prinsip non diskriminasi
Pasal 24 ayat 6 mengatur bahwa prinsip non diskriminasi diterapkan
terhadap semua jenis pajak dan tidak terbatas pada pajak yang diatur dalam pasal
2 OECD model. Hal ini tampak pada klausul berikut ini :

The provisions of this Article shall, notwithstanding the provisions of


Article 2, apply to taxes of every kind and description.

Pasal 24 ayat 6 ini sebenarnya tidak sesuai dengan maksud dari perjanjian
penghindaran pajak berganda itu sendiri yang hanya mengatur pemajakan atas
income dan capital gain sesuai dengan judul dari perjanjian penghindaran pajak
berganda yaitu Model Convention with Respect to Taxes on Income and Capital.

24
BAB III

PEMBAHASAN & STUDI KASUS

3.1 Treaty Shopping

Di India, dalam perjanjian penghindaran pajak berganda India-Mauritius,


Central Board of Direct Taxation menyatakan bahwa SKD yang diterbutkan oleh
pihak yang berwenang di Mauritius dapat dianggap sebagai bukti yang cukup
meyakinkan bahwa penghasilan telah diterima oleh subjek pajak dalam negeri
sekaligus sebagai penerima terakhir yang sebenarnya (beneficial owner of the
income). Akan tetapi, oleh Pengadilan Tinggi, Surat Edaran tersebut dianggap
ultra vires terhadap undang-undang pajak penghasilan India. Lebih lanjut,
mengenai Surat Edaran yang diterbitkan tersebut, Srinivasa Rao berpendapat
bahwa hal tersebut merupakan passive abuse by a state karena negara memberikan
legitimasi kepada subjek pajak yang mempunyai peluang untuk melakukan abuse
of tax treaty.

Contoh kasus lain yang berhubungan dengan kedudukan SKD dapat


dilihat dalam kasus sengketa pajak antara Forth Investment Ltd dengan
Commissioners of Inland Revenue yang terjadi di tahun 1976. Dalam kasus
tersebut, surat pernyataan dari Company Secretary dan SKD yang diterbitkan oleh
Deputy Commissioner dianggap tidak mempunyai nilai sama sekali (the
evidential value was nil).

25
Terkait dengan kasus di atas, pengadilan dengan tegas menyatakan bahwa
SKD hanya merupakan opini dari pihak yang menerbitkan SKD tersebut dan
pihak otoritas pajak berhak untuk mendapatkan bukti-bukti lainnya untuk melihat
transaksi sesungguhnya secara lebih mendalam (lebih diutamakan) dan melihat
fakta-fakta yang sebenarnya.

3.2 Controlled Foreign Corporation

Sebuah Perusahaan bernama PT Jaya Abadi memiliki Controlled


Foreign Corporation di masing-masing perusahaan tempat dia berinvestasi:

Referensi Pasal 18 (2) UU PPh: Menteri Keuangan berwenang


menetapkan saat diperolehnya dividen oleh WPDN atas penyertaan modal pada
badan usaha di LN selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek,
dengan ketentuan sebagai berikut :

Penyertaan modal WPDN tersebut paling rendah 50% (lima puluh


persen) dari jumlah saham yang disetor; atau secara bersama sama dengan WPDN
lainnya memiliki penyertaan modal palingrendah 50% (lima puluh persen) dari
jumlah saham yang disetor

Implikasi Perpajakan Investasi pada Electro Corp. (perusahaan British


Virgin Island) sebesar 30%,tidak memiliki CFC karena penyertaaan modal ke
badan usaha LN kurang dari 50%

Investasi pada Machine Inc. (perusahaan Singapura) sebesar 30%


bersama perusahaan Indonesia lain yaitu PT Jaya Mulya dengan kepemilikan
investasi diMachine Inc sebesar 30%, memiliki CFC karena memiliki penyertaan
modal kebadan usahan LN lebih dari 50% bersama-sama dengan WPDN lainnya

Investasi pada Electric Co. (Perusahaan Malaysia) sebesar 50%, memiliki


CFCkarena memiliki penyertaan modal ke badan usaha LN sebesar 50% Investasi
pada PT Jaya Kuat (perusahaan Indonesia) sebesar 20%, bukan
merupakan CFC karena investasi dilakukan di dalam negeri

3.3 Tax Treaty

26
PT. Cantika Indah (Perusahaan) bergerak di bidang produksi alat-alat
kosmetik dengan memegang lisensi dari Swedia. Perusahaan berdiri sejak tahun
2004, di awal pendiriannya, Perusahaan mendapatkan bantuan pendanaan dari
pinjaman kepada Beauty Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di Singapura
sebesar USD5.000.000 dengan tingkat bunga 18% dengan jangka waktu 10
tahun. Beauty Ltd. Merupakan sister company dari Perusahaan. Tingkat suku
bunga pasar adalah 12%

Atas pinjaman tersebut, pada bulan Juni 2011, Perusahaan membayar


bunga pinjaman ke Beauty Ltd. sebesar USD450.000 (kurs tengah BI: Rp9.320,
Kurs KMK: Rp9.400). Beauty Ltd. memberikan CoD tertanggal 2 November
2010. Selanjutnya, pada bulan September 2011, Perusahaan membayarkan royalti
ke Ofilame Corp. sebesar USD20.000 (kurs tengah BI: Rp9.200, Kurs KMK:
Rp9.100). Perusahaan sudah meminta CoD dari Ofilame Corp namun sampai pada
saat pembayaran Ofilame Corp belum memberikan dokumen yang diminta. Pada
awal tahun 2012, Perusahaan memiliki rencana untuk melakukan ekspansi bisnis.
Untuk mendukung rencana tersebut, Perusahaan menggunakan jasa konsultasi
bisnis United States Consulting, perusahaan yang didirikan dan berkedudukan
di Amerika Serikat. Berkaitan dengan hal tersebut, United States Consulting
mengirimkan 1 (satu) orang konsultannya ke Indonesia. Konsultan tersebut berada
di Indonesia pada bulan Februari 2012 sampai dengan April 2012 (1 bulan = 30
hari). Selama di Indonesia, gaji konsultan tersebut dibayarkan langsung oleh
Perusahaan sebesar Rp 20 juta/bulan. Selain itu, atas pelaksanaan jasa konsultasi
tersebut Perusahaan juga membayar fee sesuai dengan kontrak yang telah
disepakati yaitu sebesar USD 50,000. Selain ekspansi bisnis, di tahun 2012 ini
Perusahaan juga berencana untuk membangun gedung kantor yang baru dengan
menggunakan jasa seorang arsitek (individu yang bekerja atas namanya sendiri)
yang khusus didatangkan dari Perancis. Arsitek tersebut dikontrak selama 6 bulan
(1 bulan = 30 hari) di Indonesia yang dimulai pada bulan April 2010 dengan fee
sebesar USD 10,000. Pada akhir tahun 2012, Perusahaan membagikan dividen
kepada pemegang saham tunggalnya yaitu Coco Pte.Ltd. yang berkedudukan dan
didirikan di Australia. Besarnya dividen tersebut adalah USD400.000 pada saat
kurs tengah BI: Rp9.100, Kurs KMK: Rp9.150. CoD telah diberikan oleh Coco

27
Pte.Ltd. yang tertanggal 3 Februari 2011. Berdasarkan informasi tersebut di atas,
bagaimanakah implikasi perpajakannya?

Terkait untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka diurai sebagai berikut :

Bunga aktual = $5.000.000 x 18% x 12 = $450.000 Selisih (krn tidak


wajar) = 450.000 300.000 = $150.000 PPh bunga (PPh 26) = $150.000 x
20% = $30.000
Total PPh bunga = $30.000 x $30.000 = $60.000 x 9,400 = Rp
564,000,000 Pembayaran royalti atas lisensi ke Ofilame Corp. yang
berkedudukan di Swedia:
Pembayaran royalti oleh Perusahaan di Indonesia kepada Ofilame Corp. di
Swedia sebagai yang menikmati hasil bunga, maka berdasarkan asas
sumber pembayaran (buying- source) , sumber penghasilan adalah negara
tempat kedudukan Perusahaan yaitu Indonesia. Karena itu, negara
Indonesia berhak mengenakan pajak penghasilan atas pembayaran bunga
pinjaman. Ofilame Corp. sebagai subjek pajak luar negeri belum
menyerahkan Certificate of Domicile sebagai bukti tempat kedudukan
perusahaan di Swedia sebelum terjadinya pembayaran bunga pinjaman
dan pemotongan PPh, maka P3B antara Indonesia-Swedia (tax treaty)
tidak dapat diterapkan dan diaplikasikan. Sehingga, pemotongan pajak di
Indonesia yang dilakukan oleh Perusahaan menggunakan tarif yang tertera
dalam UU PPh Pasal 26 yakni sebesar 20%.
PPh yang harus dipotong oleh Perusahaan adalah sebesar 20% x $20,000 x
Rp 9,100 = Rp 36,400,000. Setelah memotong, Perusahaan juga harus
menyetorkan dan melaporkan PPh tersebut dalam SPT PPh Perusahaan.

Pembayaran gaji konsultan dan pembayaran fee atas jasa konsultasi bisnis kepada
United States Consulting yang berkedudukan di Amerika Serikat:

Berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah


Republik Amerika Serikat tentang Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan
Pengelakan Pajak atas Penghasilan (P3B) Berdasarkan Pasal 15 ayat 1 (a) dan (b)
dari tax treaty tersebut, maka :

28
Negara sumber penghasilan (dalam kasus ini Indonesia) hanya berhak
mengenakan pajak penghasilan atas imbalan dari jasa konsultasi bisnis
(gaji konsultan per bulan dan consulting fee)hanya jika konsultan memiliki
tempat tetap untuk menyediakan jasanya atau berada di Indonesia selama
120 hari atau lebih secara berurutan. Dalam kasus ini, konsultan hanya
berada di Indonesia selama 3 bulan atau 90 hari. Oleh karena itu, negara
yang berhak mengenakan pajak adalah negara tempat kedudukan
konsultan bisnis tersebut, yaituAmerika Serikat , berdasarkan tax treaty di
atas dengan tarif yang berlaku di Amerika Serikat. Artinya, Perusahaan
tidak memiliki kewajiban memotong, menyetorkan, dan melaporkan pajak
penghasilan atas pembayaran imbalan dari jasa konsultasi.Pembayaran fee
atas jasa arsitek yang didatangkan dari Perancis:
Tax Treaty Indonesia dengan Perancis pada pasal 14 tentang Pekerja Bebas
Pribadi menjelaskan:
1. Pendapatan yang diperoleh seorang penduduk salah satu Negara pihak
pada Persetujuan (dalam kasus ini Perancis) sehubungan dengan suatu
pekerjaan bebas atau kegiatan- kegiatan bebas lainnya yang serupa,
hanya akan dikenakan pajak di Negara itu (Perancis), kecuali jika ia di
Negara pihak pada Persetujuan lainnya (Indonesia) mempunyai suatu
basis tetap yang secara teratur tersedia baginya untuk menjalankan
kegiatan-kegiatannya. Jika ia mempunyai basis tetap demikian, maka
pendapatannya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya pihak pada
Persetujuan (Indonesia) tetapi hanya sepanjang mengenai bagian
pendapatan yang dapat dianggap berasal dari basis tetap itu. Istilah
pekerjaan bebas meliputi teristimewa pekerjaan- pekerjaan bebas di
bidang ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, pendidikan atau
pengajaran, demikian pula pekerjaan pekerjaan bebas oleh para dokter,
ahli hukum, ahli teknik, arsitek, dokter gigi dan akuntan.

Pengertian basis tetap seperti yang tercantum dalam pasal di atas berarti
tempat tetap yang digunakan oleh arsitek tersebut untuk memberikan
jasanya, sesuai dengan pengertian yang dipakai oleh OECD.

29
Dalam kasus ini, dengan asumsi bahwa arsitek tersebut tidak memberikan
jasanya melalui sebuah tempat tetap seperti ruangan atau kantor, sesuai
dengan tax treaty di atas negara yang berhak mengenakan pajak hanya
negara tempat kedudukan subjek pajak yaitu negara Perancis.

Perusahaan membagikan dividen kepada pemegang saham tunggalnya


yaitu Coco Pte.Ltd. yang berkedudukan dan didirikan di Australia:
Tax Treaty Indonesia dengan Australia dalam pasal 10 tentang Dividen,
menjelaskan bahwa :
1. Dividen yang dibayarkan oleh suatu perusahaan yang merupakan
penduduk salah satu Negara Pihak berdasarkan hukum Negara yang
berkaitan dengan pajak, menjadi dividen yang merupakan penduduk
Negara pihak lainnya yang menguntungkan berhak, dapat dikenakan
pajak di Negara lainnya.
2. dividen dapat dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama dan
menurut hukum Negara tersebut, tetapi pajak yang dikenakan tidak
akan melebihi 15% dari jumlah bruto dividen. Pejabat yang
berwenang dari kedua Negara pihak harus dengan persetujuan
bersama menyelesaikan modus penerapan pembatasan ini.
Coco Pte.Ltd yang berkedudukan dan didirikan di Australia dapat dikenai
pajak di negara asalnya (Australia) atau di negara sumber dividennya
berasal yaitu Indonesia. Kami mengasumsikan bahwa ada mutual
agreement antara PT. Cantika Indah dengan Coco Pte. Ltd. yang
menyatakan bahwa dividen yang dibayarkan oleh PT. Cantika Indah
kepada Coco Pte.Ltd akan dikenakan pajak di Indonesia , dengan tarif
yang dikenakan maksimum 15% sesuai dengan yang tertulis dalam Tax
Treaty Indonesia-Australia pasal 10 ayat 2. PPh yang harus dipotong oleh
Perusahaan: 15% x $400,000 x Rp 9,150 = Rp 549,000,000.
Setelah memotong, Perusahaan juga harus menyetorkan dan melaporkan
PPh tersebut dalam SPT PPh Perusahaan.

30
BAB IV

PENUTUP

A. SIMPULAN
Penghindaran pajak atau perlawanan terhadap pajak adalah hambatan-

hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan


berkurangnya penerimaan kas negara.
Tax evasion (penggelapan pajak) yaitu usaha-usaha untuk memperkecil
jumlah pajak yang terutang atau menggeser beban pajak yang terutang
dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku.
Penghindaran Pajak (tax avoidance) merupakan tindakan legal, dapat
dibenarkan karena tidak melanggar undang-undang, dalam hal ini sama
sekali tidak ada suatu pelanggaran hukum yang dilakukan. Tujuan
penghindaran pajak adalah menekan atau meminimalisasi jumlah pajak
yang harus dibayar.
Penghindaran pajak atau perlawanan terhadap pajak adalah hambatan-
hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan
berkurangnya penerimaan kas negara.
Skema Penghindaran Pajak :Transfer Pricing,Pemanfaatan Tax Haven
Country, Thin Capitalization,Treaty Shopping, dan Controlled Foreign
Corporation (CFC)
Controlled Foreign Company (CFC) adalah perusahaan terkendali yang
dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang berada di negara-negara yang
mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax
haven country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan
penghasilan dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance). Kriteria
Wajib Pajak dalam negeri yang dianggap memperoleh dividen dari badan
usaha di luar negeri adalah Wajib Pajak dalam negeri yang :

31
-memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari
jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau

-secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki


penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.

Prinsip prinsip diskriminasi diatur dalam OECD model pasal 24


Prinsip prinsip non diskriminasi atas kewarganegaraan diatur oleh
OECD model pasal 24 ayat 1 dan 2 dimana system pemungutan pajak
didasarkan kepada status residence dari wajib pajak. Selain itu wajib pajak
yang tidak memiliki kewarganegaraan diperlakukan sama dengan yang
memiliki kewarganegaraan dan dikenakan pajak berdasarkan status
residence. Proteksi juga diberikan kepada warga Negara yang memiliki
status kewarganegaraan Negara yang sama dengan Negara yang
melakukan perjanjian meskipun warga Negara tersebut bukan merupakan
subyek pajak.
Prinsip prinsip non diskriminasi atas permanent estabilishment diatur
oleh pasal 24 ayat 3. Perlakuan permanent estabilishment sama dengan
diskriminasi atas kewarganegaraan namun dikarenakan pemilik permanent
estabilishment bisa saja menjadi subyek pajak di Negara lain dikarenakan
tidak tinggal dan bekerja di Negara yang berbeda dengan permanent
estabilishment dan memperoleh pemotongan PTKP dua kali oleh maka
Negara tempat pemilik estabilishment diperkenankan untuk tidak
memberikan PTKP
Prinsip Prinsip non diskriminasi atas pembebanan biaya diatur oleh pasal
24 ayat 4 dimana beban yang dibayarkan ke perusahaan ke luar negeri dan
dalam negeri diperlakukan sama sebagai pemotong penghasilan kena
pajak.
Prinsip prinsip atas perusahaan milik subyek pajak luar negeri diatur
oleh pasal 24 ayat 5 dimana perusahaan meskipun milik asing
diperlakukan sama dengan perusahaan dalam negeri dari segi perpajakan.
Jenis jenis pajak yang dicakup oleh prinsip non diskriminasi diatur
dalam pasal 24 ayat 6 menyatakan bahwa prinsip non diskriminasi

32
diterapkan kepada semua jenis pajak meskipun OECD model itu sendiri
hanya mengatur pemajakan atas income dan capital gain saja.

DAFTAR PUSTAKA

Darussalam, John Hutangaol, Danny Septriadi, 2010, Konsep dan Aplikasi


Perpajakan Internasional, Danny Darussalam

http://www.pajak.go.id/content/article/melalui-pajak-kita-membangun-negeri

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/berita-pajak/12651-tax-treaty-dan-tax-
avoidance-dalam-sistem-perpajakan-indonesia

http://linda-akutansi.blogspot.com/2011/12/tax-planning.html

http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=36&q=&hlm=3

33

Anda mungkin juga menyukai