Anda di halaman 1dari 17

CONTOH KASUS PENGGELAPAN PAJAK

PT ADARO
AUDIT PAJAK

DISUSUN OLEH:
Diah Artiryani (140503153)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

TAHUN AJARAN 2016/2017

Identifikasi Permasalahan
Transfer pricing diduga dilakukan dengan menjual batu bara kepada

Coaltrade salah satu perusahaan terafiliasi dengan harga miring, yakni

US$26 per ton pada 2005 dan US$29 pada tahun berikutnya. Penjualan

Adaro pada 2005, menurut sebuah dokumen hanya US$697,1 juta dan

US$1,003 miliar pada 2006. Padahal, kalau dihitung berdasarkan harga

pasar, total pendapatan pada 2005 mestinyaberjumlah US$1,287 miliar dan

pada 2006 sebesar US$1,371 miliar. Itu berarti ada selisih yang cukup besar

antara hasil penjualan Adaro berdasarkan perhitungan sendiri dengan nilai

penjualan berdasarkan harga pasar. Nilainya, kalau dirupiahkan mencapai Rp

9,121 triliun.Belum dihitung royalti 13,5% yang harus dibayarkan kepada

negara.laporan keuangan Coaltrade. Dari tahun 2001 hingga 2003,

perusahaan itu hanya dioperasikan tiga orang. Mulai 2004 dioperasikan lima

orang, terdiri dari dua direktur, seorang manajer, dan dua sekretaris. Dengan

awak yang ramping itu, keuntungan bersih yang dapat diraihnya toh

tergolong luar biasa.


Dari 2001 hingga 2005, menurut sumber itu, laba bersih Coaltrade

berturut-turut US$ 3,52 juta, US$ 17,08 juta, US$ 15,22 juta,US$ 28,49 juta,

dan US$ 42,4 juta. "Luar biasa sekali. Bagaimana bisa meng-handle masalah

administrasi, akuntansi, dan pemasaran dengan karyawan sekecil itu. Bisa

jadi, kalaupun mereka bekerja 24 jam sehari, rasanya tak akan mampu,"

kata sang investment bank tadi. Lebih jauh, ia membuka dokumen yang

bertuliskan Adaro Offering Bond Prospectus 22 November 2005. Di dalamnya

termuat, antara lain, laporan keuangan Adaro tahun 2005 (hingga kuartal

ketiga) serta hubungan antara Adaro dan Coaltrade. Laporan itu


menyebutkan, laba bersih Adaro dari 2001 hingga kuartal ketiga 2005

berturut-turut adalah US$ 9,5 juta, 14,0 juta, US$10,3 juta, US$ 17,1 juta,

dan US$ 39,4 juta. "Nilainya pada beberapa tahun terakhir lebih kecil dari

Coaltrade yang hanya menjualkan batubaranya," kata sumber Gatra itu

pula.Dari prospektus itu diketahui bahwa harga jual batu bara Adaro yang

berkualitas 5.200 kkal per kg disebut US$ 26,3 per ton. Padahal,katanya

pula, harga emas hitam di pasar internasional pada periode itu,kalau dirata-

rata, US$ 42,6 per ton. "Dengan selisih harga yang US$ 16per ton itu, tentu

saja keuntungan yang diraih Coaltrade menjadi besar sekali," katanya.

Sebelumnya, Adaro juga terjerat serangkaian kasus hukum yang sampai saat

ini masih tercecer.


Konflik di Adaro berawal ketika PTAsminco pada 1997 mendapatkan

fasilitas pinjaman kredit US$ 100 jutadari Deutsche Bank. Asminco

memberikan jaminan 40% sahamnya diAdaro. Hampir 100% (tepatnya

99,9%) saham Asminco dimiliki PT Swabara Mining & Energy. Sedangkan

74% saham PT Swabara Mining &Energy dimiliki oleh Beckkett, perusahaan

berbasis di Singapura. Beckkett dan Swabara Mining & Energy juga bertindak

sebagai penjamin atas kredit Asminco. Pada 1998, Asminco tidak mampu

memenuhi kewajibannya membayar utang. Setelah utang jatuh tempo,

antara Deutsche Bank dan Asminco sebenarnya tercapai kesepakatan

memperpanjang pembayaran utang hingga Juni 2002. Namun Asminco tidak

dapat memenuhi kewajibannya. Untuk itu, Deutsche Bank mengeksekusi

saham yang digadaikan Asminco. Saham itu dijual kepada PT Dianlia

Setyamukti seharga US$42,2 juta. Sedangkan 74% saham Beckkett di PT


Swabara Mining Energy dijual oleh Deutshce Bank seharga US$800.000

kepada PT MulhendiSentosa Abadi dan 40% saham PT Asminco di PT

Indonesia Bulk Terminal dijual oleh Deutshce Bank seharga US$1 juta.

Gugatan dari Beckett itu menyangkut rencana penjualan saham oleh

Deutsche Bank kepada PT Dianlia Setyamukti tidak pernah diinformasikan

kepada Beckkett. Nilai penjualan 40% saham Adaro itu juga ditetapkan di

bawah harga wajar. Pada 1997 saja, misalnya, Deutsche Bank menilai 40%

saham di PT Adaro dan PT International Bulk Terminal sebesar US$297,7

juta.Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan aturan teknis transfer

pricing di Indonesia yang ada saat ini adalah SE-04/PJ.7/1993 {BN No.5400

hai. 1B-4B) tentang Petunjuk-petunjuk Penanganan Kasus-kasus Transfer

Pricing. SE ini terlalu umum sehingga secara teknis operasional sulit

dipraktikkan. Belum lagi dalam Pasal 18 Ayat 3 UU No. 36/ 2008{BN No.

7723 hai. 22B) tentang Pajak Penghasilan (PPh) telah memuat ketentuan

mengenai transfer pricing.

Mulai Ditemukannya Kasus dan yang Orang MenemukanKasus


Kasus transfer pricing batu bara yang ditemukan pada tahun 2005

sampai 2006 diduga dilakukan Adaro mencuat ke permukaan setelah Staf

Ahli Departemen ESDM Sudhono Iswahyudi bersama Ditjen Pajak melaporkan

ke Kejagung akhir tahun lalu. Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto

mengaku Kejagung telah menerima audit BPKP. "Detail teknis yang

menangani, jelas-jelas ada audit BPKP," katanya dalam pesan singkat yang

diterima Bisnis, kemarin. Laporan sebelumnya menyebutkan penghentian

proses penyelidikan kasus dugaan manipulasi dengan modus penjualan di


bawah harga pasar (transfer pricing) batu bara yang melibatkan PT Adaro

Indonesia masih dimungkinkan dibuka kembali. Dirut Adaro Energy Boy

Garibaldi Thohir menyatakan kasus manipulasi pajak {transfer pricing)

seperti yang diberitakan media massa timbul Oktober - November 2007.

"Tetapi masalah kasus pajak adalah domain Dirjen Pajak, bukan domain

perusahaan," ujar Boy dalam acara paparan publik di Jakarta, kemarin. Ia

menyatakan untuk mencapai tahapan due dilliegence, Adaro Energy telah

melalui tahapan yakni penelitian secara teliti, detail aksi korporasi perseroan

lembaga-lembaga penunjang. Contohnya adalah audit dari lembaga akuntan

public anggota Price Water House. Perseroan juga telah melakukan

miniexpose di hadapan direksi Bursa Efek Indonesia. Bukti baru Departemen

Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta Direktorat Jenderal Pajak

dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menyelidiki kasus tersebut guna

mencari bukti baru untuk diserahkan kembali kepada Kejaksaan Agung.


"Penghentian penyelidikan oleh Jaksa Agung Muda Intelijen bukan

berarti menutup kasus ini," kata Staf Ahli Departemen ESDM Sudhono

Iswahyudi beberapa waktu lalu. Seharusnya, lanjutnya, instansi lain seperti

Dirjen Pajak dan BPK mencari fakta baru. "Fakta iai nantinya akan kita

serahkan ke Kejagung agar kasus ini dibuka kembali." Sementara itu,

Direktui Jenderal Minerba Simon Sembiring mengakui kemungkinan adanya

perbedaan data yang dimiliki pihaknya dengan perhitungan BPW. Perbedaan

ituterjadi karena ESDM menghitungnya berdasarkan pengawasan

tahunberjalan. BPKP mengeluarkan data per akhir tahun komulatif.Seperti

diketahui, Kejagung membentuk tim khusus untuk mengusut laporan praktik


manipulasi harga (transfer pricing) batu barayang diduga dilakukan FP Adaro

Indonesia.
Tim khusus kasus Adaro diketuai Bagindo Fachmi, yang sebelumnya

menangani kasus pembalakan liar di Sumut dengan tersangka Adelin Lis. Tim

itu terdiri dari jaksa yang bertugas di bidang ekonomi dan keuangan dengan

tugas mengumpulkan data dari berbagai pihak.Selama ini berbagai pihak

menyatakan kasus transfer pricing batubara seperti kasus Adaro sulit

dibuktikan karena tidak ada standar harga. Sebelumnya Managing Director

ICI Maydin Sipayung mengatakan, ICI bisa digunakan untuk mengukur

kewajaran harga batubara yang dijual Adaro.Misalkan, harga tahun 2005

US$ 40, tapi kemudian ada yang jual US$20. Berarti kan ada perbedaan. Jadi

bisa dipakai sebagai refensi,katanya. ICI merupakan index harga batu bara

yang dibuat di Indonesia melalui berbagai sumber. Sejauh ini ada tiga jenis

index batu bara, yaitu ICI untuk batu bara berkalori 6.000 kilo kalori per kg

(kkal/kg), 5.800kkal/kg, dan 5.000 kkal/kg. Maydin menambahkan,

rencananya pada bulan Juni 2008 akan diluncurkan ICI untuk batu bara 4.200

kkal/kg.Meski demikian, Direktur Pembinaan Usaha Mineral dan Batu Bara

Departemen ESDM MS Marpaung menyatakan, Departemen ESDM

menyerahkan pada Kejaksaan Agung apakah ICI akan digunakan dalam

penyidikan kasus Adaro. Pokoknya kita sudah serahkan data-data yang

diminta Kejagung. Tidak ada yang ditutup-tutupi, katanya. Menurutnya,

salah satu indikasi terjadinya transfer pricing adalah menjual dengan harga

di bawah harga yang seharusnya, atau ada fee yang terlalu tinggi untuk

trader. Departemen ESDM siap memberikan data tambahan ke Kejaksaan


Agung terkait kasus praktik manipulasi harga (transfer pricing) batu bara

yang diduga dilakukan PT Adaro Indonesia. Menurut Direktur Pembinaan

Usaha Mineral dan Batubara Departemen ESDM MS Marpaung di Jakarta,

Minggu (10/2), pihaknya memang sudah memberikan data dan keterangan

ke Kejaksaan Agung terkait kasus tersebut. Tapi, kami siap memberikan data

tambahan kalau memang diperlukan pihak kejaksaan, ujarnya. Data yang

telah diberikan ESDM itu, ungkap Marpaung, adalah data penjualan antara

tahun 2001-2005yang menjadi obyek pemeriksaan Kejaksaan Agung. Meski

Marpaung tidak menyebutkan data-data tambahan apa saja yang bisa

diberikan pihaknya, namun ada sejumlah data yang bias dipakai untuk

penyelidikan ini. Antara lain laporan keuangan Coaltrade 5-6 tahun terakhir,

perjanjian ekslusif Coaltrade-Adaro, harga jual rata-rata Adaro ke Coaltrade

dibandingkan harga jual rata-rata Adaro dengannon Coaltrade, dan harga

jual Adaro ke Coaltrade serta harga jual Adaroke non Coaltrade

dibandingkan harga internasional dalam masa yang sama. Marpaung

menambahkan pihaknya mendukung langkah Kejakaan Agung mengusut

kasus tersebut, karena kalau memang terbukti akan menambah penerimaan

negara. Sebelumnya, Kejaksaan Agung meminta Departemen ESDM

danDitjen Pajak Depkeu mengeluarkan data baru terkait kasus tersebut.

Jaksa Agung Muda (JAM) Intelijen Wisnu Subroto mengatakan data baru

diperlukan karena Tim Khusus Kejaksaan Agung yang menangani kasus itu

belum menemukan titik terang.


Direktur Pelaksana Indonesian Coal-price Index (ICI) Maydin Sipayung

pernah mengatakan, Kejaksaan Agung bisa menjadikan ICI sebagai patokan


harga batu bara terkait ada tidaknya transfer pricing. Sebab, ICI menjadi

rujukan harga batu bara baik di pasar domestic maupun internasional.

Menurut dia, saat ini, sudah sekitar 60 perusahaan batu bara yang memakai

patokan ICI. Hanya Adaro, perusahaan batu bara yang besar yang belum

menggunakan ICI. Komisi VII DPR RI sebelumnya juga sudah minta agar

Kejaksaan Agung melakukan audit investigasi Kejaksaan Agung untuk

memeriksa dugaan manipulasi harga (transfer pricing) batubara yang

dilakukan PTAdaro Indonesia.

Paragraf yang Penting


Seperti diberitakan sebelumnya, kasus ini mencuat akibat pertarungan

konglomerat Sukanto Tanoto dengan Edwin Soeradjaya Cs. Dari situlah

muncul dugaan PT Adaro Indonesia menjual batu bara dibawah harga pasar

kepada perusahaan afiliasinya di Singapura Coaltrade Services International

Pte, Ltd pada 2005 dan 2006. Oleh Coaltrade, batubara itu dijual lagi ke

pasar sesuai harga pasaran. Hal ini dimaksudkan guna menghindari

pembayaran royalti dan pajak yang harusnya dibayarkan ke kas negara.

Dalam dokumen laporan keuangan Coaltrade pada 2002-2005, terlihat laba

Coaltrade lebih tinggi dari Adaro. Laporan keuangan,tersebut menimbulkan

kecurigaan, bagaimana mungkin Adaro yang memiliki tambang kalah dengan

trader. (DannyDarussalam.com TaxCenter)


Sekretaris Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi Departemen ESDM

Bambang Setiawan mengatakan, melalui audit investigasi,diharapkan

penyelidikan kasus transfer pricing Adaro mendapatkan kepastian. Boy

mengatakan kasus transfer pricing yang diduga merugikan pajak negara ini
pertama kali muncul pada Oktober 2007. Kasus inisempat ditangani

Kejaksaan Agung (Kejagung) dan akhirnya Kejagung menutup kasus tersebut

pada awal 2008. Kasus transfer pricing Adaro yang beberapa waktu lalu

jugasempat diberitakan sejumlah media massa diduga berawal dari upaya

perusahaan itu untuk menghindari pajak penghasilan yang besarnya

45persen. Melalui perusahaan afiliasinya di Singapura yang ternyata juga

dimiliki pemegang saham yang sama dengan Adaro, Coaltrade, perusahaan

itu hanya terkena pajak 10 persen.Selain tentunya, Coaltrade mendapatkan

keuntungan berlipatganda karena batu bara yang dibeli dari Adaro dipatok di

angka 32 dolar AS per ton. Padahal, di akhir 2007, harga batu bara telah

menembus 95 dolar AS per ton. (ANTARA News)


Kejaksaan Agung (Kejakgung) menyatakan, tidak menemukan masalah

dalam kasus dugaan manipulasi harga (transfer pricing) ekspor batubara

yang dilakukan PT Adaro Indonesia. Hal tersebut diutarakan Jaksa Agung

Muda Intelijen (JAM Intel), Whisnu Subroto, di Jakarta, Senin(11/2). ''Kasus

Adaro sudah diteliti dan nggak ada masalah,'' kata Whisnu. Menurut Whisnu,

Kejakgung tidak bekerja sendiri dalam menyelidiki kasus Adaro. Instansi

seperti Badan Pengawas Keuangandan Pembangunan (BPKP), Departemen

Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Direktorat Jenderal Pajak

Departemen Keuangan, juga ikut mengaudit proses transaksi ekspor

batubara yang dilakukan PT Adaro.Hasil penyelidikan, tambah Whisnu,

menyimpulkan PT Adaro telah melunasi semua kewajiban dalam proses

ekspor batubara sejak 2001 hingga sekarang. Whisnu menyebutkan,


kewajiban tersebut, antara lain, pembayaran pajak, royalti, jumlah tonase

ekspor, hingga penentuan siapa pembelinya telah dilunasi sesuai ketentuan.


Direktur Ekonomi dan Moneter pada JAM Intel, Sutan BagindoFahmi,

menambahkan, kesimpulan penghentian penyelidikan kasus Adaro

didasarkan pada hasil penelitian terhadap dokumen-dokumenyang diberikan

Departemen ESDM dan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan.

''Dokumen yang diberikan kepada kami malah mendukung, transaksi yang

dilakukan Adaro telah sesuai ketentuan,''kata Fahmi. (Republika)


Dirut Adaro Energy Boy Garibaldi Thohir menyatakan kasus manipulasi

pajak {transfer pricing) eperti yang diberitakan media massa timbul Oktober

- November 2007. Tetapi masalah kasus pajak adalah domain Dirjen Pajak,

bukan domain perusahaan," ujar Boy alam acara paparan publik di Jakarta,

kemarin. Ia menyatakan untuk mencapai tahapan due dilliegence, Adaro

Energy telah melalui tahapan yakni penelitian secara teliti, detail aksi

korporasi perseroan lembaga-lembaga penunjang. Contohnya adalah audit

dari lembaga akuntan publik anggota Price Water House. Perseroan juga

telah melakukan mini expose dihadapan direksi Bursa Efek Indonesia. (Media

Indonesia)
Dalam kerja sama audit investigasi, menurut Sekretaris Ditjen

Minerbapum, Ditjen Pajak akan berperan penting. Sebab hanya instansi itu

yang mempunyai kewenangan menelusuri seluk-beluk pengenaan pajak

terkait ekspor batu bara. (http://akuntanpublikindonesia.com/)

Gambaran Umum Pihak yang Terlibat


Pihak yang terlibat dalam kasus ini adalah Direksi PT Adaro Energy Tbk

antara lain :
Presiden Komisaris: Edwin Soeryadjaya
Komisaris: Ir. Subianto
Komisaris : Ir. Theodore Permadi Rachmat
Komisaris: Ir. Thomas Trikasih Lembong
Komisaris : Graham Hecmond Wong
Direksi Presiden Direktur: Garibaldi Thohir
Direktur: Cjia Ah Hoo
Direktur: Sandiaga Salahudin Uno
Direktur: Christian Ariano Rachmat
Direktur: David Tendian
Direktur: Alastair Bruce Grant, dan pengelola perusahaan Coaltrade : Dari

tahun 2001 hingga 2003, perusahaan itu hanya dioperasikan tigaorang.

Mulai 2004 dioperasikan lima orang, terdiri dari dua direktur (Anna Yeo Lae

Choo dan), seorang manajer, dan dua sekretaris (TanKee Boon).

Pemeriksa Kasus
Permeriksaan kasus ini dilakukan Kejaksaan Agung, dipimpin oleh Jaksa

Sultan Bagindo Fahmi dibantu oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan

Pembangunan (BPKP), Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), dan

DirJen Pajak. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral siap bekerja

sama dengan Ditjen Pajak untuk melakukan audit investigasi penjualan

ekspor batu bara PT Adaro Indonesia, guna menuntaskan dugaan adanya

praktik permainan harga (transfer pricing). Sekretaris Ditjen Mineral Batu

bara dan Panas Bumi Departemen ESDM Bambang Setiawan mengatakan

melalui audit investigasi, diharapkan penyelidikan kasus transfer pricing

Adaro mendapatkan kepastian."Sebenarnya audit investigasi perlu dilakukan

terhadap semua kontraktor batu bara. Tetapi karena Adaro yang ramai

ditengarai melakukan transfer princing, Departemen [Energi dan Sumber


Daya Mineral] siap bekerja sama dengan Ditjen Pajak untuk melakukan audit

investigasi," ujarnya di Jakarta kemarin. Bambang mengakui pengungkapan

kasus dugaan permainan harga dalam penjualan batu bara Adaro kepada

anak perusahaannya di Singapura (Coaltrade International Service Ltd) itu,

sudah masuk wilayah hukum yakni kewenangan di Kejaksaan Agung.

Departemen ESDM, menurutnya, sejauh ini sudah bersikap kooperatif

dengan memberikan dokumen yang dibutuhkan oleh lembaga penyidik

tersebut. Namun, dia tidak tahu kenapa penyelidikan kasus itu berhenti di

tengah jalan. Dalam kerja sama audit investigasi, menurut Sekretaris Ditjen

Minerbapum, Ditjen Pajak akan berperan penting. Sebab hanya instansi itu

yang mempunyai kewenangan menelusuri seluk-beluk pengenaan pajak

terkait ekspor batu bara. Hingga kini, penelusuran dirjen pajak soal Adaro

masih belum kelar. Tapi, kasus Adaro juga sudah masuk kejaksaan agung.

Jaksa Agung Muda Intelijen, Wisnu Subroto, mengaku sedang mengumpulkan

data kasus ini. Tiga orang pejabat departemen energi dan sumber daya

mineral juga sudah diperiksa, termasuk MS Marpaung (direktur pengusahaan

mineral dan batubara ditjen mineral, batu bara dan panas bumi). Dijelaskan

Wisnu, Dari hasil penelitian, seluruh penjualan batubara telah sesuai isi

kontrak yang dibuat. "Mereka itu menjual batubara sesuai dengan isi

kontrak. Dalam kontrak itu, harganya tidak bisa disamakan dengan harga

sekarang. Kontraknya kan sudah lama. Semua kontraknya ada.

Penjelasan Alur Transfer Pricing


Tahun 2005 dan 2006 PT Adaro melakukan penjualan Batu Bara kepada

perusahaan afiliasinya (Coaltrade) yang berada di Singapura dibawah harga


pasar. DirJen Pajak dan Departemen ESDM menilai adanya tindakan Transfer

Pricing lalu melaporkannya keKejaksaan Agung. Kejaksaan Agung meminta

bantuan kepada Departemen ESDM, DirjenPajak, BPK, BPKP untuk

mendapatkan bukti yang cukup membawa pengadilan namun setelah

diselidiki terdapat kurang bukti sehinggakasus tersebut di SP3 kan oleh

kejaksaan agung. Kejaksaan Agung bersama Departemen ESDM, Dirjen

Pajak, BPK, BPKP mencari kembali bukti baru yang kuat agar dapat diajukan

ke pengadilan.

Kesimpulan Sementara Pemegang Kunci dalam Kasus


Pemegang kunci dalam kasus ini adalah Direksi dari pihak adaro dan

Coaltrade karena kedua belah pihak tersebut yang menjalankan usahanya.

Pihak yang Bertanggung Jawab


Pihak yang bertanggungjawab dalam kasus ini adalah Direksi PT Adaro

Energy Tbk antara lain :


Presiden Komisaris: Edwin Soeryadjaya
Komisaris: Ir. Subianto
Komisaris: Ir. Theodore Permadi Rachmat
Komisaris: Ir. Thomas Trikasih Lembong
Komisaris: Graham Hecmond Wongxv
Direksi
Presiden Direktur: Garibaldi Thohir
Direktur: Cjia Ah Hoo
Direktur: Sandiaga Salahudin Uno
Direktur: Christian Ariano Rachmat
Direktur: David Tendian
Direktur: Alastair Bruce Grantdan pengelola perusahaan Coaltrade : Dari

tahun 2001 hingga 2003, perusahaan itu hanya dioperasikan tiga orang.

Mulai 2004 dioperasikan lima orang, terdiri dari dua direktur (Anna Yeo Lae

Choo dan), seorang manajer, dan dua sekretaris (TanKee Boon).

Dampak Terhadap Individu atau Masyarakat


Berdasarkan dokumen yang diterima TRUST dari seorang aparat pajak,

diketahui bahwa penjualan Adaro untuk tahun 2005 tercatat hanya US$697,1

juta dan tahun 2006 sebesar US$1,003 miliar. Kalau penjualan itu dihitung

berdasarkan harga pasar, maka pada tahun 2005 (harga pasar US$48 per

ton) Adaro seharusnya mendapat penghasilanUS$1,287 miliar dan tahun

2006 sebesar US$1,371 miliar (harga pasarUS$40).Selisih antara hasil

penjualan Adaro (berdasarkan harga yang ditentukan sendiri) dengan nilai

penjualan berdasarkan harga pasar ternyata amat besar. Jika di rupiahkan,

sekitar Rp9,121 triliun selama 2tahun.


Dari jumlah itu, kalau dihitung nilai royaltinya saja, yang 13,5%,maka

potensi pemasukan Negara mencapai Rp1.231 triliun. Selain terhadap

indikasi kerugian negara, proses hukum terhadap perbuatan melawan hukum

dalam kasus perpajakan juga harus dilihat ada tidaknya penyalahgunaan

wewenang atau kolusi lainnya."Dalam pelanggaran hukum tak hanya soal

kerugian negara atau tidak. Apalagi, dalam UU KPK Pasal 2 dan Pasal 3

memungkinkan penanganan hukum terhadap penyalahgunaan itu, tapi bisa

dalam arti lebih luas, penyalahgunaan otoritas dan wewenang pun bisa

berarti pelanggaran hukum," ujar Patra.


Kasus Adaro yang sarat dengan dugaan manipulasi dan konspirasi kini

menjadi prioritas penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut

Direktur Eksekutif Indonesia Monitoring Centre (IMC), Supriyansah, Jumat

(6/6), pihaknya sudah menyerahkan berkas tambahan kepada KPK.

Sebelummya, beberapa kalangan juga meminta KPK untuk mengambil alih

penanganan kasus penggelapan pajak yang diduga dilakukan PT Adaro.


Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman beralasan

Kejaksaan Agung lamban karena sampai sekarang belum ada titik terang dan

akan dibawa kemana soal ini. Komisi VII DPR juga meminta KPK mengusut

kasus penggelapan pajak melalui praktik manipulasi harga (transfer pricing)

batubara yang dilakukan Adaro. Anggota Komisi VII DPR Nizar Dahlan di

Jakarta, mengatakan pihaknya kurang yakin dengan penyelesaian

pengusutan kasus tersebut yang kini ditangani Ditjen Pajak Depkeu dan

Kejaksaan Agung. Adaro memang penuh dengan konflik. Kasus terakhir yang

mencuat adalah dugaan transfer pricing yang merugikan negara miliaran

rupiah. Bahkan gara-gara kasus ini, DPR meminta hak angket dari 34

anggota DPR diikuti tuntutan penundaan penawaran saham perdana Adaro

Energy di lantai bursa. Transfer pricing diduga dilakukan dengan menjual

batu bara kepada salah satu perusahaan terafiliasi dengan harga miring,

yakni US$26 per ton pada 2005 dan US$29 pada tahun berikutnya.Penjualan

Adaro pada 2005, menurut sebuah dokumen hanya US$697,1 juta dan

US$1,003 miliar pada 2006. Padahal, kalau dihitung berdasarkan harga

pasar, total pendapatan pada 2005 mestinya berjumlah US$1,287 miliar dan

pada 2006 sebesar US$1,371 miliar.Itu berarti ada selisih yang cukup besar

antara hasil penjualan Adaro berdasarkan perhitungan sendiri dengan nilai

penjualan berdasarkan harga pasar. Nilainya, kalau dirupiahkan mencapai Rp

9,121 triliun. Belum dihitung royalti 13,5% yang harus dibayarkan kepada

negara. Anehnya dalam kasus yang memasuki wilayah perpajakan ini,

tampaknya bakal selesai tanpa pengusutan lebih lanjuat. Dirjen Pajak Darmin
Nasution baru-baru ini mengungkapkan, Adaro telah dipanggil dan mengakui

kesalahan tentang pajak perusahaan. Adaro juga setuju membayar

kekurangan pajaknya, namun tidak dikenakan denda didasarkan pada

kebijakan sunset policy. Padahal sejak awal program sunset policy berlaku

untuk penghapusan sanksi bagi wajib pajak orang pribadi yang mendaftar

secara sukarela untuk memperoleh NPWP pada 2008. Jadi bukan

diperuntukkan bagi lembaga atau badan, apalagi perusahaan skala besar

yang secara hitung-hitungan keuangan memiliki kemampuan untuk

membayar denda perpajakan. Ini juga menjadi pertanyaan besar seiring

rencana Adaro melantai di pasar modal. Sebelumnya, Adaro juga terjerat

serangkaian kasus hukum yang sampai saat ini masih tercecer. Konflik di

Adaro berawal ketika PT Asminco pada 1997 mendapatkan fasilitas pinjaman

kredit US$ 100 juta dari Deutsche Bank. Asminco memberikan jaminan 40%

sahamnya di Adaro. Hampir 100% (tepatnya 99,9%) saham Asminco dimiliki

PT Swabara Mining & Energy. Sedangkan 74% saham PT Swabara Mining &

Energy dimiliki oleh Beckkett, perusahaan berbasis di Singapura. Beckkett

dan Swabara Mining & Energy juga bertindak sebagai penjamin atas kredit

Asminco. Pada 1998, Asminco tidak mampu memenuhi kewajibannya

membayar utang. Setelah utang jatuh tempo, antara Deutsche Bank dan

Asminco sebenarnya tercapai kesepakatan memperpanjang pembayaran

utang hingga Juni 2002. Namun Asminco tidak dapat memenuhi

kewajibannya. Untuk itu, Deutsche Bank mengeksekusi saham yang

digadaikan Asminco. Saham itu dijual kepada PT Dianlia Setyamukti seharga


US$ 42,2 juta.Sedangkan 74% saham Beckkett di PT Swabara Mining Energy

dijual oleh Deutshce Bank seharga US$800.000 kepada PT Mulhendi Sentosa

Abadi dan 40% saham PT Asminco di PT Indonesia Bulk Terminal dijual oleh

Deutshce Bank seharga US$1 juta. Gugatan dari Beckett itu menyangkut

rencana penjualan saham oleh Deutsche Bank kepada PT Dianlia Setyamukti

tidak pernah diinformasikan kepada Beckkett. Nilai penjualan 40% saham

Adaro itu juga ditetapkan di bawah harga wajar. Pada 1997 saja, misalnya,

Deutsche Bank menilai 40% saham di PT Adaro dan PT International Bulk

Terminal sebesar US$297,7 juta.

Anda mungkin juga menyukai