Anda di halaman 1dari 7

FARMAKOLOGI

ANALGETIKA

Oleh kelompok 8

Widhi Setiyani 14/368637/KG/09953

Kukuh Eko Prabowo 15/382631/KG/10305

Anindya Kartika P 15/382620/KG/10294

Moh Iqbal R.A 15/382634/KG/10308

PROGRAM STUDI HIGIENE GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2017
Analgetika
A. Pengertian analgetika
Analgetik atau analgesik, adalah obat yang digunakan untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit atau obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita.
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan,
berhubungan dengan adanya potensi kerusakan jaringan atau kondisi yang menggambarkan
kerusakan tersebut. Gejala Nyeri dapat digambarkan sebagai rasa benda tajam yang menusuk,
pusing, panas seperti rasa terbakar, menyengat, pedih, nyeri yang merambat, rasa nyeri yang
hilang timbul dan berbeda tempat nyeri.
Obat ini digunakan untuk membantu meredakan sakit, sadar tidak sadar kita sering
mengunakannya misalnya ketika kita sakit kepala atau sakit gigi, salah satu komponen obat
yang kita minum biasanya mengandung analgetik atau pereda nyeri. Pada umumnya (sekitar
90%) analgetik mempunyai efek antipiretik.

Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat di tanggulangi dengan
beberapa cara, yaitu :
Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika
perifer atau anestetika lokal
Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris,misalnya dengan
asestetika lokal
Blokade nyeri dari pusat nyeri dalam sistem saraf pusat dengan analgetika sentral (narkotika)
atau anestetika umum.
Pada pengobatan rasa nyeri dengan analgetika, faktor-faktor psikis turut berperan,misalnya
kesabran individu dandaya menerima nyeri dari si pasien. Secara umum analgetika dibagi
dalam dua golongan, yaitu analgetika non-narkotik (non-opoid) dan analgetik narokotik
(opoid).

B. Klasifikasi Analgetika
1. Analgetika opoid
Analgetika opoid berperan engurangii nyerii dan meniimbullkan euforiia
dengan berikatan pada reseptor opoid di otak, yaitu reseptor (mu), kappa, dan d
(delta).
Obat analgetik opoid : morfin, metadon, meperidin (petidin), fentani,,
buprenorfin, dezosin, butorfanol, nalbufin, nalorfin, dan pentazosin.

2. Analgetika non-opoid atau NSAID (Non-Steroidal Antiinflamatory Drugs)

Analgesik NSAIDS
Analgesik merupakan senyawa yang dapat mengurangi rasa nyeri yang timbul pada
tubuh. Ada 2 macam analgesic yaitu analgesic opioid dan analgesik NSAIDS (Non
Steroid Inflamatory DrugS). Rasa nyeri yang timbul bergantung pada sensitivitas
seseorang dan setiap rasa nyeri mempunyai nilai skor tersendiri. Untuk nyeri ringan
mempunyai rentang nilai skor 1-3. Untuk nyeri sednagn mempunyai rentang nilai skor
4-6. Untuk nyeri berat mempunyai rentang skor 7-10. Dalam hal ini, analgesik bekerja
mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang sementara analgesic opioid bekerja
mengurangi rasa nyeri sedang sampai berat.
Penemuan obat analgesic NSAIDS berawal dari diketahuinya efek dari kulit batang
Wilow yang dapat mengobati demam dan rasa nyeri. Kemudian pada tahun 1763,
Edward Stone dari Inggris menemukan senyawa salicin. Lalu pada tahun 1860, Kalbe
dan Lateman dari Jerman menemukan senyawa asam salisilat. Kemudian pada tahun
1899, Heinrich Dresser dapat mensintesis aspirin dan baru pada tahun 1969, Piper dan
Vane menemukan obat yang sturktur kimianya mirip aspirin yaitu prostaglandin.

Prostaglandin di dalam tubuh mempunyai 2 efek yaitu efek fisiologis dan efek
farmakologis, bergantung pada penyebabnya dan enzim yang berperan. Untuk Efek
fisiologis, Prostaglandin dapat menurunkan sekresi asam lambung dengan adanya
reseptor PGE2 sehingga dapat melindungi mukosa lambung, juga dapat
meningkatkan aliran darah ke ginjal karena adanya reseptor PGD2 yang berfungsi
untuk vasodilatasi. Selain itu juga bisa sebagai antiplatelet dengan adanya reseptor
TXA2 yang penting untuk agregasi platelet.

Prostaglandin mempunyai efek fisiologi yaitu:

1. Melindungi mukosa lambung


2. Menjaga keseimbangan garam dan elektrolit
3. Menjaga aliran darah ke ginjal
4. Merangsang pembekuan darah

Obat analgetika non-opoid / NSAID dikelompokkan menjadi:


Derivat asam salisilat
Asam salisilat merupakan kelompok senyawa obat yang telah
dipergunakan secara luas karena memiliki efek sebagai analgesik, antipiretik,
dan antiinflamasi. Turunan asam salisilat yang paling umum digunakan adalah
asam asetil salisilat (asetosal). Asetosal sering digunakan untuk mengurangi
sakit kepala, inflamasi, nyeri sendi, juga beberapa pengobatan serangan
jantung dan stroke pada orang tua (Fadeyi et al., 2004).
Contoh obat : aspirin

Derivat paraaminofenol
Parasetamol merupakan derivat para amino fenol yang merupakan
metabolit fenasetin dengan efek antipiretik. Obat ini digunakan untuk
menghilangkan nyeri ringan sampai sedang termasuk sakit kepala serta
menurunkan demam yang disertai infeksi bakteri dan virus. Parasetamol
memiliki efek samping yang jarang terjadi dan biasanya ringan, hanya pada
penggunaan kronis dapat menimbulkan kerusakan hati yang fatal (Tan dan
Kirana, 2007).
Contoh obat : parasetamol
Derivat asam propionat

Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan


pertama kali di banyak negara. Obat ini bersifat analgetik dengan daya anti-
inflamasi yang tidak terlalu kuat (Gunawan, 2007). Ibuprofen memiliki efek
samping yang relatif rendah dan merupakan obat pilihan untuk terapi penyakit
rematik. Di dalam Biopharmaceutical Classification System (BCS), dijelaskan
bahwa ibuprofen termasuk ke dalam obat kelas II dengan kelarutan rendah dan
daya tembus membran yang tinggi (Shargel & Yu, 2005).
Contoh obat : ibuprofen, ketoprofen, naproksen

Derivat asam antranilat


Obat yang berasal dari derivat asam antranilat mempunyai efek
analgetik dan antiinflamasi, tetapi tidak
memberikan efek antipiretik.
Contoh obat : asam mefenamat

Derivat asam aril-asetat

Turunan asam aril asetat mempunyai aktivitas antiradang dan analgesik yang
tinggi, dan terutama digunakan sebagai antirematik (Siswandono&Sukardjo,
1995). Obat ini secara umum digunakan luas pada pengobatan rematoid dan
osteoarthritis kronik karena efek terhadap saluran cerna umum paling sedikit.
Semuanya diabsorbsi dengan baik pada pemberian per-oral dan hampir
semuanya terikat dengan albumin serum (Mycek, 2001).
Contoh obat : diklofenak

Derivat asam asetat indol


Obat yang berasal dari derivat asam asetat indol mempunyai efek
antipiretik, antiinflamasi dan analgetik sebanding dengan aspirin, tetapi lebih
toksik.
Contoh obat : indometasin

Derivat pirazolon
Turunan pirazolon terdiri atas fenilbutazon, dipiron, antipirin, apazon,
aminopirin, dan oksifenbutazon. Sekarang ini yang sering dipakai adalah
fenilbutazon, yang lain jarang dipakai.
Saat ini dipiron hanya digunakan sebagai analgesic-antipiretik karena
efek anti inflamasi nya lemah. Antipirin dan aminopirin tidak digunakan lagi
karena efek toksiknya melebihi dipiron. Dikarenakan keamanan obat,
sebaiknya dipiron hanya diberikan bila dibutuhkan analgesik-antipiretik
suntikan.
Contoh obat : fenilbutazon dan oksifenbutazon

Derivat oksikam
Obat dari derivat oksikam ini hanya diindikasikan untuk infllamasi
sendi.
Contoh obat : piroksikam, meloksikam
C. Mekanisme kerja obat analgetik

Obat analgesia dibagi dalam 2 golongan utama, yaitu yang bekerja di perifer dan yang
bekerja di sentral. Golongan obat AINS bekerja di perifer dengan cara menghambat
pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa
prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara
menempati reseptor di kornu dorsalis medula spinalis sehingga terjadi penghambatan
pelepasan transmiter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi. Dari beberapa
mekanisme kerja opioid maka dapat diketahui bahwa opioid bekerja dengan mengaktifkan
reseptor opioid di midbrain dan mengaktifkan sistem descending, bekerja pada reseptor
opioid di transmisi second-order untuk menghambat sinyal nyeri dari sistem ascending,
mengaktifkan reseptor opioid terminal sentral serat C di medulla spinalis untuk menghambat
keluarnya neurotransmiter nyeri, mengaktifkan reseptor nyeri di perifer untuk menginhibisi
aktivasi dari nosiseptor yang juga menghambat sel yang menghasilkan efek inflamasi1.

Mekanisme kerja NSAID adalah


1. Menghambat biosintesis Prostaglandin melalui hambatan Cox-1 dan Cox-2
2. Menghambat fungsi fisiologis dari prostaglandin sehingga menghasilkan efek yang
tidak diinginkan

D. Asuhan keperawatan dalam pemberian analgesik


Diagnosis
- Menentukan lokasi , karakteristik, mutu, dan intensitas nyeri sebelum mengobati
pasien
- Periksa order/pesanan medis untuk obat, dosis, dan frekuensi yang ditentukan
analgesik
- Cek riwayat alergi obat
- Kaji keluhan yang di alami klien seperti seberapa besar tingkat rasa nyeri, dimana
tempat nyeri dirasakan, penyebab dasar dan reaksi psikologis klien terhadap sakit dan
jenis obat untuk mengatasinya.
- Kaji tekanan darah, frekuensi nadi naik, jumlah respirasi rate naik, dan suhu (pantau
adanya demam) secara periodik.
- Tanda pada klien: adanya sianosis, ekspresi muka gelisah, dan berkeringat.

Intervensi
- Tentukan jenis analgesik yang digunakan (narkotik, non narkotik atau NSAID)
berdasarkan tipe dan tingkat nyeri.
- Tentukan analgesik yang cocok, rute pemberian dan dosis optimal.
- Berikan obat sebelum nyeri mencapai puncaknya untuk memaksimalkan efektifitas
obat.
- Amati klien untuk efek samping dari pemberian analgesik , termasuk distress
pernapasan (<10x/menit), hipotensi ortostatik, mengantuk mental berkabut retensi
urin, konstipasi, konstriksi pupil (toksisitas dari preparat opium), dan gejala-gejala
putus obat.
- Pantau TTV dengan interval cukup sering untuk mendeteksi perubahan pernapasan.
laju pernapasan akan berubah dalam 7-8 menit setelah injeksi dan periksa laju
pernapasan sebelum memberikan analgesik.
- Periksa bising usus untuk mengetahui apakah terjadi penurunan peristaltik, suatu
sebab dari kontipasi. Laksatif ringan atau perubahan diet mungkin diperlukan.
- Periksa klien lanjut usia terhadap efek samping dari analgesik yang diberikan.
Implementasi
- Jelaskan nilai terapeutik obat sebelum pemberian untuk meningkatkan efek
analgesiknya.
- Berikan dosis secara teratur, analgesic lebih efektif jika diberikan sebelum nyeri
menjadi berat.
- Berikan dengan dosis yang rendah apabila pemberian bersamaan dengan analgesic
nonnarkotik karena dapat menyebabkan efek tambahan.
- Hentikan pengobatan secara bertahap setelah pemberian jangka panjang utnuk
mencegah gejala putus obat.
Evaluasi
- Evaluasi efektifitas dari analgesic dalam mengurangi atau meredakan nyeri. Jika nyeri
menetap setelah beberapa hari, sebab harus ditentukan atau obat perlu diganti.
- Evaluasi stabilitas TTV, TTV abnormal harus segera dilaporkan.
- Mengevaluasi efektivitas analgesic pada interval tertentu, terutama setelah dosis awal,
pengamatan juga diakukan melihat adanya tanda dan gejala buruk atau tidak
menguntungkan ( berhubungan dengan pernapasan, depresi, mual muntah, mulut
kering dan konstipasi)
- Dokumentasikan respon pasien tentang analgesik, catat efek yang merugikan
- Mengevaluasi dan mendokumentasikan tingkat pemberian obat penenang pada pasien
yang menerima opioids
Daftar Pustaka
Arizkha, F. (2016). Retrieved Februari Sabtu, 2017, from scholar.unand.ac.id/4560/2/BAB%20I.pdf

Gunawan.G.Sulistia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Balai Penerbit FKUI. Jakarta


Katzung. G. Bertram 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VIII Bagian ke II. Jakarta : Salemba
Medika.
Stringer, Janet L, (2008). Konsep Dasar Farmakologi: Panduan Untuk Mahasiswa. H. Huriawati.
Jakarta: EGC
Tambayong, Jan. (2001). Farmakologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Widya Medika
Wulandari, M. (2010). Retrieved Februari Sabtu, 2017, from Widya Mandala Catholic University
Surabaya Repository: repository.wima.ac.id/1928/2/BAB%201.pdf

Anda mungkin juga menyukai