A. Konsep Medis
1. Definisi
Harun (2007) mengatakan istilah Sindrom Koroner Akut (SKA)
banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada
pembuluh darah koroner. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan satu
sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil
(unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan
elevasi ST, maupun Kangina pektoris pasca infark atau pasca tindakan
intervensi koroner perkutan. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan
keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada
atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.
Wasid (2007) menambahkan bahwa Sindrom Koroner Akut (SKA)
adalah suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai
Infark Miocard Akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi
(NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI)
yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis
yang tak stabil.
2. Etiologi
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat
diklasifikasikan dalam enam kategori utama:
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindrom Koroner
Akut (SKA) dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni:
Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
Stress emosi, terkejut
Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat,
frekuensi debar jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung
meningkat.
Faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner dibagi dua yaitu faktor resiko
yang dapat dimodifikasi dan factor resiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi antara lain:
Hipertensi
Diabetes
Hiperkolesterolemia
Merokok
Kurang latihan
Obesitas
Stress
4. Klasifikasi
Wasid (2007 ) mengatak berat atau ringannya Sindrom Koroner akut
menurut Braunwald (1993) :
a. Kelas 1, serangam nbaru kurang dari 2 bulan progresif,berat
dengan nyeri pada waktu istirahat,atau aktivitas sangat ringan
terjadi > 2 kali perhari
b. Kelas 2, sub akut,yaitu sakit dada antara 48 jam sampai dengan
( bulan pada waktu istirahat)
c. Kelas 3 ,akut yakni kurang dari 48 jam
Secara klinis :
a. Kelas A,sekunder,dicetuskan oleh hal-hal diluar koroner,seperti
anemia,infeksi,demam,hipotensi,tauiritmia,tirotoksikosis dan
hipoksia karena gagal nafas
b. Kelas B,primer
c. Kelas C,setelah infark (dalam 2 minggu IMA),belum pernah
diobati,penggsnti angina (penghambat beta adregeik,nitrat dan
antagoni kalsium ) antagonis dan nitrogliserin intravena.
3. Patofisiologi
Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang
menurun pada Sindrom Koroner akut akan mengganggu kemampuan
pengosongan ventrikel, sehingga volume residu ventrikel menjadi
meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh
ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic
Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP (Left Ventricle End
Diastolic Pressure), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada
kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastol atrium dan ventrikel
berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan
LAP( Left Atrium Pressure ), sehingga tekanan kapiler dan vena paru-
paru juga akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru
melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan
ke interstitial dan bila cairan tersebut merembes ke dalam alveoli,
terjadilah edema paru-paru.
4. Manifestasi Klinis
Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut
berupa keluhan nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-
remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa
terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini
bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta
punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati
seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir
ke otot jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada
(angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan
berlangsung selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke
rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat
timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita
yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita
yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya
menjadi lebih berat atau lebih sering.
Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita
hanya mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa
nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan
sesak, muntah atau keringat dingin.
5. Pemeriksaaan Penunjang
a. EKG
b. Ekokardiografi
c. Marker jantung (troponim I,CK,CKMB,Mioglobin reaktif
6. Penatalaksanaan
a. Focus pada penjalaran nyeri,sesak dan diaphoresis
b. Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan lap maker jantung
c. MONA : Morfin,O2,NTG,dan aspirin 160-325 mg per oral.jika
alergi aspirin,berikan tidopidin (ticlid) atau clopidogrel
d. Berikan O2 tambahan untuk mempertaruhkan Sp O2 >90 %
e. Berikan tablet NTG SL atau bentuk semprot
f. Berikan morfin IV 2-4 mg setiap 15 menit sampai nyeri
terkontrol
(pantau adanya hipotensi ddan depresi pernafasan)
7. Komplikasi
a. Syok kardiogenik
b. Aritmia malignant
c. Gagal jantung
d. Mechanical rupture,USD
e. Gangguan hantaran
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Tampilan Umum
Pasien tampak pucat, berkeringat, dan gelisah akibat aktivitas simpatis
berlebihan. Pasien juga tampak sesak. Demam derajat sedang (< 380 C) bisa
timbul setelah 12-24 jam pasca infark
b. Denyut Nadi dan Tekanan Darah
Sinus takikardi (100-120 x/mnt) terjadi pada sepertiga pasien, biasanya akan
melambat dengan pemberian analgesic yang adekuat.
Denyut jantung yang rendah mengindikasikan adanya sinus tau blok jantung
sebagai komplikasi dari infark.
Peningkatan tekanan darah moderat merupakan akibat dari pelepasan
kotekolamin. Sedangkan jika terjadi hipotensi maka hal tersebut merupakan
akibat dari aktivitas vagus berlebih, dehidrasi, infark ventrikel kanan, atau
tanda dari syok kardiogenik.
c. Pemeriksaan jantung
Terdangar bunyi jantung S4 dan S3 , atau mur-mur. Bunyi gesekan perikard
jarang terdengar hingga hari kedua atau ketiga atau lebih lama lagi (hingga
6 minggu) sebagai gambatan dari sindrom Dressler.
d. Pemeriksaan paru
Ronkhi akhir pernafasan bisa terdengar, walaupun mungkin tidak terdapat
gambaran edema paru pada radiografi. Jika terdapat edema paru, maka hal
itu merupakan komplikasi infark luas, biasanya anterior.
e. Pemeriksaan Penunjang
EKG (Electrocardiogram)
Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih berfungsi akan
menghasilkan perubahan gelombang T, menyebabkan inervasi saat aliran
listrik diarahkan menjauh dari jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan
iskemik akan mengubah segmen ST menyebabkan depresi ST.
Pada infark, miokard yang mati tidak mengkonduksi listrik dan gagal
untuk repolarisasi secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat
nekrosis terbentuk, dengan penyembuhan cincin iskemik disekitar area
nekrotik, gelombang Q terbentuk. Area nekrotik adalah jaringan parut
yang tak aktif secara elektrikal, tetapi zona nekrotik akan menggambarkan
perubahan gelombang T saat iskemik terjadi lagi. Pada awal infark
miokard, elevasi ST disertai dengan gelombang T tinggi. Selama berjam-
jam atau berhari-hari berikutnya, gelombang T membaik. Sesuai dengan
umur infark miokard, gelombang Q menetap dan segmen ST kembali
normal.
Gambaran spesifik pada rekaman EKG
Daerah infark Perubahan EKG
Coronary Angiography
3) Intervensi:
a. Monitor frekuensi dan irama jantung
b. Observasi perubahan status mental
c. Observasi warna dan suhu kulit / membran mukosa
d. Kolaborasi: berikan cairan IV I sesuai indikasi.
e. Pantau pemeriksaan diagnostik dan laboratorium, misalnya EGD,
elektrolit, GDA (Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2). Dan pemberian
oksigen.
4) Intervensi:
a. Ukur masukan / haluaran, catat penurunan, pengeluran, sifat
konsentrasi, hitung keseimbangan jaringan.
b. Observasi adanya oedema dependen
c. Timbang BB tiap hari
d. Pertahankan masukan total cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi
kardiovaskuler
e. Kolaborasi: pemberian diet rendah natrium, berikan diuetik.
5) Intervensi:
a. Catat frekuensi dan kedalaman pernafasan, penggunaan otot bantu
pernafasan
b. Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan /tidak adanya bunyi
nafas dan adanya bunyi tambahan, misalnya krakles, ronki dan
lain-lain.
c. Lakukan tindakan untuk memperbaiki/ mempertahankan jalan
nafas misalnya: batuk, penghisapan lendir dan lain-lain.
d. Tinggikan kepala atau tempat tidur sesuai kebutuhan/ toleransi
pasien.
e. Kaji tolenransi aktivitas, misalnya keluhan kelemahan / kelelahan
selama kerja atau tanda vital berubah.
6) Intervensi:
a. Catat prekuensi jantung, irama dan perubahan TD selama dan
sesudah aktifitas.
b. Tingkatkan istirahat (di tempat tidur)
c. Batasi aktivitas pada dasar nyeri dan berikan aktivitas sensori
yang tidak berat.
d. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas, contoh
bangun dari kursi bila tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat
selama 1 jam setelah makan.
e. Kaji ulang tanda gangguan yang menunjukkan tidak toleran
terhadap aktifitas atau memerlukan pelaporan pada dokter.
7) Intervensi:
a. Kaji tanda dan respon verbal serta non verbal terhadap ansietas
b. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
c. Ajarkan teknik relaksasi
d. Minimalkan rangsang yang membuat stres
e. Diskusikan dan orientasikan pasien dengan lingkungan dan
peralatan
f. Berikan setuhan pada pasien dan ajak pasien berbincang-bincang
dengan suasana tenang.
g. Berikan support mental
h. Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi
b. Intervensi:
a. Berikan informasi dalam bentuk belajar yang berfariasi, contoh
buku, program audio/visual, tanya jawab, dan lain-lain.
b. Beri penjelasan faktor resiko, diet (rendah lemak dan rendah
garam) dan aktifitas yang berlebihan.
c. Peringatan untuk menghindari paktifitas manuver valsava
d. Latih pasien sehubungan dengan aktivitas yang bertahap, contoh:
jalan, kerja, rekreasi dan lain-lain.
8. Evaluasi
a. Nyeri yang dirasakan pasien sudah berkurang.
b. Mual muntah yang dialami pasien sudah berkurang.
c. Pernafasan sudah mulai normal (sesak nafas hilang)
d. kapillary refill.
e. TTV sudah stabil.
f. Kecemasan sudah berkurang.
g. Sebagian aktifitas sudah mampu dilakukan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin J. Elizabeth (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Koroner-akut-infarkmiokard_obat_hosppharm.pdf-adobe reader