Anda di halaman 1dari 15

Laporan Pendahuluan Sindroma Koroner Akut (SKA)

A. Konsep Medis
1. Definisi
Harun (2007) mengatakan istilah Sindrom Koroner Akut (SKA)
banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada
pembuluh darah koroner. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan satu
sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil
(unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan
elevasi ST, maupun Kangina pektoris pasca infark atau pasca tindakan
intervensi koroner perkutan. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan
keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada
atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.
Wasid (2007) menambahkan bahwa Sindrom Koroner Akut (SKA)
adalah suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai
Infark Miocard Akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi
(NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI)
yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis
yang tak stabil.

2. Etiologi
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat
diklasifikasikan dalam enam kategori utama:
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindrom Koroner
Akut (SKA) dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni:
Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
Stress emosi, terkejut
Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat,
frekuensi debar jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung
meningkat.
Faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner dibagi dua yaitu faktor resiko
yang dapat dimodifikasi dan factor resiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi antara lain:

Hipertensi

Diabetes

Hiperkolesterolemia

Merokok

Kurang latihan

Diet dengan kadar lemak tinggi

Obesitas

Stress

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:

Riwayat PJK dalam keluarga

Usia di atas 45 tahun

Jenis kelamin laki-laki > perempuan

Etnis tertentu lebih besar resiko terkena PJK

4. Klasifikasi
Wasid (2007 ) mengatak berat atau ringannya Sindrom Koroner akut
menurut Braunwald (1993) :
a. Kelas 1, serangam nbaru kurang dari 2 bulan progresif,berat
dengan nyeri pada waktu istirahat,atau aktivitas sangat ringan
terjadi > 2 kali perhari
b. Kelas 2, sub akut,yaitu sakit dada antara 48 jam sampai dengan
( bulan pada waktu istirahat)
c. Kelas 3 ,akut yakni kurang dari 48 jam

Secara klinis :
a. Kelas A,sekunder,dicetuskan oleh hal-hal diluar koroner,seperti
anemia,infeksi,demam,hipotensi,tauiritmia,tirotoksikosis dan
hipoksia karena gagal nafas
b. Kelas B,primer
c. Kelas C,setelah infark (dalam 2 minggu IMA),belum pernah
diobati,penggsnti angina (penghambat beta adregeik,nitrat dan
antagoni kalsium ) antagonis dan nitrogliserin intravena.

3. Patofisiologi
Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang
menurun pada Sindrom Koroner akut akan mengganggu kemampuan
pengosongan ventrikel, sehingga volume residu ventrikel menjadi
meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh
ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic
Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP (Left Ventricle End
Diastolic Pressure), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada
kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastol atrium dan ventrikel
berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan
LAP( Left Atrium Pressure ), sehingga tekanan kapiler dan vena paru-
paru juga akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru
melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan
ke interstitial dan bila cairan tersebut merembes ke dalam alveoli,
terjadilah edema paru-paru.

Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan


tekanan arteri paru yang disebut dengan hipertensi pulmonal, yang
mana hipertensi pulmonal akan meningkatkan tahanan terhadap ejeksi
ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi
pada jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.

Menurut Laksono S (2009), ada beberapa mekanisme


patofisiologi sindrom koroner akut :
a. Mekanisme neurohormonal : Pengaturan neurohormonal melibatkan
sistem saraf adrenergik (aktivasi sistem saraf simpatis akan
meningkatkan kadar norepinefrin), sistem renin-angiotensin, stres
oksidatif (peningkatan kadar ROS/reactive oxygen species), arginin
vasopressin (meningkat), natriuretic peptides, endothelin,
neuropeptide Y, urotensin II, nitric oxide, bradikinin, adrenomedullin
(meningkat), dan apelin (menurun).
b. Remodeling ventrikel kiri : Remodeling ventrikel kiri yang progresif
berhubungan langsung dengan memburuknya kemampuan ventrikel
di kemudian hari.
c. Perubahan biologis pada miosit jantung :Terjadi hipertrofi miosit
jantung, perubahan komplek kontraksi-eksitasi, perubahan miokard,
nekrosis, apoptosis, autofagi.
d. Perubahan struktur ventrikel kiri : Perubahan ini membuat jantung
membesar, mengubah bentuk jantung menjadi lebih sferis
mengakibatkan ventrikel membutuhkan energi lebih banyak,
sehingga terjadi peningkatan dilatasi ventrikel kiri, penurunan
cardiac output, dan peningkatan hemodynamic overloading.

4. Manifestasi Klinis
Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut
berupa keluhan nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-
remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa
terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini
bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta
punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati
seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir
ke otot jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada
(angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan
berlangsung selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke
rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat
timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita
yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita
yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya
menjadi lebih berat atau lebih sering.
Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita
hanya mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa
nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan
sesak, muntah atau keringat dingin.
5. Pemeriksaaan Penunjang
a. EKG
b. Ekokardiografi
c. Marker jantung (troponim I,CK,CKMB,Mioglobin reaktif

6. Penatalaksanaan
a. Focus pada penjalaran nyeri,sesak dan diaphoresis
b. Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan lap maker jantung
c. MONA : Morfin,O2,NTG,dan aspirin 160-325 mg per oral.jika
alergi aspirin,berikan tidopidin (ticlid) atau clopidogrel
d. Berikan O2 tambahan untuk mempertaruhkan Sp O2 >90 %
e. Berikan tablet NTG SL atau bentuk semprot
f. Berikan morfin IV 2-4 mg setiap 15 menit sampai nyeri
terkontrol
(pantau adanya hipotensi ddan depresi pernafasan)
7. Komplikasi
a. Syok kardiogenik
b. Aritmia malignant
c. Gagal jantung
d. Mechanical rupture,USD
e. Gangguan hantaran
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Tampilan Umum
Pasien tampak pucat, berkeringat, dan gelisah akibat aktivitas simpatis
berlebihan. Pasien juga tampak sesak. Demam derajat sedang (< 380 C) bisa
timbul setelah 12-24 jam pasca infark
b. Denyut Nadi dan Tekanan Darah
Sinus takikardi (100-120 x/mnt) terjadi pada sepertiga pasien, biasanya akan
melambat dengan pemberian analgesic yang adekuat.
Denyut jantung yang rendah mengindikasikan adanya sinus tau blok jantung
sebagai komplikasi dari infark.
Peningkatan tekanan darah moderat merupakan akibat dari pelepasan
kotekolamin. Sedangkan jika terjadi hipotensi maka hal tersebut merupakan
akibat dari aktivitas vagus berlebih, dehidrasi, infark ventrikel kanan, atau
tanda dari syok kardiogenik.
c. Pemeriksaan jantung
Terdangar bunyi jantung S4 dan S3 , atau mur-mur. Bunyi gesekan perikard
jarang terdengar hingga hari kedua atau ketiga atau lebih lama lagi (hingga
6 minggu) sebagai gambatan dari sindrom Dressler.
d. Pemeriksaan paru
Ronkhi akhir pernafasan bisa terdengar, walaupun mungkin tidak terdapat
gambaran edema paru pada radiografi. Jika terdapat edema paru, maka hal
itu merupakan komplikasi infark luas, biasanya anterior.
e. Pemeriksaan Penunjang
EKG (Electrocardiogram)
Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih berfungsi akan
menghasilkan perubahan gelombang T, menyebabkan inervasi saat aliran
listrik diarahkan menjauh dari jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan
iskemik akan mengubah segmen ST menyebabkan depresi ST.
Pada infark, miokard yang mati tidak mengkonduksi listrik dan gagal
untuk repolarisasi secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat
nekrosis terbentuk, dengan penyembuhan cincin iskemik disekitar area
nekrotik, gelombang Q terbentuk. Area nekrotik adalah jaringan parut
yang tak aktif secara elektrikal, tetapi zona nekrotik akan menggambarkan
perubahan gelombang T saat iskemik terjadi lagi. Pada awal infark
miokard, elevasi ST disertai dengan gelombang T tinggi. Selama berjam-
jam atau berhari-hari berikutnya, gelombang T membaik. Sesuai dengan
umur infark miokard, gelombang Q menetap dan segmen ST kembali
normal.
Gambaran spesifik pada rekaman EKG
Daerah infark Perubahan EKG

Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan


resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF.
Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan
resiprokal (depresi ST) V1 V6, I, aVL.
Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 V6.
Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF,
terutama gelombang R pada V1 V2.
Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior
Tes Darah

Selama serangan, sel-sel otot jantung mati dan pecah sehingga


protein-protein tertentu keluar masuk aliran darah.

Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB


terdetekai setelah 6-8 jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan
kembali menjadi normal setelah 24 jam berikutnya.

LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark


miokard yaitu setelah 24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3-6
hari. Masih dapat dideteksi sampai dengan 2 minggu.
Iso enzim LDH lebih spesifik dibandingkan CPK-MB akan tetapi
penggunaan klinisnya masih kalah akurat dengan nilai Troponin,
terutama Troponin T.

Seperti yang kita ketahui bahwa ternyata isoenzim CPK-MB maupun


LDH selain ditemukan pada otot jantung juga bisa ditemukan pada
otot skeletal.

Troponin T & I protein merupakan tanda paling spesifik cedera otot


jantung, terutama Troponin T (TnT)

Tn T sudah terdeteksi 3-4 jam pasca kerusakan miokard dan masih


tetap tinggi dalam serum selama 1-3 minggu.

Pengukuran serial enzim jantung diukur setiap selama tiga hari


pertama;

peningkatan bermakna jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai normal.

Coronary Angiography

Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar


X pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan
untuk menemukan letak sumbatan pada arteri koroner.Kateter dimasukkan
melalui arteri pada lengan atau paha menuju jantung. Prosedur ini
dinamakan kateterisasi jantung, yang merupakan bagian dari angiografi
koroner .Zat kontras yang terlihat melalui sinar X diinjeksikan melalui
ujung kateter pada aliran darah. Zat kontras itu pemeriksa dapat
mempelajari aliran darah yang melewati pembuluh darah dan jantung.
Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angioplasty,
dapat dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri tersebut.
Kadang-kadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam
arteri untuk menjaga arteri tetap terbuka.
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan Pada Pasien stemik
1) Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan terhadap sumbatan
arteri ditandai dengan:
Nyeri dada dengan/tanpa penyebaran
a. Wajah meringis
b. Gelisah
c. Delirium
d. Perubahan nadi, tekanan darah.
Tujuan:
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan selama di RS
Kriteria Hasil:
a. Nyeri dada berkurang misalnya dari skala 3 ke 2, atau dari 2 ke
1
b. Ekspresi wajah rileks, tenang/tidak tegang
c. Tidak gelisah
d. Nadi 60-100 x/menit
e. TD 120/80 mmHg
2) Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
faktor-faktor listrik, penurunan karakteristk miokard.
Tujuan:
Curah jantung membaik / stabil setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama di RS.
Kriteria Hasil:
a. Tidak ada edema
b. Tidak ada disritmia
c. Haluaran urin normal
d. TTV dalam batas normal

3) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan : iskemik,


kerusakan otot jantung, penyempitan/ penyumbatan pembuluh darah
arteri koronaria ditandai dengan:
a. Daerah perifer dingin
b. EKG elevasi segmen ST dan Q patologis pada lead tertentu
c. RR lebih dari 24 x / menit
d. Kapiler refill lebih dari 3 detik
e. Nyeri dada
f. Gambaran foto torak terdapat pembesaran jantung dan kongestif
paru (tidak selalu)
g. HR lebih dari 100x/menit, TD 120/80 AGD dengan : pa O2 < 80
mmHg pa Co2 >45 mmHg dan Saturasi < 80 mmHg.
h. Nadi lebih dari 100 x/menit
i. Terjadi peningkatan enzim jantung yaitu CK, AST, LDL/HDL.
Tujuan:
Jaringan perfusi jaringan berkurang / tidak meluas selama dilakukan
tindakan perawatan di RS.
Kriteria Hasil:
a. Daerah perifer hangat
b. Tidak dianosis
c. Gambaran EKG tidak menunjukkan perluasan infark
d. RR 16-24 x/menit
e. Tidak terdapat clubbing finger
f. Kapiler retill 3-5 detik
g. TD 120/80 mmHg
4) Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan
penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium/retensi air,
peningkatan takanan hidrostatik, penurunan protein plasma.
Tujuan:
Keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan selama dilakukan
tindakan perawatan di RS.
Kriteria Hasil:
a. Tekanan darah dalam batas normal
b. Tidak ada distensivena perifer/ vena dan edema dependen.
c. Paru bersih
d. Berat badan ideal (BB klealTB-100 10%)
5) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran
darah ke alvioli atau kegagalan utama paru-paru, perubahan
membran alveolar-kapiler (atelektasis, kolaps jalan nafas/ alveolar
edema paru/efusi, sekresi berlebihan / perdarahan aktif ) ditandai
dengan:
a. Dipnea berat
b. Gelisah
c. Sianosis
d. Perubahan GDA
e. Hipoksemia
Tujuan:
Oksigenasi dengan GDA dalam rentang normal (pa O2 < 80
mmHg, pa CO2 > 45 mmHg dan saturasi < 80 mmHg) setelah
dilakukan tindakan perawatan di RS.
Kriteria Hasil:
a. Tidak sesak nafas
b. Tidak gelisah
c. GDA dalam batas normal (pa O2 < 80 mmHg, pa CO2 > 45
mmHg dan saturasi < 80 mmHg)
6) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara
suplai oksigen miocard dan kebutuhan, adanya istemik/ nekrotik
jaringan miocard ditandai dengan gangguan frekuensi jantung,
tekanan darah dalam aktifitas, terjadinya disritmia dan kelemahan
umum.
Tujuan:
Terjadinya peningkatan toleransi pada pasien setelah dilaksanakan
tindakan keperawatan selama di RS.
Kriteria Hasil:
a. Pasien berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan
pasien.
b. Frekuensi jantung 60-100 x/menit
c. TD 120-80 mmHg.

7) Cemas berhubungan dengan ancaman aktual terhadap integritas


biologi.
Tujuan:
Cemas hilang/ berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama di RS.
Kriteria Hasil:
a. Pasien tampak rileks
b. Pasien tampak beristirahat
c. TTV dalam batas nomal
8) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang
fungsi jantung/implikasi penyakit jantung dan status kesehatan yang
datang. Kebutuhan perubahan pola hidup ditandai dengan pernyataan
masalah, kesalahan konsep, pertanyaan dan terjadinya komplikasi
yang dapat di cegah.
Tujuan:
Pengetahuan pasien tentang kondisi penyakitnya menguat setelah diberi
pendidikan kesehatan selama di RS.
Kriteria Hasil:
a. Menyatakan pemahaman tentang penyakit jantung, rencana
pengobatan, tujuan pengobatan, dan efek samping/ reaksi merugikan.
b. Menyebutkan gangguan yang memerlukan perhatian cepat.

Intervensi Keperawatan Pada Pasien Nonstemik


1) Intervensi:
a. Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan perjalanan rasa nyeri
dada tersebut.
b. Anjurkan pada pasien untuk menghentikan aktivitas selama ada
serangan dan istirahat.
c. Bantu pasien melakukan teknik relaksasi, misalnya: nafas dalam,
perilaku distraksi, visualisasi atau bimbingan imajinasi.
d. Pertahankan oksigen dengan birasal kanul, contohnya (2-4
L/menit).
e. Monitor tanda-tanda vital (nadi dan tekanan darah) tiap dua jam.
f. Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian analgetik.
2) Intervensi:
Pertahankan tirah baring selama fase akut
a. Kaji dan laporkan adanya tanda penurunan COP, TD
b. Monitor haluaran urin
c. Kaji dan pantau TTV tiap jam
d. Kaji dan pantau EKG tiap hari
e. Auskultasi pernafasan dan jantung tiap jam sesuai indikasi
f. Pertahankan cairan parenteral dan obat-obatan sesuai
kebutuhannya.
g. Hindari valsava manuver, mengejan (gunakan laxsan)
h. Berikan obat-obat lausatif (pelunak feses)

3) Intervensi:
a. Monitor frekuensi dan irama jantung
b. Observasi perubahan status mental
c. Observasi warna dan suhu kulit / membran mukosa
d. Kolaborasi: berikan cairan IV I sesuai indikasi.
e. Pantau pemeriksaan diagnostik dan laboratorium, misalnya EGD,
elektrolit, GDA (Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2). Dan pemberian
oksigen.
4) Intervensi:
a. Ukur masukan / haluaran, catat penurunan, pengeluran, sifat
konsentrasi, hitung keseimbangan jaringan.
b. Observasi adanya oedema dependen
c. Timbang BB tiap hari
d. Pertahankan masukan total cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi
kardiovaskuler
e. Kolaborasi: pemberian diet rendah natrium, berikan diuetik.
5) Intervensi:
a. Catat frekuensi dan kedalaman pernafasan, penggunaan otot bantu
pernafasan
b. Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan /tidak adanya bunyi
nafas dan adanya bunyi tambahan, misalnya krakles, ronki dan
lain-lain.
c. Lakukan tindakan untuk memperbaiki/ mempertahankan jalan
nafas misalnya: batuk, penghisapan lendir dan lain-lain.
d. Tinggikan kepala atau tempat tidur sesuai kebutuhan/ toleransi
pasien.
e. Kaji tolenransi aktivitas, misalnya keluhan kelemahan / kelelahan
selama kerja atau tanda vital berubah.
6) Intervensi:
a. Catat prekuensi jantung, irama dan perubahan TD selama dan
sesudah aktifitas.
b. Tingkatkan istirahat (di tempat tidur)
c. Batasi aktivitas pada dasar nyeri dan berikan aktivitas sensori
yang tidak berat.
d. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas, contoh
bangun dari kursi bila tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat
selama 1 jam setelah makan.
e. Kaji ulang tanda gangguan yang menunjukkan tidak toleran
terhadap aktifitas atau memerlukan pelaporan pada dokter.
7) Intervensi:
a. Kaji tanda dan respon verbal serta non verbal terhadap ansietas
b. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
c. Ajarkan teknik relaksasi
d. Minimalkan rangsang yang membuat stres
e. Diskusikan dan orientasikan pasien dengan lingkungan dan
peralatan
f. Berikan setuhan pada pasien dan ajak pasien berbincang-bincang
dengan suasana tenang.
g. Berikan support mental
h. Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi
b. Intervensi:
a. Berikan informasi dalam bentuk belajar yang berfariasi, contoh
buku, program audio/visual, tanya jawab, dan lain-lain.
b. Beri penjelasan faktor resiko, diet (rendah lemak dan rendah
garam) dan aktifitas yang berlebihan.
c. Peringatan untuk menghindari paktifitas manuver valsava
d. Latih pasien sehubungan dengan aktivitas yang bertahap, contoh:
jalan, kerja, rekreasi dan lain-lain.
8. Evaluasi
a. Nyeri yang dirasakan pasien sudah berkurang.
b. Mual muntah yang dialami pasien sudah berkurang.
c. Pernafasan sudah mulai normal (sesak nafas hilang)
d. kapillary refill.
e. TTV sudah stabil.
f. Kecemasan sudah berkurang.
g. Sebagian aktifitas sudah mampu dilakukan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin J. Elizabeth (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Koroner-akut-infarkmiokard_obat_hosppharm.pdf-adobe reader

Anda mungkin juga menyukai