Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di

suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai

dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan

sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai

yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari

genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap

garam (Santono, et al., 2005).

Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme

(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam

suatu habitat mangrove. Mangrove merupakan ekosistem hutan yang unik karena

merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan

mangrove mempunyai peranan yang sangat penting terutama bagi kehidupan

masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan produksi yang ada di dalamnya,

baik sumberdaya kayunya maupun sumberdaya biota air (udang, kepiting, ikan)

yang biasanya hidup dan berkembang biak di hutan mangrove (Santono, et al.,

2005).

Hutan mangrove di Indonesia, yang terbagi kedalam 2 (dua) zone wilayah

geografi mangrove yakni Asia dan Oseania, kedua zona tersebut memiliki

keanekaragaman tumbuhan, satwa dan jasad renik yang lebih besar dibanding

negara-negara lainnya. Hal ini terjadi karena keadaan alamnya yang berbeda dari

satu pulau ke pulau lainnya, bahkan dari satu tempat ketempat lainnya dalam

Universitas Sumatera Utara


pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumberdaya hutan mangrove dan

tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem yang masing-

masing menampilkan kekhususan dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat di

dalamnya (Santono, et al., 2005).

Luas dan Penyebaran

Menurut Santono et al., (2005) terdapat variasi yang nyata dari luas total

ekosistem mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta 4,25 juta ha.

Perbedaan jumlah luasan ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan metodologi

pengukuran luas hutan mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak. Walaupun

demikian diakui oleh dunia bahwa Indonesia mempunyai luas ekosistem

mangrove terluas di dunia (21% luas mangrove dunia). Hutan-hutan mangrove

menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling

khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.

Luas hutan mangrove Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar,

merupakan mangrove yang terluas di dunia melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria

(1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang

luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan

tempat bermuara sungai-sungai besar, yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai

barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama

terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Di bagian timur Indonesia,

ditepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai

barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai

Universitas Sumatera Utara


luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan mangrove Indonesia

(Santono, et al., 2005).

Beberapa faktor yang menjadi penyebab berkurangnya ekosistem

mangrove antara lain:

1. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain, seperti

permukiman, pertanian, tambak, industri, pertambangan, dll.

2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan HPH

serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya.

3. Polusi di perairan estuaria, pantai, dan lokasi-lokasi perairan lainnya

dimana tumbuh mangrove.

4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan

abrasi yang tidak terkendali.

Penambahan hutan mangrove di beberapa propinsi belum diketahui dan

dilaporkan secara pasti, namun ada beberapa faktor yang memungkinkan

bertambahnya areal hutan mangrove dibeberapa propinsi tersebut, yaitu:

1. Adanya reboisasi atau penghijauan.

2. Adanya perluasan lahan hutan mangrove secara alami yang berkaitan

dengan adanya proses sedimentasi dan atau penaikan permukaan air laut.

3. Presisi metoda penafsiran luas hutan yang lebih baik dari metoda yang

digunakan sebelumnya.

(Santono, et al., 2005).

Universitas Sumatera Utara


Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Menurut Davis, Claridge & Natarina (1995) dalam FPPB (2009), hutan

mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :

1. Habitat satwa langka

Hutan mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100

jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan

hutan mangrove merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai

ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus

semipalmatus)

2. Pelindung terhadap bencana alam

Vegetasi hutan mangrove dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian

atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan

garam melalui proses filtrasi.

3. Pengendapan lumpur

Sifat fisik tanaman pada hutan mangrove membantu proses pengendapan

lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan

racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat

pada partikel lumpur. Dengan hutan mangrove, kualitas air laut terjaga

dari endapan lumpur erosi.

4. Penambah unsur hara

Sifat fisik hutan mangrove cenderung memperlambat aliran air dan terjadi

pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara

yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal

pertanian.

Universitas Sumatera Utara


5. Penambat racun

Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat

pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel

tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan mangrove bahkan

membantu proses penambatan racun secara aktif

6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)

Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau

mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan.

Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan

mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian

digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan

bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas

pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.

7. Transportasi

Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara

yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.

8. Sumber plasma nutfah

Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi

perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi

kehidupan liar itu sendiri.

9. Rekreasi dan pariwisata

Hutan mangrove memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun

dari kehidupan yang ada didalamnya. Hutan mangrove yang telah

dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi

Universitas Sumatera Utara


Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan

Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove

memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam

lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan

laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga

memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai

Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha

dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata

mangrove.

Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi

pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu

menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan

menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka

warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.

10. Sarana pendidikan dan penelitian

Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan

laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.

11. Memelihara proses-proses dan sistem alami

Hutan mangrove sangat tinggi peranannya dalam mendukung

berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di

dalamnya.

12. Penyerapan karbon

Proses fotosintesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon

organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem,

Universitas Sumatera Utara


bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai

C02. Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar

bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan mangrove lebih

berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.

13. Memelihara iklim mikro

Evapotranspirasi hutan mangrove mampu menjaga kelembaban dan curah

hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.

14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam

Keberadaan hutan mangrove dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit

dan menghalangi berkembangnya kondisi alam.

Secara garis besar manfaat hutan mangrove dapat dibagi dalam dua bagian

1. Fungsi ekonomis, yang terdiri atas :

a. Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, kayu bakar, arang, serpihan kayu

untuk bubur kayu, tiang/pancang)

b. Hasil bukan kayu

Hasil hutan ikutan (non kayu)

Lahan (Ecotourisme dan lahan budidaya)

2. Fungsi ekologi, yang terdiri atas berbagai fungsi perlindungan lingkungan

ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna,

diantaranya:

a. Sebagai proteksi dan abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang.

b. Pengendalian instrusi air laut

c. Habitat berbagai jenis fauna

Universitas Sumatera Utara


d. Sebagai tempat mencari, memijah dan berkembang biak berbagai jenis

ikan dan udang

e. Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi

f. Pengontrol penyakit malaria

g. Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)

Hasil hutan mangrove non kayu ini sampai dengan sekarang belum banyak

dikembangkan di Indonesia. Padahal apabila dikaji dengan baik, potensi

sumberdaya hutan mangrove non kayu di Indonesia sangat besar dan dapat

mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan (Junaidi, 2009).

Tumbuhan Nipah

Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh dilingkungan hutan

mangrove atau daerah pasang surut dekat tepi laut. Di beberapa negara lain,

tumbuhan ini dikenal dengan nama (dalam bahasa Inggris) Attap palm

(Singapura), Nipa palm (Filipina), atau umumnya disebut Nypa palm.

Nama ilmiahnya adalah Nypa fruticans Wurmb, dan diketahui sebagai

satu-satunya anggota genus Nypa. Juga merupakan satu-satunya jenis palma dari

wilayah mangrove. Fosil serbuk sari palma ini diketahui dari sekitar 70 juta tahun

yang silam (Ditjenbun, 2006).

Klasifikasi Ilmiah Nipah

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Arecales

Universitas Sumatera Utara


Famili : Arecaceae

Genus : Nypa

Spesies : Nypa fruticans Wurmb

(Ditjenbun, 2006).

Batang pohon nipah menjalar di tanah, membentuk rimpang yang

terendam oleh lumpur. Hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah, sehingga

nipah nampak seolah-olah tak berbatang. Akar serabutnya dapat mencapai

panjang 13 m. Perakaran nipah ini hanya terletak dalam lumpur yang sifatnya labil

maka rumpun-rumpun nipah dapat dihanyutkan oleh air sampai ke laut (Mangrove

Information Centre, 2009).

Dari rimpangnya muncul daun-daun majemuk menyirip khas palma, tegak

atau hampir tegak, menjulang hingga 9 m di atas tanah. Panjang tangkainya 1-1,5

m; dengan kulit yang mengkilap dan keras, berwarna hijau pada yang muda dan

berangsur menjadi cokelat sampai cokelat tua sesuai perkembangan umurnya;

bagian dalamnya lunak seperti gabus. Anak daun berbentuk pita memanjang dan

meruncing di bagian ujung, memiliki tulang daun yang di sebut lidi (seperti pada

daun kelapa). Panjang anak daun dapat mencapai 100 cm dan lebar daun 4-7 cm.

Daun nipah yang sudah tua berwarna hijau, sedangkan daunnya yang masih muda

berwarna kuning, menyerupai janur kelapa. Banyaknya anak daun dalam tiap

ental mencapai 25-100 helai (Mangrove Information Centre, 2009).

Karangan bunga majemuk muncul di ketiak daun, berumah satu, dengan

bunga betina terkumpul di ujung membentuk bola dan bunga jantan tersusun

dalam malai serupa untai, merah, jingga atau kuning pada cabang di bawahnya.

Setiap untai mempunyai 4-5 bulir bunga jantan yang panjangnya mencapai 5 cm.

Universitas Sumatera Utara


Bunga nipah jantan dilindungi oleh seludang bunga, namun bagian yang terisi

serbuk sari tetap tersembul keluar. Bunga nipah betina berbentuk bulat peluru dan

bengkok mengarah ke samping. Panjang tangkai badan bunga mencapai 100-170

cm. Tandan bunga inilah yang dapat disadap untuk diambil niranya. Empat hingga

lima bulan sejak keluarnya bunga nipah, tandan bunga tersebut dapat disadap.

Pada saat ini pengisian biji sedang aktif, maka bila dilakukan penyadapan pasti

akan dapat memperoleh jumlah nira yang maksimal (Mangrove Information

Centre, 2009).

Buah tipe buah batu dengan mesokarp bersabut, bulat telur terbalik dan

gepeng dengan 2-3 rusuk, coklat kemerahan, 11 x 13 cm, terkumpul dalam

kelompok rapat menyerupai bola berdiameter sekitar 30 cm. Struktur buah mirip

buah kelapa, dengan eksokarp halus, mesokarp berupa sabut, dan endokarp keras

yang disebut tempurung. Biji terlindung oleh tempurung dengan panjangnya

antara 8-13 cm dan berbentuk kerucut. Dalam satu tandan, buahnya dapat

mencapai antara 30-50 butir, berdempetan satu dengan yang lainnya membentuk

kumpulan buah bundar. Buah yang masak gugur ke air dan mengapung mengikuti

arus pasang surut atau aliran air hingga tersangkut di tempat tumbuhnya. Kerap

kali buah telah berkecambah senyampang dihanyutkan arus ke tempat yang baru

(Mangrove Information Centre, 2009).

Tempat Tumbuh dan Penyebaran Nipah

Nipah tumbuh di bagian belakang hutan mangrove, terutama di dekat

aliran sungai yang memasok lumpur ke pesisir. Palma ini dapat tumbuh di

wilayah yang berair agak tawar, sepanjang masih terpengaruh pasang-surut air

Universitas Sumatera Utara


laut yang mengantarkan buah-buahnya yang mengapung. Di tempat-tempat yang

sesuai, tegakan nipah membentuk jalur lebar tak terputus di belakang lapisan

hutan mangrove, kurang lebih sejajar dengan garis pantai. Nipah mampu bertahan

hidup di atas lahan yang agak kering atau yang kering sementara air surut

(Mangrove Information Centre, 2009).

Palma ini umum ditemukan di sepanjang garis pesisir Samudera Hindia

hingga Samudera Pasifik, khususnya di antara Bangladesh hingga pulau-pulau di

Pasifik. Nipah termasuk jenis tumbuhan yang terancam punah di Singapura

(Mangrove Information Centre, 2009).

Manfaat Nipah

Daun nipah yang telah tua banyak dimanfaatkan secara tradisional untuk

membuat atap rumah yang daya tahannya mencapai 3-5 tahun. Daun nipah yang

masih muda mirip janur kelapa, dapat dianyam untuk membuat dinding rumah

yang disebut kajang. Daun nipah juga dapat dianyam untuk membuat tikar, tas,

topi dan aneka keranjang anyaman. Di Sumatra, pada masa silam daun nipah yang

muda (dinamai pucuk) dijadikan daun rokok yaitu lembaran pembungkus untuk

melinting tembakau setelah dikelupas kulit arinya yang tipis, dijemur kering,

dikelantang untuk memutihkannya dan kemudian dipotong-potong sesuai ukuran

rokok. Beberapa naskah lama Nusantara juga menggunakan daun nipah sebagai

alas tulis, bukannya daun lontar (Mangrove Information Centre, 2009).

Tangkai daun dan pelepah nipah dapat digunakan sebagai bahan kayu

bakar yang baik. Pelepah daun nipah juga mengandung selulosa yang bisa

dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pulp (bubur kertas). Lidinya dapat

Universitas Sumatera Utara


digunakan untuk sapu, bahan anyam-anyaman dan tali. Nipah dapat pula disadap

niranya, yakni cairan manis yang diperoleh dari tandan bunga yang belum mekar.

Nira yang dikeringkan dengan dimasak dipasarkan sebagai gula nipah (palm

sugar). Dari hasil oksidasi gula nipah dapat dihasilkan cuka (Mangrove

Information Centre, 2009).

Di Filipina dan juga di Papua, nira ini diperam untuk menghasilkan

semacam tuak yang dinamakan tuba (dalam bahasa Filipina). Fermentasi lebih

lanjut dari tuba akan menghasilkan cuka. Di Malaysia, nira nipah dibuat sebagai

bahan baku etanol yang dapat dijadikan bahan bakar nabati pengganti bahan bakar

minyak bumi. Etanol yang dapat dihasilkan adalah sekitar 11,000 liter/ha/tahun,

jauh lebih unggul dibandingkan kelapa sawit (5,000 liter/ha/tahun) (Mangrove

Information Centre, 2009).

Umbut nipah dan buah yang muda dapat dimakan. Biji buah nipah yang

muda, yang disebut tembatuk, mirip dengan kolang-kaling (buah atep), dan juga

diberi nama attap chee ("chee" berarti "biji" menurut dialek China tertentu).

Sedangkan buah yang sudah tua bisa ditumbuk untuk dijadikan tepung. Di

Kalimantan arang dari akar nipah digunakan untuk obat sakit gigi dan sakit kepala

(Mangrove Information Centre, 2009).

Pemanasan global

Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang

dikenal dengan gas rumah kaca, yang terus bertambah di udara. Hal tersebut

disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan industri, khususnya CO2 dan

chlorofluorocarbon. Gas yang terutama adalah karbondioksida, yang umumnya

Universitas Sumatera Utara


dihasilkan oleh penggunaan batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan hutan

serta pembakaran hutan. Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri,

sedangkan emisi metan disebabkan oleh aktivitas industri dan pertanian.

Chlorofluorocarbon CFCs merusak lapisan ozon seperti juga GRK menyebabkan

pemanasan global, tetapi sekarang dihapus dalam Protokol Montreal.

Karbondioksida, chlorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif

yang terakumulasi di udara dan menyaring banyak panas dari matahari. Sementara

lautan dan vegetasi menangkap banyak CO2, kemampuannya untuk menjadi

atap sekarang berlebihan akibat emisi. Ini berarti bahwa setiap tahun, jumlah

akumulatif dari gas rumah kaca yang berada di udara bertambah dan itu berarti

mempercepat pemanasan global (Assisi, 2009).

Sepanjang seratus tahun ini konsumsi energi dunia bertambah secara

spektakuler. Sekitar 70% energi dipakai oleh negara-negara maju dan 78% dari

energi tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan

ketidakseimbangan yang mengakibatkan sejumlah wilayah terkuras habis dan

yang lainnya mereguk keuntungan. Sementara itu, jumlah dana untuk

pemanfaatan energi yang tak dapat habis (matahari, angin, biogas, air, khususnya

hidro mini dan makro), yang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil,

baik di negara maju maupun miskin tetaplah rendah, dalam perbandingan dengan

bantuan keuangan dan investasi yang dialokasikan untuk bahan bakar fosil dan

energi nuklir (Assisi, 2009).

Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh pohon,

menyebabkan emisi karbon bertambah sebesar 20% dan mengubah iklim mikro

lokal dan siklus hidrologis, sehingga mempengaruhi kesuburan tanah.

Universitas Sumatera Utara


Pencegahan perubahan iklim yang merusak membutuhkan tindakan nyata untuk

menstabilkan tingkat GRK sekarang di udara sesegera mungkin dengan

mengurangi emisi GRK sebesar 50% (Assisi, 2009).

Karbon Hutan

Pada ekosistem daratan, karbon tersimpan terdiri dari 3 komponen pokok

menurut Hairiah, et al., 2001 yaitu:

1. Biomassa : massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk

pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.

2. Nekromasa: massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih

tegak di lahan (batang atau tunggul pohon) yang telah tumbang/tergelatak

di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah)

yang belum lapuk.

3. Bahan organik tanah: sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia)

yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan

telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2

mm.

Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen C tersebut dapat di

bedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

A. Karbon di atas permukaan tanah meliputi: Biomasa pohon. Proporsi

terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen

pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran,

biomasa pohon dapat diestimasi dengan mengunakan persamaan alometrik

yang di dasarkan pada pengukuran diameter batang.

Universitas Sumatera Utara


Biomasa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar

yang berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau

gulma. Estimasi tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian

tanaman (melibatkan perusakan).

Nekromasa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang

dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting

dari C dan harus di ukur pula agar diperoleh estimasi penyimpanan C yang

akurat.

Serasah. Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun

dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.

B. Karbon di dalam tanah, meliputi: Biomassa akar. Akar mentransfer C

dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah, dan keberadaannya dalam

tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomassa akar lebih didominasi

oleh akar-akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian

lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya.

Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di

permukaan dan di dalam tanah, sebagian dan seluruhnya di rombak oleh

organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan

bahan organik tanah.

(Hairiah, et al., 2001).

Universitas Sumatera Utara


Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon

Peranan hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat

bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan

peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab

terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi GRK di

atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi berubah

dan suhu bumi menjadi lebih panas (Adinugroho, et al., (2009) dalam

Bako, 2009).

Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan

menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh

permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer

secara global (global warming). Di antara GRK penting diperhitungkan dalam

pemanasan global adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida

(N2O). Dengan kontribusinya lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2

yang diemisikan dari aktivitas manusia (antropogenic) mendapat perhatian yang

lebih besar. Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 300 C lebih

dingin dari kondisi saat ini. Namun demikian seperti yang diuraikan di atas,

peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju yang sangat

mengkhawatirkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya

mengatasi (mitigasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi

emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan (Adinugroho, et

al., (2009) dalam Bako, 2009).

Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan

bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu

Universitas Sumatera Utara


menyerap CO2 dari atmosfer melalui fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain

disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi

besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi

tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan

dengan net growth (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada pada fase

pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa

dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat

menyerap CO2 berlebih/ekstra. Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah

karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena

itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi

hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 atmosfer

(Adinugroho, et al., (2009) dalam Bako, 2009).

Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan

cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan

defostasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan

gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b)

meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c)

mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbaharui secara

langsung maupun tidak langsung (angin, biomassa, aliran air), radiasi matahari,

atau aktivitas panas bumi (Lasco et al., (2004) dalam Bako, 2009).

Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan: (a)

meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami, (b) menambah

cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi

Universitas Sumatera Utara


pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat

tumbuh (Sedjo & Salomon (1988) dalam Bako, 2009).

Model Alometrik Penduga Karbon Hutan

Model adalah rangkuman atau penyederhanaan dari suatu sistem (Hall &

Day, 1976 dalam Onrizal, 2004), sehingga hanya faktor dominan atau komponen

yang relevan saja dari masalah yang dianalisis yang diikutsertakan dalam

menunjukkan hubungan langsung dan tidak langsung dalam pengertian sebab

akibat (Jorgensen, 1988, Grant et al., 1997 dalam Onrizal 2004). Permodelan

adalah pengembangan analisis ilmiah dalam beberapa cara, yang berarti bahwa

dalam memodelkan suatu ekosistem akan lebih mudah dibandingkan dengan

ekosistem sebenarnya (Hall & Day, 1976 dalam Onrizal, 2004). Sementara itu

sistem merupakan suatu kumpulan dari bagian-bagian (komponen) yang

berinteraksi menurut proses tertentu (Gasperz, 1992, Odum, 1992 dalam Onrizal,

2004).

Produksi biomassa merupakan model proses yang ditetapkan secara

khusus melalui keseimbangan antara karbon yang diambil melalui proses

fotosintesis dan proses kehilangan karbon melalui respirasi. Karbon merupakan

produk dari produksi biomassa yang dibentuk dikurangi dengan total yang hilang

melalui jaringan akar halus, cabang, dan daun, serta karena penyakit, sisanya

tergabung dalam struktur dan tersimpan di dalam pohon. Penyerapan air akan

berpengaruh terhadap keseimbangan karbon dan pengalokasian karbon (Raymon

et al., 1983, Johnsen et al., 2001 dalam Onrizal, 2004).

Model biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui proses

fotosintesis dan penghilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih

Universitas Sumatera Utara


disimpan dalam organ tumbuhan. Fungsi dan model biomassa direpresentasikan

melalui persamaan dengan tinggi dan diameter (Boer & Ginting, 1996 ;

Onrizal, 2004).

Dalam pembuatan model, dibutuhkan peubah-peubah yang mendukung

keberadaan model tersebut, yakni adanya korelasi yang tinggi antar peubah-

peubah penciri. Berbagai model biomassa tegakan hutan yang telah dibangun

didasarkan fungsi dimensi pohon (diameter dan tinggi) dengan analisis regresi

alometrik, fungsi taper, atau persamaan polynomial (Pastor et al., 1984 ;

Onrizal, 2004).

Johnsen (2001) dalam Onrizal (2004) menyatakan bahwa model penduga

karbon dapat diduga melalui persamaan regresi alometrik dari biomassa pohon

yang didasarkan pada fungsi dari diameter pohon. Hilmi (2003) dalam Onrizal

(2004) telah membangun model penduga karbon untuk kelompok jenis

Rhizophora spp dan Bruguiera spp., dimana kandungan karbon pohon merupakan

fungsi diameter dan atau tinggi pohon, dan fungsi dari biomassa pohon dengan

menggunakan pesamaan regresi alometrik.

Hubungan alometrik merupakan hubungan antara suatu peubah tak bebas

yang diduga oleh satu atau lebih peubah bebas, yang dalam hal ini diwakili oleh

karakteristik yang berbeda dalam pohon. Contohnya hubungan antara volume

pohon atau biomassa pohon dengan diameter dan tinggi total pohon, yang disebut

sebagai peubah bebas. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam suatu persamaan

alometrik (Hairiah, et al., 2001).

Persamaan alometrik dapat disusun dengan cara pengambilan contoh

melakukan penebangan dan perujukan dari berbagai sumber pustaka yang

Universitas Sumatera Utara


mempunyai tipe hutan yang dapat diperbandingkan. Persamaan tersebut biasanya

menggunakan diameter pohon yang diukur setinggi dada (Dbh) yang diukur 1,3 m

dari permukaan tanah sebagai dasar. Persamaan empirik untuk biomassa total W

berdasarkan diameter (D) mempunyai bentuk polynomial : W = a + bD + cD2 +

cD3 atau mengikuti fungsi : W = aDb. Dimana W (biomassa total), C (karbon), D

(diameter), dan terdiri dari koefisien a dan koefisien b. Setelah persamaan

alometrik disusun, hanya diperlukan mengukur Dbh (atau parameter lain yang

digunakan sebagai dasar persamaan) untuk menaksir biomassa satu pohon.

Penaksiran biomassa total untuk seluruh pohon dalam transek ukur dapat

dikonversi menjadi biomassa dalam satuan ton per hektar (Hairiah, et al., 2001).

Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan (a)

meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan

kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan

kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh

(Sedjo & Salomon, (1988) dalam Rahayu, et al., (2003). Karbon yang diserap

oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling

mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan

memelihara pohon (Lasco et al., (2004) dalam Rahayu, et al., (2003).

Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas

permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan

karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman

hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan

bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun,

cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan

Universitas Sumatera Utara


karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati,

organisme tanah dan bahan organik tanah. Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan,

pulp, arang atau kayu bakar), resin, buah-buahan, daun untuk makanan ternak

menyebabkan berkurangnya cadangan karbon dalam skala Petak ukur, tetapi

belum tentu demikian jika kita perhitungkan dalam skala global. Demikian juga

halnya dengan hilangnya bahan organik tanah melalui erosi. Beberapa penilaian

karbon global memperhitungkan aliran karbon (khususnya yang berkaitan dengan

pohon/kayu) dan dekomposisi yang terjadi. Tetapi memperoleh hasil penilaian

yang konsisten cukup sulit apabila metode penilaian tidak memperhitungan

keseluruhan cadangan karbon yang ada, khususnya di daerah perkotaan. Sebagai

contoh, memperhitungkan lama hidup alat-alat rumah tangga yang terbuat dari

kayu yang tetap tersimpan dalam bentuk kayu untuk jangka waktu yang lama dan

tidak menjadi sumber emisi karbon. Canadell (2002) dalam Rahayu, et al., (2003)

mengatakan bahwa untuk memperoleh potensial penyerapan karbon yang

maksimum perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan biomasa di atas

permukaan tanah bukan karbon yang ada dalam tanah, karena jumlah bahan

organik tanah yang relatif lebih kecil dan masa keberadaannya singkat.

Universitas Sumatera Utara


KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis

Secanggang merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Langkat,

Propinsi Sumatera Utara. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Secanggang

secara geografis yaitu:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Pura

- Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Hinai

Secara geografis kawasan ini terbentang antara30


98 B T 9842 BT dan

34230 LU 34945 LU.

Topografi dan Ketinggian Tempat

Kecamatan Secanggang adalah merupakan lokasi penelitian yang berada

pada ketinggian 1 meter dari permukaan laut dengan topografi landai. Kondisi

geologi Kecamatan ini di Kawasan Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut

Sumatera Utara Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat adalah sebagai

berikut:

a. Kondisi tanah berlumpur, sedikit berpasir dan dipengaruhi pasang

surut air laut;

b. Tekstur tanah halus;

c. Memiliki tipe tanah Gley humus rendah;

d. Memiliki tipe lahan rawa pasut dan bentuk lahan dataran lumpur antar

pasang surut di bawah bakau; Memiliki jenis batuan Aluvium,

campuran estuarin dan marin yang masih muda

Universitas Sumatera Utara


(Pemda Kabupaten Langkat, 2009).

Iklim

Kecamatan Secanggang merupakan kawasan pesisisr timur Sumatera

Utara. Menurut masyarakat setempat, sampai era 1970-an pesisisr Kecamatan

Secanggang di tumbuhi hutan mangrove yang lebat dengan lebar 400 m dari tepi

pantai namun kini mengalami kerusakan akibat konversi mangrove menjadi

tambak dan pemukiman. Salah satu wilayah Kabupaten Langkat yang mengalami

kerusakan mangrove adalah Kecamatan Secanggang dengan luas 5.065,2 ha.

Tersebar pada desa Sungai Ular dengan luas hutan 607 ha, yang rusak 303,5 ha;

desa Secanggang luas hutan 956 ha, rusak 949,4 ha; desa Karang Gading luas

hutan 775,2 ha, rusak 542,6 ha; desa Kuala Besar 1659 ha, rusak 995,4 ha; dan

desa Jaring Alus luas hutan 1.068 ha, rusak 640,8 ha (Pemda Kabupaten Langkat,

2000). Kondisi ini merupakan bukti nyata pemanfaatan sumberdaya mangrove

secara berlebihan, tanpa memperhatikan aspek pelestariannya.

Kondisi iklim di pengaruhi oleh sistem angin muson yang berubah arah

sesuai dengan kedudukan matahari terhadap bumi. Curah hujan rata-rata yang

jatuh di lokasi ini adalah 3.268 mm/tahun. Suhu rata-rata berada pada kisaran

280C. Musim kemarau yang dibawa oleh Angin Muson Timur jatuh pada bulan

Februari Agustus sedangkan musim penghujan yang bersamaan dengan

datangnya Angin Muson Barat jatuh pada bulan September Januari

(Pemda Kabupaten Langkat, 2009 ).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai