Penjajahan Jepang Di Indonesia
Penjajahan Jepang Di Indonesia
JEPANG DI
INDONESIA
RANGGA ANDIKA P.
XI MIPA 2 33
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
membahas dan memberi informasi mengenai penjajahan Jepang di
Indonesia.
C. Rumusan Masalah
1. Mengapa Jepang menjajah Indonesia?
2. Bagaimana Jepang masuk ke Indonesia?
3. Apa tujuan Jepang menjajah Indonesia?
4. Kebijakan apa yang dibuat Jepang untuk Indonesia?
5. Adakah perlawanan dari rakyat Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sistem Pemerintahan
Jepang di Indonesia menegakkan pemerintahan militer yang diperintah oleh
Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
2. Mendirikan beberapa organisasi dan perkumpulan.
Organisasi dan perkumpulan yang didirikan pemerintah Jepang di antaranya
adalah : Gerakan Tiga A, Putera, Jawa Hokokai, MIAI dan Masyumi.
Gerakan Tiga A Gerakan Tiga A didirikan pada bulan April 1942. Kantor
propaganda Jepang mendirikan Gerakan ini dengan semboyannya: Nippon
Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Cahaya Asia.
Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk untuk mengganti Gerakan Tiga
A. Gerakan yang didirikan pada tanggal 1 Maret 1943 ini dipimpin oleh
empat serangkai, yakni ( Soekarno, Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansyur,
dan Ki Hajar Dewantara.) Bagi Jepang, Putera dibentuk dengan tujuan untuk
memusatkan seluruh kekuatan masyarakat demi membantu usaha Jepang.
Jawa Hokokai Pada tahun 1944, Panglima Tentara Jepang di Jawa
menyatakan berdirinya Jawa Hokokai (Gerakan Kebaktian Jawa). Organisasi
ini dibentuk karena semakin menghebatnya perang di Asia dan Pasifik.
Kebaktian itu memiliki tiga dasar, yaitu: mengorbankan diri, mempertebal
persaudaraan, dan melaksanakan tugas untuk Jepang.
MIAI adalah singkatan dari Majelis Islam Ala Indonesia. MIAI secara
resmi didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pemimpin MIAI pertama adalah
K.H. Mas Mansyur dan Wondoamiseno.
3. Pengerahan pemuda
Jepang menyadari perlunya bantuan penduduk setempat dalam rangka
mempertahankan kedudukannya di kawasan Asia. Pada bulan April 1943,
pemerintah militer Jepang secara intensif mulai mengorganisir barisan
pemuda. Barisan pemuda ini berciri semi militer maupun militer. Tujuan
Jepang adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar mampu
mempertahankan tanah air Indonesia dari serangan pasukan Sekutu.
Berbagai barisan pemuda yang berbentuk semi militer, antara lain
Seinendan, Fujinkai, dan Keibodan.
Seinendan : adalah organisasi barisan pemuda yang dibentuk tanggal
9 Maret 1943. Tujuannya adalah mendidik dan melatih para pemuda agar
dapat mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri.
Fujinkai : Organisasi ini menghimpun kaum wanita untuk diberi latihan-
latihan militer.
Keibodan adalah organisasi barisan pembantu polisi.
Organisasi militer bentukan Jepang, yang termasuk ke dalam
organisasi militer bentukan Jepang adalah Heiho dan Peta.
Heiho adalah organisasi prajurit pembantu Jepang. Heiho dibentuk
pada bulan April 1943. Organisasi ini memberi kesempatan kepada pemuda
Indonesia untuk menjadi prajurit Jepang (baik angkatan darat maupun
angkatan laut).
PETA (Pembela Tanah Air) didirikan pada tanggal 3 Oktober 1945.
Pembentukan PETA ini juga sesuai dengan tuntutan perang yang semakin
mendesak.
4. Pengerahan tenaga kerja
Jepang juga membutuhkan bantuan tenaga untuk membangun sarana
pendukung perang, antara lain kubu pertahanan, jalan raya, rel kereta api,
jembatan, dan lapangan udara. Oleh karena itu, Jepang membutuhkan
banyak tenaga kerja. Pengerahan tenaga kerja itu disebut romusha.
5. Eksploitasi sumber kekayaan
- menyita perkebunan-perkebunan milik Belanda dan berbagai fasilitas
vital lainnya, seperti perusahaan listrik, telekomunikasi, transportasi, dan
lain-lain.
- rakyat dipaksa untuk bekerja di perkebunan yang memberikan hasil
bumi menguntungkan demi membiayai perang.
- Rakyat juga diwajibkan menyetor padi, jagung, dan ternak dalam
jumlah besar, demi memenuhi kebutuhan logistik di medan perang.
- Menanam pohon jarak untuk diambil minyaknya dan diproduksi
sebagai pelumas mesin-mesin perang.
Pemberontakan Blitar
Pada 14 Februari 1945, tentara PETA mulai memberontak. Namun, Jepang berhasil
memadamkan pemberontakan ini. Enam (atau delapan) orang dihukum mati dan
sisanya dipenjara antara tiga tahun hingga seumur hidup. Namun, Supriyadi tidak
dihukum mati. Ada yang mengatakan Supriyadi melarikan diri dan bersembunyi dari
Jepang dan tidak pernah ditemukan sesudahnya.
Zainal Mustafa
Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan
kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan
terhadap pendudukan penjajah. Ia selalu menyerang kebijakan politik
kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-
khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan
bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.
Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal
Mustofa bersama KH. Ruhiat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod,
dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut
rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka
ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara
Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah
tidak surut. Akhir Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai
Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama
ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama.
Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam
di penjara.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir
dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru
ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan
mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu
menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan
tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena
KH. Zaenal Mustofa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya,
pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, ia memperingatkan para
pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah
termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa
fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan
pandangannya itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin
memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap
rakyat.
Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei,
cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke
arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam
dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat. Sikap ini pernah ia
tunjukkan secara terang-terangan di muka Jepang. Pada waktu itu, semua
alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan
melakukan seikerei. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa
melakukan perintah itu, hanya KH. Zaenal Mustofa yang tetap
membangkang. Ia juga mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, yang hadir pada
waktu itu, bahwa perbuatan tersebut termasuk musyrik.
Menurutnya, orang-orang musyrik itu tidak perlu ditakuti, apalagi diikuti
perintahnya. Sebaliknya, mereka justeru harus diperangi dan dimusnahkan
dari muka bumi. Ia yakin bahwa dalam Islam hanya Allah Swt lah yang patut
ditakuti dan dituruti; Allah Swt selalu bersama-sama orang yang mau dekat
kepada-Nya dan selalu memberikan pertolongan dan kekuatan kepada
orang-orang yang mau berjuang membela agamanya. Ia berprinsip lebih
baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan seperti ini
senantiasa ditanamkan kepada para santrinya dan masyarakat Islam
sekitarnya. Ia juga menentang dan mengecam romusha, pengerahan tenaga
rakyat untuk bekerja dengan paksa.
Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan
bangsa, KH. Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan
terhadap Jepang pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-
mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian
melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga
militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan
tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal
Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa
bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak
silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi
makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah
Swt.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat
Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi
untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah
ditahan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi
tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang
dirampas.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta
agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya.
Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga
opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian
disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu,
pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai
25 Februari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri
bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir.
Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00)
datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah.
Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah
tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah
bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba.
Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustofa
memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum
musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para
santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih
besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil
menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini
dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.
Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang.
Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di
penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara
Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat
(kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan
dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal
Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan
seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam
pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang,
dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul
sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang
dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta
untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para
santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga
pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak
bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa
pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak
diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa
KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan
di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah
seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan
makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-
makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara
Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan
ke Sukamanah, Tasikmalaya.