Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

AKUNTANSI SYARIAH

IJAARAH

KELOMPOK IV
KELAS E
Agustina
Kasma Umar
Maulidya Iskandar
Muhammad Ikhsan
Muhammad Ilham
Suprianto
Nur Alia

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH PARE-PARE

2015
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim,

Assalamualaikum wr. wb.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat


hidayah dan naungan yang diberikan sehingga kami masih memiliki
kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini, kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah


akuntansi syariah, dimana kami sangat mengharapkan melalui makalah
ini, ada manfaat yang diperoleh yaitu terkait sewa-menyewa yang berada
di jalan Allah yang nantinya berguna untuk pengembangan ilmu
pengetahuan yang islami tentang kehidupan dalam bentuk kegiatan
muamalah. Adapun dalam makalah ini membahas tentang ijaarah.

Makalah ini masih terdapat kesalahan-kesalahan. Tapi tanpa


adanya kesalahan kita tidak dapat mengetahui kebenaran. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran agar menambah wawasan untuk
pembuatan makalah selanjutnya.

Pare-pare, 08 Desember 2015

penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i


DAFTAR ISI ........................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................ 2
D. Sistematika Penulisan ....................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijaarah .............................................................. 3
B. Dasar Hukum Ijaarah ......................................................... 4
C. Rukun dan Syarat Ijaarah .................................................. 6
D. Sifat Ijaarah dan Hukumnya .............................................. 13
E. Macam-Macam Ijaarah dan Hukumnya ............................. 14
F. Anggungjawab Ajir dan Gugurnya Upah Karena
Rusaknya Barang .............................................................. 15
G. Manfaat dan Resiko Yang Harus Diantisipasi ...................
H. Perselisihan Antara Paara Pihak Dalam Ijaarah ............... 18
I. Berakhirnya Akad Ijaarah ................................................... 19
J. Pengembalian Barang Sewaan ......................................... 21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 22
B. Saran ................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri
tanpa orang lain, masing-masing saling membutuhkan interaksi seperti
halnyaa tolong-menolong dan tukar-menukar untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa-menyewa,

2
pinjam-meminjam, atau suatu usaha yang lain yang bersifat pribadi
maupun umum.
Dalam kehidupaan bermasyarakat kita sering kali mengalami
masalah yang tidak dapat kita hindari. Kita sering lupa akan
kedudukan kita di dunia ini bahkan seringkali kita mengabaikan kitab
suci umat islam yang seharusnya menjadi pedoman hidup bagi umat
islam karena di dalamnya telah di atur dengan sedemikian rupa
tentang kehidupan dan tata cara beribadah baik itu, berhubungaan
dengan Allah SWT juga berhubungan dengan sesama umat manusia.
Bukan hanya aturan tentang kehidupan akhirat tapi ada juga aturan
tentang kehidupan dunia seperti muamalah. Muamalah bagian dari
rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dengaan
orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah
satunya adalah ijarah atau sewa-menyewa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijaarah?
2. Apa dasar hukum ijaarah?
3. Apa rukun dan syarat ijaarah?
4. Bagaimana sifat ijaarah dan hukumnya?
5. Apa macam-macam ijaarah?
6. Bagaimana tanggung jawab ajir dan gugurnya upah karena
rusaknya barang?
7. Apa manfaat dan resiko yang harus diantisipasi?
8. Apa saja perselisihan antara para pihak dalam ijaarah?
9. Bagaimana berakhirnya akad ijaarah?
10. Bagaimana pengembalian barang sewaan?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini yaitu diharapkan dapat:
1. Untuk mengetahui pengertian ijaarah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijaarah.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat ijaarah.
4. Untuk mengetahui sifat ijaarah dan hukumnya.
5. Untuk mengetahui macam-macam ijaarah dan hukumnya.
6. Untuk mengetahu tanggungjawab ajir dan gugurnya upah karena
rusaknya barang.
7. Untuk mengtahui manfaat dan resiko yang harus diantisipasi.
8. Untuk mengetahui perselisihan antara para pihak dalam ijaarah.

2
9. Untuk mengetahui berakhirnya akad ijaarah.
10. Untuk mengetahui pengembalian barang sewaan.

D. Sistematika penulisan
Dalam makalah ini terdapat tiga bab, diawali dengan bab
pendahuluan, bab pembahasan, dan yang terakhir bab penutup yang
berisi kesimpulan, dibawah ini adalah sistematika penulisannya:
BAB I Pendahuluan, diantaranya meliputi:
1. Latar belakang
2. Rumusan masalah
3. Tujuan
4. Sistematika penulisan
BAB II Pembahasan terkait ijaarah
BAB III Penutup berisikan kesimpulan dan saran

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijaarah
Kata ijarah berasal dari kata al-Ajr yang berarti kompensasi
(compensation), subtitusi (substitute), pertimbangan (consideration),
imbalan (return), atau counter value (al-iwad) (ayub, 2007 : 279). Ijarah
berate lease contract dan juga berarti hire contract. Dalam konteks
perbankan syariah, ijarah adalah suatu lease contract di bawah mana
suatu bank atau lemabaga keuangan menyewakan peralatan, sebuah
bangunan, barang-barang seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan
lain-lain kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan
biaya sewa yang sudah ditentukan sebelumnya secara pasti Sejarah
etimologi al-ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti Al
iwadh/penggantian, dari sebab itulah ats-Tsawabu dalam konteks
pahala di namai juga al-ajru/upah. Ijaarah artinya upah, sewa, jasa,
atau imbalan.
Adapun secara terminologi, para ulama fiqh pendapatnya,
antara lain :
1. Menurut Hanafiah
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
2. Menurut Malikiyah

3
Ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat
suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imblan yang
bukan bersal dari manfaat.
3. Hanabilah
Ijarah adalah suatu akad atas yang bisa sah dengan lafal ijarah dan
kara dan semacamnya.
4. Menurut Sayyid Sabiq,
Al-Ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil
manfaat dengan jalan memberi penggantian.
5. Menurut ulama syafiiyah
Al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu
manfaat yang di tuju, tertentu, bersifat mubah dan boleh di
manfaatkan, denan cara memberi imbalan tertentu.
6. Menurut Amir Syarifuddin
Al-ijarah secara sederhana dapat di artikan dengan akad atau
transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda
di sebut Ijarah Al-ain, seperti sewa-menyewa rumah untuk di
tempati. Bila yang menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari
tenaga seseorang di sebut ijarah ad-Dzimah atau upah-mengupah,
seperti upah mengetik skripsi. Sekalipun objeknya berbeda
keduanya dalam konteks fiqh di sebut al-ijarah.
Al-ijarah dalam bentuk sewa-menyewa maupun dalam
bentuk upah-mengupah merupakan muamalah yang telah di syriatkan
dalam islam. Hukum asalnya menurut Jumhur ulama adalah mubah
atau boleh di laksanakan sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan
oleh syara berdasarkan ayat al-quran, hadis-hadis Nabi, dan
ketetapan ijma Ulama.
Dari defenisi- defenisi tersebut diatas dapat dikemukakan
bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip diantara para
ulama dalam mengartikan ijarah atau sewa-menyewa. Dari definisi
tersebut dapat diambil intisari bahwa ijarah atau sewa-menyewa
adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, objek
sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu bukan barang. Al-ijarah

4
adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembyaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.
Adapun pengertian al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (IMB) adalah
sejenis perpaduan antara kontrak jual-beli dan sewa atau lebih
tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang dalam
transaksi jual dan kapan kepemilikan dipindahkan.

B. Dasar Hukum Ijaarah


1. Al-Quran
Sebagaimana firman Allah SWT :
a.Qs. Al-Baqarah (2) ayat 233:
Artinya: Dan jika kaamu ingin anakmu dissussukan oleh orang
lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembyaran
menurut yang patut. Bertakwalaah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allaah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
b.Qs. Az-Zukhruf (43) ayat 32:
Artinya: Apakah mereka yang membagi rahmat Tuhannya?
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
c. Qs. Ath-Thalaq (65) ayat 6:
Artinya: Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.
d.Qs. Al-Qashash (28)
Ayat 26
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
karena pada kata sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi
dapat dipercaya.
Ayat 27
Artinya: berkatalah dia (Syuaib): Sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini,

5
atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan
jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu.
Dan kamu insyaallah akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang baik.

2. As-Sunnah
a. Hadis Aisyah
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra istri Nabi
berkata: Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki
dari suku Bani Ad Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan masih
memeluk agama orang kafir Quraisy, Nabi dan Abu Bakar
kemudian menyerahkan kepadanya kenderaan mereka, dan
mereka mberdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua
Tsaur dengan kenderaan mereka setelah tiga hari pada pagi
hari selasa.(HR. Al-Bukhari)
b. Hadis Ibnu Abbas
Dari Ibnu Abbas ia berkata: Nabi berbekam dan beliau
memberikan kepada tukang bekam itu upahnya. (HR. Al-
Bukhari)
c. Hadis Ibnu Umar
Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah bersabda: Berikanlah kepada
tenaga kerja itu upahnya sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu
Majah)

Dari ayat-ayat Al-Quran dan beberapa hadist Nabi tersebut


jelaslah bahwa akad ijarah atau sewa-menyewa hukumnya dibolehkan
karena memang akad tersebut dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping Al-Quran dan sunnah, dasar hokum ijarah adalah
ijma. Sejak zaman sahabat sampai sekarang ijarah telah disepakati
oleh para ahli hokum islam, kecuali beberapa ulama yang telah
disebutkan di atas. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sangat
membutuhkan akad ini. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, ada
orang kaya yang memilki banyak rumah yang tidak ditempati. Di sisi
lain ada orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Dengan

6
dibolehkannya ijarah maka orang yang tidak memiliki tempat tinggal
bisa menempati rumah orang lain yang tidak digunakan dalam
beberapa waktu tertentu, dengan memberikan imbalan berupa uang
sewa yang disepakati bersama, tanpa harus membeli rumahnya.

C. Rukun dan Syarat Ijaarah


1. Rukun ijaarah
Menurut Hanafiah, rukun ijaarah hanya satu, yaitu ijab dan
qabul, yakni ungkapan atau pernyataan menyerahkan dan
persetujuan sewa-menyewa.
Lafal yang digunakan adalah lafal ijaarah, istijar, iktira dan
ikra. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun ijaarah itu ada
empat, yaitu:
a. Aqid, yaitu mujir(orang yang menyewakan) dan mustajir (orang
yang menyewa).
b. Shighat, yaitu ijab dan qabul
c. Ujra (uang sewa atau upah) dan,
d. Manfaat, baik dari manfaat suatu barang yang disewa atau jasa
dan tenaga dari orang yang bekerja.

2. Syarat-syarat ijaarah
Seperti halnya dalam akad jual beli, syarat-syarat ijaarah ini
juga terdiri atas empat jenis persyaratan, yaitu:
a. Syarat terjadinya akad (syarat iniqad).
Syarat terjadinyaa (akad iniqad) berkaitan dengan aqid, akad,
objek akad. Syarat yang berkaitan dengan aqid adalah berakal,
dan mumayyiz menurut Hanafiah, dan baligh menurut Syafi,iyah
dan Hanabilah. Dengan demikian, akad ijarah tidak sah apabila
pelakunya (mujir dan mustajir) gila atau masih dibawah umur.
Menurut Malikiyah, tamyiz merupakan syarat dalam sewa-
menyewa dan jual beli, sedangkan baligh merupakan syarat
untuk kelangsungan (nafadz).
b. Syarat nafadz (berlangsungnya akad).
Untuk kelangsungan akad (nafadz) akad ijaarah disyaratkan
terpenuhinya hak milik atau wilayah (kekuasaan). Apabila si
pelaku (aqid) tidak mempunyai hak kepemilikan aatau

7
kekuasaan (wilayah), seperti akad yang dilakukan oleh fudhuli,
maka akadnya tidak bisa dilangsungkan, dan menurut Hanafiah
dan Malikiyah statusnya mauquf (ditangguhkan) menunggu
persetujuan si pemilik barang. Akan tetapi, menurut Syafiiyah
dan Hanabilah hukumnya batal seperti halnya jual beli.

c. Syarat sahnya akad


Untuk sahnya ijarah harus dipenuhi beberapa syarat yang
berkaitan dengan aqid (pelaku), maqud alaih (objek), sewa atau
upah (ujra) dan akadnya sendiri. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Persetujuan kedua belah pihak, sama halnya jual beli.
Dasarnya adalah firman Allah dalam Surah An-Nisa(4) ayat
29 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2) Objek akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak
menimbulkan perselisihan. Apabila objek akad (manfaat)
tidak jelas, sehingga menimbulkan perselisihan, maka akad
ijarah tidak sah, karena dengan demikian, manfaat tersebut
tidak bisa diserahkan , dan tujuan akad tidak tercapai.
Kejelasan tentang objek akad ijarah bisa dilakukan dengan
menjelaskan:
a) Objek manfaat. Penjelasan objek manfaat bisa dengan
mengetahui benda yang disewakan.
b) Masa manfaat. Penjelasan tentaang masa manfaat
diperlukan dalam kontrak rumah tinggal beberapa bulan
atau tahun, kios atau kendaraan, misalnya berapa hari
disewa.

8
c) Jenis pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang dan
pekerja. Penjelasan ini diperlukan agar antara kedua
belah pihak tidak terjadi perselisihan.
3) Objek akad ijarah harus dapat dipenuhi, baik menurut hakiki
maupun syar,I. Dengan demikian, tidak sah menyewakan
sesuaatu yang sulit diserahkan secara hakiki, seperti
menyewakan kuda yang binal untuk dikendarai. Atau tidak
bisa dipenuhi secara syar,I, seperti menyewa tenaga wanita
yang sedang haid untuk membersihkan masjid, atau
menyewa dokter untuk mencabut gigi yang sehat, atau
menyewa tukang sihir untuk mengajar ilmu sihir.
4) Manfaat yang menjadi objek akad harus bermanfaat yang
dibolehkan oleh syara. Misalnya menyewa buku untuk
dibaca, dan menyewa rumah untuk tempat tinggal. Dengan
demikian, tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat
maksiat, seperti tempat pelacuran atau penjudian, atau
menyewa orang untuk membunuh orang lain, atau
menganiayanya karena dalam hal ini berarti mengambil
upah untuk perbuatan maksiat.
5) Pekerjaan yang dilakukan itu bukan fardu dan bukan
kewajiban orang yang disewa (ajir) sebelum dilakukannya
ijarah. Hal tersebut karena seseorang yang melakukan
pekerjaaan yang wajib dikerjakannya, tidak berhak
menerima upah atas pekerjaannya itu.
6) Orang yang disewa tidak boleh mengambil manfaat dari
pekerjaannyaa untuk dirinya sendiri. Apabila ia
memanfaatkan pekerjaan untuk dirinya maka ijarah tidak
sah. Dengan demikian, tidak sah ijarah atas perbuatan taat
karena manfaatnya untuk orang yang mengerjakan itu
sendiri.
7) Manfaat maqud alaih harus sesuai dengan tujuan
dilakukannya akad ijarah yang biasa berlaku umum. Apabila
manfaat tersebut tidak sesuai dengan tujuan dilakukannya

9
akad ijarah maka ijarah tidak sah. Misalnya menyewa pohon
untuk menjemur pakaian.

Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan dengan upah


(ujrah) adalah sebagai berikut:
1) Upah harus berupa mal mutaqawwin yang diketahui. Syarat
ini disepakati oleh para ulama. Syarat mal muataqawwin
diperlukan dalam ijarah, karena upah merupakan harga atas
manfaat, sama harga barang dalam jual beli. Sedangkan
syarat upah harus diketahui didasarkan pada hadits Nabi :
Dari Abi Said; bahwa sesungguhnya Nabi besabda:
Barangsiapa yang mwnyewa tenaga kerja, hendaklah ia
menyebutkan baginya upahnya.
2) Upah atau sewa tidak boleh sama dengan jenis manfaat
maqud alaih. Apabila upah atau sewa sama dengan jenis
manfaat barang yang disewa,maka ijarah tidak sah.
d. Syarat mengikatnya akad (syarat luzum)
Agar akad ijarah itu mengikat, diperlukan dua syarat:
1) Benda yang disewakaan harus terhindar dari cacat (aib)
yang menyebabkan terhalangnya pemanfaatan atas benda
yang disewa itu. Apabila terdapat suatu cacat (aib) yang
demikian sifatnya, maka orang yang menyewa (mustajir)
boleh memilih antara meneruskan ijarah dengan
pengurangan uang sewa dan membatalkannya. Misalnya
sebagian rumah yang akan disewa runtuh, kendaraan yang
dicarter rusak atau mogok. Apabila rumah yang disewa itu
hancur seluruhnya maka akad ijarah jelas harus fasakh
(batal) maqud alaih rusak total, dan hal itu menyebabkan
fasakh-nya akad.
2) Tidak terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad
ijarah. Misalnya udzur pada salah seorang yang melakukan
akad, atau pada sesuatu yang disewakan. Apabila terdapat
udzur, baik pada pelaku maupun pada mauqud alaih, maka
pelaku berhak membatalkan akad. Hanafiah membagi udzur

10
yang menyebabkan fasakh kepada tiga bagian yaaitu
sebagai berikut.
a) Udzur dari sisi mustajir (penyewa).
b) Udzur dari sisi mujir (orang yang menyewakan).
c) Udzur yang berkaitan dengan barang yang disewakan
atau sesuatu yang disewa.

Adapun syarat-syarat ijarah sebagaimana yang di tulis


Nasrun Haroen sebagai berikut :
a. Yang terkait dengan dua orang yang berakat. Menurut ulama
syafiiyah dan Hanabalah disyaratkan telah baliq dan berakal.
Oleh sebab itu, apabila orang yang belum dan tidak berakal,
seperti anak kecil dan orang gila ijarahnya tidak sah. Akan
tetapi, ulama Hanafiah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua
orang yang berakad itu tdk harus mencapai usia baliq. Oleh
karenanya anak yang baru mumayyis pun boleh melakukan
akad al-ijarah, hanya pengesahannya perlu persetujuan
walinya.
b. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya
melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang di antaranya
terpaksa melakukan akad ini, maka akad al-ijarah nya tidak sah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah
Q.S An-nisa:29, yang artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta kamu dengan cara yang bathil kecuali
melalui suatu pernigaan yang berlaku suka sama suka.
c. Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus di ketahui, sehingga
tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat
yang menjadi objek tidak jelas, maka akadnya tidak sah.
Kejelasan manfaat itu dapat di lakukan dengan menjelaskan
jenis manfaatnya dan penjelasan berapa lama manfaat itu di
tangan penyewanya.
d. Objek al-ijarah itu boleh di serahkan dan di gunakan secara
langsung dan tidak ada cacatnnya.Oleh sebab itu, para ulama
fiqh sepakat, bahwa tidak boleh mmenyewakan sesuatu yang

11
tidak boleh di serahkan dan di manfaatkan langsung oleh
penyewa. Misalnya, seseorang menyewa rumah, maka rumah
itu dapat langsung di ambil kuncinya dan dapat langsung boleh
ia manfaatkan.
e. Objek al-ijarah itu sesuatu yang di halalkan oleh syara. Oleh
sebab itu, para ulama fiqh sepakat mengatakan tidak boleh
menyewa seseorang untuk menyantet orang lain, demikian juga
tidak boleh menyewakan rumah untuk di jadikan tempat-tempat
maksiat.
f. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa,
misalnya menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri
penyewa atau menyewa orang yang belum haji untuk
menggantikan haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat
mengatakan bahwa akad sewa-menyewa seperti ini tidak sah,
karena shalat dan haji merupakan kewajiban penyewa itu
sendiri.
g. Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa di sewakan
seperti rumah, kendaraan, dan alat-alat perkantoran. Oleh
sebab itu tidak boleh di lakukan akad sewa-menyewa terhadap
sebatang pohon yang akan di manfaatkan penyewa sebagai
sarana penjemur pakaian. Karena pada dasarnya akan untuk
sebatang pohon bukan di maksudkan seperti itu.
h. Upah atau sewa dalam al-ijarah harus jelas, tertentu, dan
sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.

D. Sifat Ijarah dan Hukumnya


1. Sifat Ijarah
Ijarah menurut Hanafiah adalah akad yang lazim, tetapi
boleh di-fasakh apabila terdapat udzur, sebagaimana yang telah
diuraikan sebelum ini. Sedangkan menurut jumhur ulama, ijarah
adalah akad yang lazim (mengikat), yang tidak bisa di-fasakh
kecuali dengan sebab sebab yang jelas, seperti adanya aib (cacat)
atau hilangnya objek manfaat. Hal tersebut oleh karena ijarah
adalah akad atas manfaat, mirip dengan akad nikah. Disamping itu,

12
Ijarah adalah akad muawadhah, sehingga tidak bisa dibatalkan
begitu saja, sama seperti jual beli.
Sebagai kelanjutan dari perbedaan pendapat tersebut,
Hanafiah berpendapat bahwa Ijarah batal karena meninggalnya
salah seorang pelaku akad, yakni mustajir atau mujir. Hal itu
karena apabila akad Ijarah masih tetap maka manfaat yang dimiliki
oleh mustajir atau uang sewa yang di miliki oleh mujir berpindah
kepada orang lain (ahli waris) yang tidak melakukan akad, dan hal
ini tidak dibolehkan. Sedangkan menurut Jumhur ulama yang terdiri
atas Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah, Ijarah tidak batal karena
meninggalnya salah seorang pelaku akad, karena Ijarah
merupakan akad yang lazim (mengikat) dan akad muawadhah
sehingga tidak bisa batal karena meninggalnya salah satu pihak,
seperti jual beli.

2. Hukum Ijarah
Akibat hukum dari Ijarah yang shahih adalah tetapnya hak
milik atas manfaat bagi mustajir (penyewa), dan tetapnya hak milik
atas uang sewa atau upah bagi mujir (yang menyewakan). Hal ini
oleh karena akad ijarah adalah akad muawadhah, yang disebut
dengan jual beli manfaat.
Dalam ijarah fasidah, apabila mustajir telah menggunakan
barang yang di sewa maka ia wajib membayar uang sewa yang
berlaku (ujratul mitsli). Menurut Hanafiah, kewajiban membayar
ujratul mitsli berlaku apabila rusaknya akad ijarah tersebut karena
syarat yang fasid, bukan karena ketidak jelasan harga, atau tidak
menyebutkan jenis pekerjaannya. Dalam hal ijarah fasidah karena
dua hal yang di sebutkan terakhir ini, maka upah atau uang sewa
harus di bayar penuh. Menurut Imam Zufar dan Syafii, dalam ijarah
fasidah, upah atau uang sewa harus di bayar penuh, seperti halnya
dalam jual beli.

E. Jenis-jenis Ijarah dan Hukumnya


1. Macam-macam ijarah

13
a. Ijarah amal
Ijarah amal digunakan untuk memperoleh jasa dari
seseorang dengan membayar upah atas jasa yang diperoleh.
Pengguna jasa (employer) disebut mustajir dan pekerja disebut
ajir, dan upah yang dibyarkan kepada ajir disebut ujrah. Bahasa
inggris dari ujrah adalah fee. Sebagai contoh mengenai
ujrahnamal dapat digambarkan sebagai berikut. ABC Islamic
Bank mempekerjakan Agustina sebagai product manager
dengan gaji Rp 7.000.000. dengan kata lain, dalam perjanjian
ijarah tersebut Agustina adalah ajir dan gaji sebesar Rp
7.000.000 adalah ujrah. Dengan demikian pada ijarah amal
yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa adalah jasa.
b. Ijarah ain
Ijarah ain adalah jenis ijarah yang terkait dengan
penyewaan aset dengan tujuan untuk mengambil manfaat dari
aset itu tanpa harus memindahkan kepemilikan dari aset
itu.dengan kata lain, yang dipindahkan hanya usufruct atau
dalam bahasa Arab disebut manfaah. Ijarah ain dalam bahasa
Inggris tidak lain adalah term leasing. Dalam hal ini pemberi
sewa disebut mujir dan penyewa adalh mustajir dan harga
untuk memperoleh manfaah tersebut disebut ujrah. Dalam
perjanjian ijarh ain tidak terdapat klausul yang memberikan
pilihan kepada penyewa untuk membeli aset tersebut selama
masa sewanya atau di akhir masa sewanya. Pada ijarah ain
yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa adalah barang.
c. Ijarah walIqtina
Istilah al-ijarah wa iqtina adalah istilah yang lazim
digunakan di Indonesia, sedangkan di Malaysia digunakan
istilah al-ijarah thumma al-bai atau AITAB. Ijarah wa iqtina
muncul sebagai produk baru dalam perbankan syariah karena
prinsip syariah tidak melarang dilakukan perjanjian antara
pemberi sewa dan penyewa bahwa di akhir masa perjanjian
sewa, barang yang disewakan tersebut beralih menjaadi milik

14
penyewa dengan ketentuan penyewa harus membayar harga
beli atas barang tersebut.
Ijarah wa iqtina dahulunya tidak dikenal oleh ilmuan-
ilmuan Muslim tradisional sekalipun sebenarnya tidak terdapat
hal yang melanggar hukum (unlawful) pada penggabungan
dua konsep yang telah melembaga itu, yaitu lease dan option,
asalkan riba dihindarkan dan asalkan riba bukan merupakan
tujuan dari para pihak yang membuat perjanjian itu (shaleh,
1986:99)
Pada akhir masa perjanjian ijarah wa iqtina,
kepemilikan atas barang tersebut dapat beralih pada penyewa
(nasabah bank) apabilah nasabah bank yang bersangkutan
menggunakan hak opsinya untuk membeli barang itu. Namun
apabila nasabah bank tidak menggunakan hak opsinya, maka
kepemilikan barang itu tetap berada di tangan bank. Namun
dalam praktik di bank syariah, biasanya sejak awal nasabah
sudah mengikatkan diri untuk membeli barang tersebut atau
bank menghibahkannya kepada nasabah. Hal tersebut
tergantung pada perhitungan besarnya jumlah angsuran yang
dibayarkan. Hal ini juga didasarkan pada Fatwa DSN tentang
ijaarah muntahiya bittamlik, yang antara lain menyatakan:
1) Perjanjian untuk melakukan akad al-ijarah al-muntahiyah bi
al-tamlik harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani,
dan
2) Pihak yang melakukan ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik
harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad
pemindahan kepemilikan baik dengan jual-beli atau
pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah
selesai.
d. Ijarah musyarakah muntanaqisah
Di Indonesia juga dikenal jenis ijarah yang disebut
ijarah musyarakah muntanaqisah. Ini memungkinkan nasabah
bank untuk memiliki suatu aset dengan cara mencicil.

15
Metodenya sama dengan diminishing musyarakah. Dalam hal
ini yang terjadi adalah bahwa nasabah memerlukan jassa ijarah
musyarakah muntanaqisah tersebut karena nasabah hanya
memiliki sebagian dari dana yang diperlukaan untuk membeli
aet tersbut. Untuk menutupi kekurangannya, nasabah
mengharapkan bank menyediakan sisa dana untuk mencukupi
seluruh dana yang diperlukannya untuk membeli aset itu.
Caranya adalah dengan membuat perjanjian dengan
musyarakah dengan bank.
Makin besar cicilan dana yang dibayar nasabah kepada
bank, maka berarti makin besar pula modal yang diserahkan
oleh nasabah untuk menebus kepemilikan bank dalam aet
tersebut. Dengan demikian, kepemilikan bank pada aset
tersebut makin lama m akin kecil dan kepemilikan nasabah
makin lama makin besar. Padda akhirnya bank tidak lagi
memiliki bagian dari nilai aset itu dan dengan demikian aset
tersebut dengan sepenuhnya menjadi milik nasabah. Mettode
ini sangat cocok untuk keperluan pembiyaan pembelian rumah
dan untuk digunakan ssebagai alternatif cara mengganti credit
pembelian rumah yang diberikan secara konvensional.
e. Ijarah multijasa
Ijarah multijasa adalah pembiyaan yang diberikan oleh
bank kepada nasabah untuk memperoleh manfaat atas suatu
jasa, misalnya jasa berupa pelayanan pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan, dan keparwisataan. Ketentuan berkaitan
dengan ijarah multijasa didasarkan kepada Fatwa DSNMUI
No.44/DSNMUI/VII/2004 11 Agustus 2004 tentang
pembiayaan multijasa.
Menurut pasal 17 PBI No. 7/46/ PBI/2005, yaitu PBI
yang telah dicabut dengan PBI No.10/16/PBI/2008, kegiatan
menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan

16
ijarah untuk transaksi multijasa berlaku persyaratan paling
kurang sebagai berikut:
1) Bank dapat menggunakan akad ijarah untuk transaksi
multijasa dalam jasa keuangan antara lain dalam bentuk
pelayanan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan
keparawisataan.
2) Dalam pembiayaan kepada nasabah yang menggunakan
akad ijarah untuk transaksi multijasa, bank dapat
memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee.
3) Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan
dalam bentuk nominal bukan dalam bentuuk persentase.
Menurut Fatwa DSN-MUI No. 44/ DSN-MUI/VII/2004
tersebut, ketentuan dari pembiyaan multiijasa adalah
sebagai berikut:
1) Pembiyaan multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan
menggunakan akad ijarah atau kafalah.
2) Dalam hal LKS menggunaakan akad ijarah, maka harus
mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.
3) Dalam hal LKS menggunakan akad kafalah, maka harus
mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa kafalah.
4) Dalam kedua pembiayaaan multijasa tersebut, LKS dapat
memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee.
5) Besar ujrah atau fee harus disepakaati di awal dan
dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk
persentase.
Berdasarkan Fatwa DSN dan ketentuan PBI tersebut,
pembiyaan ijarah multijasa dijalankan oleh bank syariah
dengan prosedur sebagai berikut:
1) Pelakssanaan ijarah multijasa dituangkan dalam akad ijarah
dengan objek manfaat atas suatu jasa.
2) Bank diperkenankan memperoleh imbalan jasa atau fee atas
jasa yang diberikan.
3) Besarnya imbalan jasa atau fee disepakata di awal.

17
Dilihat dari segi objeknya, Ijarah dapat di bagi menjadi dua
macam: yaitu ijarah yang bersifat manfaat (ijarah ain) dan yang
bersifat pekerjaan (ijarah amal).
a. Ijarah yang bersifat manfaat di sebut juga sewa-menyewa.
Dalam ijarah bagian pertama ini, objek akadnya adalah
manfaat dari suatu benda. Umpamanya, sewa-menyewa
rumah, toko, kendaraan, pakaian (pengantin) dan perhiasan.
b. Ijarah yang bersifat pekerjaan di sebut juga upah-mengupah.
Dalam ijarah bagian ke dua ini, objek akadnya adalah amal
atau pekerjaan seseorang. Seperti buruh bangunan, tukang
jahit, tukang sepatu, dan lain-lain, yaitu ijarah yang bersifat
kelompok (serikat). Ijarah yang bersifat pribadi juga dapat di
benarkan seperti menggaji pembantu rumah, tukang kebun,
dan satpam.
2. Hukum ijarah
a. Hukum ijarah atas manfaat (sewa-menyewa)
Akad sewa-menyewa dibolehkan atas manfaat yang
mubah, seperti rumah untuk tempat tinggal, toko dan kios untuk
tempat berdagang, mobil untuk kendaraan atau angkutan,
pakaian dan perhiasan untuk dipakai. Adapun manfaat yang
diharamkan maka tidak boleh disewakan, karena barangnya
diharamkan. Dengan demikian, tidak boleh mengambil imbalan
untuk manfaat yang diharamkan ini, seperti bangkai dan darah.
1) Cara menetapkan hukum akad ijarah
Menurut Hanafiah dan Malikiyah, ketetapan hukum
akad ijarah (sewa-menyewa) berlaku sedikit demi sedikit
atau setahap demi setahap, sesuai dengan timbulnya objek
akad yaitu manfaat . hal itu karena manfaat dari suatu benda
yang disewa tidak bisa dipenuhi sekaligus, melainkan sedikit
demi sedikit. Akan tetapi menurut Syafi;iyah dan Hanabilah,
ketetapan hukum akad ijarah itu berlaku secara kontan
sehingga masa sewa dianggap seolah-olah benda yang
tampak.
a) Hubungan antara uang sewa dengan akad.

18
b) Penyerahan barang yang disewakan setelah akad.
c) Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan datang
2) Cara memanfaatkan barang sewaan
a) Sewa rumah, toko, dan semacamnya
Memanfaatkan sesuai kehendak asalkan tidak
menempatkan barang-barang atau alat-alat berat yang
dapat merusak dan membebani bangunan yang disewa.
b) Sewa tanah
Yaitu menanami dengan tujuan yang sesuai dengan
yang dijelaskan.
c) Sewa kendaraan
Sewa kendaraan harus memperhatikan waktu dan
tempat karena akan mempengaruhi barang yang disewa.

F. Tanggungjawab Ajir/ Orang yang Digaji/ Upah dan Gugurnya Upah


Karena Rusaknya Barang
1. Tanggung jawab Ajir
Pada dasarnya semua yang di pekerjakan untuk pribadi dan
kelompok (serikat), harus mempertanggungjawabkan pekerjaan
masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka
di lihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian atau
kesengajaan atau tidak? Jika tidak, maka tidak perlu di minta
penggantinya dan jika ada unsur kelalaian atau kesengajaan, maka
dia harus mempertanggung jawabkannya, apakah dengan cara
mengganti atau sanksi lainnya.
Para ulama mazhab empat sepakat bahwa ajir khas tidak di
bebani ganti kerugian karena kerusakan barang yang di serahkan
kepadanya yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal tersebut di
karenakan ia sebagai pemegang amanah seperti wakil dan
mudharib. Adapun Ajir musytarak yang berhak menerima upah
karena pekerjaannya. Bukan karena dirinya, para ulama berbeda
pendapat:
Menurut Imam Abu Hanifah, Zufar,Hasan bin Zayyad,
Hanabilah, dan Syafii berpendapat bahwa apabila kerusakan itu
bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian, maka para pekerja

19
itu tidak di tuntut ganti rugi kecuali apabila tindakannya melampaui
batas atau teledor.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan serta Ahmad
berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut baik yang sengaja atau tidak
Menurut Mazhab Maliki sama dengan Abu Yusuf dan
Muhammad Bin Hasan, yaitu segala kerusakan baik yang di
sengaja maupun tidak sengaja menjadi tanggung jawab pekerja itu
dan wajib ganti rugi
Pendapat tersebut di dasarkan kepada hadis Nabi yang
artinya : orang yang memegang harus bertanggung jawab terhadap
apa yang di ambilnya sampai ia menunaikannya (memberikannya).
Berkata Ibnu Basyir sampai barang tersebut di berikan. (HR. Imam
Ahmad dalam musnadnya).

2. Perubahan dari amanah menjadi tanggung jawab


Sesuatu yang berada di tangan Ajir, seperti kain pada
seorang penjahit, menurut Hanafiah dan ulama yang sependapat
dengan beliau, merupakan amanah di tangan ajir. Akan tetapi,
amanah tersebut akan berubah menjadi tanggung jawab (dhaman)
apabila terjadi hal-hal berikut.
a. Ajir tidak menjaga barang tersebut dengan baik.Dalam hal ini
apabila barang tersebut rusak atau hilang, maka ia (ajir) wajib
menggantinya.
b. Ajir melakukan perbuatan yang merusak barang dengan
sengaja. Dalam hal ini ajir, baik khas maupun musytarak wajib
mengganti barang yang di rusaknya itu. Apabila kerusakan
barang bukan karena kesengajaan, dan hal tersebut di lakukan
oleh ajir khas maka para ulama sepakat tidak ada penggantian
kerugian. Akan tetapi, apabila hal itu di lakukan oleh ajir
musytarak,menurut Abu Hanifah dan kedua muridnya, ia harus
mengganti kerugian. Sedangkan menurut syafiiyah dan
Zufar,ajir tidak di bebani ganti kerugian,selama bukan karena
kelalaian atau bukan karena kesengajaan.

20
c. Mustajir menyalahi syarat-syarat mujir, yakni musta,jir
menyalahi pesanan mujir, baik dalam jenis barang, kadar atau
sifatnya, tempat atau waktunya. Misalnya menyewa kendaraan,
berat bebannya melebihi yang di sepakati, misalnya yang di
sepakati satu ton, kenyataan yang di angkut dua ton sehingga
kendaraan menjadi rusak.
3. Gugurnya upah karena rusaknya barang
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi
ajir, apabila barang yang ada di tangannya rusak atau hilang.
Menurut Syafifiyah dan Hanabilah , apabila ajir bekerja di tempat
yang di miliki oleh penyewa atau di hadapannya maka ia tetap
memperoleh upah, karena barang tersebut ada di tangan penyewa
(pemilik). Sebaliknya, apabila barang tersebut ada di tangan
ajir,kemudian barang tersebut rusak atau hilang, maka ia (ajir) tidak
berhak atas upah kerjanya. Ulama Hanafiah hampir sama
pendapatnya dengan syafiiyah. Hanya saja pendapat mereka di
perinci sebagai berikut.
a. Apabila barang ada di tangan ajir, maka terdapat dua
kemungkinan.
1) Apabila pekerjaan ajir sudah kelihatan hasilnya atau
bekasnya pada barang, seperti jahitan, maka upah harus di
berikan dengan di serahkannya hasil pekerjaan yang di
pesan. Apabila barang rusak di tangan ajir sebelum di
serahkan maka upah menjadi gugur, karena hasil pekerjaan
yang di pesan, yaitu baju yang di jahit tidak di serahkan,
sehingga upah sebagai imbalannya juga tidak di berikan.
2) Apabila pekerjaan ajir tidak kelihatan bekasnya pada barang,
seperti mengangkut barang, maka upah harus di berikan
saat pekerjaannya telah selesai di laksanakan, walaupun
barang tidak sampai di serahkan kepada pemiliknya. Hal ini
di karenakan imbalan yaitu upah mengimbangi pekerjaan,
sehingga apabila pekerjaan telah selesai maka otomatis
upah harus di bi bayar.

21
b. Apabila barang ada di tangan mustajir, dimana ia bekerja
ditempat penyewa (mustajir), maka ia (ajir) berhak menerima
upah setelah menyelesaikan pekerjaannya. Apabila
pekerjaannya tidak selesai seluruhnya, melainkan hanya
sebagian saja maka ia berhak menerima upah sesuai dengan
kadar pekerjaan yang telah di selesaikan. Sebagai contoh dapat
dikemukakan, apabila seseorang disewa untuk membangun
sebuah kamar dirumahnya, dan ia hanya mengerjakan sebagian
dari bangunan tersebut maka ia (orang yang di sewa) berhak
menuntut upah atas kadar pekerjaan yang di selesaikannya.

G. Manfaat Dan Resiko Yang Harus Diantisipasi


Manfaat dari transaksi al-ijarah untuk bank adalah keuntungan
sewa dan kembalinya uang pokok. Adapun resiko yang mungkin terjadi
dalam al-ijarah adalah sebgai berikut.
1. Default; nasabah tidak membayar cicilan dengaan sengaja
2. Rusak; aset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya
pemeliharaan bertambah, terutama bila disebutkan dalam kontrak
bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank.
3. Berhenti; nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau
membeli aset tersebut. Akibatnya, bank harus menghitung kembali
keuntungan dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.
H. Perselisihan Antara Pihak Dalam Ijarah
Apabila para pihak dalam akad ijarah berselisih tentang kadar
manfaat atau besarnya upah/uang sewa yang diterima, sedangkan
ijarahnya shahih maka adakalanya perselisihan tersebut terjadi
sebelum di penuhinya manfaat dan adakalanya setelah manfaat atau
jasa tersebut di terima. Apabila perselisihan terjadi sebelum manfaat di
terima maka ke dua pihak hendaknya bersumpah satu terhadap yang
lainnya. Hal ini di dasarkan pada hadis Nabi yang di riwayatkan oleh
Ashhab As-Sunan, Ahmad, dan Syafii bahwa Nabi bersabda yang
artinya: Apabila dua orang yang melakukan jual beli berselisih
pendapat, maka keduanya bersumpah dan saling mengembalikan.

22
Meskipun hadis ini membicarakan masalah jual beli, namun
karena ijarah merupakan salah satu jenis jual beli maka ketentuan
yang ada dalam hadis tersebut berlaku juga untuk akad ijarah. Dengan
demikian, apabila mereka bersumpah maka ijarah menjadi batal.
Apabila perselisihan terjadi setelah penyewa menggunakan
sebagian dari manfaat barang yang di sewanya, misalnya ia telah
menempati rumah yang di sewa untuk beberapa waktu, maka yang di
terima adalah ucapan penyewa yang di perkuat dengan sumpahnya,
lalu keduanya saling bersumpah dan ijarah batal untuk sisa
manfaatnya. Hal ini karena akad atas manfaat berlaku sedikit demi
sedikit, sesuai dengan timbulnya manfaat. Dengan demikian, setiap
bagian dari manfaat merupakan objek akad yang berdiri sendiri,
sehingga masa sewa yang tersisa juga merupakan akad yang mandiri.

I. Berakhirnya Akad Ijarah


Akad ijarah dapat berakhir karena hal-hal berikut ini :
1. Meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Ini
menurut pendapat Hanafiah.Sedangkan menurut Jumhur
ulama,kematian salah satu pihak tidak mengakibatkan fasakh
atau berakhirnya akad ijarah.Hal tersebut di karenakan ijarah
merupakan akad yang lazim, seperti halnya jual beli, di mana
mustajir memiliki manfaat atas barang yang di sewa dengan
sekaligus sebagai hak milik yang tetap, sehingga bisa berpindah
kepada ahli waris.
2. Iqalah, yaitu pembatalan oleh kedua belah pihak. Hal ini karena
ijarah adalah akad muawadhah (tukar- menukar) ,harta dengan
harta sehingga memungkinkan untuk di lakukan pembatalan
(iqalah) seperti halnya jual beli.
3. Rusaknya barang yang di sewakan, sehingga ijarah tidak
mungkin untuk di teruskan.
4. Telah selesainya masa sewa, kecuali ada udzur. Misalnya sewa
tanah untuk di tanami, tetapi ketika masa sewa sudah
habis,tanaman belum bisa di panen. Dalam hal ini ijarah di
anggap belum selesai.

23
Menurut Al-Kasani dalam kitab al-Badaaiu-Shanaiu,
menyatakan bahwa akad al-ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai
berikut :

1. Objek al-ijarah hilang atau musnah seperti, rumah yang di


sewakan terbakar atau kendaraan yang di sewa hilang.
2. Tenggang waktu yang di sepakati dalam akad ijarah telah
berakhir. Apabila yang di sewakan itu rumah, maka rumah itu di
kembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang di sewa itu
jasa seseorang maka orang tersebut berhak menerima
upahnya.
3. Wafatnya salah seorang yang berakat.
4. Apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti, seperti rumah
yang di sewakan di sita negara karena terkait adanya utang,
maka akad ijarahnya batal.

Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq,al-ijarah akan menjadi


batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut.
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan
penyewa.
2. Rusaknya barang yang di sewakan, seperti ambruknya rumah,
dan runtuhnya bangunan gedung.
3. Rusaknya barang yang di upahkan, seperti bahan baju yang di
upahkan untuk di jahit.
4. Telah terpenuhinya manfaat yang di akadkan sesuai dengan
masa yang telah di tentukan dan selesainya pekerjaan.

J. Pengembalian Barang sewaan


Menurut Sayyid Sabiq jika akad al-ijarah tealah berakhir,
penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang
itu berbentuk barang yang dapat dipindah (barang bergerak), seperti
kendaraan, binatang, dan sejenisnya, ia wajib menyerahkannya
langsung kepada pemiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak
dapat berpindah (barang yang tidak dapat bergerak, seperti rumah,
tanah, bangunan, ia berkewajiban menyerahkan kepada pemiliknya

24
dalam keadaan kosong, seperti keadaan semula. Madzhab Hambali
berpendapat bahwa ketika al- ijarah telah berakhir penyewa harus
melepaskan baranng sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan
untuk menyerah- terimahkannya seperti, barang titipan. Selanjutnya,
mereka juga berpendapat bahwa setelah berakhirnya masa akad al-
ijarah dan tidak terjadi kerusakan yang tanpa disengaja, maka tidak
ada kewajiban menanggung bagi penyewa.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah etimologi al-ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti
Al iwadh/penggantian, dari sebab itulah ats-Tsawabu dalam konteks
pahala di namai juga al-ajru/upah. Ijaarah artinya upah, sewa, jasa,
atau imbalan.
Adapun dasar hokum ijarah yaitu Al-Quran dan As-Sunah. Di
samping Al-Quran dan sunnah, dasar hokum ijarah adalah ijma.
Menurut Hanafiah, rukun ijaarah hanya satu, yaitu ijab dan qabul,
yakni ungkapan atau pernyataan menyerahkan dan persetujuan
sewa-menyewa.
Lafal yang digunakan adalah lafal ijaarah, istijar, iktira dan ikra.
Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun ijaarah itu ada empat, yaitu,
Aqid, yaitu mujir(orang yang menyewakan) dan mustajir (orang yang
menyewa),Shighat, yaitu ijab dan qabul,Ujra (uang sewa atau upah)
dan Manfaat, baik dari manfaat suatu barang yang disewa atau jasa
dan tenaga dari orang yang bekerja.
1. Syarat-syarat ijaarah
Seperti halnya dalam akad jual beli, syarat-syarat ijaarah ini
juga terdiri atas empat jenis persyaratan, yaitu:
a. Syarat terjadinya akad (syarat iniqad).
b. Syarat nafadz (berlangsungnya akad).
c. Syarat sahnya akad
d. Syarat mengikatnya akad (syarat luzum)
Sifat Ijarah, Ijarah menurut Hanafiah adalah akad yang lazim,
tetapi boleh di-fasakh apabila terdapat udzur,sebagaimana yang telah
diuraikan sebelum ini.Sedangkan menurut jumhur ulama, ijarah
adalah akad yang lazim (mengikat),yang tidak bisa di-fasakh kecuali

26
dengan sebab sebab yang jelas,seperti adanya aib (cacat) atau
hilangnya objek manfaat.Hal tersebut oleh karena ijarah adalah akad
atas manfaat,mirip dengan akad nikah.Disamping itu,Ijarah adalah
akad muawadhah,sehingga tidak bisa dibatalkan begitu saja,sama
seperti jual beli.
Di lihat dari segi objeknya, ijarah dapat di bagi menjadi dua
macam: yaitu ijarah yang bersifat manfaat dan yang bersifat
pekerjaan.
Apabila para pihak dalam akad ijarah berselisih tentang kadar
manfaat atau besarnya upah/uang sewa yang di terima, sedangkan
ijarahnya shahih maka adakalanya perselisihan tersebut terjadi
sebelum di penuhinya manfaat dan adakalanya setelah manfaat atau
jasa tersebut di terima.
Akad ijarah dapat berakhir karena hal-hal berikut ini :
b. Meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad.
c. Iqalah,
d. Rusaknya barang yang di sewakan, sehingga ijarah tidak
mungkin untuk di teruskan.
e. Telah selesainya masa sewa, kecuali ada udzur.

B. Saran

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu,

DAFTAR PUSTAKA

1. Ismail. 2011. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana


2. Shiddig, Sapiudin, Ghufron Ihsan, Abdul Rahman Ghazaly. 2010.
Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana
3. Wardi, Ahmad. 2004. Fiqih Muamalah. Jakarta: Amsah
4. Ali, Hasan Muhammad, 2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam
Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Husada

27
5. Nurhayati, Sri Wasila, 2014. Akuntansi Syariah di Indonesia.
Jakarta: Selemba Empat
6. Antonio, Muhammad Syafi,I, 2001.Bank Syariah. Jakarta: Gema
Insani
7. Yaya Rizal, Martawireja, Ahim Abdurahim, 2013. Akuntansi
Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat

28

Anda mungkin juga menyukai