Anda di halaman 1dari 5

BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

1. Kasus
Seorang wanita berumur 52 tahun dirawat di rumah sakit C akibat tumor
ganas yang dideritanya dengan bentuk wajah yang awalnya begitu cantik
berubah menjadi tidak normal, akibat dari penyakit tersebut dia meminta
untuk dilakukan Euthanasia karena sudah tidak sanggup menahan
penderitannya.

CURAH GAGASAN (BRAINSTORMING)

1. Coba ajukan sebanyak mungkin pertanyaan yang muncul setelah membaca


deskripsi kasus diatas!
a. Apa penyebab dari tumor ganas?
b. Apa saja dampak dari tumor ganas, selain merusak wajah?
c. Apakah tumor ganas bisa disembuhkan, dengan cara bagaimana?
d. Berapa lama tumor ganas dapat mengubah bentuk wajah?
e. Bagaimana peran keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang
menginginkan euthanasia?

2. Coba saudara identifikasi kata kunci yang mendukung sesuai kasus tersebut!
a. Wanita
b. Berumur 52 tahun
c. Dirawat
d. Rumah sakit C
e. Penyakit Tumor ganas
f. Bentuk wajah cantik
g. Bentuk wajah tidak normal
h. Euthanasia
i. Tidak sanggup menahan penderitaanya

PERTANYAAN UNTUK ANALISIS KASUS

1. Apa masalah legal etis pada kasus pasien diatas yang tepat?
Kalo misalkan sampai dilakukan oleh tim kesehatan (dokter & perawat)
Masalah Legal : Malpraktek
Masalah Etis : Veracity (mengatakan kebenaran) non maleficence (tidak
menyebabkan bahaya bagi klien baik disengaja maupun tidak)

2. Produk hukum apa yang terkait dengan kasus diatas?


Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk
undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah
euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan
atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya
yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran
pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.

Pasal 304 KUHP


Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan,sedang ia
wajib memberikan kehidupan,perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku
atasnya atau karena menurut perjanjian,dihukum penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak empat ratus ribu rupiah.
Catatan.
Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman pidananya lebih tinggi
apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia seperti yang diatur dalam pasal 306 KUHP ayat
2 Pasal 304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam bab XV KUHP tentang
meninggalkan orang yang perlu ditolong.
3. Pasal 306 KUHP
Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 mengakibatkan orang mati,sitersalah itu
dihukum penjarapaling lama 9 tahun.
4. Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan
nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk
membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman
hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui
oleh dokter, yaitu:
5. Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara
selama-lamanya lima belas tahun.
6. Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum,
karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur
hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
7. Pasal 359 KUHP:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan
untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
8. Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan
itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut,
maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia
Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu
setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan
keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi,
tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian
halnya terhadap masalah euthanasia ini.

Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena hal ini menolak kedaulatan Allah
atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia dapat menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti
kita ketahui bahwa Allah yang menciptakan manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga
yang berhak untuk menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri.

Sering banyak orang menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik unutuk dilakukan karena merupakan
perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata keliru, sebab tidak mungkin Tuhan mengajarkan
manusia untuk saling mengasihi bila pada akhirnya manusia jualah yang membunuh mereka, jika itu kita tetap
lakukan maka kita sama dengan orang yang tidak percaya Tuhan.
Jika kita memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan mengtuhankan diri kita sendiri
sebagai Tuhan yang dapat menentukan hidup atau matinya orang ini. Ini merupakan tindakan dan pola pikir
yang salah dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab seperti yang kita ketahui bahwa setiap manusia tidak
memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan
yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.

Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu keluarga merasakan
ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si penderita dan membiarkannya hidup hanyalah
membuang-buang uang saja. Apakah nilai kehidupan ini bisa dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati
seseorang tidak dapat diukur dengan uang, karena kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau apapun juga,
uang itu berasal dari hidup kita dan kita yang menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan musnah karena
dipakai atau digunkan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita didunia ini untuk hidup bukan untuk mati.

Seseorang yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya tidak pernah ingin
menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga ingin melakukan euthanasia, maka keputusan ini hanya
akan mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Karena ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati, dan
orang-orang sekitarnya lebih ingin ia untuk mati, maka pasien tersebut akan merasa tertolak oleh keluarga dan
kondisinya akan semakin parah karena depresi. Sebenarnya, jika memang merasa kasihan, tindakan kasihan itu
tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena kasih sayang itu bukan dengan cara membunuh.

Euthanasia ini dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang fungsinya menunjang
kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang tersebut harus dilepas dari pasien kalau
kehidupannya bisa didukung dengan alat tersebut? Alat-alat yang dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati
dan itu sama saja dengan membunuhnya, sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu masih
menunjang diri pasien tersebut untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah sakit yang sering kali menunda tindakan
penyembuhan jika administrasinya belum selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia, karena
euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan sakit, sedangkan penundaan
tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah bertujuan untuk memberikan kematian yang nyaman.
Masalahnya disini adalah dokter belum bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada
didepannya, jadi selagi pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit, pasien masih tanggungan keluarga.
Untuk mengurangi hal-hal seperti ini, pemerintah Indonesia harus semakin ketat terhadap peraturan hukum
yang terdapat pada pasal 304 dan 344 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat administrasi yang belum
selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang. Seharusnya, administrasi bisa dilakukan
setelah pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Jadi menurut kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak bermoral. Jika
euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa tidak seorang pun yang dapat
menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan tersebut sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia
dilakukan dengan alasan untuk mengurangi beban penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak
mampu, tentu saja hal ini melanggar hak asasi si pasien. Pengakhiran kehidupan tanpa sepengetahuan pasien
sudah termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan. Sesuai dengan sumpahnya, seorang dokter
seharusnya berusaha untuk mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir kesanggupannya. dalam
kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus mengerahkan kepandaian dan
kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tetapi tidak dengan cara mengakhiri
hidup si pasien.

Anda mungkin juga menyukai