Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN GANGGUAN

SISTEM PERKEMIHAN : BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)


DI RUANG BEDAH
RSPAD GATOT SUBROTO

Algung Yosinta Laim

18160000086

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU

2017

1. Pengertian
Beningn Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormone prostat (Yuliana Elin,
2011). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai pembesaran
kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung kemih, yang
menghambat aliran urin, serta menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare,
2003).Secara patologis, BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel
stroma dan epitelia pada bagian periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel stroma
dan epitelia ini disebabkan adanya proliferasi atau gangguan pemrograman kematian
sel yang menyebabkan terjadinya akumulasi sel (Roehrborn, 2011). Hiperplasia
prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan (Price & Wilson,
2006).

2. Etiologi
IAUI (2003) menjelakan bahwa terdapat banyak faktor yang berperan dalam
hiperplasia prostat, seperti usia, adanya peradangan, diet, serta pengaruh hormonal.
Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi prostat untuk mensintesis protein faktor
pertumbuhan, yang kemudian memicu proliferasi sel prostat. Selain itu, pembesaran
prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya proses apoptosis. Roehrborn
(2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar bukan hanya karena
meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya kematian sel. Dengan
bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosterone esterogen
karena produksi testosterone menurun dan terjadi konversi testosterone menjadi
esterogen pada jaringan ediposa diperifer karena proses pembesaran prostat terjadi
secara perlahan-lahan, efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan (Wimde Jongetal,
2005).

3. Manifestasi Klinis
- Pasien BPH dapat menunjukkan berbagai macam tanda dan gejala. Gejalah
BPH berganti-ganti dari waktu-kewaktu dan mungkin dapat semakin parah,
menjadi stabil, atau semakin buruk secara spontan.
- Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua kategori: obstruktif (terjadi
ketika faktor dinamik dan/atau faktor static mengurangi pengosongan kandung
kemih) dan iritatif (hasil dari obstruksi yang sudah berjalan laa pada leher
kandung kemih) (Yuliana Elin, 2011)

Kategori keparahan BPH berdasarkan tanda dan gejalah

Keparahan penyakit
Kekhasan tanda dan gejala
Asimtomatik
Kecepatan urinary puncak <10mL/s
Ringan
Volume urin residual setelah pengosongan >25-50 mL
Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Senua tanda di atas ditambah obstruktif penhilang
Sedang gejala dan iritatif penghilang gejala (tanda dari detrusor
yang tidak stabil)

Semua yang ada di atas ditambah satu atau dua lebih


Parah
komplikasi BPH

Keterangan: BUN: Blood Urea Notrogen

Jenis penanganan pada pasien dengan tumor prostat tergantung pada berat gejala
kliniknya. Berat derajat klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan
pada colok dubur dan sisa volume urin. Seperti yang tercantum dalam bagian
berikut:

Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan


penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total.

4. Anatomi Fisiologis
1 Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan berorientasi di
bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak tepat diatas fasia profunda
dari diafragma urogenital. Permukaan anteriior mengarah pada simfisis dan
dipisahkan jaringan lemak serta vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior
memisahkan jaringan prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya
dipisahkan dari rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan
ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis
terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior
1 buah, lobus lateral 2 buah. Prostat dikelilingi kapsul yang kurang lebih
berdiameter 1 mm terdiri dan serabut fibromuskular yang merupakan tempat
perlekatan ligamentum pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5
lobus : lobus anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari jaringan
glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona besar: sentral
(menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan transisional (menempati 5%).
Perbedaan zona-zona ini penting secara klinis karena zona perifeal sangat sering
sebagai tempat asal keganasan, dan zona transisional sebagai tempat asal
benigna prostat hiperplasia.
Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat melalui
potongan sagital, koronal dan koronal obliq yaitu :
a. Stroma fibromuskular anterior
Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan anterior
prostat. Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran otot polos disekitar
urethra proksial pada leher buli, dimana lembaran ini bergabung dengan spinkter
interna dan otot detrusor dari tempat dimana dia berasal. Dekat apeks otot polos
ini bergabung dengan striata yang mempunyai peranan sebagai spinkter
eksterna.
b. Zona perifer
Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-67 % dari
seluruh jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal dari zona ini.
c. Zona Sentral
Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan
dibelakang verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral dan zona
perifer berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.
d. Zona transisional
Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik pertemuan
urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh massa prostat. Pada
zona ini asiner banyak mengalami proliferasi dibandingkan ductus periurethra
lainnya.

2 Fisiologi
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan mulai
tumbuh pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar ini mencapai
ukuran makasimal pada usia 20 tahun dan tetap dalam kuran ini sampai usia
mendekati 50 tahun.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan
bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan
koagulasi serta fibrinolin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar
prostat akan berkontraksi bersama dengan vas deferens dan cairan dari prostat
keluar bercampur dengan segmen yang lainnya.
5. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa
pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung
memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga
terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher
vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini
dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat
dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia
dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

6. Pathway
Terlampir
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis :
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.

b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada
BPH dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan,
kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan
colok dubur.
b) Medikamentosa
Mengharnbat adrenoreseptor
Obat anti androgen
Penghambat enzim -2 reduktase
Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.

Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian
bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara
skrotum dan rektum.
Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis
dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian
bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker
prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

8. Fokus Pengkajian Keperawatan


Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.
Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan
oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi
sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan
volume cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari
tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

3. Eliminasi
eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan
preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin
berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia,
disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena
tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi
drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi
warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah,
perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap
dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan
terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi
prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan
pola makan dan makanan.
4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan
berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang
utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul
tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
6. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak
luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari
segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan
adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam
(pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan
juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran
perkemihannya.
7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
8. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi
BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin,
BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada
postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari
perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

9. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agent injuri fisik
2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
3. Cemas berhubungan dengan status kesehatan
Daftar Pustaka

IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH : Indonesia

Mansjoer. (2000). Kapita selekta kedokteran, Edisi Jilid 2, Media Aesculapius: Jakarta.

Price and Wilson. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit Ed 6. EGC:
Jakarta

Roehrborn. (2011). Benign prostatic hyperplasia: etiology, pathophysiology, epidemiology,


and natural history. CampbellWalsh Urology. (10th ed). Philadelphia: Saunders Elsevier

Purnomo. (2000). Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta

Sjamsuhidajat. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC: Jakarta

Smeltzer & Bare. (2003). Brunner & Suddarths textbook of medical surgical nursing.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Yuliana Elin, Andrajat Retnosari. (2011). ISO Farmakoterapi 2. ISFI: Jakarta

Wimde Jongetal. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai