Anda di halaman 1dari 5

MANUSIA

(HAKEKAT DAN MARTABAT MANUSIA)

OLEH :

1. A. MAS HENDYRAYANI KUSUMA (01)


P07120015041
2. NI MADE DESSY WULANDARI (02)
P07120015042
3. NI NENGAH RISKIANI (03)
P07120015043

POLTEKKES KEMENKES DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN


TAHUN AJARAN 2015/2016
2.1 KONSEPSI MANUSIA DALAM AGAMA HINDU
Hindu Mnawa dharmastra istilah manusia/manusya secara etimologis berasal
dari bahasa sansekerta yakni kata Manu (berarti pikiran) dan sya (bentuk negative yang
menyatakan arti: milik atau sifat yang dimiliki kata benda yang dilekatinya) dengan
demikian secara hafiah kata manusia/manusya berarti ia yang memiliki pikiran atau ia
yang senantiasa berfikir dan menggunakan akal pikirannya. Menurut Ludwig
Wittgenstein dalam bukunya Gallagher (dalam Wirawan, 2007:40) menyatakana, bahwa
kata/bahasa adalah logika, sehingga secara konsepsional dapat kita pahami bahwa dalam
kata manu dan manusia tersebut pada dasarnya telah terumuskan tentang makna hakiki
dari jenis mahluk hidup yang bernama manusia sebagai subjek pengada yang
berkesadaran, karena itu kepastian pertama dari eksistensi manusia menurut Rene
Descartes adalah Cogito, ergo sum: (Saya berfikir, maka saya ada) dan selanjutnya
dinyatakan dengan Cogito Ergo sum cogitan yang maksudnya, Saya berpikir, maka
saya adalah pengada yang bepikir, yaitu eksistansi dari budi, sebuah subtansi sadar.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk beragama. Beragama merupakan
kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan
tempat bertopang. Manusia memerlukan agama untuk keselamatan hidupnya. Dapat
dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati
agama melalui proses pendidikan manusia. Pemerintah dengan berlandaskan pada
GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD
sampai dengan perguruan tinggi.
Dalam kitab Veda disebutkan (dan selanjutnya dijelaskan dalam kitab upanisad),
bahwa manusia pertama dalam konsepsi Hindu adalam Manu atau Swayambu-Manu
(Mahluk berpikir yang menjadikan dirinya sendiri). Dari konsepsi (lingual dan filosofis)
ini maka dalam sistem kondifikasi Veda kita mengenal Manu sebagai maharsi pertama
yang menuliskan (sabda suci/wahyu yang diterima) tentang hukum Hindu (dharma)
berdasarkan ingatan pikirannya sebagai kitab hukum tersebut dikenal dengan nama
Manusmerti atau Manawadharmasastra (kitab umum Hindu dari Manu).

Dari konsep-konsep ini dapat dipahami bahwa secara dasar manusia mahluk
rasional karena berpikir dengan akal (budhi) pikirannya. Akal budi-pikiran yang
dimilikinya itu merupakan dasar yang penting dalam pengembangan Wiweka yakni
kemampuan akal-pikiran rasional untuk mempertimbangkan sesuatu secara arif. Karena
itu secara konseptual manusia Hindu adalah manusia yang mampu mengembangkan dan
mengedepankan daya berpikir dan pikiran rasional (manah) untuk menjadikan dirinya
sendiri sebagai manusia swayambu-manu) dalam tatanan hidup dan kehidupan ini.

2.2 HAKEKAT MANUSIA DALAM AJARAN AGAMA HINDU


Realitas manusia sebagai pribadi yang memiliki badan jasmani dan jiwa telah
membuka beberapa pemikiran dalam pandangan filsafat manusia (kaum carwaka di
India), menganggap badan jasmani lebih bernilai (penting) dari pada jiwa. Sebaliknya
pandangan spiritualisme beranggapan bahwa jiwa jauh lebih bernilai (penting)
dibandingkan badan jasmani.
Akan tetapi dalam pandangan Veda (Hindu), baik badan jasmani maupun jiwa
memiliki hakikat yang sama pentingnya; jiwa-atma dapat menjadi dasar dalam
pemahaman badan jasmani (wadag) atau dapat juga sebaliknya. Ajaran Samkhya
Darsana sebagai salah satu cabang filsafat Veda yang bersifat dualistik-analisis rupanya
dapat membantu menjelaskan hakikat badan jiwa atau purusa-prakerti (pradhana) atau
cetana-acetana yang selanjutnya menjadi pokok kajian bagi bidang Mayatatawa dan
purusatatwa. menurut pandangan Shamkya, mahluk hidup dalam hal ini adalah manusia
pada dasarnya terbentuk dan tersusun atas 25 tatwa (unsur), yakni:
Purusa : Unsur, rohani, spiritual, jiwa-atma.
Prakrti : Unsur badani, matri, material, jasmaniah.
Buddhi : Kesadaran, kecerdasan, intelektual.
Ahamkara : Ego, rasa aku (keakuan).
Manah : Pikiran, rasio.
Panca buddhi indriya (lima indria untuk mengetahui), diantaranya :
Cakswindriya : Indria pada mata.
Srotendriya : Indria pada telinga.
Granendriya : Indria pada hidung.
Jihvendriya : Indria pada lidah.
Twakindriya : Indria pada kulit.
Panca karmendriya (lima indria pelaku/penggerak), diantaranya :
Panindriya : Indria pada tangan.
Padendriya : Indria pada kaki.
Vakindriya : Indria pada mulut.
Abastendrya/Bhagendriya : Indria pada kelamin pria/wanita.
Paiwindriya : Indria pada pelepasan (anus).
Panca tan mantra (lima macam sari, benih, tak terukur), diantaranya :
Sabda yan matra : Benih suara.
Starsa tan matra : Benih raba.
Rupa tan matra : Benih warna.
Rasa tan matra : Benih rasa.
Gandha tan matra : Benih bau/penciuman.
Panca Maha Bhuta (lima unsur besar), diantanya :
Akasa : Eter, ruang.
Wahyu : Udara, hawa, atmosfer.
Teja : Api.
Apah : Air.
Pertiwi : Tanah.
Badan jasmani akan mati tetapi jiwa hidup terus. Matinya fisik bukan akhir
sebuah kehidupan. Antara roh dan kehidupan harus seimbang, semasih fisik itu dijiwai
oleh roh. Untuk menyeimbangkan diperlukan sebuah penetralisir. Jasmani harus dijaga
secara terus menerus agar selalu dalam keadaan sehat, maka perlu dilakukan pengobatan
baik melalui biomedis maupun biokultural, sehingga keadaan jasmani tetap seimbang
dengan rohani sampai menjelang jasmani ini ditinggalkan oleh penghuninya.

2.3 MARTABAT MANUSIA HINDU


Martabat manusia selalu dikaitkan dengan penguasaan mereka pada masalah
keimanan dan ketaqwaan mereka kepada Sang Hyang Widi Wasa, maupun masalah
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemahaman akan tingginya martabat
manusia itu bagi manusia modern tercermin dalam berbagai aspek seperti:
1) Tingkat pendidikan dan wawasan pengetahuan yang dimiliki,
2) Profesi atau bidang pekerjaan dan tingkat social ekonomi,
3) Peran dan kedudukan dalam hidup social-kemasyarakatan-kemanusiaannya,
4) Keimanan dan ketakwaan serta hidup berkeanekaragaman.
Semua yang dilakukan oleh manusia Hindu pada umumnya untuk pencapaian
tujuan hidup manusia itu sendiri yaitu Catur Purusa Artha, meliputi : Dharma, Artha,
Kama, Mokhsa. Dharma menjadi dasar dan pedoman kita dalam menunaikan tugas hidup
kita sebagai manusia, yang dilahirkan kembali diberikan kesempatan untuk memperbaiki
taraf hidupnya.
Berdasarkan panduan Veda secara awam dikemukakan disini beberapa aspek
yang langsung dan tidak langsung dianggap mengindikasikan dan mempresentasikan
tentang rumusan hakekat-martabat manusia Hindu:
1) Jati (kelahiran),
2) Dharma (kewajiban hidup, kebenaran, serta kedudukan dan peran social
kemasyarakatan-keagamaan),
3) Warna/kasta (profesi bidang pekerja),
4) Karma (secara luas meliputi Manacika, dan Wacika, Kayika),
5) Guna (Sattwam, Rajas, dan Tamas),
6) Tingkat kebrahmacarian dan wawasan pengetahuan (Vedja, Vedapraga, strja,
dan Gunawan),
7) Tingkat keimanan dan kerohanian (rdham dan Satyam). Mahr s Katilya
menyatakan Apa yang gunanya terlahir dikalangan keluarga terhormat tetapi tidak
memiliki pengetahuan suci. Walaupun seorang lahir dari keluarga rendah, tetapi ia
terpelajar, memiliki pengetahuan suci, dan bijaksana patutlah dia dihormati seperti
Dev.

Anda mungkin juga menyukai