Anda di halaman 1dari 19

DERMATITIS ATOPIK:

PENYAKIT GENETIK MULTIFAKTORIAL

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Epidemiologi Genetik

Disusun Oleh:
Siti Lutfiyah Rahmani
1113101000045

Semester 7

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

1438 H / 2016 M
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................3

1.1 Latar Belakang.......................................................................3

1.2 Tujuan.....................................................................................3

1.3 Manfaat..................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................5

2.1. Pengertian Dermatitis Atopik..................................................5

2.2. Epidemiologi Dermatitis Atopik..............................................5

2.3. Etiologi dan Patogenesis........................................................6

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................10

3.1. Sejarah Dermatitis Atopik.....................................................10

3.2. Interaksi Gen dan Lingkungan terhadap Dermatitis Atopik. .10

BAB IV PENUTUP..............................................................................13

4.1. Kesimpulan...........................................................................13

4.2. Saran....................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................14

2
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Atopic Eczema atau dermatitis atopik merupakan penyakit
yang sering terjadi. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia
dan negara industri lain, prevalensi dermatitis atopik pada anak
mencapai 10-20%, sedangkan pada dewasa kira-kira 1-3%.
Prevalensi dermatitis atopik Negara agraris seperti Cina, Eropa
Timur, Asia Tengah cenderung leih rendah (William dkk., 1999).
Dermatitis Atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-
laki dengan rasio kira-kira 1,5:1 (Kster dkk., 1990).
Data mengenai penderita dermatitis atopik pada anak di
Indonesia belum diketahui secara pasti. Berdasarkan data di Unit
Rawat jalan Penyakit Kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan
jumlah pasien dermatitis atopik mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Jumlah pasien dermatitis atopik baru yang berkunjung
pada tahun 2006 sebanyak 116 pasien (8,14%) dan pada tahun
2007 sebanyak 148 pasien (11,05%), sedangkan tahun 2008
sebanyak 230 pasien (17,65%) (Zulkarnain, 2009).
Penyebab dari peningkatan prevalensi dermatitis atopik belum
sepenuhnya dimengerti. Riwayat keluarga yang positif
mempunyai peran yang penting dalam kerentanan terhadap
dermatitis atopik, namun faktor genetik saja tidak dapat
menjelaskan peningkatan prevalensi yang demikian besar. Dari
hasil observasi yang dilakukan pada negara-negara yang
memiliki etnis grup yang sama didapatkan bahwa faktor
lingkungan berhubungan dengan peningkatan risiko dermatitis
atopik (Flohr dkk., 2005). Oleh karena itu, penulis ingin
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit
dermatitis atopik.

3
1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Dermatitis Atopik
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor genetik yang mempengaruhi terjadinya
penyakit Dermatitis Atopik
b. Mengetahui faktor lingkungan yang mempengaruhi
terjadinya penyakit Dermatitis Atopik
c. Mengetahui sejarah Dermatitis atopik
d. Mengetahui interaksi faktor genetik dan lingkungan yang
mempengaruhi terjadinya penyakit Dermattis Atopik

1.3 Manfaat
a. Bagi Penulis
Tulisan ini diharapkan menjadi latihan dalam kepenulisan serta
menambah wawasan penulis terkait penyakit Dermatitis
Atopik dan interaksinya antara genetik dan lingkungan.
b. Bagi Mahasiswa
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Dermatitis Atopik, sehingga dapat dijadikan referensi dalam
penulisan artikel maupun makalah lainnya.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah inflamasi kulit berulang dan bersifat
kronik spesifik dengan tanda awal gatal, kemerahan, papula dan
vesikula, dan pengerasan kulit. Pada umumnya terjadi selama
masa bayi dan anak-anak dan sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum serta riwayat atopi pada
keluarga atau penderita. Sinonim dari penyakit ini adalah eczema
atopik, eczema konstitusional, eczema fleksural, neurodermatitis
diseminata, prurigo besnier (IDI, 2014).

2.2. Epidemiologi Dermatitis Atopik


Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa
pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic). Kasus dermatitis
atopik pada anak 45% muncul pertama kali dalam usia 6 bulan
pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan 85%
kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun. Lebih
dari 50% anak-anak yang terkena dermatitis atopik pada 2 tahun
pertama tidak memiliki tanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka
menjadi jauh lebih peka selama masa dermatitis atopik (Illi dkk.,
2004).
Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita dermatitis atopik
anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun
penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa (late onset
dermatitis atopic), dan pasien ini dalam jumlah yang besar tidak
ada tanda-tanda sensitisasi yang dimediasi oleh IgE (Novak dkk.,
2003)
Menurut International Study of Asthma and Allergies in
Children, prevalensi penderita dermatitis atopik pada anak
bervariasi di berbagai negara. Prevalensi dermatitis atopik pada
anak di Iran dan China kurang lebih sebanyak 2%, di Australia,
England dan Scandinavia sebesar 20%. Prevalensi yang tinggi

5
juga didapatkan di Negara Amerika Serikat yaitu sebesar 17,2%
(Flohr dkk., 2005; Laughter dkk., 2000). Penelitian Chan dkk, di
Asia Tenggara didapatkan prevalensi dermatitis atopik pada
orang dewasa adalah sebesar kurang lebih 20% (Chan dkk.,
2008)
Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di daerah pedesaan
dibandingkan dengan daerah perkotaan yang dihubungkan
dengan hygiene hypothesis, yang mendalilkan bahwa
ketiadaan pemaparan terhadap agen infeksi pada masa anak-
anak yang dini meningkatkan kerentanan terhadap penyakit
alergi (Williams dan Flohr, 2006; Zutavern dkk., 2005). Beberapa
faktor resiko yang dapat meningkatkan prevalensi dermatitis
atopik yaitu pada daerah kota dengan peningkatan pemaparan
stimulus dari lingkungan industri yang berbahaya, sosial ekonomi
yang tinggi, jumlah anak yang sedikit, migrasi dari pedesaan ke
perkotaan, infeksi terhadap Staphylococcus aureus, dan umur ibu
yang tua pada saat melahirkan (Larsen dan Hanifin, 2002).

2.3. Etiologi dan Patogenesis


Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan
patogenesisnya sangat komplek, tetapi terdapat beberapa faktor
yang dianggap berperan sebagai faktor pencetus kelainan ini
misalnya faktor genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup,
dan psikologi (Hepplewhite dkk., 2007; Ruzicka dkk., 2013;
Titman, 2003).
2.3.1. Faktor Genetik
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada
penderita yang mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya. Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan
famili gen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF, yang
diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan
peranan penting dalam ekspresi dermatitis atopik.
Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL-4
mempengaruhi presdiposisi dermatitis atopik. Ada
hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik gen

6
kimase sel mask dengan dermatitis atopik, tetapi tidak
dengan asma bronkial atau rhinitis alergik (Ruzicka dkk.,
2013).
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa kelainan atopik
lebih banyak diturunkan dari garis keturunan ibu daripada
garis keturunan ayah. Sejumlah survei berbasis populasi
menunjukkan bahwa resiko anak yang memiliki atopik lebih
besar ketika ibunya memiliki atopik, daripada ayahnya.
Darah tali pusat IgE cukup tinggi pada bayi yang ibunya
atopik atau memiliki IgE yang tinggi, sedangkan atopik
paternal atau IgE yang meningkat tidak berhubungan
dengan kenaikan darah tali pusat IgE (Ruzicka dkk., 2013).
2.3.2. Faktor Imunologi
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah
melalui reaksi imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang
berasal dari sumsum tulang. Beberapa parameter
imunologi dapat diketemukan pada dermatitis atopik,
seperti kadar IgE dalam serum penderita pada 60-80%
kasus meningkat, adanya IgE spesifik terhadap bermacam
aerolergen dan eosinofilia darah serta diketemukannya
molekul IgE pada permukaan sel langerhans epidermal.
Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara
dermatitis atopik dan alergi saluran napas, karena 80%
anak dengan dermatitis atopik mengalami asma bronkial
atau rhinitis alergik (Alikhan dkk., 2014).
Pada individu yang normal terdapat keseimbangan
sel T seperti Th1, Th 2, Th 17, sedangkan pada penderita
dermatitis atopik terjadi ketidakseimbangan sel T. Sitokin
Th2 jumlahnya lebih dominan dibandingkan Th1 yang
menurun.Hal ini menyebabkan produksi dari sitokin Th 2
seperti interleukin IL-4, IL-5, dan IL-13 ditemukan lebih
banyak diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadi
peningkatan IgE dari sel plasma dan penurunan kadar
interferon-gamma. Dermatitis atopik akut berhubungan

7
dengan produksi sitokin tipe Th2, IL-4 dan IL-13, yang
membantu immunoglobulin tipe isq berubah menjadi
sintesa IgE, dan menambah ekspresi molekul adhesi pada
sel-sel endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan dalam
perkembangan dan ketahanan eosinofil, dan mendominasi
dermatitis atopik kronis (Alikhan dkk., 2014).
Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan
paparan imunogen atau alergen dari luar yang mencapai
kulit. Pada paparan pertama terjadi sensitisasi, dimana
alergen akan ditangkap oleh antigen presenting cell untuk
kemudian disajikan kepada sel limfosit T untuk kemudian
diproses dan disajikan kepada sel limfosit T dengan
bantuan molekul MHC kelas II. Hal ini menyebabkan sel T
menjadi aktif dan mengenai alergen tersebut melalui T cell
reseptor. Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi
menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan
sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel
plasma dan memproduksi IgE. Setelah ada di sirkulasi IgE
segera berikatan dengan sel mast dan basofil. Pada
paparan alergen berikutnya IgE telah bersedia pada
permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen
dengan IgE. Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi sel
mast. Degranulasi sel mast akan mengeluarkan mediator
baik yang telah tersedia seperti histamin yang akan
menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator baru yang
dibentuk seperti leukotrien C4, prostaglandin D2 dan lain
sebagainya (Alikhan dkk., 2014).

8
Gambar 1 Mekanisme Alergen

Sel langerhans epidermal berperan penting pula


dalam patogenesis dermatitis atopik oleh karena
mengekspresikan reseptor pada permukaan membrannya
yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi
berbagai sitokin (Alikhan dkk., 2014).
Inflamasi kulit atopik dikendalikan oleh ekspresi lokal
dari sitokin dan kemokin pro-inflamatori. Sitokin seperti
Faktor Tumor Nekrosis (TNF-) dan interleukin 1 (IL-1) dari
sel-sel residen seperti keratinosit, sel mast, sel dendritik
mengikat reseptor pada endotel vaskular, mengaktifkan
jalur sinyal seluler yang mengarah kepada peningkatan
pelekatan molekul sel endotel vaskular. Peristiwa ini
menimbulkan proses pengikatan, aktivasi dan pelekatan
pada endotel vaskular yang diikuti oleh ekstravasasi sel
yang meradang ke atas kulit. Sekali sel- sel yang inflamasi
telah infiltrasi ke kulit, sel-sel tersebut akan merespon
kenaikan kemotaktik yang ditimbulkan oleh kemokin yang
diakibatkan oleh daerah yang luka atau infeksi (Alikhan
dkk., 2014).
Penderita dermatitis atopik cenderung mudah
terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur, karena imunitas
seluler menurun (aktivitas TH1 menurun). Staphylococcus
aureus ditemukan lebih dari 90% pada kulit penderita
dermatitis atopik, sedangkan orang normal hanya 5%.
Bakteri ini membentuk koloni pada kulit penderita
dermatitis atopik, dan eksotosin yang dikeluarkannya

9
merupakan superantigen yang diduga memiliki peran
patogenik dengan cara menstimulasi aktivitas sel T dan
makrofag. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit
yang terganggu akan menginduksi IgE spesifik, dan
degranulasi sel mast, kejadian ini memicu siklus gatal
garuk yang akan menimbulkan lesi. Superantigen juga
meningkatkan sintesis IgE spesifik dan menginduksi
resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah dermatitis
atopik (Allen dan Berth-Jones, 1995).
2.3.3. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup
Berbagai faktor lingkungan dan gaya hidup
berpengaruh terhadap pravelensi dermatitis atopik.
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada status
sosial yang tinggi daripada status sosial yang rendah.
Penghasilan meningkat, pendidikan ibu makin tinggi,
migrasi dari desa ke kota dan jumlah keluarga kecil
berpotensi menaikkan jumlah penderita dermatitis atopik
(Alikhan dkk., 2014; Ashe, 2013; Ruzicka dkk., 2013).
Faktor-faktor lingkungan seperti polutan dan alergen-
alergen mungkin memicu reaksi atopik pada individu yang
rentan. Paparan polutan dan alergen tersebut adalah:
a. Polutan : Asap rokok, peningkatan polusi udara,
pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi
peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara,
penggunaan pendingin ruangan.
b. Alergen:
a) Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu
rumah, serbuk sari buah, bulu binatang, jamur kecoa
b) Makanan: susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut
dan gandum
c) Mikroorganisme: Staphylococcus aureus,
Streptococcus sp, P.ovale, Candida albicans,
Trycophyton sp.
d) Bahan iritan: wool, desinfektans, nikel, peru balsam.
2.3.4. Faktor Psikologi
Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik,
egois, frustasi, merasa tidak aman yang mengakibatkan

10
timbulnya rasa gatal. Namun demikian teori ini masih
belum jelas (Hepplewhite dkk., 2007).

11
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Sejarah Dermatitis Atopik
Konsep awal Atopi seperti dikemukakan oleh Coca dan Cooke
adalah bersifat herediter, terbatas pada sebagian kecil manusia,
berbeda dengan anafilaksis ataupun alergi, terjadi pada
beberapa orang (atopik) tertentu, klinis berupa hay fever dan
asma bronkial, dan dapat disertai reaksi kulit segera berupa
kemerahan dan bentol (Bieber and Leung, 2002). Pada awal
konsep tersebut, Dermatitis Atopi masih belum dikenal sebagai
salah satu manifestasi klinis atopi. Baru pada tahun 1933, Wise
dan Sulzberger melaporkan suatu penyakit kulit, yang
sebelumnya dikenal sebagai neurodermatitis disseminata, yang
mempunyai sifat sifat seperti eksema dengan likenifikasi, kumat-
kumatan, cenderung familiar dan berhubungan erat dengan
penyakit atopi lainnya. Penyakit tersebut diusulkan dengan
nama dermatitis atopik, dan selanjutnya dikenal sebagai salah
satu manifestasi klinis atopi (Bieber dan Leung, 2002; Nickolof
dan Nestle, 2008).

Pada kondisi atopi terjadi keadaan hipersensitivitas terhadap


faktor eksternal dan telah dibuktikan adanya zat yang bereaksi
di dalam serum, yang dikenal sebagai atopic reagin. Setelah
kurang lebih 30 tahun kemudian zat ini diidentifikasi oleh
Ishzaka dkk (1967), sebagai imunoglobulin yang berbeda
dengan imunoglobulin lain dengan sifat sitotrofik, dan diberi
nama sebagai imunoglobulin-E (IgE). Peningkatan kadar IgE
dalam serum penderita bukanlah persaratan yang esensial bagi
terjadinya kondisi atopi, oleh karena itu pada beberapa kasus
kadar IgE tetap normal dan tidak didapatkan IgE spesifik
terhadap alergen. Keadaan ini dikenal sebagai bentuk intrinsik
atau non-IgE mediated dari sindroma atopi. Jadi peningkatan

12
IgE pada penderita atopi, belum memberikan kontribusi pada
patogenesis Dermatitis Atopik secara jelas, oleh karena itu
Wuthrich (1999) menyatakan bahwa atopi lebih merupakan
suatu kondisi dari pada suatu penyakit atau sindroma (Ring,
2016).

3.2. Interaksi Gen dan Lingkungan terhadap Dermatitis


Atopik
Diagnosis Dermatitis Atopik merupakan hal yang mudah
apabila bersandar pada keadaan kliniko-morfologik, namun
belum mencerminkan hubungan kausalitas antara penyakit
dengan kondisi atopik. Berdasar studi keluarga didapatkan
bahwa faktor genetik menentukan seseorang akan
mendapatkan kondisi atopi atau tidak (Gdalevich dkk., 2001;
Magnusson, 1988; Palmer dkk., 2006). Sedangkan faktor non-
genetik berperan mempengaruhi ekspresi penyakit atau
menentukan spesifitas terhadap jenis alergen (berg, 1993;
Coleman dkk., 1997).

Pada mulanya sebagai penyakit genetik, atopi diturunkan


dengan model simple autosomal dominant inheritance, namun
banyak yang tidak sependapat karena ada interaksi kompleks di
antara multigen yang menyebabkan manifestasi penyakit atopi
(berg, 1993; Coleman dkk., 1997). Penelitian lebih mendalam
mendapatkan beberapa lokus genetik pada kromosom tertentu
mengandung gen atau kandidat gen yang produknya berperan
pada patogenesis penyakit atopik (Coleman dkk., 1997). Dengan
demikian penyakit yang tergolong sindroma atopi merupakan
penyakit polygenic inheritance yang berinteraksi dengan faktor
lingkungan dan dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe
ektrinsik atau IgE mediated dan tipe intrinsik atau non-IgE
mediated (Ruzicka dkk., 2013). Pengelompokan penyakit atopik
dapat dilihat pada gambar 2.

13
Gambar 2 Klasifikasi Penyakit Atopik

Gambar 2 menunjukkan bahwasanya Dermatitis Atopi


merupakan penyakit alergi yang berkaitan dengan genetik.
Namun penyakit alergi tersebut tidak hanya melibatkan gen
saja melainkan banyak faktor (kompleks). Beberapa gen ikut
berperan, dan masing-masing gen memiliki derajat
keterlibatan yang bervariasi pada masing-masing individu.
Faktor genetik bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh.
Beberapa faktor lingkungan seperti paparan alergen, polutan,
zat-zat infeksius dan masih banyak lagi lainnya, juga ikut
menentukan timbulnya penyakit alergi melalui berbagai
mekanisme. Besarnya pengaruh faktor lingkungan dapat
dilihat dari hasil-hasil penelitian pada populasi dengan dasar
genetik yang sama dan tingal di lingkungan yang berbeda.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Ludfi dkk, 2012,


menyebutkan bahwa Anak yang mempunyai ayah dengan
alergi makanan berpotensi mengalami manifestasi klinis
dermatitis atopik (p =0,140; aOR 2,469;95% CI:0,743 8,200).
Anak yang tinggal dalam rumah yang berpenghuni maksimal
3 orang berpotensi mengalami manifestasi klinis dermatitis

14
atopik (p = 0,045;aOR 3,661;95% CI: 1,032 12,990) (Ludfi
dkk., 2012). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa polutan
dan alergen akan mencetuskan alergi pada anak yang
mempunyai predisposisi genetik atopi salah satunya
dermatitis atopi (Nency, 2005). Johnson, dkk. menunjukkan
bahwa tungau debu rumah, kecoak, dan alergen dari hewan
peliharaan, menunjukkan adanya korelasi yang kuat terhadap
terbentuknya sensitisasi atopi (Johnson et al., 2002).

15
BAB IV

PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Atopi adalah suatu kondisi yang meliputi sindroma respirasi
seperti asma dan rinitis serta manifestasi pada kulit, merupakan
reaksi hipersensitivitas terhadap allergen lingkungan yang
menunjukkan respons imun Th2 dengan produksi IgE spesifik
fakultatif disertai aktivitas eosinofil dan mempunyai predisposisi
genetik. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi
kulit yang kronis dan kambuhan, cenderung diturunkan
(herediter) dan terjadi disebabkan disregulasi respons imun.
Manifestasi atopi pada kulit sebagai dermatitis atopik, berupa
inflamasi kronis spesifik disebabkan reaksi hipersensitivitas
terhadap alergen dengan respons imun Th2 dominan pada
stadium akut dan Th1 pada stadium kronis.

4.2. Saran
Saran yang bisa diberikan dari penulisan ini adalah bagi
mahasiswa:

a. Untuk lebih giat membaca mengenai penyakit alergen


(interaksi genetik dan lingkungan) dan menulis mengenai
penyakit allergen yang berkaitan dengan genetik dan
lingkungan (multifaktor).
b. Kajian mengenai penyakit-penyakit alergi bisa dijadikan
sebagai tema skripsi untuk mahasiswa tingkat akhir,
mengingat bahwa tema hal tersebuut masih jarang dikaji
literaturnya.

16
DAFTAR PUSTAKA
berg, N., 1993. Familial occurrence of atopic disease: genetic
versus environmental factors. Clin. Exp. Allergy 23, 829834.
doi:10.1111/j.1365-2222.1993.tb00260.x
Alikhan, A., Lachapelle, J.-M., Maibach, H.I., 2014. Textbook of Hand
Eczema. Springer.
Allen, B.R., Berth-Jones, J., 1995. Tell Me More about Atopic Eczema:
A Patients Guide. CRC Press.
Ashe, R., 2013. The Complete Guide to Eczema and Psoriasis
Prevention, Treatment and Remedies. Lulu Press, Inc.
Bieber/Leung, 2002. Atopic Dermatitis. CRC Press.
Chan, B.C.L.C., Hon, K.L.E., Leung, P.C., Sam, S.W., Fung, K.P., Lee,
M.Y.H., Lau, H.Y.A., 2008. Traditional Chinese medicine for
atopic eczema: PentaHerbs formula suppresses inflammatory
mediators release from mast cells. Elsevier J. Ethnopharmacol.
Coleman, R., Trembath, R. c., Harper, J. i., 1997. Genetic studies of
atopy and atopic dermatitis. Br. J. Dermatol. 136, 15.
doi:10.1046/j.1365-2133.1997.d01-1133.x
Flohr, C., Pascoe, D., Williams, H. c., 2005. Atopic dermatitis and the
hygiene hypothesis: too clean to be true? Br. J. Dermatol.
152, 202216. doi:10.1111/j.1365-2133.2004.06436.x
Gdalevich, M., Mimouni, D., David, M., Mimouni, M., 2001. Breast-
feeding and the onset of atopic dermatitis in childhood: A
systematic review and meta-analysis of prospective studies. J.
Am. Acad. Dermatol. 45, 520527.
doi:10.1067/mjd.2001.114741
Hepplewhite, M.&, Mitchell, T., Hepplewhite, A., 2007. Eczema Ayf.
Class Publishing Ltd.
IDI, 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. IDI, Jakarta.
Illi, S., Mutius, E. von, Lau, S., Nickel, R., Grber, C., Niggemann, B.,
Wahn, U., Group, the M.A.S., 2004. The natural course of

17
atopic dermatitis from birth to age 7 years and the association
with asthma. J. Allergy Clin. Immunol. 113, 925931.
doi:10.1016/j.jaci.2004.01.778
Johnson, C.C., Ownby, D.R., Zoratti, E.M., Alford, S.H., Williams, L.K.,
Joseph, C.L.M., 2002. Environmental Epidemiology of Pediatric
Asthma and Allergy. Johns Hopkins Bloom. Sch. Public Health.
Kster, W., Petersen, M., Christophers, E., Goos, M., Sterry, W., 1990.
A family study of atopic dermatitis. Arch. Dermatol. Res. 282,
98102. doi:10.1007/BF00493466
Larsen, F.S., Hanifin, J.M., 2002. Epidemiology of atopic dermatitis.
Immunol. Allergy Clin. 22, 124. doi:10.1016/S0889-
8561(03)00066-3
Laughter, D., Istvan, J.A., Tofte, S.J., Hanifin, J.M., 2000. The
prevalence of atopic dermatitis in Oregon schoolchildren. J.
Am. Acad. Dermatol. 43, 649655.
doi:10.1067/mjd.2000.107773
Ludfi, A.S., , Agustina, L., Fetarayani, Baskoro, Gatot, Efendi, C.,
2012. ASOSIASI PENYAKIT ALERGI ATOPI ANAK DENGAN ATOPI
ORANG TUA DAN FAKTOR LINGKUNGAN. J. Penyakit Dalam Vol
13 No1.
Magnusson, C.G.M., 1988. Cord serum IgE in relation to family
history and as predictor of atopic disease in early infancy.
Allergy 43, 241251. doi:10.1111/j.1398-9995.1988.tb00896.x
Nency, Y.M., 2005. Prevalensi dan Faktor Risiko Alergi Pada Anak
Usia 6-7 Tahun di Semarang (Thesis). Universitas Diponegoro,
Semarang.
Nickolof, B.J., Nestle, F.O., 2008. Dermatologic Immunity. Karger
Medical and Scientific Publishers.
Novak, Bieber T, Leung, D.Y.M, 2003. Immune Mechanisms Leading
to Atopic March. J. Allergy Clin. Immunol.
Palmer, C.N.A., Irvine, A.D., Terron-Kwiatkowski, A., Zhao, Y., Liao, H.,
Lee, S.P., Goudie, D.R., Sandilands, A., Campbell, L.E., Smith,
F.J.D., ORegan, G.M., Watson, R.M., Cecil, J.E., Bale, S.J.,

18
Compton, J.G., DiGiovanna, J.J., Fleckman, P., Lewis-Jones, S.,
Arseculeratne, G., Sergeant, A., Munro, C.S., El Houate, B.,
McElreavey, K., Halkjaer, L.B., Bisgaard, H., Mukhopadhyay, S.,
McLean, W.H.I., 2006. Common loss-of-function variants of the
epidermal barrier protein filaggrin are a major predisposing
factor for atopic dermatitis. Nat. Genet. 38, 441446.
doi:10.1038/ng1767
Ring, J., 2016. Atopic Dermatitis: Eczema. Springer.
Ruzicka, T., Ring, J., Przybilla, B., 2013. Handbook of Atopic Eczema.
Springer Science & Business Media.
Titman, P., 2003. Understanding Childhood Eczema. John Wiley &
Sons.
William, H., Robertson, C., Stewart, A., Ait-Khaled, N., Anabwani, G.,
Anderson, R., Asher, I., Beasley, R., Bjorksten, B., Burr, M.,
1999. Worlwide Variations in the Prevalence of Symptoms of
Atopic Eczema in The International Study of Asthma and
Allergies in Childhood (Journal of Allergy and Clinical
Immunology). USA.
Williams, H., Flohr, C., 2006. How epidemiology has challenged 3
prevailing concepts about atopic dermatitis. J. Allergy Clin.
Immunol. 118, 209213. doi:10.1016/j.jaci.2006.04.043
Zulkarnain, 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik.
Dalam: Boediardja, S.A, ed. Dermatitis Atopik. Balai Penerbit
FK UI, Jakarta.
Zutavern, Hirsch, Leupold, Weiland, Keil, von Mutius, 2005. Atopic
dermatitis, extrinsic atopic dermatitis and the hygiene
hypothesis: results from a cross-sectional study. Blackwell
Publ. Ltd.

19

Anda mungkin juga menyukai