Anda di halaman 1dari 14

Home Public Corner Pengertian Korupsi Menurut Undang-

Undang dan Para Ahli


Pengertian Korupsi Menurut Undang-Undang dan Para Ahli
Irham Maruf
Add Comment
Public Corner
Pengertian Korupsi Menurut Undang-Undang dan Para
Ahli - Korupsi adalah suatu tindakan yang sangat tidak
terpuji dan dapat merugikan suatu bangsa. Indonesia
merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus korupsi
yang terbilang cukup banyak. Tidakkah kita melihat akhir-
akhir ini banyak sekali pemberitaan dari koran maupun
media elektronik yang banyak sekali memberitakan
beberapa kasus korupsi di beberapa daerah di Indonesia
yang oknumnya kebanyakan berasal dari pegawai negeri
yang seharusnya mengabdi untuk kemajuan bangsa ini.
Dalam tulisan yang singkat ini saya akan mencoba mengulas
saecara singkat tentang pengertian korupsi yang
berdasarkan pada undang-undang dan para ahli. Semoga
bermanfaat.

Pengertian Korupsi Menurut Undang-Undang


Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam
tindak pidana korupsi adalah:
Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum,
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri,
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.

Pengertian Korupsi Menurut Ilmu Politik


Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai
penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau
politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang
lain, yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi,
sehingga meninmbulkan kerugian bagi masyarakat umum,
perusahaan, atau pribadi lainnya.

Pengertian Korupsi Menurut Ahli Ekonomi


Para ahli ekonomi menggunakan definisi yang lebih konkret.
Korupsi didefinisikan sebagai pertukaran yang
menguntungkan (antara prestasi dan kontraprestasi, imbalan
materi atau nonmateri), yang terjadi secara diam-diam dan
sukarela, yang melanggar norma-norma yang berlaku, dan
setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau
wewenang yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat dalam
bidang umum dan swasta.

Pengertian Korupsi Menurut Haryatmoko


Korupsi adalah upaya campur tangan menggunakan
kemampuan yang didapat dari posisinya untuk
menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang
atau kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya.

Pengertian Korupsi Menurut Brooks


Menurut Brooks, korupsi adalah dengan sengaja melakukan
kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai
kewajiban, atau tanpa keuntungan yang sedikit banyak
bersifat pribadi.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur
mengenai tindak pidana korupsi, saat ini sudah lebih baik
dibandingkan sebelumnya dengan dikeluarkannya UU No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
dan Bebas Dari KKN, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, serta terakhir dengan diratifikasinyaUnited
Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan UU
No. 7 Tahun 2006. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Korupsi adalah
sebagai berikut : |accounting-media.blogspot.com|
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara (Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999).
3. Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara
negara yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).
4. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
atau. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat
atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).
5. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat
bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau
barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan
atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam
keadaan perang
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja
membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang.
e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan
atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang atau yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
6. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,
atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal
8 UU No. 20 tahun 2001).
7. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi (Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001).
8. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
(Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001):
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau
daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan
di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, surat, atau daftar tersebut.
9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya (Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001).
10. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri
sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan,
atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau
memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum,
seolaholah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima
pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan
utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara
yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai
dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangundangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung
maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
11. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya. (Pasal 12B UU No. 20
Tahun 2001).
12. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada
pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan (Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999).
13. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang
yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak
pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam
Undangundang ini (Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999).

Home Politik Pengertian, Model, Bentuk dan Jenis-Jenis


Korupsi
Pengertian, Model, Bentuk dan Jenis-Jenis Korupsi
By Muchlisin Riadi 01.07.00 Politik
Pengertian Korupsi

Ilustrasi Korupsi
Korupsi dan koruptor berasal dari bahasa latin corruptus,
yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur menjadi
kondisi yang sebaliknya (Azhar, 2003:28). Sedangkan kata
corruptio berasal dari kata kerja corrumpere, yang berarti
busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok,
orang yang dirusak, dipikat, atau disuap (Nasir, 2006:281-
282).

Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan


pribadi (Anwar, 2006:10). Masyarakat pada umumnya
menggunakan istilah korupsi untuk merujuk kepada
serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan
hukum dalam rangka mendapatkan keuntungan dengan
merugikan orang lain. Hal yang paling mengidentikkan
perilaku korupsi bagi masyarakat umum adalah penekanan
pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk
keuntungan pribadi.

Dalam Kamus Lengkap Oxford (The Oxford Unabridged


Dictionary) korupsi didefinisikan sebagai penyimpangan
atau perusakan integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas
publik dengan penyuapan atau balas jasa. Sedangkan
pengertian ringkas yang dipergunakan World Bank, korupsi
adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan
pribadi (the abuse of public office for private gain).

Definisi lengkap korupsi menurut Asian Development Bank


(ADB) adalah korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian
pegawai sektor publik dan swasta, dimana mereka dengan
tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka
sendiri dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka,
atau membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut,
dengan menyalahgunakan jabatan dimana mereka
ditempatkan.

Dengan melihat beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan


bahwa korupsi secara implisit adalah menyalahgunakan
kewenangan, jabatan atau amanah secara melawan hukum
untuk memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi dan
atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan
umum.

Dari beberpa definisi tersebut juga terdapat beberapa unsur


yang melekat pada korupsi. Pertama, tindakan mengambil,
menyembunyikan, menggelapkan harta negara atau
masyarakat. Kedua, melawan norma-norma yang sah dan
berlaku. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang
atau amanah yang ada pada dirinya. Keempat, demi
kepentingan diri sendiri, keluarga, kerabat, korporasi atau
lembaga instansi tertentu. Kelima, merugikan pihak lain,
baik masyarakat maupun negara.

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang


telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun
1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh
bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat
dikelompokkan; kerugian keuangan negara, suap-menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang,
benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi. Pasal-
pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai
perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena
korupsi (KPK, 2006: 19-20).

Dalam UU No. 20 Tahun 2001 terdapat pengertian


bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan
maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
yang berakibat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Ada sembilan tindakan kategori
korupsi dalam UU tersebut, yaitu: suap, illegal profit, secret
transaction, hadiah, hibah (pemberian), penggelapan, kolusi,
nepotisme, dan penyalahgunaan jabatan dan wewenang
serta fasilitas negara.

Model, Bentuk dan Jenis Korupsi


Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup
pemerasan, penyuapan dan gratifikasi pada dasarnya telah
terjadi sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara
sampai pegawai yang paling rendah. Korupsi pada
hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang tidak
disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima
upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun
yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut lama-lama
akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan
keuangan negara.

Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai


berikut:
1. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan
memberi dan menerima suap, baik berupa uang
maupun barang.
2. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan
dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-
pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut,
baik berupa dana publik atau sumber daya alam
tertentu.
3. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan
ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or
swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau
mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan
mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.
4. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber
daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan
intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki
kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal
dan regional.
5. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan
kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi
sumber daya.
6. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan
negara.
7. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara
kolektif atau korupsi berjamaah.
Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh
tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya
ada empat jenis korupsi, yaitu (Anwar, 2006:18):

1. Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau


suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa.
2. Korupsi manipulatif, seperti permintaan
seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada
eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau
UU yang menguntungkan bagi usaha ekonominya.
3. Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi
karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan
sebagainya.
4. Korupsi subversif, yakni mereka yang
merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang
untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah
keuntungan pribadi.
Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara
praktis adalah: pungutan liar, penyuapan, pemerasan,
penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau
hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi
seseorang.

Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden


dalam Toward a General Theory of Official
Corruption menguraikan secara rinci bentuk-bentuk korupsi
yang umum dikenal, yaitu:

1. Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal,


penyelundupan.
2. Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi
anggaran pemerintah, menipu dan mencuri.
3. Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan
dokumen dan penggelapan uang, mengalirkan uang
lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak,
menyalahgunakan dana.
4. Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa,
penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada
tempatnya.
5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang
salah, mencurangi dan memperdaya, memeras.
6. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum,
memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak
sah, menjebak.
7. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup
menempel pada orang lain seperti benalu.
8. Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip
pungutan, meminta komisi.
9. Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu
suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar
bisa unggul.
10. Menggunakan informasi internal dan informasi
rahasia untuk kepentingan pribadi; membuat laporan
palsu.
11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang
milik pemerintah, dan surat izin pemrintah.
12. Manipulasi peraturan, pembelian barang
persediaan, kontrak, dan pinjaman uang.
13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.
14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara,
konflik kepentingan.
15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan
hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.
16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan,
operasi pasar gelap.
17. Perkoncoan, menutupi kejahatan.
18. Memata-matai secara tidak sah,
menyalahgunakan telekomunikasi dan pos.
19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat
kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa jabatan.
Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul, 2006, Fikih Antikorupsi Perspektif
Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama dan
Peradaban (PSAP).
Azhar, Muhammad, 2003, Pendidikan Antikorupsi,
Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership, Koalisis Antarumat
Beragama untuk Antikorupsi.
Fawaid, Ahmad,dkk, 2006, NU Melawan Korupsi:
Kajian Tafsir dan Fiqih, Jakarta: Tim Kerja Gerakan
Nasional Pemberantasan Korupsi Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama.
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami
Untuk Membasmi; Buku Saku Untuk Memahami
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Nasir, Ridwan, 2006, Dialektika Islam dengan
Problem Kontemporer, IAIN Press & LKiS.
Pope, Jeremy, 2003, Strategi Memberantas Korupsi;
Elemen Sistem Integritas Nasional, (terj.) Masri Maris,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

http://irham93.blogspot.co.id/2013/11/pengertian-korupsi-
menurut-undang.html

Anda mungkin juga menyukai