Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


UU Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan pasal 4
menyabutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
derajat kesehatan yang optimal, namun kenyataanya pelayanan kesehatan bagi
anak cacat sering terabaikan termasuk pelayanan kesehatan gigi dan mulut anak
cacat.1,2
Anak cacat atau yang tergolong luar biasa atau berkelainan adalah anak
yang menyimpang dari rata-rata normal dalam hal ciri-ciri mental, kemampuan
sensorik, fisik dan neromuskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan
berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih hal-hal di atas, sejauh ia
memerlukan modifikasi tugas-tugas sekolah, metode belajar atau pelayanan terkait
lainnya yang ditujukan untuk mengembangkan potensi atau kapasitasnya secara
maksimal. Anak cacat meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan
bicara, cacat tubuh, retardasi mental dan gangguan emosional.3
Tuli atau tunarunggu merupakan suattu ketunaan indera pendengaran.
Beberapa anak sejak lahir sudah mengalami kehilangan pendengaran, baik
sebagian atau keseluruhannya. Etiologi tunarungu dihubungkan dengan faktor
herediter dan ada yang didapat seperti penyakit, obat dan trauma. Berbagai jenis
kerusakan indra pendengaran anatara lain konduktif, sensori dan neural.4
Anak dengan gangguan pendengaran atau tunarungu seringkali
menimbulkan masalah tersendiri. Masalah utama pada anak dengan gangguan
pendengaran adalah masalah komunikasi. Ketidakmampuannya untuk
berkomunikasi berdampak luas baik segi keterampilan berbahasa, membaca,
menulis maupun penyesuaian sosial serta prestasi sekolahnya, namun apabila
dicermati aspek perkembangan dan aspek hidup juga terpengaruh. Penderitaan
anak tunarungu berpangkal pada segi kesulitannya menyampaikan pikiran,
perasaan, gagasan, kebutuhan dan kehendaknya pada orang lain, sehingga
kebutuhan mereka tidak terpuaskan secara sempurna. Selain tidak dimengerti oleh
orang lain anak tunarungu pun sukar memhami orang lain, sehingga tidak jarang
mereka merasa terkucil atau terisolasi dari lingkungan sosialnya.4
Anak tunarungu mempunyai keterbatasan pada indra pendengaran anatra
lain bicara dan berkomunikasi. Masalah bicara terjadi karena anak tidak dapat
mempelajari hubungan antara pengerakan dengan mekanisme yang terlibat sampai
proses itu dihasilkan. Dalam berkomunikasi anak tunarungu mendapat kesulitan
karena ketidakmampuan untuk menangkap dan menyampaiakan suatu masalah,
sehingga pendidikan kesehatan gigi diberikan melalui demonstrasi cara menyikat
gigi. Demonstrasi adalah suatu cara yang mengkombinasikan cerita dan gerak
yang disesuaikan dengan kenyataan.4
Agar seorang anak tunarungu dapat berkembang secara maksimal, maka kita
harus mamahami kebutuhan agar kita dapat memberikan bantuan yang sesuai.
Jalur pendidikan formal (sekolah) merupakan suatu upaya yang banyak dilakukan
untuk mebantu anak-anak tunarungu. Pelayanan pendidikan formal yang
dibarikan ditujukan untuk membantu perserta didik agar nmampu
mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagap pribadi maupun
anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan
lingkungan sosial serta dapat mengembangkan kemapuan dalam dunia kerja atau
mengikuti pendidikan lanjut. Pendidikan formal bagi anak tunarungu yang
didapatkan di sekolah luar biasa bagian B juga berguna untuk membantu anak
dalam beradaptasi dengan lingkungan sekelilingnya, membantu mereka dalam hal
penanganan perilaku untuk lebih mandiri dalam kegiatan sehari-hari seperti
membersihkan diri, makan, minum, termasuk menjaga kesehatan gigi dan mulut
serta menyikat gigi.2,3
Prevelansi anak tunarungu di Amerika menurut data dari Considerations In
The Evaluation Of The Hearing Impaired Child, 5000 anak yang dilahirkan
setiap tahun di amerika akan ditemukan satu penderita gangguan pendengaran dan
pada tahin 1975 dilaporkan kira kira 0.58% populasi anak usia sekolah di amerika
memiliki gangguan pendengaran dan dari jumlah itu 0.8% mengalami ketulian
total.5 Jadi dalam jumlah, diperkirakan 328,000 anak sekolah mengalami
gangguan pendengaran dan 49,000 anak tuli total. Jadi secara kasar 5 dari 1000
anak mengalami gangguan pendengaran.6 Prevelansi anak tunarungu di indonesia
menujukan bahwa jumlah anak-anak tunarungu di Indinesia cukup tinggi
mencapai 0.17%, diamana 17 dari 10,000 anak pra sekolah sampai umur 12 tahun
mengalami tuli. Survai yang dilakukan pada 100 sekolah dasar (SD) tahun 1976 di
Jakarta, dikemukan anak tunarungu sekitar 4,1 %.7
Pendidikan kesehatan gigi anak adalah pendidikan tentang kesehatan gigi
yang diberikan pada anak dan dalam pelaksanaanya disesuaikan dengan usia anak.
Pada anak normal dan tunarungu usia sekolah, Pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut tergantungpada orang tua, untuk memelihara kebersihan gigi dan mulut
dilakukan pentikatan gigi secara rutin.4
Menurut Newburn (1977) karies gigi didefinisikan sebagai suatu proses
patologis berupa proses perusakan yang terbatas pada jaringan gigi yang dimulai
dari email terus ke dentin, menurutnya ada 4 faktor yang berhubungan dengan
karies yaitu gigi dan saliva, mikroorganisme, substrat (makanan) serta waktu.
Selain 4 faktor yang berhubungan dengan karies di atas, terdapat pula faktor
resiko luar yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi,
lingkungan, sikap dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan gigi.4
Proses terjadinya karies dimulai dari enamel dan ditutupi oleh endapan
pelikel saliva, kemudian mikroorganisme melekat yang disebut plak, apabila nada
substrat makanan berkabohidrat lengket di plak disebut debris, mikroorganisme
meragi substrat sehinggan menyebabkan PH plak diturun sampai dibawah 5
mengakibatkan demineralisasi enamel, bila hal ini berlangsung berulang (faktor
waktu), maka dapat terjadi karies. Dengan demikian plak atau debris merupakan
salah satu faktor di dalam proses terjadinya karies bila tidak dibersihkan dari
gigi.9,10
Perawatan gigi penderita cacat tidak banyak berbeda dengan individu
normal, tetapi ketentuan tatalaksana tindakan biasanya lebih sulit. Kebutuhan
perawatan gigi pada penderita cacat dapat dicapai melalui cara yang dipergunakan
pada anak normal. Penerimaan perawatan gigi dapat dipengaruhi oleh satu atau
lebih permasalahan medis, mental, fisik dan emosi. Sebagian besar individu
pennderita cacat mempunyai kebersihan mulut yang tidak baik dibandingkan dari
anak normal. Perawatan kesehatan gigi bagi penderita cacat adalah tindakan yang
saat bermanfaat di klinik praktek pribadi. Rasa sulit menagani dapat diatasi jika
dokter gigi lebih mempelajari sifat umum, manisfestasi keadaan fisik dan
psikologisnya. Perawatan gigi pada penderita cacat telah lama diabaikan, sedikit
sekali dokter gigi terekspos terhadap tantangan merawatn penderita cacat ini.
Tidak banyak dokter gigi yang telah memperolah pendidikan khusus dalam
perawatan gigi pada penderita cacat ini. Karena dasar rasa takut dari
ketidakmampuan untuk menghadapi situasi, mendorong banyak dokter gigi untutk
menolak perawatan gigi pada penderita cacat ini. Khususnya pada anak tunarungu
maka doketr gigi perlu memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan mereka
sehingga perawatan maupun pendidikan kesehatan gigi yang diberikan dapat
diterima dan dipraktekkan dalam perilaku meyikat gigi.2,3,4
WHO merekomendasikan untuk memeriksa karies gigi anak umur 12 dan 15
tahun karena pada usia 12 tahun pada umurnya anak-anak meninggalkan bangku
sekolah dasar sedangkan pada usia 15 tahun untuk mengetahui perkiraan
pertambahan prevalens dan keparahan karies.11
Menurut WHO bahwa satu dari seribu bayi yang lahir menderita gangguan
pendengaran dari bagi Indonesia yang berpenduduk sekitar 200 juta jiwa, dengan
kenaikan jumlah penduduk setahun, maka jumlah itu akan cukup besar dan
menuntut perhatian. Hal inilah yang menyebabkan peneliti tertatik untuk
melakukan penelitian pada anak tunarungu Peneliti melakukan penelitian pada
siswa sekolah tunarungu dan tidak tunarungu mengenai keadaan oral higiene dan
pengalaman karies gigi serta pelaksanaan pendidikan kesehatan gigi disekolah.
Oleh karena keterbatasan jumlah anak tunarungu usia 12 dan 15 tahun yang
mendapatkan pendidikan formal di SLB-B di medan, maka dalam penelitian ini
peneliti mengambil sampel dari rentang usia 11-12 tahun dan 14-16 tahun.

1.2 Perumusan Masalah


Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada perbedaan oral higiene dan karies gigi antara siswa sekolah tunarungu
dan tidak tunarungu kelompok usia 11-12 tahun dan 14-16 tahun.
2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan kesehatan gigi dan mulut di sekolaj pada
siswa tunarungu dan tidak tunarungu.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui OHIS pada siswa sekolah tunarungu dan tidak tunarungu usia 11-12
tahun dan 14-16 tahun.
2. Mengetahui pengalaman karies gigi tetatp (DMF-T) rata-rata pada siswa sekolah
tunarungu dan tidak tunarungu usia 11-12 tahun dan 14-16 tahun.
3. Mengetahui perbedaan OHIS dan pengalaman karies gigi tetap (DMF-T) rata-rata
antara siswa sekolah tunarungu dan tidak tunarungu usia 11-12 tahun dan 14-16
tahun.
4. Mengetahui bagaimana pelaksanaan pendidikan kesehatan gigi dan mulut di
sekolah pada siswa tunarungu dan tidak tunarungu.

1.4 Manfaat Penelitian


Diharapkan hasil penelitian ini akan dapat memberikan gambaran tentang
keadaan kebersihan mulut dan pengalaman karies gigi tetap pada siswa sekolah
tunarungu dan sebagai bahan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya
masyarakat yang menderita tunarungu.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan Ketunarunguan


Gangguan pendengaran konon termask gejala yang masih banyak muncul
dan di derita oleh rakyat Indonesia. Secara mum masih dapat disebut penyakit
rakyat. Siapapun dapat terkena gangguan tersebut tanpa pandang bulu.12
Defenisi tunarungu dapat dilihat dari segi etimologi bahasa terdiri atas dua
suku kata yaitu tuna = rugi, rungu = pendengaran, jadi dapat disimpulkan bahwa
tunarungu merupakan suatu ketuaan indra pendengaran, tunarungu adalah mereka
yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan
pendidikan luar biasa.3
Menurut Mores (1987), defenisi ketunarunguan adalah kondisi dimana
individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-
bunyian lain baik dalam derajat frekuensi dan intensitas.1
Cartwright dan Cartwright (1984), membedakan antara tuli atau gangguan
pendengaran (hearing impairment) dengan kesulitan pendengaran dimana
kesulitan pendengaran adalah gangguan pendengaran yang baik yang permanen
maupun yang berfluktuasi, mempengaruhi prestasi akademik anak tetapi tidak
tergolong dalam klasifikasi tuli (US Office of Education, 1977, p. 42-48).3
Sedangkan ketulian didefinisikan sebaga gangguan pendengaran yang sangat
parah sehingga anak mengalami kesulitan dalam memproses informasi bahasa
melalui pendengaran, dengan atau tanpa alat bantu, sehingga mengganggu prestasi
pendidikan.4
Defenisi yang bersifat kuantitatif secara khusus menunjuk pada gangguan
pendengaran sesuai dengan hilangnya pendengaran yang dapat diukur dengan alat
audiometric. Audiometric merupakan alat yang dapat mengukur seberapa jauh
seseorang dapat mendengar atau seberapa besar hilang pendengaran dan
ditunjukkan dalam satuan decibel (dB).3

2.2 Karakterisitik Ketunarunguan


Menurut Telford dan Sawrey (1981) ketunarunguan tampak dari simtom-
simtom yaitu:
1. Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang sifatnya kronis
2. Kegagalan berespons apabila diajak berbicara
3. Terlambat berbicara atau melakukan kesalahan artikulasi
4. Mengalami keterbelakangan di sekolah.3
Suran dan Rizzo (1979) mengemukakan bahwa pada situasi sehari-hari
anak-anak dengan gangguan pendengaran tampak dari kesulitanyya memusatkan
perhatian bila diajak berbicara, anak sering memberikan jawaban yang salah untuk
pertanyaan yang sederhana, anak dapat mengerti secara lebih baik apabila
berhadap-hadapan dengan lawan bicaranya, prestasinya lebih rendah dari pada
potensinya, anak sering meminta lawan berbicaranya untuk mengulang kata-kata
atau kalimat yang diajukan, anak sering merasa sakit telinga, anak sering
mengalami demam, sering mengalami infeksi pernafasan seperti sinusitis atau
tonsillitis, anak memiliki alergi, anak memiliki masalah perilaku di kelas dan di
rumah, anak gagal melakukan artikulasi bunyi-buyni tertentu atau menghilangkan
suara konsonan, anak sering gagal membedakan antara kata-kata yang bunyinya
mirip tetapi hurufnya berbeda (misalnya muka dengan buka) dan anak menarik
diri dari teman-temannya.3

2.3 Etiologi tunarungu


Etiologi tunarungu adalah herediter dan congenital. Tunarungu herediter
seperti sindroma Crouzon, sindroma Teacher Collins dan sindrma Wardenburg.3,4
Tunarungu congenital dapat disebabkan saat ibu hamil mengalami penyakit
infeksi seperti toksoplasmosis, Rubela, cytomegalovirus, serta usaa pengguguran
kandungan dan selama periode perinatal persalinan atau setalah anak lahir. Selama
periode perinatal atau persalinan pada umumnya anak tunarungu tidak langsung
menangis. Pada periode postnatal atau setelah lahir, anak tunarungu dapat
disebabkan oleh meningitis, infeksi virus, jejas trauma, infeksi telinga tengah dan
infeksi pernafasan bagian atas. Obat-obatan yang menyebabkan jejas pada saat
janin berkembang dikenal sebagai teratogen dan dapat menyebabkan anak
tunarungu yang konduktif, neurologis dan sensori. Obat ototoxist atau dikenal
dengan nama dihidrostreptomycin merupakan obat antibiotika sangat kuat tapi
dapat berisiko terhadap kerusakan alat pendengaran, jenis tunarungu yang terjadi
addalah sensori.3,4
Para peneliti mengambil keputusan yang hampir sama, bahwa untuk
terjadinya karies atau banyak sedikitnya karies individu, kebersihan mulut dan
diet yang sangat menentukan. Menjaga kebersihan mulut dapat dilakukan di
rumah dan klinik. Tindakan membersihkan di rumah dengan sikat gigi dan
penggunaan flos gigi atau benang gigi.
Hasil penelitian Suwelo IS, dkk(1994) di SD Pulau Batam indeks kebersihan
mukut 1,68 dan daerah Ciputat 2,65 dan pada SD di wilayah Jakarta Utara
berkisar 1,1-2,7. Ternyata data indeks kebersihan mulut di atas digolongkan belum
baik. Demikian juga penelitian yang dilakukan Tenti terhadap siswa-siswi SD
Methodist Medan diperoleh skor debris rata-rata 1,92 dengan standar deviasi 0,61,
skor kalkulus 1,34 dengan standar deviasi 0,59, skor kebersihan mulut rata-
ratanya 3,24 dengan standar deviasi 1,03 hasilnya tergolong jelek.

2.4 Prevalensi dan Pengalaman Karies


Untuk mengetahui keadaan kesehatan gigi harus ada indikator kesehatan
gigi. Indikator untuk penelitian epidemiologi penting artinya bagi perencanaan,
pengembangan ketenangan, material dan penganggaran. Selain itu data penelitian
epidemiologi juga diperlukan untuk pengembangan (evaluasi) dan pemantapan
usaha-usaha pencegahan, kuratif dan rehabilitatif di bidang kesehatan gigi.
Indikator karies gigi dapat berupa prevalensi dan pengalaman karies gigi.
Prevalensi karies gigi adalah angka yang mencerminkan jumlah penderita karies
dalam periode dan daerah tertentu.
Pengalaman karies gigi adalah angka yang menunjukkan jumlah gigi yang
karies pada seseorang atau sekelompok orang. Indeks yang digunakan untuk
mengukur pengalaman karies gigi permanen adalah indeks DMF-T Klien :
D (decayed) = gigi tetap dengan satu lesi karies atau lebih yang belum ditambal.
Mi (missing indicated) = gigi tetap dengan lesi karies yang tidak dapat ditambal
lagi dan harus dicabut.
Me (missing extracted) = gigi tetap dengan lesi karies yang tidak dapat ditambal
lagi dan sudah dicabut.
F ( Filled) = gigi tetap dengan lesi karies dan sudah ditambal dengan sempurna.
DMF-T rata-rata adalah jumlah seluruh nilai DMF dibagi dengan jumlah
orang yang diperiksa. Selanjutnya juga ditentukan kategori tinggi rendahnya
prevalensi karies di suatu daerah atau negara, yakni :
0,0-1,1 = sangat rendah
1,2-2,6 = rendah
2,7-4,4 = sedang
4,5-6,5 = tinggi
6,6-lebih = sangat tinggi
Karies gigi merupakan penyakit gigi yang banyak dijumpai pada usia anak
sekolah di Indonesia, serta cenderung meningkat setiap dasawarsa. Kesehatan gigi
dan mulut merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat. Menurut Survai
Kesehatan Masyarakat (SKRT, 1995), penyakit karies gigi merupakan penyakit
masyarakat yang diderita oleh 90% penduduk Indonesia yang mempunyai sifat
progresif bila tidak dirawat atau diobati akan makin parah dan bersifat irrevisible
yaitu jaringan rusak tidak dapat utuh kembali.
Penelitian penyakit karies gigi tetap pada anak-anak umur sekolah telah
banyak dilaporkan. Hasil survai di 10 provinsi (1984-1988) pada daerah kota,
anak umur 14 tahun prevalensi kariesnya 73,20% dengan DMF-T rata-rata 2,69%.
Prevalensi karies gigi anak usia sekolah dilaporkan Utoyo dkk 1989 di

Kalimantan Barat umur 11-15 tahun DMF-T rata-ratanya 4,57 3,70 dan

10,1% bebas karies. Hasil SKRT (1995) menunjukkan prevalensi karies pada anak
umur 12 tahun sebesar 76,20% dengan DMF-T 2,21%. Penelitian pada murid-
murid SD-N Bekasi umur 12 tahun didapat DMF-T rata-rata 2,84 ( Magdarina,
dkk 1998).
Di Thailand (Richard,1994) dilaporkan prevalensi karies gigi tetapnya
11,1% dengan DMF-T rata-rata 0,2 dan pada anak umur 12 tahun prevalensi
karies gigi tetapnya 11,1% dengan DMF-T rata-rata 0,2 dan pada anak 12 tahun
prevalensi karies 53,9% dengan DMF-T 1,6 gigi.
Penelitian Al-Qahtani Z dan Wyne AH (2001), mendapatkan prevalensi
karies anak tunarungu usia 11-12 tahun di Riyadh, Saudi Arabia adalah 93% dan
indeks DMF-T-nya 5,12 (SD 3,45) dan dari 17,4% anak tunarungu, hanya 7%
yang kondisi oral higienenya baik. Prevalensi karies gigi pada anak tunarungu
lebih rendah dari pada anak retarded di Calcuta. Di Indonesia prevalensi karies
gigi anak tunarungu usia sekolah sampai saat ini belum diketahu, prevalensi karies
gigi pada anak usia sekolah di Jakarta 93,1%. Menurut penelitian Oredugba FA
(1983) di Lagos, Nigeria dimana jumlah sampel adalah 50 orang, hanya 12% dari
jumlah sampel yang mendapatkan perawatan gigi, 72% memberikan jawaban
yang benar tentang penyebab pencabutan gigi, 90% responden menyikat gigi satu
kali dalam sehari, 36% menderita gingivitis dan kasus terbanyak adalah ekstraksi
gigi dan gigi yang diskolorisasi (berubah warna).
Tahun 1987 menurut laporan WHO, indeks karies gigi pada anak cacat lebih
tinggi dibandingkan dengan anak normal. Di Calcutta dari 1024 anak usia 3-14
tahun dengan berbagai tipe kondisi cacat, prevalensi karies gigi anak cacat mental
adalah paling tinggi, kemudian penderita Serebral Palsy, anak tunanetra,
penderita epilepsi, anak dengan cacat fisik, anak Down Syndrom, kemudian tuli
dan bisu. Sedangkan menurut penelitian Kamatchy KR, Joseph J dan Krishnan
CG(2003) dari India bahwa prevalensi karies anak tunarungu usia sekolah di India
berdasarkan indeks DMF-T adalah 42,98%.
Penelitian mengenai karies gigi pada anak tunarungu usia sekolah di
Indonesia belum pernah dilaporkan namun penelitian karies gigi pada anak
tunarungu usia 2-5 tahun menurut tingkat kehilangan pendengaran, pernah
dilakukan oleh C.Sri Resphaty, Ismu Suharsono S, Sarworini BB dari bagian Ilmu
Kedokteran Gigi Anak UI, dimana hasilnya adalah frekuensi karies gigi pada anak
tunarungu 2-5 tahun adalah 70% dengan nilai rerata def-t 6,19, frekuensi karies
gigi pada anak tunarungu usia 2-5 tahun dengan tingkat kehilangan pendengaran
kelompok V (121 dB-ke atas) adalah 60% dengan nilai rerata def-t 6,87. Hal ini
menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran kelompok IV
dan V, maka frekuensi dan indeks karies gigi adalah perbedaan yang tidak
bermakna (p>0,05).

Anda mungkin juga menyukai