Anda di halaman 1dari 2

TEORI HEGEMONI ANTONIO GRAMCI (1891-1937)

Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas


dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan.
Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk
persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai
masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis,
dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring
kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang
ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk
menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Dengan demikian
mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas
dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Hegemoni ini
terjadi melalui media massa, sekolah-sekolah, bahkan melalui khotbah atau dakwah kaum
religius, yang melakukan indoktrinasi sehingga menimbulkan kesadaran baru bagi kaum
buruh. Daripada melakukan revolusi, kaum buruh malah berpikir untuk meningkatkan
statusnya ke kelas menengah, mampu mengikuti budaya populer, dan meniru perilaku atau
gaya hidup kelas borjuis. Ini semua adalah ilusi yang diciptakan kaum penguasa agar kaum
yang didominasi kehilangan ideologi serta jatidiri sebagai manusia merdeka. Agar kaum
buruh dapat menciptakan hegemoninya, Gramsci memberikan 2 cara (Strinati, 1995), yaitu
melalui : war of position (perang posisi) dan war of movement (perang pergerakan).

KONSEP ISA (Ideological State Apparatus ) ALTHUSSER (1918-1990)


Menurut Althusser, kedudukan antara basis dan superstruktur adalah otonomi
relatif: basis atau struktur ekonomi tidak selalu menjadi penentu segala aktivitas
superstruktur diatasnya. Bisa saja ada masa ketika superstruktur mengambil alih posisi
basis dan menjadi penentu atas semua struktur diluarnya. Hal ini terjadi karena masing-
masing tingkatan mempunyai problematikanya sendiri-sendiri. Tingkat ekonomi punya
problematika dalam kerangka praksis ekonomi, tingkat politik punya problematika dan
kontradiksi-kontradiksi sendiri, begitu juga dengan tingkatan ideologi. Semuanya punya
problematika dan kontradiksi sendiri dalam kerangka praksisnya. Lebih dari itu semua,
sebenarnya Althusser juga pernah mengajukan konsep State Apparatus (SA) dan Ideological
State Apparatus (ISA). Keduanya merupakan konsep penting yang berguna dalam kajian
budaya. State Apparatus (SA) atau Aparatus Negara (AN), bisa terdiri dari polisi, pengadilan,
penjara, dsb. Sedangkan Ideological State Aparatus (ISA) atau Aparatus Ideologis Negara
(AIN), terdiri dari beberapa institusi yang terspesialisasi seperti: AIN lewat institusi religius,
AIN lewat institusi edukatif, AIN lewat institusi keluarga, AIN lewat institusi hukum, AIN
lewat institusi Politis , AIN lewat institusi perdagangan, AIN lewat institusi komunikasi, AIN
lewat institusi Kebudayaan. State Aparatus (SA) atau Aparatus Negara (AN) lebih
memusatkan pengaruhnya pada wilayah publik, sementara Ideological State Aparatus atau
Apartus Ideologis Negara (AIN) lebih memusatkan pengaruhnya pada wilayah yang sifatnya
privat. Tetapi yang lebih penting lagi sebetulnya bukan ada apakah AN atau AIN itu berfungsi
pada wilayah publik atau privat, tapi kepada dengan cara bagaimana institusi-institusi itu
berfungsi. Perbedaan dasar antara AN dan AIN adalah AN lebih sering berfungsi melalui
kekerasan, maka itu Althusser kerap menyebut AN dengan Aparatus Represif Negara atau
Represif State Apparatus (RSA). Sementara AIN lebih berfungsi melalui ideologi tertentu.
Tetapi sebetulnya tidak ada AN yang berfungsi hanya dengan kekerasan saja, atau Ain yng
berfungsi hanya dengan ideologi saja. Keduanya kadang-kadang mencampurkan dua
pendekatan itu, represif dan ideologis, dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

Cara Pandang Foucault Temtang Othering


Konsep "othering" adalah satu kompleks, dan sulit untuk menentukan dengan tepat
apa artinya. Pertanyaan tentang siapa yang lainnya adalah mungkin tampak tidak berguna,
karena dalam beberapa cara kita semua "others" untuk seseorang, dan orang lain adalah "the
other" untuk kita. Kita tidak pernah bisa sepenuhnya tahu yang lain, dan bahkan jika kami
berusaha untuk melakukannya, "othering" terus berubah. Pada saat yang sama, tidak ada
"Aku" tanpa kaitannya dengan dan konsep yang lain. Kita perlu sesuatu yang dalam beberapa
derajat berbeda dari diri kita sendiri untuk benar-benar merupakan diri. Namun, bagaimana
kita membawa makna ke istilah yang mengacu benar-benar semua orang? Ketika kita mulai
menjelaskan diri kita sebagai bagian dari sekelompok orang bersatu dalam "kita", sementara
orang lain yang dibangun sebagai fundamental berbeda, bersatu dalam "mereka", kita
menggunakan senjata ampuh yang mungkin berfungsi untuk mendelegitimasi orang lain. Dan
terlalu sering, perbedaan ini ditarik sepanjang sumbu klasik diskriminasi dan kekuasaan
perbedaan, seperti seksualitas, gender, etnis, "ras", kelas dan sebagainya. Menurut Michel
Foucault, othering sangat terhubung dengan kekuasaan dan pengetahuan. Ketika kita
"lainnya" kelompok lain, kami menunjukkan kelemahan mereka dianggap membuat diri kita
terlihat lebih kuat atau lebih baik. Ini menyiratkan hierarki, dan itu berfungsi untuk menjaga
daya di mana sudah berada. Kolonialisme adalah salah satu contohnya dari kekuasaan
othering. Contoh lain dari othering hadir dalam wacana sekitar pernikahan sesama jenis.

Anda mungkin juga menyukai