Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas
dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Hegemoni ini terjadi melalui media massa, sekolah-sekolah, bahkan melalui khotbah atau dakwah kaum religius, yang melakukan indoktrinasi sehingga menimbulkan kesadaran baru bagi kaum buruh. Daripada melakukan revolusi, kaum buruh malah berpikir untuk meningkatkan statusnya ke kelas menengah, mampu mengikuti budaya populer, dan meniru perilaku atau gaya hidup kelas borjuis. Ini semua adalah ilusi yang diciptakan kaum penguasa agar kaum yang didominasi kehilangan ideologi serta jatidiri sebagai manusia merdeka. Agar kaum buruh dapat menciptakan hegemoninya, Gramsci memberikan 2 cara (Strinati, 1995), yaitu melalui : war of position (perang posisi) dan war of movement (perang pergerakan).
KONSEP ISA (Ideological State Apparatus ) ALTHUSSER (1918-1990)
Menurut Althusser, kedudukan antara basis dan superstruktur adalah otonomi relatif: basis atau struktur ekonomi tidak selalu menjadi penentu segala aktivitas superstruktur diatasnya. Bisa saja ada masa ketika superstruktur mengambil alih posisi basis dan menjadi penentu atas semua struktur diluarnya. Hal ini terjadi karena masing- masing tingkatan mempunyai problematikanya sendiri-sendiri. Tingkat ekonomi punya problematika dalam kerangka praksis ekonomi, tingkat politik punya problematika dan kontradiksi-kontradiksi sendiri, begitu juga dengan tingkatan ideologi. Semuanya punya problematika dan kontradiksi sendiri dalam kerangka praksisnya. Lebih dari itu semua, sebenarnya Althusser juga pernah mengajukan konsep State Apparatus (SA) dan Ideological State Apparatus (ISA). Keduanya merupakan konsep penting yang berguna dalam kajian budaya. State Apparatus (SA) atau Aparatus Negara (AN), bisa terdiri dari polisi, pengadilan, penjara, dsb. Sedangkan Ideological State Aparatus (ISA) atau Aparatus Ideologis Negara (AIN), terdiri dari beberapa institusi yang terspesialisasi seperti: AIN lewat institusi religius, AIN lewat institusi edukatif, AIN lewat institusi keluarga, AIN lewat institusi hukum, AIN lewat institusi Politis , AIN lewat institusi perdagangan, AIN lewat institusi komunikasi, AIN lewat institusi Kebudayaan. State Aparatus (SA) atau Aparatus Negara (AN) lebih memusatkan pengaruhnya pada wilayah publik, sementara Ideological State Aparatus atau Apartus Ideologis Negara (AIN) lebih memusatkan pengaruhnya pada wilayah yang sifatnya privat. Tetapi yang lebih penting lagi sebetulnya bukan ada apakah AN atau AIN itu berfungsi pada wilayah publik atau privat, tapi kepada dengan cara bagaimana institusi-institusi itu berfungsi. Perbedaan dasar antara AN dan AIN adalah AN lebih sering berfungsi melalui kekerasan, maka itu Althusser kerap menyebut AN dengan Aparatus Represif Negara atau Represif State Apparatus (RSA). Sementara AIN lebih berfungsi melalui ideologi tertentu. Tetapi sebetulnya tidak ada AN yang berfungsi hanya dengan kekerasan saja, atau Ain yng berfungsi hanya dengan ideologi saja. Keduanya kadang-kadang mencampurkan dua pendekatan itu, represif dan ideologis, dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Cara Pandang Foucault Temtang Othering
Konsep "othering" adalah satu kompleks, dan sulit untuk menentukan dengan tepat apa artinya. Pertanyaan tentang siapa yang lainnya adalah mungkin tampak tidak berguna, karena dalam beberapa cara kita semua "others" untuk seseorang, dan orang lain adalah "the other" untuk kita. Kita tidak pernah bisa sepenuhnya tahu yang lain, dan bahkan jika kami berusaha untuk melakukannya, "othering" terus berubah. Pada saat yang sama, tidak ada "Aku" tanpa kaitannya dengan dan konsep yang lain. Kita perlu sesuatu yang dalam beberapa derajat berbeda dari diri kita sendiri untuk benar-benar merupakan diri. Namun, bagaimana kita membawa makna ke istilah yang mengacu benar-benar semua orang? Ketika kita mulai menjelaskan diri kita sebagai bagian dari sekelompok orang bersatu dalam "kita", sementara orang lain yang dibangun sebagai fundamental berbeda, bersatu dalam "mereka", kita menggunakan senjata ampuh yang mungkin berfungsi untuk mendelegitimasi orang lain. Dan terlalu sering, perbedaan ini ditarik sepanjang sumbu klasik diskriminasi dan kekuasaan perbedaan, seperti seksualitas, gender, etnis, "ras", kelas dan sebagainya. Menurut Michel Foucault, othering sangat terhubung dengan kekuasaan dan pengetahuan. Ketika kita "lainnya" kelompok lain, kami menunjukkan kelemahan mereka dianggap membuat diri kita terlihat lebih kuat atau lebih baik. Ini menyiratkan hierarki, dan itu berfungsi untuk menjaga daya di mana sudah berada. Kolonialisme adalah salah satu contohnya dari kekuasaan othering. Contoh lain dari othering hadir dalam wacana sekitar pernikahan sesama jenis.