FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Disusun Oleh:
Awalul Ikhramiah
C111 12 042
1
2
Masalah Cakupan Pelayanan Kesehatan yang Masih Rendah
kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kesehatan adalah
salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan Dalam Undang-undang
Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
perilaku, dan pelayanan kesehatan. Sementara itu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain ketersediaan dan mutu fasilitas pelayanan kesehatan, obat dan
pelayanan kesehatan dasar, yaitu Puskesmas yang diperkuat dengan Puskesmas Pembantu
dan Puskesmas keliling, telah didirikan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Saat ini,
jumlah Puskesmas di seluruh Indonesia adalah 7.550 unit, Puskesmas Pembantu 22.002 unit
dan Puskesmas keliling 6.132 unit. Meskipun fasilitas pelayanan kesehatan dasar tersebut
masih menjadi kendala. Fasilitas ini belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat,
terutama terkait dengan biaya dan jarak transportasi. Fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
adalah Rumah Sakit yang terdapat di hampir semua kabupaten/kota, namun sistem rujukan
Ketersediaan mutu, keamanan obat, dan perbekalan kesehatan masih belum optimal
serta belum dapat dijangkau dengan mudah oleh masyarakat. Dalam hal tenaga kesehatan,
Indonesia mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan yang
diperlukan. Permasalahan besar tentang SDM adalah inefisiensi dan inefektivitas SDM
3
dalam menanggulangi masalah kesehatan. Walaupun rasio SDM kesehatan telah meningkat,
tetapi masih jauh dari target Indonesia dan variasinya antar daerah masih tajam. 1,3,4
Kualitas pelayanan menjadi kendala karena tenaga medis sangat terbatas dan
peralatan kurang memadai. Dari sisi jumlah, rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah
penduduk yang harus dilayani masih rendah. Keterjangkauan pelayanan terkait erat dengan
jumlah dan pemerataan fasilitas kesehatan. Pada tahun 2002, untuk setiap 100.000 penduduk
hanya tersedia 3,5 Puskesmas. Itu pun sebagian penduduk, terutama yang tinggal daerah
kendala geografis.3,4
Terdapat beberapa isu penting di bidang kesehatan yang perlu penanganan segera,
antara lain:1,4
Secara nasional status kesehatan masyarakat telah meningkat. Akan tetapi, disparitas
status kesehatan antara penduduk mampu dan penduduk miskin masih cukup besar.
Berbagai data menunjukkan bahwa status kesehatan penduduk miskin lebih rendah jika
dibandingkan dengan penduduk kaya. Hal ini antara lain dapat dilihat dari tingginya angka
kematian bayi dan angka kematian balita pada kelompok penduduk miskin. Menurut Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, angka kematian bayi pada kelompok
termiskin adalah 61 berbanding 17 per 1.000 kelahiran hidup pada kelompok terkaya.
Demikian juga, angka kematian balita pada penduduk termiskin (77 per 1.000 kelahiran
hidup) jauh lebih tinggi daripada angka kematian balita pada penduduk terkaya (22 per
1.000 kelahiran hidup). Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian utama pada
bayi dan balita, seperti ISPA, diare, tetanus neonatorum dan penyulit kelahiran, juga lebih
Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terkait erat dengan terbatasnya akses
terhadap pelayanan kesehatan, baik karena kendala geografis maupun kendala biaya (cost
barrier). Data SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa kendala terbesar yang dihadapi
penduduk miskin untuk mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan adalah ketiadaan uang
4
(34 persen), jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan yang terlalu jauh (18 persen), serta adanya
Data Susenas 2004 menunjukkan bahwa kendala biaya menjadi permasalahan yang
cukup serius, terutama bagi penduduk miskin, karena selama ini sebagian besar (87,2
yang berasal dari jaminan pemeliharaan kesehatan (kartu sehat yang dikeluarkan
Pemerintah) hanya sebesar 6,3 persen dan yang berasal dari asuransi sebesar 5,2 persen.
Artinya, penduduk harus menanggung biaya yang besar untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Hal ini tentu amat memberatkan bagi penduduk miskin karena mereka harus
mengeluarkan biaya yang besar untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. 1,4,5
Indonesia saat ini mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan
yang diperlukan. Pada tahun 2001, diperkirakan per 100.000 penduduk baru dapat dilayani
oleh 7,7 dokter umum, 2,7 dokter gigi, 3,0 dokter spesialis, dan 8,0 bidan. Untuk tenaga
kesehatan masyarakat, per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 0,5 sarjana kesehatan
masyarakat, 1,7 apoteker, 6,6 ahli gizi, 0,1 tenaga epidemiologi, dan 4,7 tenaga sanitasi.
Kondisi tenaga kesehatan pada tahun 2004 tidak jauh berbeda dengan itu karena sistem
pendidikan masih belum bisa menghasilkan tenaga kesehatan dalam jumlah yang
mencukupi, serta sistem perekrutan dan pola insentif bagi tenaga kesehatan kurang optimal.
Di samping itu, jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan masyarakat masih belum
memadai sehingga banyak puskesmas belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan
masyarakat. Keterbatasan ini diperburuk oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak
merata. Misalnya, lebih dari dua pertiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali. Disparitas
rasio dokter umum per 100.000 penduduk antarwilayah juga masih tinggi dan berkisar dari
Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, masih
banyak puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya, banyak puskesmas,
terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan
lainnya. Susenas 2004 menunjukkan bahwa masih banyak penduduk (29,8 persen) yang
5
harus menunggu setengah hingga satu jam untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat
jalan. Sebagian masyarakat (8,1 persen) menyatakan kurang atau tidak puas dengan
Peranan dokter, dokter gigi, perawat dan bidan dalam upaya kesehatan yang
yang menekankan masalah preventif dan promotif adalah sarjana kesehatan masyarakat
yang juga sangat penting. Pengelolaan upaya kesehatan dan pembinaan bangsa yang sehat
memerlukan pendekatan holistik yang lebih luas, menyeluruh, dan dilakukan terhadap
masyarakat secara kolektif dan tidak individual. Tenaga kesehatan harus mampu mengajak,
memotivasi dan memberdayakan masyarakat, mampu melibatkan kerja sama lintas sektoral,
mampu mengelola sistem pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif, mampu menjadi
pemimpin, pelopor, pembinaan dan teladan hidup sehat. Dalam pembinaan dan
akhir ini adalah masalah gizi kurang dan gizi buruk. Walaupun sejak tahun 1989 telah
terjadi penurunan prevalensi gizi kurang yang relatif tajam, mulai tahun 1999 penurunan
prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada balita relatif lamban dan cenderung tidak
berubah. Saat ini terdapat 10 provinsi dengan prevalensi gizi kurang di atas 30, dan bahkan
ada yang di atas 40 persen, yaitu di Provinsi Gorontalo, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa
Kurang energi dan protein pada tingkat parah atau lebih populer disebut busung
lapar, dapat menimbulkan permasalahan kesehatan yang besar dan bahkan dapat
menyebabkan kematian pada anak. Menurut data Susenas 2003, diperkirakan sekitar 5 juta
(27,5 persen) anak balita menderita gizi kurang, termasuk 1,5 juta (8,3 persen) di antaranya
menderita gizi buruk. Data Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2004
masih terdapat 3,15 juta anak (16 persen) menderita gizi kurang dan 664 ribu anak (3,8
persen) menderita gizi buruk. Pada tahun 2005 dilaporkan adanya kasus gizi buruk tingkat
6
parah atau busung lapar di Provinsi NTB dan NTT, serta beberapa provinsi lainnya.
Penderita kasus gizi buruk terbesar yang dilaporkan terjadi di Provinsi NTB, yaitu terdapat
51 kasus yang dirawat di rumah sakit sejak Januari sampai dengan Mei 2005. Jumlah kasus
di sembilan provinsi sampai Juni 2005 dilaporkan sebanyak 3.413 kasus gizi buruk dan 49 di
menunjukkan bahwa masalah gizi buruk yang muncul hanyalah sebagian kecil dari masalah
gizi buruk yang sebenarnya terjadi. Di Provinsi NTB, misalnya, berdasarkan hasil pencatatan
dan pelaporan sejak Januari-Juni 2005 hanya ditemukan sekitar 900 kasus. Namun,
diperkirakan terdapat 2.200 balita marasmus kwashiorkor. Masalah busung lapar terutama
Dua faktor penyebab utama terjadinya gizi buruk tersebut adalah rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan terjadi dalam kurun waktu
yang lama. Penyebab kedua adalah terjadinya serangan penyakit infeksi yang berulang.
Kedua faktor ini disebabkan oleh tiga hal secara tidak langsung, yaitu (1) ketersediaan
pangan yang rendah pada tingkat keluarga; (2) pola asuh ibu dalam perawatan anak yang
kurang memadai; dan (3) ketersediaan air bersih, sarana sanitasi, dan sarana pelayanan
kesehatan dasar yang terbatas. Penyebab tidak langsung tersebut merupakan konsekuensi
penduduk miskin. Melalui upaya ini diharapkan tingkat disparitas status kesehatan antara
penduduk kaya dan miskin semakin berkurang. Untuk mengantisipasi berbagai kendala
teknis di lapangan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dalam mendapatkan pelayanan
7
yang layak, misalnya hambatan administrasi dan prosedural, sosialisasi dan advokasi
pemantauan dan safe guarding. Selain itu, juga dilaksanakan peningkatan sarana dan
prasarana puskesmas dan jaringannya; pembangunan dan perbaikan rumah sakit terutama
di daerah bencana dan tertinggal secara selektif; pengadaan obat, pengadaan peralatan dan
dokter keluarga; serta peningkatan peran serta masyarakat dan sektor swasta dalam
dilaksanakan melalui penempatan tenaga dokter dan paramedis terutama di puskesmas dan
keterjangkauan harga obat dan perbekalan kesehatan, terutama untuk penduduk miskin;
dan peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit. 4,5,6
bidang sosial dan ekonomi, diharapkan taraf kesehatan penduduk miskin akan menjadi
lebih baik.4,5
dilakukan adalah pengangkatan dan penempatan tenaga kesehatan, seperti dokter dan
memiliki tenaga dokter; peningkatan proporsi rumah sakit kabupaten/kota yang memiliki
tenaga dokter spesialis dasar, dan peningkatan mutu pendidikan dan pelatihan tenaga
kesehatan.1,4
8
jaringannya, serta rumah sakit kabupaten/kota terutama di daerah terpencil dan bencana.
tenaga kesehatan melalui pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, pembinaan tenaga
kesehatan rumah tangga, obat tradisional, suplemen makanan, dan produk kosmetika
narkotika, psikotropika, zat adiktif (Napza); dan pengawasan mutu, khasiat, dan keamanan
produk. Kapasitas laboratorium pengawasan obat dan makanan juga perlu diperkuat.
penelitian tanaman obat; peningkatan promosi pemanfaatan obat bahan alam Indonesia;
Berbagai upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan itu, juga didukung oleh
administrasi keuangan, serta hukum kesehatan. Selain itu, sistem informasi kesehatan baik
nasional maupun daerah perlu dibangun dengan baik. Kebijakan untuk menjamin
pembiayaan kesehatan masyarakat secara kapitasi dan praupaya terutama bagi penduduk
dan kuantitas tenaga peneliti, sarana dan prasarana penelitian, serta penyebarluasan dan
9
Meningkatkan Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit di seluruh wilayah
Indonesia
Menurunkan angka kesakitan, kematian, dan kecacatan akibat penyakit menular dan
penyakit tidak menular upaya yang perlu dilakukan antara lain pencegahan dan
Perubahan paradigma kesehatan yang kini lebih menekankan pada upaya promotif-
preventif dibandingkan dengan upaya kuratif dan rehabilitatif diharapkan merupakan titik
balik kebijakan Depkes dalam menangani kesehatan penduduk yang berarti program
penyembuhan penyakit. Thomas Kuha menyatakan bahwa hampir setiap terobosan baru
perlu didahului dengan perubahan paradigma untuk merubah kebiasaan dan cara berpikir
yang lama. Upaya kesehatan di masa datang harus mampu menciptakan dan menghasilkan
SDM Indonesia yang sehat produktif sehingga obsesi upaya kesehatan harus dapat
10
DAFTAR PUSTAKA
4. Kurniati A, Ferry E. 2012. Kajian SDM Kesehatan di Indonesia. Jakarta: Salemba Medika
11