Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Defisiensi Vitamin A atau Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan masalah


kesehatan utama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. KVA
terutama sekali mempengaruhi anak kecil, diantara mereka yang mengalami
defisiensi dapat mengalami xerophthalmia dan dapat berakhir menjadi kebutaan,
pertumbuhan yang terbatas, pertahanan tubuh yang lemah, eksaserbasi infeksi serta
meningkatkan resiko kematian. Hal ini menjadi nyata bahwa KVA dapat terus
berlangsung mulai usia sekolah dan remaja hingga masuk ke usia dewasa (Keith
dan West, 2008).
Meskipun konsekuensi kesehatan dari KVA tidak digambarkan dengan baik di
atas anak usia dini, namun data terakhir menunjukkan bahwa KVA pada wanita usia
reproduksi dapat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian selama kehamilan
dan periode awal postpartum. KVA yang berat pada maternal juga memberikan
kerugian bagi anak baru lahir karena dapat akibatkan peningkatan kematian dibulan
pertama kehidupan. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya pemahaman
tentang KVA maka sangat penting bahwa beban kesehatan yang dihasilkan
dikuantifikasi setepat mungkin, sebagai dasar tindakan dan pemantauan serta
evaluasi program pencegahan selanjutnya. Kemajuan telah dilakukan selama 4
dekade terakhir dalam memperkirakan beban KVA, terutama dengan
menggabungkan dan mengekstrapolasikan data prevalensi dari negara dimana telah
dikumpulkan dalam populasi dengan profil demografis yang sama dan risiko yang
telah diantisipasi. Dalam beberapa tahun terakhir, KVA telah diperkirakan
mempengaruhi antara 75 dan 254 juta anak prasekolah setiap tahun, jauh dari
jarak yang akurat. Tidak ada perkiraan permasalahan kesehatan global KVA ibu
atau adanya insidensi tahunan kebutaan malam ibu (XN) ( Arlappa, 2012; Keith dan
West, 2008).
KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi
Protein (KEP) atau Gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang,
termasuk zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. Anak yang menderita KVA mudah
1
sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut, campak, cacar air,
diare dan infeksi lain karena daya tahan anak tersebut menurun. Namun masalah
KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini terjadi
karena kurangnya pengetahuan orang tua / ibu tentang gizi yang baik. Gangguan
penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini sangat
jarang terjadi. Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan
akan menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya terjadi karena kemiskinan,
dimana keluarga tidak mampu memberikan makan yang cukup. Sampai saat ini
masalah KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius. Oleh karena
itu dirasakan perlunya Program penanggulangan masalah KVA bertujuan untuk
menurunkan prevalensi KVA terutama ditujukan kepada kelompok sasaran rentan
yaitu balita dan wanita yang berada pada usia reproduksi ( Heijthuijsen, et al ,2013).

Penanggulangan masalah Kurang Vitamin A (KVA) pada anak Balita sudah


dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1970-an, melalui distribusi kapsul vitamin A
setiap 6 bulan, dan peningkatan promosi konsumsi makanan sumber vitamin A. Dua
survei terakhir tahun 2007 dan 2011 menunjukkan, secara nasional proporsi anak
dengan serum retinol kurang dari 20 ug sudah di bawah batas masalah kesehatan
masyarakat, artinya masalah kurang vitamin A secara nasional tidak menjadi
masalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2012).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan vitamin A?
2. Apa yang dimaksud dengan Kekurangan Vitamin A (KVA)?
3. Apa saja fungsi vitamin A?
4. Faktor risiko apa saja yang menyebabkan Kekurangan Vitamin A?
5. Apa penyebab terjadinya Kekurangan Vitamin A?
6. Bagaimana tanda-tanda/gelaja Kekurangan Vitamin A?
7. Apa akibat Kekurangan Vitamin A?
8. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan Kekurangan Vitamin A?
9. Apa saja sumber vitamin A?
10. Berapa Angka Kecukupan Gizi vitamin A?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian vitamin A
2. Untuk mengetahui pengertian Kekurangan Vitamin A (KVA)
2
3. Untuk mengetahui fungsi-fungsi vitamin A
4. Untuk mengetahui faktor risiko Kekurangan Vitamin A
5. Untuk mengetahui penyebab terjadinya Kekurangan Vitamin A
6. Untuk mengetahui tanda-tanda/gelaja Kekurangan Vitamin A
7. Untuk mengetahui akibat Kekurangan Vitamin A
8. Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan Kekurangan Vitamin A
9. Untuk mengetahui sumber vitamin A
10. Untuk mengetahui Angka Kecukupan Gizi vitamin A

BAB II
PEMBAHASAN
3
A. Pengertian Vitamin A

Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur kimianya
disebut retinol atau retina atau disebut juga dengan asam retinoat, terdapat pada
jaringan hewan dimana retinol 90-95% disimpan pada hati (Haryadi, 2009).
Vitamin A adalah salah satu zat gizi dan golongan vitamin yang sangat
diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat
dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh untuk
melawan penyakit, khususnya diare dan penyakit infeksi).
Vitamin A atau berdasarkan struktur kimianya dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
1. Retinol
Retinol dapat dimanfaatkan langsung oleh tubuh karena umumnya sumber retinol
diperoleh dari makanan hewani seperti telur, hati, minyak ikan yang mudah dicerna
dalam tubuh.
2. Betacaritine
Sering disebut pro-vitamin A, baru dapat dirasakan setelah mengalami proses
pengolahan menjadi retinol. Sumber betacarotene berasal dari makanan yang
berwarna orange atau hijau tua, seperti wortel, bayam, ubi kuning, mangga dan
pepaya.

Retinol atau Retinal atau juga Asam Retinoat, dikenal sebagai faktor pencegahan
xeropthalmia, berfungsi untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur kepekaan
rangsang sinar pada saraf mata, Jumlah yang dianjurkan berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi yang dianjurkan (KGA-2004) per hari 400 ug retinol untuk anak-
anak dan dewasa 500 ug retinol.Tubuh menyimpan retinol dan betacarotene dalam
hati dan mengambilnya jika tubuh memerlukannya (Iskandar, 2012).

B. Pengertian Kekurangan Vitamin A


Kekurangan Vitamin A adalah penyakit yang disebabkan oleh kurangnya asupan
vitamin A yang memadai. Hal ini dapat menyebabkan rabun senja, xeroftalmia dan
jika kekurangan berlangsung parah dan berkepanjangan akan mengakibatkan
keratomalasia (Tadesse, Lisanu, 2009).

4
Sedangkan menurut Arisman tahun 2012, Kurang Vitamin A (KVA) merupakan
penyakit sistemik yang merusak sel dan organ tubuh dan menghasilkan metaplasi
keratinasi pada epitel, saluran nafas, saluran kencing dan saluran cerna. Penyakit
Kurang Vitamin A (KVA) tersebar luas dan merupakan penyebab gangguan gizi yang
sangat penting. Prevalensi KVA terdapat pada anak-anak dibawah usia lima
tahun. Sampai akhir tahun 1960-an KVA merupakan penyebab utama kebutaan
pada anak.

C. Fungsi Vitamin A
1. Penglihatan
Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Bila kita dari
cahaya terang diluar kemudian memasuki ruangan yang remang-remang
cahayanya, maka kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang
berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia didalam darah. Tanda
pertama kekurangan vitamin A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A dapat
memperbaiki penglihatan yang kurang bila itu disebabkan karena kekurangan
vitamin A (Melenotte et al., 2012).

2. Pertumbuhan dan Perkembangan


Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk
email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang
terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada anakanak yang kekurangan

5
vitamin A, terjadi kegagalan dalam pertumbuhannya. Dimana vitamin A dalam hal ini
berperan sebagai asam retinoat (Tansu N, et al., 2010).
3. Reproduksi
Pembentukan sperma pada hewan jantan serta pembentukan sel telur dan
perkembangan janin dalam kandungan membutuhkan vitamin A dalam bentuk
retinol. Hewan betina dengan status vitamin A rendah mampu hamil akan tetapi
mengalami keguguran atau kesukaran dalam melahirkan. Kemampuan retinoid
mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan meningkatkan aktivitas
sistem kekebalan diduga berpengaruh dalam pencegahan kanker kulit, tenggorokan,
paru-paru, payudara dan kandung kemih (Knutson dan Dame, 2011).
4. Fungsi Kekebalan
Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia. Dimana
kekurangan vitamin A dapat menurunkan respon antibody yang bergantung pada
limfosit yang berperan sebagai kekebalan pada tubuh seseorang (Almatsier, 2008).
5. Perkembangan Jantung
Defek kardiak dan cabang aorta diamati sebagai bagian dari sindroma kekurangan
vitamin A. singkat kata, peranan vitamin A dalam perkembangan jantung mamalia
meliputi pembentukan pipa pola jantung dan lingkaran, ruang dan katup saluran
keluar, trabekulasi ventrikel, diferensiasi kardiomiosit dan pengembangan pembuluh
koroner (Knutson dan Dame, 2011).
6. Perkembangan Ginjal dan Saluran Kencing
Kekurangan vitamin A pada kehamilan dapat berkorelasi dengan kekurangan jumlah
nefron sub-klinis dan sedikit defisit nefron yang tidak disadari pada saat lahir, tapi
mungkin bisa berkontribusi dalam jangka panjang terjadinya gagal ginjal dan
hipertensi (Knutson dan Dame, 2011).
7. Diafragma
Fungsi diafragma sebagai otot utama respirasi dan sebagai pembatas antara rongga
dada dan perut. Hernia diafragma kongenital (CDH) terjadi pada sekitar satu dari
3000 kelahiran, dan berhubungan dengan kematian neonatal yang tinggi. Vitamin A
sangat penting bagi perkembangan diafragma normal, dan telah disimpulkan bahwa
gangguan sinyal retinoid dapat berkontribusi pada etiologi dari gangguan manusia
(Knutson dan Dame, 2011).
8. Paru dan Saluran Nafas Atas serta Aliran Udara

6
Defek Respirasi termasuk agenesis paru kiri, hypoplasia paru bilateral, dan agenesis
esophagotracheal septum digambarkan dalam sindroma KVA awal namun
dikarakteristikkan sebagai kelainan yang jarang terjadi. Paru berkembang dari
foregut endoderm selama perekembangan awal embrio. RA dari mesoderm
splanchnic di sekitar endoderm foregut telah penting ditemukan untuk pembentukan
tunas paru primordial. Sebuah laporan terbaru di New England Journal of Medicine
menunjukkan bahwa, di daerah endemik dengan defisiensi vitamin A (retinol), anak-
anak yang ibunya menerima suplementasi vitamin A sebelum, selama, dan selama 6
bulan setelah kehamilan memiliki fungsi paru-paru yang lebih baik ketika mereka
diuji pada 9 sampai 11 tahun daripada anak-anak yang ibunya menerima suplemen
beta karoten atau plasebo. Selain itu, mereka menemukan bahwa periode di mana
suplementasi dengan vitamin A yang paling penting adalah dari kehamilan usia
postnatal dari 6 bulan (Knutson dan Dame, 2011).

D. Faktor Risiko Kekurangan Vitamin A


Sebagai permasalahan kesehatan masyarakat, defisiensi vitamin A terjadi
didalam lingkungan sosial, ekonomi, dan ekologi yang miskin dan penduduknya
tinggal di negara yang ekonomiya sedang berkembang serta mengalami transisi.
Pengaruh relatif faktor kasusal pada tingkat makro maupun mikro dapat sangat
bervariasi antar negara bahkan antar wilayah dalam negara yang sama. Oleh karena
itu, kita harus memahami kondisi setempat ketika membuat rancangan program
intervensi yang tepat dan efektif secepatnya untuk memperbaiki situasi tersebut.
Walaupun begitu, ada beberapa faktor resiko dibaliknya yang cenderung menandai
sebagian besar situasi ketika defisiensi vitamin A lazim ditemukan.

Usia
Berbagai tingkat defisiensi vitamin A mulai dari bentuk subklinis hingga bentuk
malnutrisi dengan kebutaan yang berat (keratomalasia), dapat terjadi pada setiap
usia jika keadaannya cukup ekstrim. Namun demikian, sebagai persoalan kesehatan
masyarakat, defisiensi vitamin A, khususnya defisiensi yang berat, akan menyerang
anak-anak dalam usia prasekolah. Keadaan ini terjadi karena kebutuhan vitamin A
7
bagi pertumbuhan pada anak-anak ini cukup tinggi. Sementara asupan vitamin dari
makanan seringkali rendah dengan tambahan beban pajanan infeksi yang lebih
besar. Insidens xeroftalmia kornea paling prevalen pada anak-anak yang berusia 2-4
tahun. Pada anak-anak dibawah usia 12 bulan, penyakit kornea merupakan kejadian
yang relatif jarang dijumpai (terutama karena efek protektif pemberian ASI), tetapi
keratomalasia lebih sering terjadi diantara bayi-bayi yang hidup dalam kondisi sosial
ekonomi yang rendah.
Prevalensi xeroftalmia ringan, terutama buta senja (SN) dan bercak bitot (XB)
meningkat seiring usia hingga usia prasekolah dan keterkaitan ini ternyata berbeda-
beda diantara berbagai budaya terlepas dari angka xeroftalmia yang spesifik
menurut usia. Defisiensi vitamin A subklinis juga sering ditemukan diantara anak-
anak usia sekolah, remaja, dan dewasa muda pada komunitas yang sama dan
prevalensinya pada anak-anak kecil cukup tinggi.

Gender
Pada orang dewasa yang sehat, kadar retinol plasma maupun RBP (retinol-binding
protein) ternyata berada pada level 20% lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
pada wanita, kendati signifikan fisiologi perbedaan ini masih belum jelas. Walaupun
begitu, laki-laki umumnya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami buta
senja dan bercak Bitot dibandingkan perempuan selama usia prasekolah dan awal
usia sekolah. Perbedaan gender ini tidak begitu jelas dalam hal xeroftalmia yang
berat. Perbedaan pada budaya pemberian makan dan perawatan antara anak laki-
laki dan perempuan dalam sebagian populasi dapat menkelaskan variasi menurut
gender ketika hal ini diamati.

Status Fisiologi
Dengan meningkatnya kebutuhan vitamin A selama periode pertumbuhan yang
cepat, anak-anak kecil merupakan kelompok yang paling rentan. Kebutuhan akan
vitamin A juga meningkat selama masa kehamilan dan menyusui; dengan demikian,
ibu hamil dan menyusui dalam populasi yang kehilangan haknya tidak mampu
memenuhi kebutuhan yang meningkat selama periode tertentu. Buta senja selama
kehamilan dan laktasi terutama sering ditemukan di Asia Selatan dengna kejadian
8
buta senja sebesar 15%-20% dari semua kehamilan dan kemudian berulang kembali
pada kehamilan berikutnya; keadaan ini pada beberapa budaya dianggap sebagai
bagian dari kehamilan. Sejumlah penelitian juga memperlihatkan bahwa ASI dari ibu
dnegan status vitamin A yang buruk sering kali turut menyebabkan peningkatan
kerentanan pada bayi.

Diet
Penyebab dasar yang melandasi defisiensi vitamin A sebagai permasalahan
kesehatan masyarakat adlaha diet atau pola makan yang kurang mengandung
vitamin, baik senyawa karotenoidperformed aatau provitamin A untuk memenuhi
kebutuhan. Pada umumnya, ditempat yang kondisi hidupnya buruk, diet seseorang
akan bergantung pada makanan nabati yang lebih murah tetapi secara hayati
kurang mengandung vitamin A (sebagai karotenoid). Populasi yang mengonsumsi
beras sebagai makanan pokok dan serat pangan dalam kehidupan sehari-hari
ternyata sangat berisiko untuk mengalami defisiensi vitamin A. Dengan demikian,
xeroftalmia lebih sering ditemukan di Asia Selatan dan Asia Timur. Defisiensi vitamin
A subklinis umumnya terjadi ditempat yang kualitas makanannya relatif rendah
akibat kendala pada kemampuan mengakses makanan dan ketersediaan makanan,
khususnya makanan hewani.
Pemberian ASI, kualitas makanan tambahan, dan kualitas diet anak
semuanya merupakan faktor penting untuk mempertahankan status vitamin A. Ada
bukti jelas yang menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan ASI
menghadapi kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami defisiensi vitamin A jika
dibandingkan dengan anak-anak pada usia sama yang tidak memperoleh ASI. Lebih
lanjut, peningkatan frekuensi pemberian ASI juga memberikan efek protektif
terhadap xeroftalmia.
Banyak penelitian epidemiologi mendukung pemberian makanan tambahan
yang tepat dan tindakan ini ternyata dapat melindungi anak-anak selama usia
prasekolah terhadap xeroftalmia. Konsumsi buah yang berwarna kuning (mangga
dan pepaya) akan memberikan perlindungan yang kuat pada anak berusia dua dan
tiga tahun. Ketika pengaruh pemberian ASI berkurang, sayuran yang berwarna hijau
gelap memainkan peranan yang lebih penting bagi anak-anak pada usia tiga tahun
keatas. Sesudah masa bayi, konsumsi rutin makanan hewani yang mengandung
vitamin A preformed ( telur, produk susu, ikan dan hati) bersifat sangat protektif
9
terhadap kesehatan anak. Sebaliknya, dalam usia satu tahun pertama ketika anak
disapih, anak-anak yang menderita xeroftalmia ternyata lebih sedikit mendapat
makanan yang kaya akan vitamin A secara teratur dibandingkan dengan anak anak
yang tidak menderita xeroftalmia. Konsumsi sayuran berwarna hijau gelap ataubuah
dan sayuran yang berwarna kuning disertai dengan penurunan risiko xeroftalmia
sebesar 4-6 kali lipat, sementara efek konsumsi telur, daging, ikan, dan susu yang
hanya dilakukan sekali-kali disertai dengan peningkatan risiko sebesar 2-3 kali
lipat . Pola makan pada saudara kandung yang usianya lebih muda pada dua tahun
pertama kehidupannya ternyata serupa dengan pola makan kasus xeroftalmia dalam
keluarga yang sama; Kenyataan ini mencerminkan buruknya diet secara kronis pada
rumah tangga yang berisiko tinggi. Defisiensi vitamin A paling sering ditemukan pada
polpulasi penduduk; yang mengonsumsi sebagian kebutuhan vitamin A mereka dari
sumber karotenoid provitamin dengan sedikit lemak yang terkandung dalam
makanan mereka.
Kebiasaan makan yang spesifik menurut budaya dan sejumlah tabuh atau
larangan dalam pemberian makanan anak, remaja dan ibu hamil serta menyusui
sering kali membatasi konsumsi makanan yang berpotensi sebagai sumber vitamin
A yang baik. Namun demikian, kurangnya komsumsi yang kaya akan vitamin A
bukan berarti ketersediaan makanan tersebut dalam sebuah rumah tangga juga
mengalami kekurangan. Bagaimana anak-anak mengkomsumsi makanan dan
dengan siapa anak-anak itu makan, dapat memperngaruhi resikonya untuk terkena
defisiensi vitamin A. Sejumlah penelitian egnoghrafi secara rinci dilaksanakan oleh
kelompok Johns Hopkins University dan lainnya memperlihatkan bahwa anak-anak
desa di Nepal memiliki peluang dua kali lebih besar untuk mengkomsumsi sayuran,
buah, kacang-kacangan, daging atau ikan serta produk susu ketika mereka makan
bersama keluarga dibandingkan ketika mereka makan sendiri. Ironisnya, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pola kaum ibu memastikan kecukupan makanan
bagi anak-anak mereka pada sebagian budaya dapat menjadi factor predisposisi
untuk terjadinya difisiensi vitamin A pada ibu sendiri. Sebagai contoh, para ibu hamil
di Nepal yang menderita buta senja ternyata mengalami penurunan peluang
sepenuhnya untuk mengkomsumsi makanan yang kaya akan vitamin A, khususnya
selama musim kemarau yang kering akan langka panga. Di Indonesia, ketika terjadi
krisis ekonomi, para ibu telah mengorbankan asupan telur mereka demi memenuhi
kebutuhan giza anaka-anaknya.
10
Pola Penyakit
Keterkaitan antara penyakit infeksi dan status vitamin A merupakan persoalan
kompleks yang telah ditinjau secara luas. Difisiensi vitamin A akan meningkatkan
risiko morbiditas penyakit infeksi dan sebaliknya, penyakit infeksi
merupakan predisposisi terjadinya difisiensi vitamin A. Beberapa jenis infekssi
seperti diare, infeksi pernafasan, dan campak akan disertai bentuk tertentu difisiensi
vitamin A yang dapat berupa penurunan kadar retinol serum atau peningkatan resiko
xeroktalmia. Selanjutnya, frekuensi, durasi, dan intensitas penyakit infeksi secara
langsung atau tidak langsung turut meningkatkan keretangan terhadap keadaan
difisiensi vtamin A.
Keberaradaan KEP akan lebih meningkatkan resiko xeroktalmia yang urutan
intensitasnya hamper sama seperti penyakit diare dan pernafasan. Protein pengikat
retinol (RBP; RETINOL BINDING PROTEIN) dapat menurun ketika KEP sehingga
mengurangi ketersediaan vitamin A dalam darah. Selama episode penyakit infeksi,
penurunan kadar vitamin A dalam serum menggambarkan secara parsial respon
yang tidak spesifik terhadap keadaan demam ketika sintesis RBP yang juga
merupakan protein fase akut yang negative itu berkurang. Kadar retinol dalam serum
kembali normal setelah terjadi kesembuhan.
Cacing usus seperti Giardia serta Ascaris juga dilaporkan sebagai penyebab
penurunan absorpsi vitamin A, dengan demikian dapat turut menimbulkan defisiensi
vitamin A. Salah satu laporan tidak berhasil memperlihatkan kehilangan vitamin A
sesudah pemberian oral vitamin A kepada anak-anak yang menderita askariasis.
Walaupun begitu, infeksi parasit harus diatasi ketika kita menghadapi populasi
dengan persoalan defisiensi, dapat disertai dengan xeroftalmia.

Kondisi sosioekonomi
Dalam pengertian kesehatan masyarakat. Kemiskinan terutama terjadi
penyebab defisiensi vitamin, sekalipun tidak selalu demikian,. Pada
umumnya, defisiensi vitamin A ditemukan terutama di negara-negara yang
perekonomiannya relatif miskin. Sejumlah penelitaian memperlihatkan bahwa
keluarga di negara-negara yang perekonomiannya relatif memiliki lahan yang lebih
sempit, kondisi perumahan yang lebih buruk, hewan peliharaan yang lebih sedikit,
dan kemampuan ekonomi yang lebih rendah (diukur berdasarkan lebih sedikitnya
11
barang yang dimiliki seperti radio, arloji, atau sepeda). Meskipun indikator status
sosioekonomi yang rendah ditemukan (di Bangladesh) berkaitan dengan risiko
xeroftalmia yang 1,5-2,3 kali lebih tnggi, namun karakteristik ini tidak selalu dengan
sendirinya meramalkan kejadian xeroftalmia. Tingkat pendidikan yang rendah pada
ayah atau ibu dalam keadaan ini dapat dibedakan, merupakan faktor risiko yang lain.

Pengelompokan
Kejadian defisiensi vitamin A cenderung mengelompok (clustering) ketinbang
tersebar secara rata. data dari berbagai negara menunjukkan bahwa tanda-tanda
klinis defisiensi mengelompok i dalam provinsi atau Kabupaten, Kecamatan, Desa
dan bahkan rumah tangga. Memperlihatkan pengelompokan defisiensi vitami A
berdasrkan distrik di Bangladesh. Pengelompokkan di dalam negara pada dasarnya
berhubungan denga faktor ekologi serta budaya yang semakin diperparah oleh
infrastruktur yang tidak dibangun dengan baik, dan pengelompokkan di dalam rumah
tangga serta masyarakat terjadikarena praktik-praktik serta lingkungan yang tidak
kondusif bagi pola makan dankesehatan yang memadai. Bukti menunjukkan bahwa
besaran pengelompokkan didalam rumah tangga jauh melebihi didalam desa, dan
bahwa faktor rumah tangga inilah yang menjelaskan banyak tentang
pengelompokkan ini ketimbang penyakit infeksi. Identifikasi kelompom-
kelompok defisiensi vitamin A dapat memfasilitasi implementasi program intervensi
dan jika seorang anak ditemukan dengan xeroftalmia, saudara kandungnya harus
ditangani sebagai kasus suspect defisiensi vitamin A pula.

E. Penyebab Terjadinya Kekurangan Vitamin A


Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya
cadangan vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya kadar
serum vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan
metabolik bagi mata.Vitamin A diperlukan retina mata untuk pembentukan rodopsin
dan pemeliharaan diferensiasi jaringan epitel. Gangguan gizi kurang vitamin A
dijumpai pada anak-anak yang terkait dengan : kemiskinan, pendidikan rendah,
kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro vitamin A (karoten), bayi tidak
diberi kolostrum dan disapih lebih awal, pemberian makanan artifisial yang kurang
vitamin A. Pada anak yang mengalami kekurangan energi dan protein, kekurangan

12
vitamin A terjadi selain karena kurangnya asupan vitamin A itu sendiri juga karena
penyimpanan dan transpor vitamin A pada tubuh yang terganggu.
Kelompok umur yang terutama mudah mengalami kekurangan vitamin A adalah
kelompok bayi usia 6-11 bulan dan kelompok anak balita usia 12-59 bulan (1-5
tahun). Sedangkan yang lebih berisiko menderita kekurangan vitamin A adalah bayi
berat lahir rendah kurang dari 2,5 kg, anak yang tidak mendapat ASI eksklusif dan
tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun, anak yang tidak mendapat makanan
pendamping ASI yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya, anak kurang gizi atau di
bawah garis merah pada KMS, anak yang menderita penyakit infeksi (campak,
diare, TBC, pneumonia) dan kecacingan, anak dari keluarga miskin, anak yang
tinggal di dareah dengan sumber vitamin A yang kurang, anak yang tidak pernah
mendapat kapsul vitamin A dan imunisasi di posyandu maupun puskesmas, serta
anak yang kurang/jarang makan makanan sumber vitamin A.
Terjadinya kekurangan vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor dalam
hubungan yang kompleks seperti halnya dengan masalah kekurangan kalori protein
(KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A biasanya juga rendah dalam protein,
lemak dan hubungannya antara hal-hal ini merupakan faktor penting dalam
terjadinya kekurangan vitamin A.
Kekurangan vitamin A bisa disebabkan seorang anak kesulitan mengonsumsi
vitamin A dalam jumlah yang banyak, kurangnya pengetahuan orang tua tentang
peran vitamin A dan kemiskinan. Sedangkan untuk mendapatkan pangan yang
difortifikasi bukan hal yang mudah bagi penduduk yang miskin. Karena, harga
pangan yang difortifikasi lebih mahal daripada pangan yang tidak difortifikasi.
Pembedahan pada usus atau pankreas juga akan memberikan efek kekurangan
vitamin A. Bayi-bayi yang tidak mendapat ASI mempunyai risiko lebih tinggi untuk
menderita kekurangan vitamin A , karena ASI merupakan sumber vitamin A yang
baik. Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi
Protein (KEP), penyakit hati, gangguan absorpsi karena kekurangan asam empedu
(Suhardjo, 2002).
Penyebab lain KVA pada balita dikarenakan kurang makan sayuran dan buah-
buahan berwarna serta kurang makanan lain sumber vitamin A seperti : daun
singkong, bayam, tomat, kangkung, daun ubi jalar, wortel, daun pepaya, kecipir,
daun sawi hijau, buncis, daun katu, pepaya, mangga, jeruk, jambu biji, telur ikan dan

13
hati. Akibatnya menurun daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Depkes RI,
2005).

F. Gejala dan Tanda Kekurangan Vitamin A


KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari organ-
organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain. Akan tetapi
gambaran gangguan secara fisik dapat langsung terlihat oleh mata. Kelainan kulit
pada umumnya terlihat pada tungkai baeah bagian depan dan lengan atas bagian
belakang, kulit nampak kering dan bersisik. Kelainan ini selain diebabkan oleh KVA
dapat juga disebabkan kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan
B atau KEP.
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah
berlangsung lama. gejala tersebut akan lebih cepat muncul jika menderita penyaki
campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.Gejala klinis KVA pada mata
menurut klasifikasi WHO sebagai berikut :
1. Buta senja = XN. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina. Pada
keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang
setelah lama berada di cahaya yang terang. Penglihatan menurun pada senja hari,
dimana penderita tidak dapat melihat lingkungan yang kurang cahaya.
2. Xerosis konjunctiva = XI A. Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat atau
terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan
kusam.
3. Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah tanda-tanda XI A
ditambah dengan bercak bitot, yaitu bercak putih seperti busa sabun atau keju
terutama celah mata sisi luar. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel
epitel yang merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai
sebagai penentuan prevalensi kurang vitamin A pada masyarakat. Dalam keadaan
berat tanda-tanda pada XI B adalah, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan
konjunctiva, konjunctiva tampak menebal, berlipat dan berkerut.
4. Xerosis kornea = X2. Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai kornea,
kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.

14
5. Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak seperti bubur
dan dapat terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea.Keratomalasia
dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan prolaps jaringan isi bola mata
dan membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum
yang cepat memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa
harus melalui tahap-tahap awal xeroftalmia.
6. Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea. Kornea tampak menjadi putih atau
bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan
meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta
yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.
7. Xeroftalmia Fundus (XF). Tampak seperti cendolXN, XI A, XI B, X2 biasanya
dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2
merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam
beberapa hari bisa menjadi keratomalasia. X3A dan X3 B bila diobati dapat sembuh
tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total
bila lesi pada kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea.Prinsip dasar
untuk mencegah xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan vitamin A yang cukup
untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi. Selain itu perlu memperhatikan
kesehatan secara umum (Wardani, 2012).

G. Dampak Kekurangan Vitamin A pada Manusia


Tubuh memerlukan asupan vitamin yang cukup sebagai zat pengatur dan
memperlancar proses metabolisme dalam tubuh. Sebagai vitamin yang larut dalam
lemak, vitamin A membangun sel-sel kulit dan memperbaiki sel-sel tubuh, menjaga
dan melindungi mata, menjaga tubuh dari infeksi, serta menjaga pertumbuhan tulang
dan gigi. Karena fungsi tersebut, vitamin A sangat bagus dalam proses pertumbuhan
dan perkembangan anak. Vitamin A juga berperan dalam epitil, misalnya pada epitil
saluran pencernaan dan pernapasan serta kulit. Vitamin A berkaitan erat dengan
kesehatan mata. Vitamin A membantu dalam hal integritas atau ketahanan retina
serta menyehatkan bola mata. Vitamin A fungsinya tak secara langsung mengobati
penderita minus, tapi bisa menghambat minus. Kekurangan vitamin A menyebabkan
mata tak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan cahaya yang masuk dalam
retina. Sebagai konsekuensi awal terjadilah rabun senja, yaitu mata sulit melihat kala
senja atau dapat juga terjadi saat memasuki ruangan gelap. Bila kekurangan vitamin
15
A berkelanjutan maka anak akan mengalami xerophtalmia yang mengakibatkan
kebutaan. Selain itu kekurangan vitamin A menyebabkan tubuh rentan terhadap
infeksi bakteri dan virus. Tanpa vitamin A, sistem pertahanan tubuh akan hilang.Ini
memicu tubuh rentan terserang penyakit.
Vitamin A bisa terserap dalam tubuh yang kondisinya baik. Anak usia balita
sangat rentan kekurangan vitamin A karena kondisi tubuhnya rentan terhadap
penyakit, seperti diare atau infeksi pencernaan. Untuk itu peran ibu sangat penting
dalam menjaga ketahanan tubuh bayi yakni dengan memberikan ASI eksklusif, agar
mempunyai ketahanan tubuh yang cukup.Kebutuhan vitamin A yang cukup dalam
tubuh, dapat diketahui dengan cara menganalisis makanan yang dikonsumsi sehari-
hari dan melihat kondisi tubuh. Jika tubuh anak sering terkena penyakit, seperti
diare, busung lapar atau gangguan saluran pernapasan, maka secara otomatis,
asupan vitamin A-nya kurang (Zulkarnaen, 2012).
Selain itu, dampak kekurangan Vitamin A bagi balita antara lain:
1. Hemarolopia atau kotok ayam (rabun senja).
2. Frinoderma, pembentukan epitelium kulit tangan dan kaki terganggu, sehingga
kulit tangan dan kaki bersisik.
3. Pendarahan pada selaput usus, ginjal dan paru-paru.
4. Kerusakan pada bagian putih mata mengering dan kusam (Xerosis konjungtiva),
bercak seperti busa pada bagian putih mata (bercak bitot), bagian kornea kering dan
kusam (Xerosis kornea), sebagian hitam mata melunak ( Keratomalasia ), Seluruh
kornea mata melunak seperti bubur (Ulserasi Kornea) dan Bola mata mengecil /
mengempis (Xeroftahalmia Scars).

16
5. Terhentinya proses pertumbuhan.
6. Terganggunya pertumbuhan pada bayi.
7. Mengakibatkan campak yang berat yang berkaitan dengan adanya komplikasi
pada anak-anak serta menghambat penyembuhan. (Melenotte et al,2012)
Namun demikian perlu juga diperhatikan bahwa pemberian dosis Vitamin A yang
terlalu tinggi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan akibat yang kurang baik
antara lain:
1. Hipervitaminosis A pada anak-anak dapat menimbulkan anak tersebut cengeng,
pada sekitar tulang yang panjang membengkak, kulit kering dan gatal-gatal.
2. Hipervitaminosis pada orang dewasa menimbulkan sakit kepala, mual-mual dan
diare. (Sugiarno, 2010).

H. Pengobatan dan Pencegahan Kekurangan Vitamin A


Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat
diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat
dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meni ngkatkan daya tahan tubuh untuk
melawan penyakit misalnya campak, diare, dan penyakit infeksi lain) (Depkes RI,
2009)
Pada ibu hamil dan menyusui, vitamin A berperan penting untuk memelihara
kesehatan ibu selama masa kehamilan dan menyusui. Buta senja pada ibu
menyusui, suatu kondisi yang kerap terjadi karena kurang vitamin A (KVA).
Berhubungan erat pada kejadian anemia pada ibu, kekurangan berat badan, kurang
17
gizi, meningkatnya resiko infeksi dan penyakit reproduksi, serta menurunkan
kelangsungan hidup ibu hingga dua tahun setelah melahirkan (Dinkes Jateng, 2007)
Semua anak, walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus gizi baik dan
tinggal di Negara maju, terlahir dengan cadangan vitamin A yang terbatas dalam
tubuhnya (hanya cukup memenuhi kebutuhan untuk sekitar dua minggu). Di Negara
berkembang, pada bulan-bulan pertama kehidupannya, bayi sangat bergantung
pada vitamin A yang terdapat dalam ASI. Oleh sebab itu, sangatlah penting bahwa
ASI mengandung cukup vitamin A. Anak-anak yang sama sekali tidak mendapatkan
ASI akan beresiko lebih tinggi terkena Xeropthalmia dibandingkan dengan anak-
anak yang mendapatkan ASI walau hanya dalam jangka waktu tertentu. Berbagai
studi yang dilakukan mengenai vitamin A ibu nifas memperlihatkan hasil yang
berbeda-beda.
Anak-anak usia enam bulan yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A setelah
melahirkan, menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus demam pada
anak-anak tersebut dan waktu kesembuhan yang lebih cepat saat mereka terkena
ISPA. Ibu hamil dan menyusui seperti halnya juga anak-anak, berisiko mengalami
KVA karena pada masa tersebut ibu membutuhkan vitamin A yang tinggi untuk
pertumbuhan janin dan produksi ASI.
Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui
proses Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman.
Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata.
Selain itu kegiatan konsumsi kapsul vitamin A masih bersifat rintisan.
Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian
kapsul vitamin A dosis tinggi :

a. Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis 100.000 SI
(warna biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari
dan Agustus.
b. Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis 200.000 SI
(warna merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari
dan Agustus.
c. Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul vitamin A
dosis 200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi memperoleh vitamin A
yang cukup melalui ASI (Depkes RI, 2009).
18
d. Wanita hamil : suplemen vitamin A tidak direkomendasikan selama kehamilan
sebagai bagian dari antenatal care rutin untuk mencegah maternal and infant
morbidity dan mortality. Namun, pada daerah dimana terdapat masalah kesehatan
publik yang berat yang berkaitan dengan kekurangan vitamin A, maka
suplementasi vitamin A direkomendasikan untuk mencegah rabun senja. Secara
khusus, wanita hamil dapat mengkonsumsi hingga 10,000 IU vitamin A setiap
harinya atau vitamin A hingga 25,000 IU setiap minggu. Suplementasi dapat
dilanjutkan hingga 12 minggu selama kehamilan hingga melahirkan. Hal ini perlu
ditekankan bahwa WHO mengidentifikasi populasi berisiko sebagai mereka yang
prevalensi menderita rabun senja 5% pada wanita hamil atau 5% pada anak
anak yang berusia 2459 bulan.( McGuire, 2012)
e. Ibu nifas: suplementasi vitamin A pada ibu nifas tidaklah direkomendasikan untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi. ( McGuire S. 2012)

Kekurangan makan makanan bergizi yang berlarut-larut, selain membuat orang


menjadi kurus juga kekurangan vitamin-vitamin, termasuk kekurangan vitamin A.
penyakit usus yang menahun akan mengakibatkan penyerapan vitamin A dari usus
terganggu. Untuk melakukan pengobatan harus berobat pada dokter dan biasanya
dokter akan memberikan suntikan vitamin A setiap hari sampai gejalanya hilang.
Untuk mencegah kekurangan vitamin A makanlah pepaya, wortel dan sayur-sayuran
yang berwarna ( Hassan, 2008).
Program nasional pemberian suplemen vitamin A adalah upaya penting untuk
mencegah kekurangan vitamin A di antara anak-anak Indonesia. Tujuan Program ini
adalah untuk mendistribusikan kapsul vitamin A pada semua anak di seluruh wilayah
Indonesia dua kali dalam satu tahun. Setiap Februari dan Agustus, kapsul vitamin A
didistribusikan secara gratis kepada semua anak yang mengunjungi Posyandu dan
Puskesmas. Vitamin A yang terdapat dalam kapsul tersebut cukup untuk membantu
melindungi anak-anak dari timbulnya beberapa penyakit yang pada gilirannya akan
membantu menyelamatkan penglihatan dan kehidupan mereka ( Maryam, 2010 ).
Pemberian vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam satu sampai dua
minggu. Dianjurkan bila diagnosa defisiensi vitamin A ditegakkan maka berikan
vitamin A 200.000 IU peroral dan pada hari kesatu dan kedua. Belum ada perbaikan
maka diberikan obat yang sama pada hari ketiga. Biasanya diobati gangguan

19
proteinkalori mal nutrisi dengan menambah vitamin A, sehingga perlu diberikan
perbaikan gizi.

I. Sumber Vitamin A
Pada umumnya kecukupan Vitamin A pada orang dewasa didapat dari makanan
yang di konsumsi setiap hari. Demikian juga bagi anak anak selain didapat dari
makanan juga dari suplemen Vitamin A. sedangkan bagi bayi yang berumur kurang
dari 6 bulan kebutuhan Vitamin A diperoleh dari Air Susu Ibu (Sugiarno. 2010). ASI
tetap menjadi sumber yang penting dari vitamin A dan karoten (zat gizi yang banyak
terdapat secara alami dalam buah-buahan dan sayur-sayuran). Karoten dapat
membantu sistem kekebalan tubuh. Hati, telur, dan keju merupakan sumber-sumber
vitamin A yang baik. Vitamin A juga terdapat dalam beta-karoten serta karotenoid
lainnya. Tubuh manusia dapat mensintesa vitamin A dari karoten atau pro vitamin A
yang terdapat di sayuran dan buah-buahan yang berwarna, seperti wortel, tomat,
apel, semangka, dan sebagainya. (Dinkes Jateng, 2007)
Kadar Vitamin A dalam air susu sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis
makanan yang dikonsumsi selama menyusui. Untuk itu bagi ibu nifas dianjurkan
banyak mengkonsumsi sayuran terumata yang banyak mengandung Vitamin A.
(Sugiarno. 2010)
Vitamin A sangat penting bagi kesehatan kulit, kelenjar, serta fungsi mata.
Sekalipun pada waktu lahir bayi memiliki simpanan vitamin A, Vitamin A adalah salah
satu zat gizi esensial yang tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh manusia. Untuk
memperolehnya harus diambil dari sumber diluar tubuh terutama dari sumber alam,
seperti bahan sereal, umbi, biji-bijian, sayuran, buah-buahan, hewani dan bahan-
bahan olahan lainnya.(Desi & Dwi, 2009)

J. Angka Kecukupan Gizi Vitamin A


Halati (2006) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi (AKG) anak balita
sekitar 350 Retinol Ekuivalen (RE). Angka ini dihitung dari kandungan vitamin A
dalam makanan nabati atau hewani yang dikonsumsi. Sebagai gambaran, angka
350 RE terdapat pada tiga butir telur atau 250 gram bayam. Jadi seorang anak balita
memenuhi kecukupan gizi vitamin A jika ia mengonsumsi tiga telur atau 250 gram
bayam dalam sehari. Tapi, tentu saja, seorang anak akan bosan jika terus menerus
diberi telur dan bayam, apalagi dalam jumlah besar.
20
Terdapat banyak sayuran dan buah yang mengandung vitamin A. Sayuran dan
buah yang mengandung AKG dalam jumlah besar, lebih dari 150 RE/100 gr, adalah
pepaya, bayam, kangkung, wortel, ubi jalar, mangga, dan sebagainya. Sementara
sumber makanan nabati dengan kandungan vitamin A lebih rendah, sekitar 1-60
RE/100 gr, terdapat pada jagung, semangka, tomat, pisang, belimbing, dan
sejenisnya. Untuk sumber makanan hewani, kandungan vitamin A dalam jumlah
besar terdapat pada telur, daging ayam dan hati. Sedangkan ikan, susu segar, dan
udang memiliki kandungan vitamin A tergolong kecil.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

a. Vitamin A adalah salah satu zat gizi dan golongan vitamin yang sangat
diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat
dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh untuk
melawan penyakit, khususnya diare dan penyakit infeksi).
b. Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah penyakit
yangdisebabkan oleh kurangnya asupan vitamin A yang memadai. Hal
ini dapatmenyebabkan rabun senja,xeroftalmia dan jika kekurangan berlangsun
g parah danberkepanjangan akan mengakibatkan keratomalasia.
c. Selain berfungsi pada sistem penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan dan
perkembangan, reproduksi, dan pencegahan kanker, vitamin A juga berfungsi
dalam sistem kekebalan (anti infeksi).
d. Faktor risiko kekurangan vitamin A adalah usia, gender, status fisiologis, diet,
pola penyakit, kondisi sosialekonomi, dan pengelompokan.
21
e. Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya
cadangan vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya
kadar serum vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai
kebutuhan metabolik bagi mata.
f. KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan vitamin A pada hati dan organ-
organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawah garis yang
diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik bagi mata. Gejala klinis KVA
pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai berikut :
Buta senja = XN.
Xerosis konjunctiva = XI A.
Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B.
Xerosis kornea = X2.
Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B.
Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea.
Xeroftalmia Fundus (XF).
g. Kekurangan vitamin A menyebabkan mata tak dapat menyesuaikan diri terhadap
perubahan cahaya yang masuk dalam retina. Sebagai konsekuensi awal
terjadilah rabun senja, yaitu mata sulit melihat kala senja atau dapat juga terjadi
saat memasuki ruangan gelap. Bila kekurangan vitamin A berkelanjutan maka
anak akan mengalami xerophtalmia yang mengakibatkan kebutaan.
h. Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui
proses Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling
aman. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan
dampak nyata. Selain itu kegiatan konsumsi kapsul vitamin A masih bersifat
rintisan. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada
pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.
i. Hati, telur, dan keju merupakan sumber-sumber vitamin A yang baik. Vitamin A
juga terdapat dalam beta-karoten serta karotenoid lainnya. Tubuh manusia dapat
mensintesa vitamin A dari karoten atau pro vitamin A yang terdapat di sayuran
dan buah-buahan yang berwarna, seperti wortel, tomat, apel, semangka, dan
sebagainya.
j. Halati (2006) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi (AKG) anak balita
sekitar 350 Retinol Ekuivalen (RE). Angka ini dihitung dari kandungan vitamin A
dalam makanan nabati atau hewani yang dikonsumsi.

B. Saran

22
Timbulnya berbagai penyakit akibat kekurangan vitamin A karena kurangnya
perhatian terhadap kesehatan masing-masing individu dan keluarga. Maka untuk
mencegah ataupun menanggulangi terjadinya peningakatan kekurangan vitamin A,
penulis menyarankan untuk lebih banyak mengomsumsi buah-buahan, biji-
bijian, sayur-sayuran dan juga hewani yang banyak mengandung vitamin A. Dengan
demikian, akan mengurangi resiko terjadinya penyakit akibat kekurangan Vitamin A.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arisman. 2012. Gizi dalam daur kehiduan.Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang. Proyek peningkatan Penelitian Pendidikan
Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

2. Desi dan Dwi 2009. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta. Nuha Medika.
Departemen Kesehatan RI, Konsumsi Kapsul Vitamin A pada Ibu Nifas.

3. Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

4. Haryadi, Hendri. 2011 . Makalah Kekurangan Vitamin A Ilmu Gizi. Diakses


dari http://handri-haryadi.blogspot.com

5. Iskandar, Zulkarnaen. 2012. Kekurangan Vitamin A. Diakses dari


http://kuliahiskandar.blogspot.com.

6. Maryam,Siti dkk (2010). Asuhan Keperawatan pada Lansia. Trans Info Medika,
Jakarta.

7. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Dinas Kesehatan Pemerintah


Provinsi Jawa Tengah 2007.

8. Sugiamo. 2010. Defesiensi Vitamin A


http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-sugiamg0-5116-2-bab2.pdf

9. Muhilal, et al. Vitamin A Fortified Monosodium Glutamat and Health, Growth, and
Survival of Children: a Controlled Field Trial. Am J Clin Nutr2008,48: 1271-76

23
10. Sediaoetama,Achmad Djaeni.2004. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan
Profesi.Jakarta : Dian Rakyat

24

Anda mungkin juga menyukai