Anda di halaman 1dari 14

STATUS EPILEPTIKUS

1. Definisi Status Epileptikus


- status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang
yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama
lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
- Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30menit, atau
adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat
pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan harus dimulai dalam 10
menit setelah awitan suatu bangkitan.
- Status Epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang
umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh di antara serangan. Istilah ini telah
diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinue yang berakhir sedikitnya 30
menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran (Muttaqin, 2008)

2. Klasifikasi Status Epileptikus


Ada dua golongan utama dari epilepsy, yaitu serangan parsial atau fokal yang mulai pada
suatu tempat tertentu di otak, biasanya didaerah korteks serebri; dan serangan umum
yang agaknya mencakup seluruh korteks serebri dan diensefalon.
a. Epilepsi Parsial dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar ataupun kompleks.
Epilepsi parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang mencakup gejala-gejala motorik
atau sensorik.
Pada epilepsi parsial sederhana, hanya satu jari atau tangan yang bergetar atau mulut
dapat tersentak tak terkontrol. Individu ini bicara yang tidak dapat dipahami, pusing,
mengalami sinar, bunyi, atau rasa yang tidak umum atau tidak nyaman. Epilepsi parsial
yang kompleks melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi
seperti proses ingatan dan proses berfikir, individu tetap tidak bergerak atau bergerak
secara otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu & tempat, / mengalami emosi berlebihan
yaitu takut, marah, kegirangan atau peka rangsangan. Focus epileptik pada jenis epilepsi
ini sering kali pada lobus temporalis. Kedua jenis epilepsi parsial dapat menyebar &
menjadi serangan umum (motorik utama).
b. Kejang umum lebih umum disebut sebagai kejang grand mall, melibatkan kedua hemisfer
otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi. Mungkin ada kekakuan pada seliruh
tubuh yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot.
(Muttaqin, 2008)
Klasifikasi Kejang berdasarkan Hudak dan Gallo, 1996, yaitu :
1. Kejang Parsial
a. Parsial sederhana (kesadaran klien baik)
1. Motorik
2. Sensorik
3. Otonomi
4. Fisik
b. Parsial kompleks (kerusakan kesadaran)
1. Parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran
2. Kerusakan kesadaran saat awitan
c. Kejang parsial generalisasi sekunder
2. Kejang Umum
a. Non kejang
b. Tonik-klonik umum
c. Tonik
d. Klonik
e. Mioklonik
f. Atonik
Berdasarkan lokasi, awal bangkitan status epileptikus terjadi dari area tertentu di korteks
(Partial Onset) atau kedua hemisfer otak (Generalized onset ) sedangkan jika berdasarkan
pengamatan klinis, status epileptikus terbagi atas konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik)
dan non-konvulsif (bangkitan bukan umum tonik-klonik).
Banyak pendekatan klinis yang diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus
yaitu status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status
epileptikus parsial (sederhana dan kompleks).

3. Etiologi Status Epileptikus


Ditinjau dari penyebabnya, epilepsy dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan
pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat
kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak.
Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut
sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak,
cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan
metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria), defisiensi vitamin B6),
faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan
neoplasma.
DeLorenzo dkk melaporkan bahwa pada pasien dibawah usia 16 tahun, penyebab
paling umum adalah demam atau infeksi(36%). Pasien dengan riwayat epilepsi
sebelumnya mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya SE. Hal ini termasuk juga pasien
yang cenderung mengalami epilepsi berulang serta ketidakteraturan dalam meminum
obat antikonvulsan.
3. Patogenesis Status Epileptikus
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah kejang.
Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter eksitatori: glutamat,
aspartat dan asetilkolin) melebihi kemampuan hambatan intrinsik (GABA) atau mekanisme
hambatan intrinsik tidak efektif. Pada lebel neurokimia, bangkitan terjadi akibat
ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan dan kurangnya inhibisi. Neurotransmitter
eksitasi yang terbanyak ditemukan adalah glutamat dan juga turut dilibatkan disini adalah
reseptor subtipe NMDA (N-methyl-D-aspartat). Neurotransmiter inhibisi yang terbanyak
ditemukan adalah gamma-aminobutyric acid (GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan
mekanisme utama pada status epileptikus. Inhibisi yang diperantarai oleh reseptor GABA
berperanan dalam terminasi bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat sebagai
neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam perambatan bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA
meningkatkan kadar kalsium intraseluler yang menyebabkan cedera sel saraf pada status
epileptikus. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus
maka semakin sulit dikontrol. Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan dari transmisi
GABAergik inhibisi yang inadekuat ke transmisi NMDA eksitasi yang berlebihan.Suatu lepasan
muatan simpatis akan menyebabkan naiknya tekanan darah dan bertambahnya denyut
jantung. Autoregulasi peredaran darah otak hilang mengakibatkan turunnya resistensi
serebrovaskuler. Aliran darah ke otak sangat bertambah didorong oleh tingginya tekanan
darah dan tidak adanya mekanisme autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah sistemik akan
turun bila kejang berlangsung terus dan mengakibatkan turunnya tekanan perfusi yang
selanjutnya menyebabkan iskemik pada otak. Hal ini dan berbagai faktor lain akan
menyebabkan hipoksia pada sel-sel otak. Kejang otot yang luas dan melibatkan
otot pernafasan selain mengganggu pernafasan secara mekanis juga menyebabkan inhibisi
pada pusat pernafasan di medula oblongata. Disamping itu pelepasan muatan saraf otonom
menyebabkan sekresi bronkus berlebihan dan aspirasi mengakibatkan gangguan difusi
oksigen melalui dinding alveolus. Perubahan fisiologis lain yang paling penting ialah adanya
penggunaan energi yang sangat banyak.Neuron yang terus menerus terpacu menyebabkan
bertambahnya metabolisme otak secara berlebihan sehingga persediaan senyawa fosfat
energi tinggi terkuras. Hipotensi dan hipoksia akan memperburuk keadaan yang berakhir
dengan kematian sel-sel neuron. Selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan aritmia jantung,
hipoksia otak yang berat dan kematian. Kejang otot dan gangguan autoregulasi lain juga
menimbulkan komplikasi kerusakan otot, edema paru dan nekrosis tubuler mendadak.
Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan kelainan yang sama dengan
apa yang terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksia. Sel-sel neuron yang mengalami
iskemik selalu terdapat di daerah sektor Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan 6 korteks
serebri, kornu Ammon, amigdala, talamus dan sel-sel Purkinje.\
4. Manifestasi Klinis Epileptikus
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)
merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei
ditemukan kira-kira 44 sampai 74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
a. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau
kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik
umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang berlangsung
dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan
pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini,
diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan
darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat
serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan
metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.

b. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)


Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase
tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
c. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan
gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
d. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe
dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa
yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi
degeneratif.
e. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu
keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow
motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada
riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG
terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua
tempat.Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
f. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai
dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian
dengan paranoia,delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive
behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG
menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave
discharges dari status absens.
g. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang
menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara
unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu
menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang
berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok
dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang
intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
h.Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
untuk mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan
berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas
fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering
menyeluruh.Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin
sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-
konvulsif pada beberapa kasus.
Adapun manifestasi klinik dari status epilepsy yaitu:
Kejang-kejang ( tonik klonik, Absence)
Hipertensi
Mulut berbuih
Menggigit lidah
Kekuatan Otot menurun
Cyanosis
Inkontinensia urin
Denyut nadi meningkat
hipersalivasi

5. Fase Epileptikus
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase, yaitu :
a. Fase pertama : Pada fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan
aliran darah otak dan cardiac output ,peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan
tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH
yang diakibatkan oleh asidosis laktat dan terjadi perubahan saraf yang bersifat reversibel
pada tahap ini.
b. Fase Kedua : Setelah 30 menit ada perubahan ke fase kedua yaitu kemampuan tubuh
beradaptasi menjadi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali
normal. Kemudian, terjadilah kerusakan saraf yang bersifat irreversibel pada tahap ini.
c. Fase ketiga : Pada fase ketiga, aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan saraf
yangirreversibel.
d. Fase keempat : Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap
keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.
e. Fase kelima : Keadaan pada fase keempat diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis
aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kerusakan saraf dan kerusakan otak berlanjut.

6. Pemeriksaan diagnostik Epileptikus


a. Anamnesis
Pada anamnesis, tenaga medis dapat menanyakan kepada pasien ataupun keluarga
tentang adanya riwayat epilepsi berulang, riwayat penyakit sistemik atau SSP, riwayat
putus obat atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan dan riwayat trauma pada
pasien tersebut. Selain itu, dari anamnesis dapat digali informasi tentang bagaimana
gambaran serangan, berapa lama durasinya, tingkat kesadaran selama ataupun antara
kejang,sifat kejang dan sejak kapan serangan terjadi.
b. Pemeriksaan Fisik
Cara yang paling penting untuk membedakan status epileptikus dari suatu bangkitan
umum biasa adalah dengan memeriksa aktivitas susunan saraf simpatis.Menetapnya
takikardi, hipertensi, keringat berlebihan, hipersalivasi merupakan gambaran umum status
epileptikus. Papilledema, tanda peningkatan tekanan intrakranial menunjukkan
kemungkinan adanya lesi ,massa atau infeksi otak. Fitur neurologis juga tampak seperti
tonus yang meningkat dan refleks asimetris. Ekstensor berulang cepat atau sikap fleksor
dapat membingungkan dengan aktivitas kejang lainnya oleh pengamat biasa. Mioklonus
berulang pada pasien koma setelah cedera otak hipoksia difus dapat mensimulasikan
kejang umum. Asal fisiologis tersentak mioclonic mungkin tidak kortikal,myoclonus
biasanya hanya terbatas dalam durasi beberapa jam.
Pasien dengan status epileptikus halus tidak menunjukkan peningkatan kesadaran pada
20-30 menit setelah aktivitas kejang umum. Ekspresi motor aktivitas listrik abnormal
kortikal dapat berubah sehingga terlihat kedipan kelopak mata atau kedutan ekstremitas
yang merupakan satu-satunya tanda dari pelepasan listrik umum yang berkelanjutan.
Aktivitas motorik mungkin tidak ada walaupun adanya aktivitas listrik pada status
epileptikus. Trauma dapat juga ditemukan pada pasien dengan kejang termasuk luka lidah
(biasanya lateral), dislokasi bahu, trauma kepala, dan trauma wajah.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kadar obat antikonvulsan :
Yang harus dipantau untuk menjamin konsentrasi serum yang adekuat.
Segera setelah status epileptikus dapat dikendalikan, pasien dengan epilepsi yang
sudah ada sebelumnya dapat diberikan kembali regimen antikonvulsan oral yang
biasa dipakai.
b. Lumbal Punksi
Harus dilakukan pada pasien demam walaupun tidak ada tanda-tanda adanya
meningitis.
c. Kimia darah rutin
Meliputi kadar Mg, Ca, dan kadar zat kimia darah lainnya.
2. EEG: Untuk mengkonfirmasi diagnosis terutama pada kasus refrakter yang mungkin
fungsional yaitu pseudostatus dan tidak menunjukkan kelainan EEG. Untuk memantau
pengobatan, melakukan titrasi obat anestesi - pola burst-suprpresion dicapai.
3. Brain Imaging
Brain imaging dengan menggunakan CT Scan dapat menentukan tempat lesi di otak. Jika
pemeriksaan CT menunjukkan keadaan yang normal, maka dilanjutkan dengan
pemeriksaan MRI untuk lebih mengkonfirmasi adanya lesi di otak.

7. Penatalaksanaan Medis Epileptikus


Tabel. Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah),
dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang
sebanyak 65%.
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan & Manajemen. Edisi 2. Alih
Bahasa H.Y.Kuncoro. Jakarta. EGC
Kariasa, Made. 2002. Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi. Jakarta.FIK-UI
Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta . Gadjah Mada University Press.
Harsono, Endang Kustiowati, Suryai Gunadarma. 2008. Pedoman dan Tatalaksana Epilepsi edisi
3. Jakarta. PERDOSSI.

Anda mungkin juga menyukai