Perkembangan Perencanaan Bangunan Tahan Gempa
Perkembangan Perencanaan Bangunan Tahan Gempa
Benjamin Lumantarna
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan teknik Sipil
Universitas Kristen Petra, Surabaya
Direktur Benjamin Gideon and Associates, Surabaya
ABSTRAK
Proses produksi Semen Portland sebagai salah satu unsur utama pembangunan cukup
banyak menghasilkan gas CO2, salah satu penyebab global warming. Penggunaan
semen portland secara bijak dan perencanaan bangunan secara lebih baik dan lebih
efisien secara tidak langsung mengurangi emisi gas CO2. Dilain pihak kenyataan
menunjukkan, meskipun Teddy Boen dan Wiratman Wangsadinata sebagai pelopor
perencanaan bangunan tahan gempa, sejak tahun 1969 berusaha memperkenalkan
cara-cara perencanaan bangunan tahan gempa [1,2,3,4,5], gempa Aceh, 26 Desember
2004, Nias, 28 Maret 2005, Jogya, 27 Mei 2006, dan Bengkulu 12 September 2007
masih mengakibatkan kerusakan yang sangat parah pada bangunan beton bertulang
(Gambar 1 dan 2), bahkan menurut Hoedajanto [6] kerusakan kecil yang terjadi pada
Gedung Kantor Gubenur NAD (Gambar 3) bukan hasil perencanaan tetapi hanya
suatu kebetulan, karena di halaman yang sama, terjadi kerusakan yang hebat (Gambar
1.a). Dimana letak kesalahan kita, kurang intens melakukan sosialisasi atau beban
rencana yang diberikan oleh peraturan, salah? Timbul pertanyaan apakah ada
bangunan yang tahan terhadap gempa?
Peraturan Muatan Indonesia, PMI 1970 [7], adalah peraturan pertama di Indonesia
yang mengatur tentang beban gempa yang harus diperhitungkan dalam perencanaan
struktur. Peraturan mengenai beban gempa terdapat dalam bab V.
Percepatan gempa pada lantai gedung, ai, diatur sebagai:
ai = kih kd kt (1)
dimana, kih adalah koefisien gempa pada ketinggian i, k d adalah koefisien daerah yang
tergantung di wilayah gempa mana struktur dibangun, dimana Indonesia dibagi
menjadi tiga wilayah gempa (Gambar 3). Koefisien tanah, k t tergantung kepada jenis
tanah (keras, sedang, lunak, amat lunak) dan jenis konstruksi (baja, beton bertulang,
kayu, pasangan)
Gambar 3: Peta Gempa menurut PMI 1970 [7]
Untuk bangunan dengan tinggi sampai dengan 10 m, koefisien gempa kih ditentukan
sebesar 0.1x percepatan gravitasi, sedangkan untuk bangunan lebih tinggi dari 10 m
diatur seperti terlihat dalam Gambar 4.
k
nh
0.4 H
k = 1/ (10+0.1H) (2)
oh
10m<H<40
m
k = (1+ 0.05H) k (3)
0.6 H nh oh
k
oh
Perencanaan dilakukan dengan cara elastik. Karena kombinasi beban gempa dengan
beban mati dan beban hidup yang direduksi dianggap sebagai beban sementara, maka
tegangan yang diijinkan dapat dinaikkan.
Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung (PPTGIUG), 1981 [8]
Peraturan ini merupakan hasil kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Selandia Baru dan dengan sendirinya berkiblat kepada peraturan Selandia
Baru. Peraturan ini menggunakan respons spektra percepatan untuk menentukan
percepatan gempa yang harus diperhitungkan dalam perhitungan beban gempa. Dalam
peraturan ini untuk pertama kali dikenalkan konsep perencanaan yang mengandalkan
pemencaran energi melalui terjadinya sendi plastis. Banyak hal baru yang
diperkenalkan dalam peraturan ini, seperti: (1) konsep daktilitas struktur; (2) konsep
keruntuhan yang aman, yaitu mekanisme goyang dengan pembentukan sendi plastis
dalam balok (beam side sway mechanism); dan (3) konsep perencanaan kapasitas
(Capacity design). Peta gempa diubah menjadi enam wilayah gempa seperti
ditunjukkan dalam Gambar 5. Gambar 6 menunjukkan respons spektra percepatan
ditiap wilayah gempa.
Gambar 5: Peta Gempa menurut PPTGIUG [8]
V = C I K Wt (4)
dimana C adalah koefisien gempa dasar yang didapat dari respons spektra (Gambar
6) untuk waktu getar alami fundamental, T, sesuai dengan daerah gempa tempat
bangunan itu didirikan. Faktor keutamaan (Importance factor), I, tergantung dari
penggunaan gedung. Gedung yang merupakan fasilitas penting dan diharapkan tetap
berfungsi setelah terjadinya gempa diberikan faktor keutamaan yang lebih besar (I=1-
2). K adalah faktor jenis struktur yang tergantung dari daktilitas jenis struktur yang
digunakan (K=1-4), untuk struktur yang kurang daktil diberikan faktor jenis struktur
yang lebih besar, sedangkan Wt adalah berat total bangunan.
Peraturan ini mendasarkan respons spektra yang digunakan kepada gempa dengan
periode ulang 200 tahun, setelah dibagi dengan daktilitas struktur sebesar 4.
Penjelasan ini hanya dapat dibaca dalam seri laporan yang disampaikan oleh Beca
Carter Hollings and Farner [9] yang tidak tersedia untuk umum.
Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Gedung, SNI 03- 1726-2002 [12]
Peraturan ini memperbaruhi peta gempa menjadi seperti terlihat di Gambar 7, tetapi
tetap menggunakan enam wilayah gempa. Respons spektra yang digunakan (Gambar
8) adalah respons spektra gempa yang kemungkinan terjadinya 10 % dalam kurun
waktu 50 tahun, yaitu gempa dengan periode ulang 500 tahun (disebut gempa
rencana), bukan respons spektra yang telah direduksi seperti digunakan dalam SNI
03-1726-1989 dan peraturan selanjutnya [8,10,11]. Sebagai konsekuensi rumus gaya
geser dasar (nominal) juga berubah menjadi
V = (C1I/R) Wt (5)
dimana C1adalah koefisien respons percepatan pada waktu getar alami fundamental T1
yang didapatkan dari respons spektra gempa rencana (Gambar 8) sesuai dengan
wilayah gempa tempat bangunan didirikan. I adalah faktor keutamaan yang besarnya
antara 1 dan 1.6, sedangkan Wt adalah berat total bangunan. R adalah koefisien
reduksi yang merupakan perkalian antara faktor kuat lebih, f 1, dengan daktilitas
struktur sebagai berikut
R = f1 (6)
Faktor kuat lebih f1 diambil sebesar 1.6, sedangkan daktilitas struktur bervariasi dari
1 untuk struktur yang elastik penuh sampai 5.3 untuk struktur yang daktil penuh.
Gambar 7: Peta Gempa Indonesia SNI 03- 1726-2002 [12]
0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0 0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0
T T
0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0 0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0
T T
0.90
Wilayah Gempa 5 0.95
Wilayah Gempa 6
0.90
0.83 0.90
C (Tanah lunak) 0.83 0.95
T C (Tanah lunak)
T
0.70 0.50 0.54
C (Tanah sedang) C (Tanah sedang)
T T
0.42
0.35 C (Tanah keras)
C C (Tanah keras) C T
T
0.36 0.38
0.32 0.36
0.33
0.28
SNI 03-
PPTGI
PMI 70 1726-
UG
2002
Wilayah 2 Wilayah 4 Wilayah 2
ki Varies C 0.05 C 0.5
kd 0.5 I 1 I 1
kt 1 K 1 R 8.5
Gambar 9. Perbandingan Besar Gaya Lateral
Mengingat telah disepakati secara umum bahwa secara ekonomis tidak layak untuk
merencanakan bangunan agar dapat menahan gempa besar secara elastis, maka
konsep perencanaan bangunan tahan gempa selayaknya adalah:
1. Pada pembebanan gempa kecil yang sering terjadi, tidak boleh terjadi
kerusakan struktur dan non struktur (dapat segera dipakai, dalam keadaan
serviceability limit state, immediate occupancy)
2. Pada pembebanan gempa sedang yang kadang-kadang terjadi, struktur masih
dapat diperbaiki (damage control limit state, limited damage)
3. Pada pembebanan gempa besar yang jarang terjadi, struktur tidak boleh runtuh
(life safety)
Bila struktur telah direncanakan memiliki daktilitas yang cukup (dengan capacity
design), perbedaan besar gaya lateral hanya akan mengakibatkan perubahan kinerja
struktur dalam taraf serviceability limit state.
Dalam proses membandingkan kapasitas dan kebutuhan, ada beberapa cara yang
dapat digunakan, tetapi saat ini yang banyak digunakan adalah cara yang dinamakan
Capacity Spectrum Method (CSM). Dalam makalah ini hanya dijelaskan CSM.
Dalam cara CSM capacity curve dengan modifikasi tertentu diubah menjadi spektrum
kapasitas (capacity spectrum) (Gambar 12.a), sedangkan response spectrum diubah
dalam format acceleration-displacement response spectrum, ADRS (SaSd). Format
ADRS adalah gabungan antara acceleration dan displacement response spectra
dimana absis merupakan acceleration (Sa) dan ordinat merupakan displacement (Sd)
sedangkan Periode, T, adalah garis miring dari pusat sumbu (Gambar 12.b).
Gambar 12: Pembuatan Spektrum Kapasitas dan Respons Spektrum dengan Format
ADRS
Gambar 13: Performance Point Untuk Bangunan 10 Lantai, Gempa 850 tahun
Gambar 14: Langkah Pushover pada saat Performance Point dicapai, Gempa 850 tahun
Gambar 15: Deformasi dan Letak Sendi Plastis, Gempa 850 tahun
Dipihak lain, Lumantarna et.al. [30,31] menunjukkan kesulitan yang didapat dalam
memilih kriteria kinerja. Gambar 17 menunjukkan perbandingan kinerja
menggunakan kriteria drift ratio hasil analisa pushover (P), dibandingkan dengan
hasil analisa nonlinier riwayat waktu (TH) terhadap bangunan Struktur Rangka
Pemikul Momen Khusus 10 lantai.
Gambar 17: Matriks Performance berdasarkan drift ratio lantai hasil analisa Pushover
(P) vs Time Histoty (TH) [30]
Gambar 18: Matriks Performance hasil analisa Time History berdasarkan Damage index
rata-rata (R) dan maksimum (M) [30]
PERENCANAAN BERBASIS KINERJA, MODAL PUSHOVER ANALYSIS
(MPA)
Dalam cara MPA bila ditetapkan akan digunakan tiga ragam pertama maka diperlukan
tiga kurva kapasitas struktur sesuai dengan ragam yang ditinjau. Gambar 19
menunjukkan tiga ragam pertama untuk struktur 12 lantai beserta pola pembebanan
sesuai dengan ketiga ragam tersebut [38]. Gambar 20 menunjukkan kurva kapasitas
sesuai pola pembebanan tiga ragam pertama, kalau perlu kurva kapasitas ini dapat
disederhanakan misalnya menjadi bilinear. Kurva kapasitas kemudian diubah menjadi
spectrum kapasitas untuk menentukan nonlinear stiffness dalam suatu mode tertentu
(Gambar 21). Displacement maksimum dari masing-masing mode didapatkan dari
analisa nonlinear riwayat waktu (Gambar 22) untuk kemudian digabungkan misalnya
dengan cara square root of sum of squares (SRSS), dalam hal ini percepatan tanah
yang digunakan adalah percepatan gempa sintesis yang telah disesuaikan dengan
respons spektrum yang diberikan dalam SNI 03-1726-2002 [12]. Gempa sintesis
didapatkan dengan melakukan modifikasi komponen Utara-Selatan (N-S) dari gempa
El Centro 1940 menggunakan program Resmat [29].
6
5
64.0 7.98 3.56
4
3
53.0 9.29 2.31
2
1
41.1 9.08 7.20
0
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
28.7 7.44 9.04
Mode Shape Compone nt
16.4 4.72 7.18
S1* S2* S3 *
Gambar 19: Tiga ragam pertama, bangunan 12 lantai dan pola pembebananan sesuai
dengan ketiga ragam pertama tersebut.
Vbn (kg)
Base Shear,
Roof Displacement, ur1 (m) Roof Displacement, ur2 (m) Roof Displacement, ur3 (m)
57.87 mm 32.91 mm
Roof Displacement,
233.08 mm Time (sec) Mode 1 Time (sec) Mode 2 Time (sec) Mode 3
Gambar 25: Peta Puslitbang Sumber Daya Air Konsep Fukushima dan Tanaka [7]
Gambar 26: Peta Puslitbang Sumber Daya Air Konsep Yoyner dan Bore [7]
Yang dapat dilakukan dan harus ditekankan adalah mengusahakan agar bila suatu
bangunan runtuh akibat gempa, tidak terjadi keruntuhan total (collapse, Gambar 27).
Untuk menghindari terjadinya keruntuhan total beberapa hal yang sebetulnya sudah
diusahakan untuk disosialisasikan, terutama lewat perguruan tinggi-perguruan tinggi
harus selalu ditekankan:
1. Merencanakan mekanisme keruntuhan yang aman, yaitu beam side sway
mechanism (Gambar 27)
2. Beam Side Sway Mechanism hanya dapat dicapai bila kekuatan kolom lebih
besar dari kekuatan balok, sehingga sendi plastis terjadi di balok (capacity
design, strong column weak beam). Gambar 28 menunjukkan kerusakan yang
terjadi pada hubungan balok kolom, tidak terlihat sengkang
3. Sendi plastis hanya dapat tebentuk bila penampang dimana diharapkan terjadi
sendi plastis dapat berprilaku secara daktil tanpa terjadi kehilangan kekakuan
(pinching) dan kegagalan geser, dengan demikian kapasitas geser balok harus
lebih besar dari kapasitas lentur aktualnya.
4. Semua perencanaan tidak ada artinya bila pendetilan tidak digambar dan
dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan yang baik jauh lebih penting dari
perhitungan yang baik. Gambar 29 menunjukkan sengkang sprral yang
meskipun berjarak sangat jauh, karena dipasang dengan baik masih dapat
mengekang tulangan longitudinal dan tidak runtuh. Bandingkan dengan
Gambar 30, sengkang lepas, karena tidak terdapat penjangkaran yang baik.
DAFTAR PUSTAKA