Anda di halaman 1dari 3

Makanan Bergizi Bukan Hanya Bubur

Kacang Hijau!
DR.dr.Tan Shot Yen,M.hum

KOMPAS.com - Belakangan ini saya lebih banyak kembali masuk ke komunitas gizi
bermasalah, yang setelah diusut teryata duduk perkaranya menjadi amat sangat rumit. Mulai
dari mind set meminjam istilah Bu Menkes hingga berbagai peraturan, kebijakan, dan
kompetensi.

Yang perlu dibenahi bukan hanya di pihak rakyat jelata yang selama ini dianggap abai dengan
masalah gizi, tapi justru orang-orang yang diandaikan lebih tahu tentang gizi dan yang
menarik lagi : mereka yang punya kepentingan di area gizi.

Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, yang disebut Germas sebenarnya tidak perlu ada andai
saja sejak duduk di bangku kuliah para ahli gizi, dokter dan mereka yang pandai-pandai di
bidang kesehatan dididik tentang manfaat sayur dan buah yang sesungguhnya.

Tentang mengapa tubuh ini kodratnya mesti bergerak. Tentang mengapa sebelum sakit, tubuh
dibekali kokpit yang jauh lebih canggih ketimbang pesawat udara buatan negri adidaya.

Sayangnya, makan sayur dan buah, olah raga dan melakukan pengecekan kesehatan rutin
akhirnya tinggal sebatas jargon. Yang mesti dideklarasikan, disosialisasikan, dicanangkan
hingga butuh tanda tangan para pejabat daerah, tapi rakyat tetap melongo.

Meningkatkan asupan sayur dan buah sama sekali tak ada artinya jika aspek konsumsi lain
yang merusak tidak ikut digusur. Contohnya pemakaian minyak goreng setiap kali memasak.
Sebutlah asupan rafinasi mulai dari berbagai jenis roti (yang disusupi beberapa lembar sayur)
dan mi instan dibubuhi beberapa helai sawi yang akhirnya nampak seperti prosesi makan
yang seremonial saja.

Lah, kalau begitu, apakah untuk hidup lebih sehat harus mengorbankan industri yang selama
ini memberi begitu banyak pemasukan negara dan lapangan pekerjaan?

Bisa ya bisa tidak. Dikatakan ya, karena selama ini memang kita sudah kebablasan dalam
banyak hal. Sebut saja pangan industri mengubah mind set pola asuh anak. Ibu tidak lagi sudi
membuat bubur saring apalagi susah payah meracik makanan sesuai kebutuhan balitanya
dengan konsep gizi seimbang.

Cukup membuka kardus berisi bubuk makanan bayi dan menyeduh dengan air panas yang
juga keluar dari dispenser. Tak perlu menimba air dan merebusnya.

Namun demikian, di sisi industri sebetulnya tidak perlu khawatir tergusur, karena fakultas
teknologi pangan masih berdiri. Dan jika cukup kreatif, negri ini banyak sekali sumber
pangan prima yang bisa diolah dengan standar internasional dan membanjiri bursa ekspor
pangan. Bukan malah untuk dijual dan dikonsumsi rakyat negri sendiri.

Nah, menjadi menarik jika timbul pertanyaan mengapa ekspor pangan jadi kerap
bermasalah dan dianggap tidak sesuai dengan kriteria internasional.

Bahkan, beberapa waktu yang lalu ada negara yang melarang produk mi instan Indonesia
dengan merek yang sama untuk dijual di negara tersebut karena beberapa komposisi yang
tidak diperkenankan masuk ke sana, hanya boleh diedarkan di Indonesia.

Padahal, di sini semua orang melahap mi instan tanpa menelisik daftar isi. Mengapa merek
yang sama punya diskriminasi konsumen?

Dari sumber tambang hingga produk pangan, bangsa kita selalu dilecehkan jika ingin
berdagang dalam rupa bentuk jadi alias telah diolah secara teknologi. Apakah teknologi kita
masih jauh di bawah standar, ataukah hanya permainan tekan harga?

Alih-alih anak-anak kita menikmati ikan segar yang saat ini diekspor keluar utuh-utuh,
mereka justru diarahkan makan biskuit dengan bahan baku terigu yang tidak tumbuh di bumi
pertiwi.

Lebih mengenaskan lagi dalam salah satu demo masak di kota kecil, ibu-ibu memilih bahan
baku margarin dan keju untuk pengisi kalori makanan balita.

Padahal di tempat itu telur melimpah, ikan yang kaya lemak sehat tak terhitung bahkan anak-
anak sebenarnya gemar makan teri yang renyah, tapi ditakut-takuti mitos cacingan.
Jika ditanya apa yang salah dengan pendidikan gizi, maka kita perlu menengok ke kiri kanan
dari mana informasi gizi itu berasal.

Jika hanya bermodal brosur dan poster, tak heran dalam konseling gizi yang muncul adalah
nasehat seperti ini,Bu, anaknya diberi lauk dan sayur ya..

Padahal anak yang dimaksud masih balita, punya masalah mengunyah makanan padat dan
sejak bayi hanya diberi bubur susu dari kemasan instan.

Anak mustahil diberi sayur jika orangtua (dan sebagian besar tenaga kesehatan) masih
percaya sayur hijau penyebab asam urat naik tanpa mau berusaha sedikit mengecek daftar
makanan tinggi purin sebagai sumber produksi asam urat.

Mustahil pula dapat meyakinkan masyarakat akan ampuhnya polifenol dan begitu banyak
antioksidan sayur sebagai pencegah penyakit degeneratif dan kanker jika mind set mereka
bukan tentang mencegah penyakit, tapi soal apa yang enak dimakan hari ini.

Mind set yang sama dimiliki para ABG yang ulahnya bikin pusing kepala mulai dari
permainan meregang nyawa hingga mengerjai pendatang baru atas nama perpeloncoan
yang tidak memikirkan besoknya bagaimana yang penting hari ini fun.

Menjalankan roda kesehatan di negri ini rupanya membutuhkan upaya ekstra dan otak
kinclong. Yang membuat posyandu tidak lagi identik dengan bubur kacang ijo. Melainkan
menyesuaikan pangan lokal di tiap kabupaten di tanah air dengan kehebatan gizi tak
terpikirkan orang yang menyusun panduan gizi selama ini.

Sehingga orang Flores tak perlu sedih jika tidak makan nasi, karena yang mereka butuhkan
sesungguhnya bernama karbohidrat. Begitupun bubur Manado dengan daun gedi bisa
menggantikan kedudukan kacang ijo di tanah Minahasa.

Sehingga, para mama di Papua bisa tersenyum lebar menyuapi ubi bakar dengan ikan ke
mulut anaknya tanpa harus dicekoki pangan rafinasi yang sudah terlalu lama merusak pulau
Jawa.

Anda mungkin juga menyukai