PENDAHULUAN
Gigitan ular merupakan salah satu kasus gawat darurat yang terkait lingkungan,
pekerjaan dan musim dan cukup banyak terjadi di berbagai belahan dunia khususnya di
daerah pedesaan. Pekerja di bidang pertanian dan anak-anak merupakan golongan yang
serin tergigit. 1
Pada tahun 2009, WHO pertama kali dikenalkan WHO sebagai neglected tropical
disease.2 Insidens gigitan ular ini terutama yang menyebabkan kematian masih cukup
tinggi di dunia. Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar 125.000 dari 5 juta
kasus per tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus di Asia dengan jumlah
kecacatan menetap yang tidak terhitung1 karena masih sulitnya ketersediaan dan akses
Serum Anti Bisa Ular (SABU). Begitu pula di daerah Asia Tenggara. Namun untuk jumlah
pastinya masih belum diketahui karena angka kesakitan baik akut maupun kronik masih
tidak jelas dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan di berbagai daerah.
Di Indonesia sendiri dilaporkan sekitar 20 kasus kematian dari ribuan kasus gigitan ular
per tahun. 1
Mengetahui jenis ular yang menggigit karena penting untuk penanganan yang
optimal. Penanganan pertama pra hospital terhadap korban gigitan ular yang masih
sering kita jumpai di masyarakat menurut penelitian memiliki lebih banyak kerugian
daripada keuntungannya. Oleh karena itu laporan kasus ini disusun agar dapat lebih
memahami dan mempelajari bagaimana diagnosis dan tatalaksana pada pasien dengan
gigitan ular.
1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi pasien dengan gigitan ular
2. Untuk mengetahui cara mendiagnosis pasien dengan gigitan ular
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan gigitan ular
4. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan gigitan ular.
5. Untuk mengetahui prognosis pasien dengan gigitan ular.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kategori 1 : Ular berbisa yang tersebar luas dan mengakibatkan angka kesakitan,
kecacatan dan kematian yang tinggi
Kategori 2 : Ular berbisa yang mengakibatkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian
yang tinggi tetapi berdasarkan data epidemiologi jarang terjadi karena habitat dan perilaku
ular yang jauh dari populasi manusia.
Bisa ular dihasilkan dan disimpan pada sepasang kelnjar di bawah mata dan dihubungkan
ke taring oleh Saluran racun menghubungkan kelenjar penghasil racun sampai dasar
taring (fang).
Sampai saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan ular berbisa atau
tidak. Beberapa ular yang tidak berbisa telah berevolusi menyerupai ular beracun begitu
pula sebaliknya sehingga terlihat hampir sama. Meskipun dalam beberapa hal ular
berbisa memiliki ciri-ciri tertentu seperti ukuran dan bentuk tubuhnya, pola kulitnya,
1
perilaku dan suara jika dalam keadaan terancam. Sebagai contoh ular jenis kobra sudah
dikenal luas akan menegakkan tubuhnya, menyemburkan racun dan secara agresif
mematuk lawannya jika dalam kondisi terancam.
Ular penghasil bisa (snake venom) berbahaya, bisa yang dikeluarkannya 90%
merupakan protein sisanya merupakan nonenzim seperti protein nontoksis yang
mengandung karbohidrat dan logam. Bisa tersebut mengandung lebih dari 20 macam
enzim yang berbeda termasuk phospholipases A2, B, C, D hydrolases, phosphatases
(asam sampai alkalis), proteases, esterases, acetylcholinesterase, transaminase,
hyaluronidase, phosphodiesterase, nucleotidase dan ATPase serta nucleosidases (DNA &
RNA).3
4
2.2 Bisa Ular
Beberapa enzim yang terkandung dalam bisa ular antara lain :
Zinc metalloproteinase haemorrhagins: Merusak endotel vaskular, mengakibatkan
perdarahan.
Procoagulant enzymes: Mengandung serine protease dan enzim prokoagulan yang
merupakan zat pengaktif faktor X, prothrombin dan faktor koagulan yang
menstimulasi pembekuan darah dengan membentuk benang fibrin pada aliran darah.
Ironisnya proses ini membuat darah menjadi sukar membeku karena hampir semua
fibrin rusak dan faktor-faktor pembekuan darah tersebuat akan berkurang dalam
waktu sekitar 30 menit setelah gigitan ular.
Phospholipase A2 (lecithinase): Merusak mitokondria, Sel darah merah, leukosit,
platelet, saraf tepi, otot skeletal, endotel vaskular, dan membran-membran lain,
menghasilkan aktifitas neurotoksik di presinaps, dan memicu pelepasan histamin dan
antikoagulan.
Acetylcholinesterase
Hyaluronidase: meningkatkan penyebaran bisa ke seluruh jaringan.
Enzim proteolitik : meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga menybabkan
edema, munculnya bulla, lebam, dan nekrosis pada tempat gigitan. 1
Selain itu ada zat penyusun bisa ular yang bersifat neurotoksik post sinaps yaitu -
bungarotoxin and cobrotoxin, yang terdiri atas 60-62 atau 66-74 asam aminio dan
subunit fosfolipase A yang melepaskan asetilkolin pada saraf tepi di neuromuscular
junction dan mencegah pelepasan neurotransmiter.
5
Tabel 1 : Protein pada bisa ular dan kepentingan klinis 1
2.3 Epidemiologi
Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar 125.000 dari 5 juta kasus
per tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus di Asia. 1 Di Amerika dilaporkan
4000-7000 kasus gigitan ukar per tahun dengan rata-rata 4 kasus per 100.000 penduduk.
Selama 5 tahun penelitian retrospektif dari sekitar 25 kasus gigitan, 4 diantaranya
memerlukan tindakan fasciotomi dan 2 memerlukan tandur kulit dengan rasio laki-laki :
perempuan = 9 : 1 Dan 50% sering terjadi pada umur 18-28 tahun. 5 Di Indonesia sendiri
dilaporkan sekitar 20 kasus kematian dari ribuan kasus gigitan ular per tahun.1
2.4 Patogenesis
2.4.1. Gangguan pembekuan darah
Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease, metaloproteinase
yang mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau menghambat faktor koagulan atau
platelet dan merusak endotel vaskular. Enzim dalam bisa ular akan berikatan dengan
reseptor platelet menginduksi atau menghambat agregasi platelet. Enzim-enzim
prokoagulan akan mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII dan pasminogen endogen.
Kombinasi konsumsi aktivitas antikoagulan, terganggunya jumlah dan fungsi platelet dan
kerusakan dinding endotel pembuluh darah berakibat perdarahan yang hebat pada
pasien,
Penyakit pembekuan darah (koagulopati) ditandai defibrinasi yang berkaitan
dengan jumlah trombosit. Di samping itu dapat mengubah protrombin menjadi trombin
dan mengurangi faktor V,VII, protein C dan plasminogen.Tekanan di sistem kardiovaskuler
menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung. 2
6
2.4.2 Neurotoksik
Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi neuromuskular
junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala yang paling sering muncul adalah
mengantuk, menunjukkan bahwa ada kemungkinan pengaruh sedasi sentral yang terkait
dengan molekul kecil non protein yang terdapat dalam bisa ular king cobra. Hampir
sebagian besar neurotoksin akan mengakibatkan pamanjangan efek dari asetilkolin,
sehingga muncul gejala paralisis seperti ptosis, ophtalmoplegia eksternal, midriasis, dan
depresi jalan napas dan total flacid paralysis seperti pada pasien dengan Myastenia
Gravis. Selain itu ada pola paralisis desendens yang sulit dijelaskan secara
patofisiologinya.
2.4.3 Hipotensi
Hipotensi yang terjadi pasca gigitan ular disebabkan karena banyak hal terkait
bisa ular itu sendiri. Ada beberapa faktor yang memepngaruhi permeabilitas
pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke jaringan interstisiel. Selain
itu zat-zat dalam bisa ular akan memiliki efek langsung maupun tidak langsung
terhadap otot jantung, otot polos dan jaringan lain. Melalui bradykinin-potentiating
peptide, efek hipotensif dari bradikinin akan semakin meningkat dengan tidak aktifnya
peptidyl peptidase yang berfungsi menghancurkan bradikinin dan mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II. Penemuan patofisiologi ini merupakan awal mula
sintesis captopril dan ACE inhibitor lain.
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesa
Riwayat dan mekanisme kejadian, jenis ular yang menggigit (warna, ukuran, bentuk, ciri
khas) dapat ditanyakan langsung kepada korban gigitan, namun seringkali pasien tidak
tahu. Selain itu perlu ditanyakan waktu kejadian yang dapat mempengaruhi terapi dan
7
prognosis pasien, gejala yang pasien rasakan saat ini serta riwayat alergi, pengobatan
(antikoagulan) dan penyakit terdahulu (jantung, paru, ginjal).5
4. Status lokalis :
1) terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan sebagai tanda luka,
2) bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-tanda inflamasi) yang
muncul dalam 5 menit sampai 12 jam setelah kejadian
3) daerah sekitar gigitan nyeri,muncul bula
4) mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan rasa berdenyut-denyut (tingling)
di sekitar wajah atau tungkai dan lengan.
8
Gambar 5 : Manifestasi klinis pasien dengan gigitan ular
Beberapa faktor yang berpengaruh pada kematian akibat gigitan antara lain 1
1. Serum Anti Bisa Ular : pemberian dosis yang tidak adekuat atau anti bisa ular
yang hanya spesifik untuk satu jenis spesia ular tertentu
2. Waktu ketika mendapat terapi yang adekuat pada pusat layanan kesehatan
memanjang akibat korban biasanya terlebih dahulu datang pada pengobatan
alternatif atau masalah pada transportasi
3. Adanya kegagalan multifungsi pada sistem organ sebagai contoh syok hemoragik
atau sepsis ,dan obstruksi jalan nafas
2.6 Klasifikasi
Derajat gigitan ular :
1. Derajat 0
- Bekas gigitan 2 taring -
- Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
- Pembengkakan dan nyeri minimal
2. Derajat I (Minimal)
- Bekas gigitan 2 taring
- Bengkak dan kemerahan dengan diameter 1 5 inchi
- Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
- Nyeri sedang sampai berat
9
3. Derajat II (Moderate)
- Bekas gigitan 2 taring
- Nyeri hebat, Bengkak dan kemerahan dengan diameter 6 12 inchi dalam 12 jam
- Petechie, echimosis, perdarah pada bekas gigitan
- Ada tanda-tanda sistemik (mual, muntah, demam, Pembesaran kelenjar getah
bening)
4. Derajat III (Severe)
- Bekas gigitan 2 taring
- nyeri sangat hebat , Bengkak dan kemerahan lebih dari 12 inchi
- Tanda-tanda derajat I dan II muncul dengan sangat cepat. Ditemukan tanda-tanda
sistemik (gangguan koagulasi, mual, muntah, takikardi, hipotermia, ekimosis,
petekia menyeluruh).
- Syok dan distres nafas
5. Derajat IV (Extremely severe)
- Sangat cepat memburuk
- Bengkak dan kemerahan di seluruh ekstremitas yang terkena gigitan, muncul
ekimosis, nekrosis dan bulla
- Meningkatnya tekanan intrakompartemen yang dapat menghambat aliran darah
vena atau arteri
- Kegagalan multiorgan (ginjal, jantung) bisa sampai koma bahkan meninggal
2.7 Penatalaksanaan
Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan gigitan ular adalah untuk
menetralisisr toksin, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah komplikasi. Alur
yang harus dilakukan adalah :
Pertolongan pertama
Rujukan ke rumah sakit
Penilain klinis dan resusitasi dengan cepat dan tepat
Mengenali spesies ular jika memungkinkan
Melakukan pemeriksaan penunjang
Pemberian Serum Anti Bisa Ular (SABU)
Observasi respon terhadap pemberian SABU
Terapi suportif dan perawatan luka gigitan
Rehabilitasi serta terapi komplikasi
Biasanya setelah kejadian tergigit ular akan dilakukan beberapa cara tradisional untuk
penanganan pertama, namun sebaiknya cara- cara tersebut tidak dilakukan :
Menyedot bisa ular dengan mulut
10
Memasang torniquet dengan ketat di sekitar luka gigitan karena bisa
mengakibatkan nyeri, bengkak dan menghambat aliran darah ke ekstremitas
perifer
Melakukan ompres panas, dingin atau penyayatan luka
Pemberian ramuan herbal atau kompres es 1,5
Yang harus dilakukan sebagai pertolongan pertama pada korban gigitan ular sebelum
ke rumah sakit (pre hospital) :
Pastikan ABC dan monitor tanda-tanda vital (Nadi, Laju pernafasan, Tekanan
Darah, Suhu) kemudian lakukan resusitasi dengan kristaloid sekitar 500- 1000 cc.
Pembatasan pergerakan dan imobilisasi pada daerah sekitar gigitan
Segera rujuk ke tempat pelayanan kesehatan yang memadai
Jangan berikan SABU terlebih dahulu 1,2,5
Rumah sakit
Selalu periksa Airway Breathing Circulation Disability of nervous system Exposure
(hindari hipotermia) dan evaluasi tanda-tand syok (takipnea, takikardia, hipotensi,
perubahan status mental). Pemberian SABU berdasarkan derajat gigitan ular.1
Keadaan yang memerlukan resusitasi segera jika adanya tanda-tanda syok dari
- Efek bisa ular pada cardiovascular seperti hipovilemia, syok perdarahan,
pelepasan mediator inflamasi dan yang jarang yaitu anafilaksis primer
- Gagal nafas karena paralisis otot pernafasan
- Cardiac arrest karena hiperkalemia akibat rhabdomyolisis
11
- Hemoglobin/myoglobin-uria (ditandai dengan urin yang berwarna coklat gelap dan
adanya tanda rhabdomyolisis yaitu nyeri otot dan hiperkalemia)
Lebih dari seratus tahun, serum antibisa ular telah diterima secara luas dan digunakan
sebagai terapi. Terapi antidotum spesifik untuk bisa ular adalah hyperimmune globulin
dari binatang yang telah diimunisasi dengan bisa ular dan memproduksi antibodi.
Pada pasien gigitan ular yang emngalami gangguan pembekuan darah atau telah
terbentuk clot maka pemberian SABU akan memperbaiki d\an menghilangkan clot
dalam waktu 2-28 jam. Dalam suatu penelitian acak terkontrol, 40 dari 46 pasien yang
diberikan SABU akan membaik dalam waktu 6 jam meskipun tanda-tanda perdarahan
masih didapatkan hingga 88 jam kemudian.
SABU diberikan intravena kadang akan memunculkan reaksi alergi mulai dari yang
ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai yang berat (syok anafilaksis).
Berdasarkan dosis, rute pemberian dan kulaitas SABU, resiko-resiko tersebut akan
muncul pada 3-30% dan hanya 5-10% diantaranya merupakan gejala sistemik yang
berat. Hampir semua reaksi alergi yang muncul dapat diatasi dengan pemberian
epinefrin. Pencegahan timbulnya reaksi alergi meliputi premedikasi dengan
antihistamin atau kortikosteroid sebelum pemberian SABU dan memperhatikan
kepekatan konsentrasi SABU yang akan diberikan.1,2,4
Dua cara pemberian anti bisa ular :
- Intravena pelan (tidak lebih dari 2 ml/menit). Cara ini memberikan keuntungan
karena jika muncul reaksi alergi dapat segera dihentikan atau ditangani.
- Infus intravena dengan pengenceran Antibisa ular dengan cairan isotonik 5-10
ml/kg dan habis dalam waktu 1 jam
- Intramuskular, namun cara ini memiliki kelemahan karena bioavailibiltasnya
rendah dan sulit untuk mencapai kadar yang diinginkan dalam darah, serta resiko
hematom pada tempat injeksi pada pasien dengan abnormalitas hemostasis.
Dipertimbangkan pemberian secara intramuskular jika jarak ke tempat layanan
kesehatan yang lebih memadai sangat jauh atau akses intravena sulit.
Jika terjadi reaksi alergi setelah pemberian SABU maka diberikan epinefrin
intramuskular pada sepertiga atas paha 0,5 mg untuk dewasa atau 0,01 mg/kg untuk
anak-anak dan dapat diulang 5-10 menit.
Penatalaksanaan terkait pembedahan biasanya jika ditemukan kompartemen sindrom
yang ditandai dengan 5 P (pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulselesness. Jika
ditemukan tanda-tanda tersebut dicurgai ada komparten sindrom sehingga dilakukan
fasciotomi (diindikasikan pada pasien yang terbukti mengalami peningkatan tekanan
intrakompartemen) 5
2.7.2 Antibiotik
12
Antibiotik profilaksis spektrum luas masih direkomendasikan yaitu cephalosporin
generasi tiga dengan spektrum luas gram negatif (Ceftriaxone) akan menekan
pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan infeksi sekunder.
2.7.3 Analgesik
Jika diperlukan dapat diberikan analgetik kuat seperti golongan opioid : petidin
dengan dosis dewasa 50-100 mg, anak-anak 1-1,5 kg/kgBB atau morfin dengan
dosis dewasa 5-10 mg dan anak-anak 0,03-0,05 mg/kg
2.8 Komplikasi
Hal utama penyebab kecacatan adalah nekrosis lokal dan sindrom kompartemen.
Nekrosis yang luas mungkin memerlukan tindakan debridemen atau amputasi karena
kerusakan pada jaringan yang lebih dalam. Di kemudian hari dapat saja timbul
osteomyelitis, dan ulkus kronis. Jika setelah gigitan ular sempat terjadi paralisis otot
pernapasan yang mengakibatkan hipoksia otak dan bisa mengakibatkan defisit
neurologis menetap.
2.9 Monitoring
Pada pasien dengan gagal nafas dapat diberikan oksigen, intubasi atau bagging
manual dan biasanya akan membaiki dalam 1 bulan. Dapat juga diberikan
anticholinesterase. Tirah baring dan pembatasan gerak untuk menghindari trauma
diperlukan pada pasien dengan gangguan hemostasis, dapat diberikan transfusi FFP
(fresh Frozen Plasma) dan Cryoprecipitate dengan konsentrat platelet, namun jika
tidak ada dapat diebrikan Whole Blood. Kadang diperlukan vasopressor sejenis
dopamin atau norepinefrin pada pasien dengan syok atau kerusakan miokardium dan
dialisi jika terjadi AKI. Adanya rhabdomyolisis mengakibatkan asidosis metabolik
seperti pada crush injury dapat dikoreksi dengan natrium bicarbonat sesuai dosis
13
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri tangan kanan
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri pada tangan kanan setelah digigit ular pada ibu jari tangan
kanan sekitar pukul 00.00 di daerah Prigi. Setelah itu tangan kanan bengkak, nyeri,
kehitaman dan muncul gelembung gelembung. Menurut pasien ular yang menggigit
berukuran kecil, belang belang dan berekor lancip.
Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada
Riwayat trauma
Tidak ada riwayat trauma
14
Batas kiri : sesuai ictus
Batas kanan : parasternal line dextra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
o Paru
Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : chest expansion simetris, tidak ada krepitasi
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi
v/v Rh -/- Wh -/-
v/v -/- -/-
v/v -/- -/-
Abdomen
o Inspeksi : flat
o Auskultasi : Bising Usus (+) normal
o Palpasi : Soefl, hepar dan Lien tidak teraba besar
o Perkusi : Traube space Timpani, Liver spleen 8 cm
Ekstremitas : akral hangat CRT < 2 detik
Anemis -/- Ikterik -/- Edema +/-
-/- -/- -/-
Ekstremitas atas kanan : Bulla (+),
15
3.5 Diagnosis Awal
Snake Bite Grade III
3.6 Penatalaksanaan
04.20
Cross Incisi
IVFD RL 20 tpm
Inj.SABU 1 amp i.m
Inj.Tetagam 250 iu i.m
Inj.Ranitidin 2 x 50 mg
Inj.Metamizole 3 x 1 gr i.v
Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr i.v (skin test)
3.7 Follow Up
Tang Subjektif Objektif Assesment Planning
gal
20/10/ Nyeri GCS 456 Snake Bite 04.30
Ptx
13 pada TD : 120/80 gr III
C/ Bedah
ekstremi N : 65x/mt o Posisi tangan lebih
as kanan R: 20x/mt rendah dari jantung
A. Radialis : o Imobilisasi
16
A.Radialis
C/Anestesi
o Puasa
o Inj. Vit K 1 amp i.v
o Transfusi TC 10
labu
05.00
C/Bedah
o IVFD NS : D5 1/5
NS 2:2
o Inj.As,Traneksamat
3x500 mg i.v
o Inj. Vit K 3x1 amp
i.v
o Tranfusi TC 500 ml
o Inj.Tetagam 250 iu
i.m
o Inj.SABU 1 amp i.m
o Inj.Cefotaxim 3x1
gr i.v
o Inf. Metronidazol
3x500 mg
o Obs. tanda vital,
Tanda Sindrom
kompartemen,Puls
asi dan sat.O2
a.radialis
o KIE operasi
debridement dan
fasciotomy
20/10/ Nyeri GCS 456 Snake Bite Pdx : Cek DL
13 pada TD : 130/80 gr III Ptx:
Pk ekstremi N : 90x/mt Diet bebas TKTP
10.00 as R: 20x/mt O2 Nasal Canule 2-4
17
sampai trombosit
100.000
Obs.tanda vital,
Tanda sindrom
komparetemen,
Tanda perdarahan,
Tanda syok.
Pindah HCU
20/10/ Nyeri GCS 456 Snake Bite
13 berkuran TD : 160/72 mmHg gr III
Pk g N: 120x/mt
21.00 R: 30x/mt
GDA : 169
PU : 200 cc
21/10/ Nyeri GCS 456 Snake Bite
13 berkuran TD : 150/88 mmHg gr III
Pk g N: 100x/mt
05.00 R: 24x/mt
GDA : 169
PU : 1000 cc
dibuang
21/10/ - GCS 456 Snake Bite Pdx : Cek DL,
13 TD : 150/76 mmHg gr III Albumin, SE
Ptx:
Pk N: 110x/mt
O2 Nasal Canule 2 lpm
08.00 R: 22x/mt Diet Bebas TKTP
PU : 300 cc IVFD RL:D5 1/5 NS: NS
A. Radialis : 1:2:1
Inj.As,Traneksamat
Pulsasi sedang,
3x500 mg i.v
kuat, Sat. O2
Inj. Vit K 3x1 amp i.v
100% Inj.Cefotaxim 3x1 gr i.v
Ext.superior D : Inf. Metronidazol 3x500
Edema (+), Bulla mg
Inj.Ranitidin 2x 50
(+), Tanda
kompartemen mg i.v
Transfusi WB 2 labu/hr
sindrom (-)
s.d Hb 10 g/dl
Transfusi TC 500 cc
HES 500 ml 1x/hari
s.d hari ketiga
18
Rawat Luka, bebat
tekan digiti I manus
Dekstra
Jika kondisi memburuk
ventilator
21/10/2013
19
kompartemen Transfusi PRC 2 labu/hr
sindrom (-) s.d Hb 10 g/dl
Transfusi TC 500 cc
HES 500 ml 1x/hari
s.d hari ketiga
Rawat Luka,
22/10/13
Lab Hasil Nilai normal Lab Hasil Nilai normal
Leukosit 10,30 4-10 10^3/uL Limfosit 1,94 1-3,7
Hemoglobin 5,1 11-16,5 g/dl Monosit 0,67 0,16-1
Hematokrit 22 35-50 % Netrofil 7,35 1.5-7
Trombosit 7 150-450 10^3/uL Basofil 0,02 0-0,2
MCV 82,6 81-99 Eosinofil 0,32 0-0,8
MCH 26,8 27-31
MCHC 32,5 33-37
20
BAB IV
PEMBAHASAN
21
dan pembatasan gerak untuk menghindari trauma diperlukan pada pasien dengan
gangguan hemostasis, dapat diberikan transfusi FFP (fresh Frozen Plasma) dan
Cryoprecipitate dengan konsentrat platelet, namun jika tidak ada dapat diberikan
Whole Blood yang sudah sesuai dengan penatalaksanaan pada pasien.
22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada pasien dengan gigitan ular akan lebih baik jika diidentifikasi jenis ularnya
apakah jenis berbisa atau tidak. Kemudian berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang dilakukan penilaian derajat gigitan ular meskipun sampai
saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan ular berbisa atau tidak. Bisa ular
mengandung beberapa enzim yang bersifat neurotoksik, kardiotoksik, mengakibatkan
rhabdomyolisis dan menggangu hemostasis sesuai jenis enzim yang terkandung.
Selain itu ditanyakan pula riwayat dan mekanisme kejadian, waktu kejadian, serta
gejala yang pasien rasakan saat ini.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan 2 tanda bekas gigitan, muncul nyeri, bengkak
sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-tanda inflamasi) dan dapat disertai
gejala sistemik lain. Perlu dilakukan juga pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan Darah lengkap meliputi leukosit, trombosit, Hemoglobin, hematokrit dan
hitung jenis leukosit. Faal Hemostasis ( Prothrombin time, Activated Partial
Thromboplastin time, International Normalized Ratio), Cross Match, Serum elektrolit,
Faal ginjal (BUN, Kreatinin), Urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan Anlisis Gas
darah.
Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan gigitan ular adalah untuk
menetralisisr toksin, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah komplikasi.
Imobilisasikan ekstremitas atau daerah yang terkena menggunakan bidai dan
posisikan lebih rendah dari jantung Pemberian SABU, anti tetanus serum, dan
antibiotik disarankan. Tatalaksana lain terkait efek dari bisa ular juga harus dilakukan.
Komplikasi yang sering terjadi adalah nekrosis lokal dan sindroma kompartemen
yang mungkin emmerlukan tindakan bedah. Jika terjadi gangguan dan paralisis otot
nafas akibat efek neurotoksik maka dapat terjadi defisit neurologis yang menetap.
5.2 Saran
Diperlukan ketepatan diagnosis, penentuan derajat dan penanganan pasien
dengan gigitan ular secara cepat. Apabila kondisi penanganan tidak dilakukan dengan
segera maka kondisi pasien dapat bertambah buruk yang nantinya akan mempengaruhi
prognosis dari pasien.
23
DAFTAR PUSTAKA
24