Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gigitan ular merupakan salah satu kasus gawat darurat yang terkait lingkungan,
pekerjaan dan musim dan cukup banyak terjadi di berbagai belahan dunia khususnya di
daerah pedesaan. Pekerja di bidang pertanian dan anak-anak merupakan golongan yang
serin tergigit. 1
Pada tahun 2009, WHO pertama kali dikenalkan WHO sebagai neglected tropical
disease.2 Insidens gigitan ular ini terutama yang menyebabkan kematian masih cukup
tinggi di dunia. Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar 125.000 dari 5 juta
kasus per tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus di Asia dengan jumlah
kecacatan menetap yang tidak terhitung1 karena masih sulitnya ketersediaan dan akses
Serum Anti Bisa Ular (SABU). Begitu pula di daerah Asia Tenggara. Namun untuk jumlah
pastinya masih belum diketahui karena angka kesakitan baik akut maupun kronik masih
tidak jelas dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan di berbagai daerah.
Di Indonesia sendiri dilaporkan sekitar 20 kasus kematian dari ribuan kasus gigitan ular
per tahun. 1
Mengetahui jenis ular yang menggigit karena penting untuk penanganan yang
optimal. Penanganan pertama pra hospital terhadap korban gigitan ular yang masih
sering kita jumpai di masyarakat menurut penelitian memiliki lebih banyak kerugian
daripada keuntungannya. Oleh karena itu laporan kasus ini disusun agar dapat lebih
memahami dan mempelajari bagaimana diagnosis dan tatalaksana pada pasien dengan
gigitan ular.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara mengidentifikasi pasien dengan gigitan ular?
2. Bagaimana cara mendiagnosis pasien dengan gigitan ular?
3. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan gigitan ular?
4. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan gigitan ular?
5. Bagaimana prognosis pasien dengan gigitan ular?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi pasien dengan gigitan ular
2. Untuk mengetahui cara mendiagnosis pasien dengan gigitan ular
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan gigitan ular
4. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan gigitan ular.
5. Untuk mengetahui prognosis pasien dengan gigitan ular.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Jenis Ular


Diagnosis dari spesies ular yang menggigit korban penting untuk diketahui. Bisa
dilakukan dengan mengidentifikasi ular yg sudah mati, ciri-cirinya atau dari manifestasi
klinis yang muncul.1 Dari 25003000 spesies ular yang tersebar di dunia kira-kira ada
500 ular yang beracun.3 Famili Viperidae (vipers, adders, pit vipers, and mocassins),
Elapidae (cobras, mambas, kraits, coral snakes, Australasian venomous snakes, and sea
snakes), Atractaspididae (burrowing asps) memiliki kemampuan untuk menyuntikkan
bisa menggunakan gigi yang telah termodifikasi (taring). 2

Viperidae Elapidae Atractaspididae


Gambar 1 : Jenis-jenis ular berbisa

Gambar 2 : Spesies Ular berbisa di Indonesia

3
Kategori 1 : Ular berbisa yang tersebar luas dan mengakibatkan angka kesakitan,
kecacatan dan kematian yang tinggi
Kategori 2 : Ular berbisa yang mengakibatkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian
yang tinggi tetapi berdasarkan data epidemiologi jarang terjadi karena habitat dan perilaku
ular yang jauh dari populasi manusia.

Bisa ular dihasilkan dan disimpan pada sepasang kelnjar di bawah mata dan dihubungkan
ke taring oleh Saluran racun menghubungkan kelenjar penghasil racun sampai dasar
taring (fang).

Gambar 3 : Anatomi kantong bisa ular dan saluran bisa

Sampai saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan ular berbisa atau
tidak. Beberapa ular yang tidak berbisa telah berevolusi menyerupai ular beracun begitu
pula sebaliknya sehingga terlihat hampir sama. Meskipun dalam beberapa hal ular
berbisa memiliki ciri-ciri tertentu seperti ukuran dan bentuk tubuhnya, pola kulitnya,
1
perilaku dan suara jika dalam keadaan terancam. Sebagai contoh ular jenis kobra sudah
dikenal luas akan menegakkan tubuhnya, menyemburkan racun dan secara agresif
mematuk lawannya jika dalam kondisi terancam.
Ular penghasil bisa (snake venom) berbahaya, bisa yang dikeluarkannya 90%
merupakan protein sisanya merupakan nonenzim seperti protein nontoksis yang
mengandung karbohidrat dan logam. Bisa tersebut mengandung lebih dari 20 macam
enzim yang berbeda termasuk phospholipases A2, B, C, D hydrolases, phosphatases
(asam sampai alkalis), proteases, esterases, acetylcholinesterase, transaminase,
hyaluronidase, phosphodiesterase, nucleotidase dan ATPase serta nucleosidases (DNA &
RNA).3

4
2.2 Bisa Ular
Beberapa enzim yang terkandung dalam bisa ular antara lain :
Zinc metalloproteinase haemorrhagins: Merusak endotel vaskular, mengakibatkan
perdarahan.
Procoagulant enzymes: Mengandung serine protease dan enzim prokoagulan yang
merupakan zat pengaktif faktor X, prothrombin dan faktor koagulan yang
menstimulasi pembekuan darah dengan membentuk benang fibrin pada aliran darah.
Ironisnya proses ini membuat darah menjadi sukar membeku karena hampir semua
fibrin rusak dan faktor-faktor pembekuan darah tersebuat akan berkurang dalam
waktu sekitar 30 menit setelah gigitan ular.
Phospholipase A2 (lecithinase): Merusak mitokondria, Sel darah merah, leukosit,
platelet, saraf tepi, otot skeletal, endotel vaskular, dan membran-membran lain,
menghasilkan aktifitas neurotoksik di presinaps, dan memicu pelepasan histamin dan
antikoagulan.
Acetylcholinesterase
Hyaluronidase: meningkatkan penyebaran bisa ke seluruh jaringan.
Enzim proteolitik : meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga menybabkan
edema, munculnya bulla, lebam, dan nekrosis pada tempat gigitan. 1

Selain itu ada zat penyusun bisa ular yang bersifat neurotoksik post sinaps yaitu -
bungarotoxin and cobrotoxin, yang terdiri atas 60-62 atau 66-74 asam aminio dan
subunit fosfolipase A yang melepaskan asetilkolin pada saraf tepi di neuromuscular
junction dan mencegah pelepasan neurotransmiter.

Peningkatan permeabilitas vaskular jika berlangsung terus menerus akan


mengakibatkan renjatan atau syok yang jika tidak tertangani dapat menyebabkan
kematian. Seringkali bisa ular bersifat neurotoksik yang menyebabkan kelumpuhan
(paralysis) dan terhentinya pernapasan, serta pengaruh kardiotoksik menyebabkan
denyut jantung berhenti juga berpengaruh kepada terjadinya miotoksik.2

5
Tabel 1 : Protein pada bisa ular dan kepentingan klinis 1

2.3 Epidemiologi
Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar 125.000 dari 5 juta kasus
per tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus di Asia. 1 Di Amerika dilaporkan
4000-7000 kasus gigitan ukar per tahun dengan rata-rata 4 kasus per 100.000 penduduk.
Selama 5 tahun penelitian retrospektif dari sekitar 25 kasus gigitan, 4 diantaranya
memerlukan tindakan fasciotomi dan 2 memerlukan tandur kulit dengan rasio laki-laki :
perempuan = 9 : 1 Dan 50% sering terjadi pada umur 18-28 tahun. 5 Di Indonesia sendiri
dilaporkan sekitar 20 kasus kematian dari ribuan kasus gigitan ular per tahun.1

2.4 Patogenesis
2.4.1. Gangguan pembekuan darah
Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease, metaloproteinase
yang mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau menghambat faktor koagulan atau
platelet dan merusak endotel vaskular. Enzim dalam bisa ular akan berikatan dengan
reseptor platelet menginduksi atau menghambat agregasi platelet. Enzim-enzim
prokoagulan akan mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII dan pasminogen endogen.
Kombinasi konsumsi aktivitas antikoagulan, terganggunya jumlah dan fungsi platelet dan
kerusakan dinding endotel pembuluh darah berakibat perdarahan yang hebat pada
pasien,
Penyakit pembekuan darah (koagulopati) ditandai defibrinasi yang berkaitan
dengan jumlah trombosit. Di samping itu dapat mengubah protrombin menjadi trombin
dan mengurangi faktor V,VII, protein C dan plasminogen.Tekanan di sistem kardiovaskuler
menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung. 2

6
2.4.2 Neurotoksik
Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi neuromuskular
junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala yang paling sering muncul adalah
mengantuk, menunjukkan bahwa ada kemungkinan pengaruh sedasi sentral yang terkait
dengan molekul kecil non protein yang terdapat dalam bisa ular king cobra. Hampir
sebagian besar neurotoksin akan mengakibatkan pamanjangan efek dari asetilkolin,
sehingga muncul gejala paralisis seperti ptosis, ophtalmoplegia eksternal, midriasis, dan
depresi jalan napas dan total flacid paralysis seperti pada pasien dengan Myastenia
Gravis. Selain itu ada pola paralisis desendens yang sulit dijelaskan secara
patofisiologinya.

Gambar 4 : Neuromuscular junction dan protein neurotoksik bisa ular

2.4.3 Hipotensi
Hipotensi yang terjadi pasca gigitan ular disebabkan karena banyak hal terkait
bisa ular itu sendiri. Ada beberapa faktor yang memepngaruhi permeabilitas
pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke jaringan interstisiel. Selain
itu zat-zat dalam bisa ular akan memiliki efek langsung maupun tidak langsung
terhadap otot jantung, otot polos dan jaringan lain. Melalui bradykinin-potentiating
peptide, efek hipotensif dari bradikinin akan semakin meningkat dengan tidak aktifnya
peptidyl peptidase yang berfungsi menghancurkan bradikinin dan mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II. Penemuan patofisiologi ini merupakan awal mula
sintesis captopril dan ACE inhibitor lain.

2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesa
Riwayat dan mekanisme kejadian, jenis ular yang menggigit (warna, ukuran, bentuk, ciri
khas) dapat ditanyakan langsung kepada korban gigitan, namun seringkali pasien tidak
tahu. Selain itu perlu ditanyakan waktu kejadian yang dapat mempengaruhi terapi dan

7
prognosis pasien, gejala yang pasien rasakan saat ini serta riwayat alergi, pengobatan
(antikoagulan) dan penyakit terdahulu (jantung, paru, ginjal).5

2.5.2 Manifestasi Klinis


- Gigitan ular tanpa masuknya bisa ular
Pada korban gigitan ular atau yang masih disangka tergigit ular biasanya akan
muncul gejala panik, cemas serta gelisah dikarenakan kerakutan yang biasa sehingga
dapat muncul gejala kaku pada ekstremitas ataupun vasovagal shock. Tekanan darah dan
nadi akan meningkat disertai menggigil dan berkeringat.
- Gigitan ular dengan masuknya bisa ular
o Tanda dan gejala awal
Setelah masuknya taring ular pada kulit akan muncul nyeri yang kemudian
berkembang sensasi terbakar, berdenyut dan nyeri akan bertambah hebat dan
akan meningkat ke bagian proksimal dari bagian yang tergigit. Pembesaran
kelenjar getah bening regional sering dijumpai (KGB ingunalis jika yang tergigit
adalah ekstremitas inferior dan KGB axila jika yang tergigit adalah ekstremitas
superior.

2.5.3 Pemeriksaan Fisik 1,4,5


1. Cek tanda-tanda vital (jalan napas, napas, sirkulasi / ABC)
2. Cek tanda bekas gigitan ular berbentuk 2 titik bekas taring ular
3. Status generalis :
1) lemas, mual, muntah, nyeri perut
2) hipotensi
3) penglihatan terganggu, edema konjungtiva (chemosis)
4) pengeluaran keringat dan hipersalivasi
5) Aritmia, edema paru, shock
6) Tanda perdarahan spontan (petekie, epistaksis, hemoptoe)
7) Parestesia

4. Status lokalis :
1) terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan sebagai tanda luka,
2) bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-tanda inflamasi) yang
muncul dalam 5 menit sampai 12 jam setelah kejadian
3) daerah sekitar gigitan nyeri,muncul bula
4) mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan rasa berdenyut-denyut (tingling)
di sekitar wajah atau tungkai dan lengan.

8
Gambar 5 : Manifestasi klinis pasien dengan gigitan ular

Beberapa faktor yang berpengaruh pada kematian akibat gigitan antara lain 1
1. Serum Anti Bisa Ular : pemberian dosis yang tidak adekuat atau anti bisa ular
yang hanya spesifik untuk satu jenis spesia ular tertentu
2. Waktu ketika mendapat terapi yang adekuat pada pusat layanan kesehatan
memanjang akibat korban biasanya terlebih dahulu datang pada pengobatan
alternatif atau masalah pada transportasi
3. Adanya kegagalan multifungsi pada sistem organ sebagai contoh syok hemoragik
atau sepsis ,dan obstruksi jalan nafas

2.5.4 Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan Darah lengkap meliputi leukosit,
trombosit, Hemoglobin, hematokrit dan hitung jenis leukosit. Faal Hemostasis
( Prothrombin time, Activated Partial Thromboplastin time, International Normalized
Ratio), Cross Match, Serum elektrolit, Faal ginjal (BUN, Kreatinin), Urinalisis untuk
melihat myoglobinuria, dan Anlisis Gas darah
Pencitraan
Foto rontgen thorax untuk melihat apakah ada edema paru
Lain-lain
Mencari tanda-tanda sindrom kompartemen
.
2.5.5 Diagnosis Banding 5
- Anafilaksis
- Deep vein thrombosis (DVT)
- Gigitan kalajengking
- Syok septik
- Sengatan lebah
- Luka terinfeksi

2.6 Klasifikasi
Derajat gigitan ular :
1. Derajat 0
- Bekas gigitan 2 taring -
- Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
- Pembengkakan dan nyeri minimal
2. Derajat I (Minimal)
- Bekas gigitan 2 taring
- Bengkak dan kemerahan dengan diameter 1 5 inchi
- Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
- Nyeri sedang sampai berat

9
3. Derajat II (Moderate)
- Bekas gigitan 2 taring
- Nyeri hebat, Bengkak dan kemerahan dengan diameter 6 12 inchi dalam 12 jam
- Petechie, echimosis, perdarah pada bekas gigitan
- Ada tanda-tanda sistemik (mual, muntah, demam, Pembesaran kelenjar getah
bening)
4. Derajat III (Severe)
- Bekas gigitan 2 taring
- nyeri sangat hebat , Bengkak dan kemerahan lebih dari 12 inchi
- Tanda-tanda derajat I dan II muncul dengan sangat cepat. Ditemukan tanda-tanda
sistemik (gangguan koagulasi, mual, muntah, takikardi, hipotermia, ekimosis,
petekia menyeluruh).
- Syok dan distres nafas
5. Derajat IV (Extremely severe)
- Sangat cepat memburuk
- Bengkak dan kemerahan di seluruh ekstremitas yang terkena gigitan, muncul
ekimosis, nekrosis dan bulla
- Meningkatnya tekanan intrakompartemen yang dapat menghambat aliran darah
vena atau arteri
- Kegagalan multiorgan (ginjal, jantung) bisa sampai koma bahkan meninggal

2.7 Penatalaksanaan
Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan gigitan ular adalah untuk
menetralisisr toksin, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah komplikasi. Alur
yang harus dilakukan adalah :
Pertolongan pertama
Rujukan ke rumah sakit
Penilain klinis dan resusitasi dengan cepat dan tepat
Mengenali spesies ular jika memungkinkan
Melakukan pemeriksaan penunjang
Pemberian Serum Anti Bisa Ular (SABU)
Observasi respon terhadap pemberian SABU
Terapi suportif dan perawatan luka gigitan
Rehabilitasi serta terapi komplikasi

Biasanya setelah kejadian tergigit ular akan dilakukan beberapa cara tradisional untuk
penanganan pertama, namun sebaiknya cara- cara tersebut tidak dilakukan :
Menyedot bisa ular dengan mulut

10
Memasang torniquet dengan ketat di sekitar luka gigitan karena bisa
mengakibatkan nyeri, bengkak dan menghambat aliran darah ke ekstremitas
perifer
Melakukan ompres panas, dingin atau penyayatan luka
Pemberian ramuan herbal atau kompres es 1,5

Yang harus dilakukan sebagai pertolongan pertama pada korban gigitan ular sebelum
ke rumah sakit (pre hospital) :
Pastikan ABC dan monitor tanda-tanda vital (Nadi, Laju pernafasan, Tekanan
Darah, Suhu) kemudian lakukan resusitasi dengan kristaloid sekitar 500- 1000 cc.
Pembatasan pergerakan dan imobilisasi pada daerah sekitar gigitan
Segera rujuk ke tempat pelayanan kesehatan yang memadai
Jangan berikan SABU terlebih dahulu 1,2,5

Rumah sakit
Selalu periksa Airway Breathing Circulation Disability of nervous system Exposure
(hindari hipotermia) dan evaluasi tanda-tand syok (takipnea, takikardia, hipotensi,
perubahan status mental). Pemberian SABU berdasarkan derajat gigitan ular.1

Keadaan yang memerlukan resusitasi segera jika adanya tanda-tanda syok dari
- Efek bisa ular pada cardiovascular seperti hipovilemia, syok perdarahan,
pelepasan mediator inflamasi dan yang jarang yaitu anafilaksis primer
- Gagal nafas karena paralisis otot pernafasan
- Cardiac arrest karena hiperkalemia akibat rhabdomyolisis

2.7.1 Serum Anti Bisa Ular (SABU)


Terapi anti bisa ular pertama kali diperkenalkan oleh Albert Calmette dari Institut
Pasteur di Saigon pada 1890.1 Terdapat dua jenis antiracun ular yaitu yang pertama
terbuat dari serum kuda setelah kuda diinjeksi dengan dosis racun ular subletal.
Antiracun ini kemudian diproses dan dimurnikan tetapi masih mengandung protein
serum yang mungkin masih memiliki sifat antigenik. Jenis kedua adalah yang
direkomendasikan FDA tahun 2000 yaitu fragmen imunoglobulin monovalen dari
domba yang dimurnikan untuk menghindari protein antigenik. 5
SABU harus diberikan pada pasien jika memang diperlukan jika memberikan
keuntungan lebih besar. Indikasi pemberian SABU :
- Adanya abnormalitas hemostatis
Secara klinis adanya perdarahan spontan, koagulopati (dilihat dari faal
hemostasis),
- Tanda neurotoksis (ptosis, paralisis otot pernapasan)
- Abnormalitas cardiovascular (hipotensi, syok, aritmia, EKG abnormal)
- Acute Kidney Injury (oliguria/anuria, peningkatan serum ureum dan atau creatinin)

11
- Hemoglobin/myoglobin-uria (ditandai dengan urin yang berwarna coklat gelap dan
adanya tanda rhabdomyolisis yaitu nyeri otot dan hiperkalemia)
Lebih dari seratus tahun, serum antibisa ular telah diterima secara luas dan digunakan
sebagai terapi. Terapi antidotum spesifik untuk bisa ular adalah hyperimmune globulin
dari binatang yang telah diimunisasi dengan bisa ular dan memproduksi antibodi.
Pada pasien gigitan ular yang emngalami gangguan pembekuan darah atau telah
terbentuk clot maka pemberian SABU akan memperbaiki d\an menghilangkan clot
dalam waktu 2-28 jam. Dalam suatu penelitian acak terkontrol, 40 dari 46 pasien yang
diberikan SABU akan membaik dalam waktu 6 jam meskipun tanda-tanda perdarahan
masih didapatkan hingga 88 jam kemudian.
SABU diberikan intravena kadang akan memunculkan reaksi alergi mulai dari yang
ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai yang berat (syok anafilaksis).
Berdasarkan dosis, rute pemberian dan kulaitas SABU, resiko-resiko tersebut akan
muncul pada 3-30% dan hanya 5-10% diantaranya merupakan gejala sistemik yang
berat. Hampir semua reaksi alergi yang muncul dapat diatasi dengan pemberian
epinefrin. Pencegahan timbulnya reaksi alergi meliputi premedikasi dengan
antihistamin atau kortikosteroid sebelum pemberian SABU dan memperhatikan
kepekatan konsentrasi SABU yang akan diberikan.1,2,4
Dua cara pemberian anti bisa ular :
- Intravena pelan (tidak lebih dari 2 ml/menit). Cara ini memberikan keuntungan
karena jika muncul reaksi alergi dapat segera dihentikan atau ditangani.
- Infus intravena dengan pengenceran Antibisa ular dengan cairan isotonik 5-10
ml/kg dan habis dalam waktu 1 jam
- Intramuskular, namun cara ini memiliki kelemahan karena bioavailibiltasnya
rendah dan sulit untuk mencapai kadar yang diinginkan dalam darah, serta resiko
hematom pada tempat injeksi pada pasien dengan abnormalitas hemostasis.
Dipertimbangkan pemberian secara intramuskular jika jarak ke tempat layanan
kesehatan yang lebih memadai sangat jauh atau akses intravena sulit.
Jika terjadi reaksi alergi setelah pemberian SABU maka diberikan epinefrin
intramuskular pada sepertiga atas paha 0,5 mg untuk dewasa atau 0,01 mg/kg untuk
anak-anak dan dapat diulang 5-10 menit.
Penatalaksanaan terkait pembedahan biasanya jika ditemukan kompartemen sindrom
yang ditandai dengan 5 P (pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulselesness. Jika
ditemukan tanda-tanda tersebut dicurgai ada komparten sindrom sehingga dilakukan
fasciotomi (diindikasikan pada pasien yang terbukti mengalami peningkatan tekanan
intrakompartemen) 5

2.7.2 Antibiotik

12
Antibiotik profilaksis spektrum luas masih direkomendasikan yaitu cephalosporin
generasi tiga dengan spektrum luas gram negatif (Ceftriaxone) akan menekan
pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan infeksi sekunder.

2.7.3 Analgesik
Jika diperlukan dapat diberikan analgetik kuat seperti golongan opioid : petidin
dengan dosis dewasa 50-100 mg, anak-anak 1-1,5 kg/kgBB atau morfin dengan
dosis dewasa 5-10 mg dan anak-anak 0,03-0,05 mg/kg

2.8 Komplikasi
Hal utama penyebab kecacatan adalah nekrosis lokal dan sindrom kompartemen.
Nekrosis yang luas mungkin memerlukan tindakan debridemen atau amputasi karena
kerusakan pada jaringan yang lebih dalam. Di kemudian hari dapat saja timbul
osteomyelitis, dan ulkus kronis. Jika setelah gigitan ular sempat terjadi paralisis otot
pernapasan yang mengakibatkan hipoksia otak dan bisa mengakibatkan defisit
neurologis menetap.

2.9 Monitoring
Pada pasien dengan gagal nafas dapat diberikan oksigen, intubasi atau bagging
manual dan biasanya akan membaiki dalam 1 bulan. Dapat juga diberikan
anticholinesterase. Tirah baring dan pembatasan gerak untuk menghindari trauma
diperlukan pada pasien dengan gangguan hemostasis, dapat diberikan transfusi FFP
(fresh Frozen Plasma) dan Cryoprecipitate dengan konsentrat platelet, namun jika
tidak ada dapat diebrikan Whole Blood. Kadang diperlukan vasopressor sejenis
dopamin atau norepinefrin pada pasien dengan syok atau kerusakan miokardium dan
dialisi jika terjadi AKI. Adanya rhabdomyolisis mengakibatkan asidosis metabolik
seperti pada crush injury dapat dikoreksi dengan natrium bicarbonat sesuai dosis

13
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama :A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 21 tahun
Alamat : Tasikmadu watulimo Trenggalek
Status : Belum Menikah
Tanggal masuk : 20 Oktober 2013 pk 03.00

3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri tangan kanan
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri pada tangan kanan setelah digigit ular pada ibu jari tangan
kanan sekitar pukul 00.00 di daerah Prigi. Setelah itu tangan kanan bengkak, nyeri,
kehitaman dan muncul gelembung gelembung. Menurut pasien ular yang menggigit
berukuran kecil, belang belang dan berekor lancip.
Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada
Riwayat trauma
Tidak ada riwayat trauma

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status generalis
Kesan umum : Tampak sakit sedang, agak gelisah karena nyeri
Tanda-tanda vital
o GCS : 456
o Tekanan darah : 110/80 mmHg
o Nadi : arteri brachialis : 60x/menit, reguler, teraba kuat
Arteri radialis : 60x/ menit reguler, teraba kuat
o Pernafasan : 20x/menit
o Suhu : 37 C
Kepala
o Edema palpebra : -/-
o Konjunctiva anemis : (+)
o Sklera ikterik : (-)
o Pernafasan cuping hidung : (-)
Leher
o Trakea : tidak ada deviasi
o Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
o Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
o JVP : tidak meningkat
Thoraks :
o Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :

14
Batas kiri : sesuai ictus
Batas kanan : parasternal line dextra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
o Paru
Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : chest expansion simetris, tidak ada krepitasi
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi
v/v Rh -/- Wh -/-
v/v -/- -/-
v/v -/- -/-
Abdomen
o Inspeksi : flat
o Auskultasi : Bising Usus (+) normal
o Palpasi : Soefl, hepar dan Lien tidak teraba besar
o Perkusi : Traube space Timpani, Liver spleen 8 cm
Ekstremitas : akral hangat CRT < 2 detik
Anemis -/- Ikterik -/- Edema +/-
-/- -/- -/-
Ekstremitas atas kanan : Bulla (+),

3.4 Pemeriksaan Penunjang


EKG

Laboratorium 20 Okt 2013 :


Lab Hasil Nilai normal Lab Hasil Nilai normal
Leukosit 11,53 4-10 10^3/uL SGOT 28,5 0-40 U/I
Eritrosit 5,39 3,8-6 10^3/uL SGPT 28,6 0-41 U/I
Hemoglobin 15,5 11-16,5 g/dl BUN 8,8 6-20 mg/dl
Hematokrit 44,74 35-50 % Creatinin 0,78 0,67-1,5 mg/dl
Trombosit 4 150-450 10^3/uL PT 10 10-14
MCV 82,9 81-99 APTT 25,4 22-30
MCH 28,8 27-31 INR 0,89 1-1,5
MCHC 34,7 33-37
Limfosit 1,8 1-3,7
Monosit 0,57 0,16-1
Netrofil 9,06 1.5-7
Basofil 0,02 0-0,2
Eosinofil 0,08 0-0,8

15
3.5 Diagnosis Awal
Snake Bite Grade III

3.6 Penatalaksanaan
04.20
Cross Incisi
IVFD RL 20 tpm
Inj.SABU 1 amp i.m
Inj.Tetagam 250 iu i.m
Inj.Ranitidin 2 x 50 mg
Inj.Metamizole 3 x 1 gr i.v
Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr i.v (skin test)

Gambar 6 : Manifestasi klinis pada pasien

3.7 Follow Up
Tang Subjektif Objektif Assesment Planning
gal
20/10/ Nyeri GCS 456 Snake Bite 04.30
Ptx
13 pada TD : 120/80 gr III
C/ Bedah
ekstremi N : 65x/mt o Posisi tangan lebih
as kanan R: 20x/mt rendah dari jantung
A. Radialis : o Imobilisasi

Pulsasi sedang, pasang spalk pada


kuat, Sat. O2 98% ekstremitas
Ext.superior D : superior dekstra
o Observasi 6 jam di
Bulla (+), Tanda
IGD
kompartemen o Cek Saturasi O2
sindrom (-)
dan pulsasi

16
A.Radialis
C/Anestesi
o Puasa
o Inj. Vit K 1 amp i.v
o Transfusi TC 10
labu
05.00
C/Bedah
o IVFD NS : D5 1/5
NS 2:2
o Inj.As,Traneksamat
3x500 mg i.v
o Inj. Vit K 3x1 amp
i.v
o Tranfusi TC 500 ml
o Inj.Tetagam 250 iu
i.m
o Inj.SABU 1 amp i.m
o Inj.Cefotaxim 3x1
gr i.v
o Inf. Metronidazol
3x500 mg
o Obs. tanda vital,
Tanda Sindrom
kompartemen,Puls
asi dan sat.O2
a.radialis
o KIE operasi
debridement dan
fasciotomy
20/10/ Nyeri GCS 456 Snake Bite Pdx : Cek DL
13 pada TD : 130/80 gr III Ptx:
Pk ekstremi N : 90x/mt Diet bebas TKTP
10.00 as R: 20x/mt O2 Nasal Canule 2-4

kanan, A. Radialis : lpm


Pasang Kateter
badan Pulsasi sedang,
Inj.Gentamisin 2 x 80
lemas kuat, Sat. O2 98%
mg i.v
Ext.superior D : Inj.Ranitidin 2x 50
Edema (+), Bulla mg i.v
(+), Tanda HES 500 ml 1x/hari

kompartemen s.d hari ketiga


Transfusi TC 500 ml
sindrom (-)

17
sampai trombosit
100.000
Obs.tanda vital,
Tanda sindrom
komparetemen,
Tanda perdarahan,
Tanda syok.
Pindah HCU
20/10/ Nyeri GCS 456 Snake Bite
13 berkuran TD : 160/72 mmHg gr III
Pk g N: 120x/mt
21.00 R: 30x/mt
GDA : 169
PU : 200 cc
21/10/ Nyeri GCS 456 Snake Bite
13 berkuran TD : 150/88 mmHg gr III
Pk g N: 100x/mt
05.00 R: 24x/mt
GDA : 169
PU : 1000 cc
dibuang
21/10/ - GCS 456 Snake Bite Pdx : Cek DL,
13 TD : 150/76 mmHg gr III Albumin, SE
Ptx:
Pk N: 110x/mt
O2 Nasal Canule 2 lpm
08.00 R: 22x/mt Diet Bebas TKTP
PU : 300 cc IVFD RL:D5 1/5 NS: NS
A. Radialis : 1:2:1
Inj.As,Traneksamat
Pulsasi sedang,
3x500 mg i.v
kuat, Sat. O2
Inj. Vit K 3x1 amp i.v
100% Inj.Cefotaxim 3x1 gr i.v
Ext.superior D : Inf. Metronidazol 3x500
Edema (+), Bulla mg
Inj.Ranitidin 2x 50
(+), Tanda
kompartemen mg i.v
Transfusi WB 2 labu/hr
sindrom (-)
s.d Hb 10 g/dl
Transfusi TC 500 cc
HES 500 ml 1x/hari
s.d hari ketiga

18
Rawat Luka, bebat
tekan digiti I manus
Dekstra
Jika kondisi memburuk
ventilator
21/10/2013

EKG : Sinus Rhythm dengan herat rate 64x/menit


21/10/13
Lab Hasil Nilai normal Lab Hasil Nilai normal
Leukosit 14,72 4-10 10^3/uL BUN 8,4 6-20 mg/dl
Hemoglobin 7,6 11-16,5 g/dl Creatinin 0,55 0,67-1,5 mg/dl
Hematokrit 22,31 35-50 % Albumin 2,86 3,80-4,60
Trombosit 1 150-450 10^3/uL Na 135
MCV 84,8 81-99 K 4,06
MCH 28,9 27-31 Cl 102
MCHC 34,1 33-37 Ca 8,0
Limfosit 4,29 1-3,7
Monosit 0,8 0,16-1
Netrofil 9,5 1.5-7
Basofil 0,02 0-0,2
Eosinofil 0,11 0-0,8

22/10/ - GCS 456 Snake Bite Ptx:


O2 Nasal Canule 2 lpm
13 TD : 156/70 Gr III
Diet Bebas TKTP
Pk N : 100x/mt IVFD RL:D5 1/5 NS: NS
08.00 R: 20x/mt 1:2:1
A. Radialis : Inj.As,Traneksamat
Pulsasi sedang, 3x500 mg i.v
kuat, Sat. O2 Inj. Vit K 3x1 amp i.v
Inj.Cefotaxim 3x1 gr i.v
100% Inf. Metronidazol 3x500
Ext.superior D :
mg
Edema (+), Bulla Inj.Ranitidin 2x 50
(+), Tanda mg i.v

19
kompartemen Transfusi PRC 2 labu/hr
sindrom (-) s.d Hb 10 g/dl
Transfusi TC 500 cc
HES 500 ml 1x/hari
s.d hari ketiga
Rawat Luka,
22/10/13
Lab Hasil Nilai normal Lab Hasil Nilai normal
Leukosit 10,30 4-10 10^3/uL Limfosit 1,94 1-3,7
Hemoglobin 5,1 11-16,5 g/dl Monosit 0,67 0,16-1
Hematokrit 22 35-50 % Netrofil 7,35 1.5-7
Trombosit 7 150-450 10^3/uL Basofil 0,02 0-0,2
MCV 82,6 81-99 Eosinofil 0,32 0-0,8
MCH 26,8 27-31
MCHC 32,5 33-37

Pasien Pulang atas permintaan sendiri karena merasa sudah sembuh

20
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Penegakan Diagnosis Gigitan Ular pada Pasien


Gigitan ular merupakan kasus yang cukup banyak terjadi di dunia khususnya di
daerah pedesaan. Penegakan diagnosis meliputi anamnesa dan pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mengetahui efek dari bisa ular
terhadap sistem organ tertentu.
Pasien datang mengeluh tangan kanannya nyeri setelah digigit ular sekitar 3 jam
sebelum MRS. Dari anamnesa diperkirakan bahwa jnis ular yang menggigit berukuran
kecil, belang belang dan berekor lancip adalah jenis ular beracun.
Dari pemeriksaan fisik secara lokal didapatkan bahwa tangan kanan pasien
tampak edema, bulla dan kemerahan dengan pulsasi arteri radialis masih cukup kuat
dan saturasi O2 pada ujung jari 98% yang menunjukkan bahwa perfusi ke jaringan
tepi masih bagus dan tidak ada tanda-tanda sindroma kompartemen yang
mengakibatkan terganggunya baliran darah vena ataupun arteri. Pada waktu datang
pasien masih belum tampak namun dari luka terus menerus merembeskan darah.
Kemungkinan akibat bisa ular yang mengakibatkan gangguan hemostasis.
Hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium didapatkan trombosit pasien
4000/uL. Dari hasil EKG terbaca sinus rhytm dengan frekuensi 60x per menit. Dari
anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang dapat disimpulkan bahwa menurut
klasifikasi derajat gigitan ular, pasien termasuk derajat III (severe).

4.2 Analisis Penatalaksanaan Gigitan Ular pada Pasien


Penatalaksanaan awal pada pasien dengan gigitan ular adalah imobilisasi
ekstremitas atau daerah yang terkena menggunakan bidai dan posisikan lebih
rendah dari jantung untuk menghindari masuknya bisa ular ke jantung. Pemberian
Serum Anti Bisa Ular diberikan untuk mencegah efek lanjut dari bisa ular ke
sistemik dan Human Immunoglobulin tetanus sebagai profilaksis penyakit tetanus.
Pemberian antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan
infeksi sekunder.
Pada pasien ini didapatkan gangguan hemostasis yang dibuktikan dengan hitung
trombosit yaitu 4000 / uL sekitar 4 jam setelah kejadian. Pada 24 jam setelah
kejadian jumlah hitung trombosit semakin menurun hingga 1000/uL sehingga
diberikan transfusi trombosit concentrate sebanyak 500 ml. Selain itu terjadi
penurunan kadar hemoglobin hingga 7,6 g/dL dan kemudian dilakukan transfusi
whole blood sebanyak 2 labu. Setelah 36 jam kadar trombosit menjadi 5,1 g/dL.
Menurut teori pada pasien dengan gangguan hemostasis dilakukan tirah baring

21
dan pembatasan gerak untuk menghindari trauma diperlukan pada pasien dengan
gangguan hemostasis, dapat diberikan transfusi FFP (fresh Frozen Plasma) dan
Cryoprecipitate dengan konsentrat platelet, namun jika tidak ada dapat diberikan
Whole Blood yang sudah sesuai dengan penatalaksanaan pada pasien.

22
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada pasien dengan gigitan ular akan lebih baik jika diidentifikasi jenis ularnya
apakah jenis berbisa atau tidak. Kemudian berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang dilakukan penilaian derajat gigitan ular meskipun sampai
saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan ular berbisa atau tidak. Bisa ular
mengandung beberapa enzim yang bersifat neurotoksik, kardiotoksik, mengakibatkan
rhabdomyolisis dan menggangu hemostasis sesuai jenis enzim yang terkandung.
Selain itu ditanyakan pula riwayat dan mekanisme kejadian, waktu kejadian, serta
gejala yang pasien rasakan saat ini.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan 2 tanda bekas gigitan, muncul nyeri, bengkak
sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-tanda inflamasi) dan dapat disertai
gejala sistemik lain. Perlu dilakukan juga pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan Darah lengkap meliputi leukosit, trombosit, Hemoglobin, hematokrit dan
hitung jenis leukosit. Faal Hemostasis ( Prothrombin time, Activated Partial
Thromboplastin time, International Normalized Ratio), Cross Match, Serum elektrolit,
Faal ginjal (BUN, Kreatinin), Urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan Anlisis Gas
darah.
Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan gigitan ular adalah untuk
menetralisisr toksin, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah komplikasi.
Imobilisasikan ekstremitas atau daerah yang terkena menggunakan bidai dan
posisikan lebih rendah dari jantung Pemberian SABU, anti tetanus serum, dan
antibiotik disarankan. Tatalaksana lain terkait efek dari bisa ular juga harus dilakukan.
Komplikasi yang sering terjadi adalah nekrosis lokal dan sindroma kompartemen
yang mungkin emmerlukan tindakan bedah. Jika terjadi gangguan dan paralisis otot
nafas akibat efek neurotoksik maka dapat terjadi defisit neurologis yang menetap.

5.2 Saran
Diperlukan ketepatan diagnosis, penentuan derajat dan penanganan pasien
dengan gigitan ular secara cepat. Apabila kondisi penanganan tidak dilakukan dengan
segera maka kondisi pasien dapat bertambah buruk yang nantinya akan mempengaruhi
prognosis dari pasien.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Warrell, David A. 2010. Guidelines for the management of snake-bites. WHO


Regional Office for South-East Asia
2. Warrel, David A. 2010. Snake Bite. Department of Clinical Medicine, University of
Oxford,
3. Prihatini, Trisnaningsih, Muchdor, U.N. Rachman. 2007. Penyebaran gumpalan
dalam pembuluh darah (disseminated intravascular coagulation) akibat racun
gigitan ular. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol.
14, No. 1, November 2007.
4. Cribari, Cris. 2004. Management of Poisonous Snakebites. American College of
Surgeons Committee on Trauma.
5. Snake Bite. Daley, Brian James. 2011 .
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview

24

Anda mungkin juga menyukai