Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Antibiotik pertama (penisilin) ditemukan pada tahun 1928 oleh

Alexander Fleming, seorang ahli mikrobiologi dari Inggris. Tahun 1930-an,

penisilin mulai diresepkan untuk mengobati penyakit-penyakit infeksi.

Sebelum antibiotik ditemukan, banyak infeksi yang tidak bisa disembuhkan

dan menyebabkan kematian. Namun sejak penisilin ditemukan, jutaan

penderita infeksi di seluruh dunia, bisa diselamatkan nyawanya. Begitu

hebatnya antibiotik, sehingga sejak tahun 1944 1972, rata-rata harapan

hidup manusia meningkat delapan tahun (Nurrachmi, 2009).


Antibiotik, seperti yang kita ketahui saat ini ternyata berasal dari

bakteri yang dilemahkan, tidak ada yang menduga bahwa bakteri lemah

tersebut mampu membunuh bakteri lain yang berkembang dalam tubuh

makhluk hidup (Schwartz, dkk, 2000). Antibiotik adalah zat yang dihasilkan

oleh mikroba terutama jamur, bersifat toksik terhadap mikroorganisme lain.

Sifat toksik senyawa-senyamwa yang terbentuk mempunyai kemampuan

menghambat pertumbuhan bakteri (efek bakteriostatik) dan bahkan ada yang

langsung dapat membunuh bakteri (efek bakterisid) yang kontak dengan

antibiotic tersebut (Sumardjo D, 2008).


2

Namun seiring berjalannya waktu, satu demi satu bakteri mulai kebal

terhadap antibiotik. Tahun 1950-an, telah muncul jenis bakteri baru yang

tidak lagi bisa dilawan dengan penisilin. Untungnya, para ilmuwan terus-

menerus melakukan penelitian. Untuk sementara waktu, dunia masih boleh

bergembira karena para ilmuwan berhasil menemukan antibiotik - antibiotik

baru.

Antara tahun 1950 1960-an, jenis bakteri yang resisten masih belum

mengkhawatirkan, karena penemuan antibiotik baru masih bisa

membasminya. Namun sejak akhir 1960-an, tidak ada lagi penemuan baru

yang bisa diandalkan. Baru pada tahun 1999, ilmuwan berhasil

mengembangkan antibiotik baru. Itu pun harus adu cepat dengan semakin

banyaknya bakteri-bakteri super yang kebal antibiotic (Nurrachmi, 2009).

Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik,

yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di

dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan

antibiotik khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun

dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi

terhadap mutan atau transforman. Antibiotik bekerja seperti pestisida dengan

menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya

adalah bakteri. Antibiotik berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya.


3

Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak

wajar bagi kuman untuk hidup.

Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun

seperti strychnine, antibiotik dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik

penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi

akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat

beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotik

yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang

spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi

dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.

Antibiotik oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan

antibiotik intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius.

Antibiotik kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep

(Schwartz, Shires, dan Specer, 1995).

Istilah antibiotik muncul pada literatur mikrobiologi awal tahun 1928.

Menurut Selman Waksman, antibiotik adalah substansi kimia yang diperoleh

dari mikroorganisme, dalam larutan encer mereka mempunyai kemampuan

menghambat pertumbuhan dan membinasakan mikroba lain.

Pada tahun 1929, Fleming mengamati substansi bakteri-ostatik yang

dihasilkan jamur Penicillium notatum dan diberi nama Penicillin. Sejak itu

penisilin dikenal dan diketahui dapat diproduksi oleh berbaga jamur. Namun
4

karena kurang stabil terutamabio-aktivitasnya akan hilang bila diuapkan

sampai kering, maka penisilin kemudian ditinggalkan. Sekitar tahun 1939,

Florey dan kawan-kawan melakukan percobaan kembali terhadap

kemungkinan penggunaan penisilin Fleming untuk terapi. Tahun 1940, Chain

dan kawan-kawan juga melakukan penelitian penisilin, mereka membiakkan

organisme Fleming dan pada waktu ekstraksi dikontrol pada temperatur

rendah; akhirnya mereka mampu memekatkan penisilin sampai 1000 kali,

serta dapat menghasilkan garam penisilin berbentuk bubuk kering yang

mempunyai stabilitas baik terutama bila disimpan. Hasil ini merupakan

kemajuan besar dalam perkembangan produksi antibiotik terutama penisilin

dan merupakan tonggak sejarah manusia dalam memerangi penyakit infeksi.

Pada waktu yang hampir sama, di Rockefeller Institute for Medical

Research New York. Dubos menemukan antibiotik komplek tyrothricin yang

diproduksi oleh bakteri tanah Baccilus brevis. Selanjutnya Dubos, Waksman

dan Woodruff menemukan aktinomisin yang diperoleh dari biakan

aktinomisetes. Pada tahun 1944 Selman Waksman menemukan streptomisin

yang merupakan salah satu antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces

anggota dari aktinomisetes. Streptomisin merupakan anti tuberkulosis yang

mujarab.perkembangan ini merangsang penelitian lebih lanjut terhadap genus

streptomises dalam usaha mencari mikroorganisme penghasil antibiotik. Sejak

itu aktinomisetes terutama streptomises menjadi gudang utama untuk


5

memperoleh antibiotik baru. Di berbagai lembaga penelitian dilakukan

pencarian antibiotik dari berbagai tipe mikroorganisme terutama

aktinomisetes dan telah berhasil mendapatkan antibiotik baru. Pada tahun

1945 telah ditemukan basitrasin yang dihasilkan oleh Bacillus, diikuti

khloramfenikol oleh Strepto-myces venezuelae dan polimiksin oleh B.

polymyxa pada tahun 1947, khlortetrasiklin oleh S. aureofaciens pada tahun

1948 dan neomisin oleh S. fradiae tahun 1949, oksitetrasiklin 1950 dan

eritromisin 1952, keduanya dihasilkan oleh Streptomyces. Kanamisin

ditemukan oleh Umezawa dan koleganya tahun 1957 dari biakan

streptomyces. Semua ini merupakan antibiotik yang sangat penting dan

sampai saat ini masih diperhitungkan sebagai salah satu antibiotik untuk

melawan infeksi.

Pada tahun enam puluhan, penemuan antibiotik agak berkurang tetapi

usaha penemuan dilakukan untuk aplikasi yang lebih luas yaitu untuk mencari

antifungal, anti mikoplasmal, anti spirochetal, anti protozoal, anti tumor, anti

virus, dan antibiotik untuk penggunaan non-medis. Pada dekade ini problem

resistensi bakteri terhadap antibiotik mulai muncul dan telah berkembang,

sehingga memacu mencari antibiotik baru atau derivat antibiotik yang telah

dikenal untuk menggantikan antibiotik yang sudah ada.

Antibiotic juga dikenal sebagai obat antiinfeksi yang manjur

memegang peranan penting dalam klinis karena dapat mencegah dan


6

menyembuhkan berbagai macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh

mikroorgansme yang rentan terhadap antibiotic ini.

Sejak 1942, antibiotic mulai popular digunakan dalam pengobatan

penyakit infeksi. Obat antibiotic tidak selalu dalam keadaan bebas, ada yang

terdapat dalam bentuk garamnya ataupun dalam bentuk esternya. Meskipun

zat-zat kimia ini memberikan hasil yang memuaskan, penggunaannya hasrus

dibatasi hanya untuk infeksi bakteri yang peka terhadapnya. Selain toksik,

pemakaian yang sembarangan dapat menimbulkan hal-hal yang

membahayakan bagi pasien, misalnya berkembangnya resistensi bakteri dan

timbulnya suprainfeksi atau superinfeksi (Sumardjo D, 2008).


Antibiotic mempunyai beberapa golongan diantaranya yaitu golongan

penisilin, tetrasiklin, dan makrolid. Salah satu yang merupakan golongan

makrolid adalah eritromisin yang bersifat bakteriostatik serta efektif terhadap

kuman gram positif dan gram negative. Obat ini merupakan antibiotic yang

paling aman karena mencret dan alergi jarang ditemukan. Dimana ia bekerja

dengan merusak sintesis protein dalam sel kuman, seperti halnya keluarga

tetra-siklin dan klorampenikol. Namun, dengan harga dua kali lipat dari

amoksilin, eritromisin hanya digunakan apabila pasien mengalami alergi

terhadap amoksilin (Azwar B, 2004).


Eritromisin sangat efektif untuk terapi berbagai penyakit, misalnya

difteri, pneumonia, infeksi klamidia, infeksi stafilokokos, dan lain-lain.

Eritromisin sangat efektif untuk membasmi kuman difteri.


7

Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang sangat menular dan bahaya,

terutama menyerang saluran pernapahan bagian atas. Penyebab difteri yaitu

Corynebacterium diphtheriae yang merupakan bakteri gram positif. Dimana

cara penularan penyakit ini melalui percikan ludah penderita baik secara

langsung dan makanan atau benda-benda yang telah terkontaminasi

(Suryanah, 1996).
Hingga saat ini perkembangan kasus defteri di Jatim belum dapat

dihentikan, dengan jumlah kasus pada 2011 sebanyak 304 dan 20 di antaranya

meninggal dunia. Pada 2012 terdapat 954 kasus dengan jumlah kematian

sebanyak 37 orang, sedangkan jumlah kasus per 16 Mei 2013 sebanyak 261

kasus dengan jumlah kematian 8 orang (LAKIP JATIM, 2013).


Berdasarkan uraian diatas, jenis antibitik eritromisin dapat digunakan

untuk terapi berbagai penyakit yang salah satunya yaitu difteri. Untuk

mengatasi tingginya angka kejadian difteri, maka penulis ingin mengetahui

lebih jauh tentang Eritromisin.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui apa yang dimaksud dengan Eritromisin.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui rumus kimia dari Eritromisin
2. Mengetahui farmakologi dasar Eritromisin
3. Mengetaui kegunaan klinis dari Eritrommisin sebagai terapi Difteri

1.3 Manfaat
8

Sebagai masukan data dan pengembangan teori, serta menambah

wawasan tentang penulis maupun pembaca tentang antibiotik Eritromisin.

BAB II

FARMASI-FARMAKOLOGI

2.1 Sifat Fisiko Kimia dan Rumus Kimia Obat


9

Gambar II.1 Rumus Kimia Eritromisin

Eritromisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erythreus. Zat

ini berupa kristal berwarna kekuningan, larut dalam air sebanyak 2 mg/ml.

Eritromisin larut lebih baik dalam etanol atau pelarut organik. Antibiotik ini

tidak stabil dalam suasana asam, kurang stabil pada suhu kamar tetapi cukup

stabil pada suhu rendah. Aktivitas in vitro paling besar dalam suasana alkalis.

Larutan netral eritromisin yang disimpan pada suhu kamar akan menurun

potensinya dalam beberapa hari, tetapi bila disimpan pada suhu 5 biasanya

tahan sampai beberapa minggu.

2.2 Farmakologi Umum


10

Eritromisin merupakan turunan dari bakteri misalnya jamur

Streptomyces erythraeus, pertamakali diperkenalkan pada awal tahun 1950an.

Eritromisin bekerja dengan cara menghambat sinteris protein. Pemberian

eritromisin dalam dosis rendah sampai sedang memberikan efek

bakteriostatik, sedangkan dengan dosis tinggi dapat memiliki efek

bakterisidal. Pemberian eritromisin dapat diberikan secara peroral atau

intravena. Pemberian eritromisin secara peroral akan diabsorpsi di dalam usus

halus karena asam lambung dapat merusak obat, garam eritromisisn (contoh

etilsuksinat, stearat, dan estolat) dipakai untuk mengurangi disolusi (pecah

menjadi partikel-partikel kecil). Sedangkan pemakaian senyawa eritromisin

laktobionat dan eritromisisn gluseptat secara intravena berguna untuk

meningkatkan absorpsi obat (Kee J.L dan Hayes E.R, 1996).

2.3 Farmakodinamik

Eritromisin menekan sinteris protein bakteri. Mula kerja dari preparat

oral adalah 1 jam, waktu mencapai puncak adalah 4 jam, dan lama kerjanya

adalah 6 jam (Kee J.L dan Hayes E.R, 1996).


11

2.3.1 Kegunaan Terapi

1. Infeksi Mycoplasma pneumoniae Eritromisin yang diberikan 4 kali

500 mg sehari per oral mempercepat turunnya panas dan mempercepat

penyembuhan sakit.
2. Penyakit Legionnaire Eritromisin merupakan obat yang dianjurkan

untuk pneumonia yang disebabakan oleh Legionella pneumophila.

Dosis oral ialah 4 kali 0,5-1 g sehari atau secara intravena 1-4 g sehari.
3. Infeksi Klamidia Eritromisin merupakan alternatif tetrasiklin untuk

infeksi klamidia tanpa komplikasi yang menyerang uretra,

endoserviks, rektum atau epididimis. Dosisnya ialah 4 kali sehari 500

mg per oral yang diberikan selama 7 hari. Eritromisin merupakan obat

terpilih untu wanita hamil dan anak-anak dengan infeksi klamidia.


4. Difteri Eritromisin sangat efektif untuk membasmi kuman difteri baik

pada infeksi akut maupun pada carrier state. Perlu dicatat bahwa

eritromisin maupun antibiotika lain tidak mempengaruhi perjalanan

penyakit pada infeksi akut dan komplikasinya. Dalam hal ini yang

penting antitoksin.
5. Infeksi streptokokus Faringitis, scarlet fever dan erisipelas oleh Str.

Pyogenes dapat diatasi dengan pemberian eritromisin per oral dengan

dosis 30 mg/kg BB/hari selama 10 hari. Pneumonia oleh pneumokokus

juga dapat diobati secara memuaskan dengan dosis 4 kali sehari 250-

500 mg.
6. Infeksi stapilokokus Eritromisin merupakan alternatif penisilin untuk

infeksi ringan oleh S. Aureus (termasuk strain yang resisten terhadap


12

penisilin). Tetapi munculnya strain-strain yang resisten telah

mengurangi manfaat obat ini. Untuk infeksi berat oleh stafilokokus

yang resisten terhadap penisilin lebih efektif bila digunakan penisilin

yang tahan penisilinase (misalnya dikloksasilin atau flkloksasilin) atau

sefalosporin. Dosis eritromisin untuk infeksi stafilokokus pada kulit

atau luka ialah 4 kali 500 mg sehar yang diberikan selama 7-10 hari

per oral.
7. Infeksi Campylobacter Gastroenteritis oleh Campylobacter jejuni

dapat diobati dengan eritromisin per oral 4 kali 250 mg sehari. Dewasa

ini fluorokuinolon telah menggantikan peran eritromisin untuk infeksi

ini.
8. Tetanus Eritromisin per oral 4 kali 500 mg sehari selama 10 hari dapat

membasmi Cl. tetani pada penderita tetanus yan alergi terhadap

penisilin. Antitoksin, obat kejang dan pembersih luka merupakan

tindakan lain yang sangat penting.


9. Sifilis Untuk penderita sifilis stadium diniyang alergi terhadap

penisilin, dapat diberikan eritromisin per oral dengan dosis 2-4 g

sehari selama 10-15 hari.


10. Gonore Eritromisin mungkin bermanfaat untuk gonore diseminata

pada wanita hamil yang alergi tehadap penisilin. Dosis yang diberikan

ialah 4 kali 500 mg sehari yang diberika selama 5 hari per oral. Angka

relaps hampir mencapai 25 %


11. Penggunaan profilaksis Obat terbaik untuk mencegah kambuhnya

demam reumatik ialah penisilin. Sulfonamid dan eritromisin dapat


13

dipakai bila penderita alergi terhadap penisilin. Eritromisin juga dapat

dipakai sebagai pengganti penisilin untuk penderita endokarditis

bakterial yang akan dicabut giginya. Dosis eritromisin untuk keperluan

ini ialah 1 g per oral yang diberikan 1 jam sebelum dilakukan

tindakan, dilanjutkan dengan dosis tunggal 500 mg yang diberikan 6

jam kemudian.
12. Pertusis Bila diberikan pada awal infeksi, eritromisin dapat

mempercepat penyembuhan.
2.3.2 Kontra Indikasi
1. Pasien yang hipersensitif terhadap eritromisin dan komponen lain

dalam obat.
2. Pasien yang diketahui menderita penyakit liver.
3. Kontraindikasi jika digunakan bersamaan dengan turunan ergot,

pimozide, dan cisapride.

2. 4 Farmakokinetik

Obat ini mempunyai waktu paruh yang singkat dan efek pengikatan

pada proteinnya sedang (Kee J.L dan Hayes E.R, 1996).

Pola ADME Eritromisin

1. Pemberian Eritromisin basa dihancurkan oleh asam lambung sehingga

obat ini diberikan dalam bentuk tablet salut enterik atau ester. Semua

obat ini diabsorpsi secara adekuat setelah pemberian per-oral. Preparat

eritromisin secara peroral diabsopsi secara baik melalui saluran


14

gastrointestinal. Obat ini tersedia untuk pemberian secara intravena,

tapi harus diencerkan dalam larutan salin 100 mL atau destrosa 5%

dalam larutan air untuk mencegah flebitis atau rasa terbakar pada

tempat suntikan (Kee J.L dan Hayes E.R, 1996).


2. Distribusi eritromisin ke seluruh cairan tubuh baik kecuali ke cairan

sebrospinal. Obat ini merupakan satu di antara sedikit antibiotika yang

bedifusi ke dalam cairan prostat da mempunyai sifat akumulasi unit ke

dalam makrofag. Obat ini berkumpul di hati. Adanya inflamasi

menyebabkan penetrasinya ke jaringan lebih baik.


3. Metabolisme Eritromisin secara ekstensif dan diketahui menghambat

oksidasi sejumlah obat melalui interaksinya dengan sistemsitokrom P-

450.
4. Ekskresi Eritromisin terutama dikumpulkan dan diekskresikan dalam

bentuk aktif dalam empedu, feses, dan sebagian kecil melalui urin.

Reabsorpsi parsial terjadi melalui sirkulasi enterohepatik. Karena yang

dieksresikan dari urin hanya sedikit maka pasien dengan insufisiensi

ginjal bekan kontra indikasi pemberian eritromisin (Kee J.L dan Hayes

E.R, 1996).

2.5 Toksisitas

1. Gangguan epigastrik efek samping paling sering dan dapat menimbulkan

ketidakmampuan pasien terhadap eritromisin.


15

2. Ikterus kolestatik, efek samping initerjadi terutama pada eritromisin

eseloat. Reaksi ini timbul pada hari ke 10-20 setelah dimulianya terapi.

Gejalanya berupa nyeri perut yangmempunyai nyeri pada kolestasis ikat,

mual, muntah, kemudian timbul ikterus, demam, leukositosis dan

eosinofilia; transaminase serum dan bilirubin meningkat; namun

kolisetogram tidak menimbulkan adanya kelainan.


3. Ototoksisitas ketulian sementara berkaitan dengan eritromisin terutama

pemberian dalam dosis tinggi.


4. Reaksi alergi, misalnya demam, eosinofilia, dan eksantem yang cepat

hilang bila terapi dihentikan. Namun, reaksi alergi terhadap eritromisin

jarang terjadi. Hepatotoksisitas dapat terjadi bila eritromisin diberikan

secara bersamaan dengan obat golongan hepatotoksik lainnya, misalnya

asetaminofen (dosis tinggi), fenotiazin, dan sulfonamide. Eritromisin

estolat (ilosone), nampaknya lebih memiliki efek toksik padalifer

dibandingkan dengan eritromisin jenis lainnya. Kerusakan hati biasanya

bersifat reversibel jika obat dihentikan. Ertromisin tidak boleh diberikan

bersamaan dengan klindamisin atau linkomisin karena mereka bersaing

untuk mendapatkan tempat reseptor (Kee J.L dan Hayes E.R, 1996).
16

BAB III

PEMBAHASAN

Golongan antibiotik makrolid dalam struktur kimia mengandung cincin lakton

yang besar. Atibiotik penting yang termasuk golongan ini dan telah banyak diketahui

antara lain eritromisin, karbomisin, oleandomisin, dan pimarisin (Sumardjo, 2008).

Eritromisin adalah salah satu antibiotik golongan makrolida yang tidak larut dalam

air, sehingga dibuat dalam sediaan suspensi. Untuk membuat suspensi stabil dalam

penyimpanan salah satu caranya adalah dengan meningkatkan viskositas suspensi

yaitu dengan penambahan suspending agent salah satunya adalah Pulvis Gummi

Arabici. Eritromisin bekerja dengan cara menghambat sintesa protein tanpa

mempengaruhi sintesa asam nukleat. Pada pemakaian per oral Eritromisin cepat

diabsorpsi. terutama bila perut kosong,Setelah diabsorpsi, Eritromisin terdifusi ke

dalam cairan tubuh dan akan dicapai kadar terapi yang efektif dari Eritromisin dalam

darah selama 6 jam (Sukmawati A, Rahman IR, dan Indrayudha, 2011).

Eritromisin adalah antibiotik golongan makrolid yang digunakan untuk

pengobatan penyakit akibat bakteri Gram positif khususnya Staphylococcus dan


17

Diphtheroids. (Kanzil T, Fatimawali, dan Manampiring A, 2015). Penyakit difteri

disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria yang merupakan bakteri gram

positif. Penyakit ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk

penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri ini,

seringkali menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian

antara hidung dan faring/tenggorokan) dan laring. Selain menyerang tonsil, faring,

atau laring, adakalanya kuman ini menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-

kadang konjungtiva atau vagina (Depkes Kota Pariaman, 2015).

Gambar III.1 Difteri (Depkes Kota Pariaman, 2015)

Difteri masih menjadi masalah di dunia, penyakit ini mulai bermunculan

kembali di beberapa provinsi di Indonesia. Jawa Timur termasuk salah satu daerah

endemis difteri, dari tahun ke tahun kasus difteri menyebar di beberapa

kabupaten/kota. Di Kabupaten Jember, kasus difteri mengalami peningkatan dari


18

tahun 2009 dengan 2 kasus menjadi 6 kasus pada tahun 2010. Kontak orang dengan

difteri dapat menjadi carrier (orang yang terinfeksi dengan Corynebacterium

diphteriae tetapi yang tidak memiliki gejala-gejala penyakit dan merupakan sumber

penularan potensial) (Setyowati N, 2014). Oleh karena itu, eritromisin dapat

digunakan untuk terapi difteri dan diharapkan dapat menekan angka kejadian difteri.
19

BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Eritromisin dapat

digunakan sebagai terapi penyakit Difteri karena sangat efektif untuk mengatasi

bakteri gram positif seperti Corynebacterium diphteriae.


20

DAFTAR PUSTAKA

1. Suryanah. 1996. Keperawatan Anak untuk Siswa SPK Cetakan I. Buku


Kedokteran ECG. Jakarta. Hal.144.

2. Kee, J.L dan Hayes, E.R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Perawatan
Cetakan I. Buku Kedokteran ECG. Jakarta. Hal. 335-336.

3. Azwar, B. 2004. Bijak Memanfaatkan Antibiotik Cetakan I. Kawan Pustaka.


Jakarta. Hal. 676.

4. Sumardjo, D. 2008. Pengantar Kimia: Buku Pnduan Kuliah Mahasiswa


Kedokteran dan Program Strats I Fakultas Bioeksakta Cetakan I. Buku
Kedokteran ECG. Jakarta. Hal. 423-425.

5. Schwartz; Shires; Specer. 1995. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu bedah Ed 6.


Buku kedokteren EGC. Jakarta. Hal. 47.

6. Schwartz; Shires; Specer. 2000. Intisari Prinsip - Prinsip Ilmu Bedah. Editor :
G. Tom Shires dkk. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

7. Setyowati, N. 2014. Faktor yang Mempengaruhi Kontak Positif Difteri di


Kabupaten Jember. UNER. Jember.

8. Sukmawati, A; Rahman, IR; Indrayudha, P. 2011. Uji Stabilitas Fisik dan


Daya Antibakteri Suspensi Eritromisin dengan Suspending Agent Pulvis
Gummi Arabic. Vol 12. No 2. Publikasi Ilmiah.

9. Kanzil, T dan Fatimawali. 2015. Uji Resistensi Bakteri Bacillus sp yang


Diisolasi dari Plak Gigi terhadap Merkuri dan Eritromisin. Vol 3. No 1.
21

10. Nurrachmi. 2009 Waspada Ancaman Baru:Bakteri Super. e-mail:


Nurrachmi @yahoo.com di akses 17 juni 2015.

11. Dinas Kesehatan Kota Periaman. 2015. Penyakit Difteri di Kota Periaman.
http://dinkes.pariamankota.go.id/berita-149-apa-itu-penyakit-difteri.html di
akses 17 Juni 2015.

12. Buku Saku Dokter. 2013. Erythromycin.


http://bukusakudokter.org/2013/03/08/erythromycin-2/ di akses 17 Juni 2015.

13. Wikipedia. 2009. Antibiotik. http://id.wikipedia.org/wiki/Antibiotik di


akses 17 Juni 2015.

14. LAKIP JATIM. 2013. Penangan Difteri perlu ada Kerjasama Masyarakat.

http://www.jatimprov.go.id/site/wagub-penanganan-difteri-perlu-ada-

kerjasama-masyarakat/ di akses 17 Juni 2015.

Anda mungkin juga menyukai