Anda di halaman 1dari 46

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KUALITAS

JASA DENGAN LOYALITAS MEREK KARTU PRA BAYAR


SIMPATI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teknik Penulisan Skripsi

Oleh:
Eni Lestari
M2A 005 025

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
Juni 2008
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................................6
1.4.1 Manfaat Teoretis.................................................................................6
1.4.2 Manfaat Praktis...................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................8
2.1 Loyalitas Merek..............................................................................................8
2.1.1 Pengertian Merek................................................................................8
2.1.2 Pengertian Loyalitas Merek..............................................................11
2.1.3 Jenis-jenis Loyalitas Merek..............................................................13
2.1.4 Aspek-aspek Loyalitas Merek..........................................................17
2.1.5 Faktor-faktor Loyalitas Merek..........................................................20
2.2 Persepsi Tehadap Kualitas Jasa....................................................................23
2.2.1 Pengertian Persepsi...........................................................................23
2.2.2 Kualitas Jasa.....................................................................................24
2.2.3 Persepsi Terhadap Kualitas Jasa.......................................................30
2.2.4 Aspek-aspek Persepsi Terhadap Kualitas Jasa.................................30
2.3 Hubungan antara persepsi tehadap kualitas jasa dengan loyalitas merek.....31
2.4 Hipotesis.......................................................................................................34
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Identifikasi Variabel Penelitian....................................................................35
3.2 Definisi Operasional.....................................................................................35
3.2.1 Loyalitas Merek................................................................................35
3.2.2 Persepsi Terhadap Kualitas Jasa.......................................................36
3.3 Populasi dan Sampel (Subjek Penelitian).36
3.3.1 Populasi.36
3.3.2 Sampel..37
3.4 Pengumpulan Data....38
3.5 Analisis Data.....41
Daftar Pustaka
DAFTAR TABEL
Tabel 3. 1 Blue print skala loyalitas merek................................................................39
Tabel 3.2 Blue print skala persepsi terhadap kualitas jasa........................................40
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Industri jasa pada saat ini merupakan sektor ekonomi yang sangat besar dan tumbuh
sangat pesat. Pertumbuhan tersebut selain diakibatkan oleh pertumbuhan jenis jasa yang
sudah ada sebelumnya, juga disebabkan oleh munculnya jenis jasa baru, sebagai akibat
dari tuntutan dan perkembangan teknologi. Dipandang dari konteks globalisasi, pesatnya
pertumbuhan bisnis jasa antar negara ditandai dengan meningkatnya intensitas pemasaran
lintas negara serta terjadinya aliansi berbagai penyedia jasa di dunia. Kondisi ini secara
langsung menghadapkan para pelaku bisnis kepada permasalahan persaingan usaha yang
semakin tinggi. Mereka dituntut untuk mampu mengidentifikasikan bentuk persaingan
yang akan dihadapi, menetapkan berbagai standar kinerjanya serta mengenali secara baik
para pesaingnya.
Kehadiran telepon seluler di Indonesia sejak tahun 1995, sudah merebut tempat di
hati pelanggan, sehingga pertumbuhannya sangat fantastis. Lonjakan pelanggan cukup
drastis dan bergerak siginifikan setiap tahun. Bandingkan dengan telepon tetap atau fix
phone yang sudah ada sejak 1960-an, dengan pelanggan hanya 9 juta orang. Hingga saat
ini di Indonesia telah hadir 10 operator yaitu Telkom, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo
(XL), Hutchison (3), Sinar Mas Telecom, Sampoerna Telecommunication, Bakrie
Telecom (Esia), Mobile-8 (Fren), dan Natrindo Telepon Selular (sebelumnya Lippo
Telecom). Saat ini industri seluler jumlah pelanggannya mencapai 75 juta. Kalau kartu
hangus/ churn ada 12% (versi Asosiasi Telepon Seluler Indonesia), maka ada 66 juta
pengguna seluler yang masih aktif atau sekitar 30% dari total penduduk Indonesia.
Sementara pelanggan fix phone hanya 4 % dari jumlah populasi yang mencapai 220 juta
jiwa. Kalau dibagi berdasarkan platform yang digunakan, pemakai GSM selular sebanyak
88 persen, CDMA selular 3 persen, dan CDMA fixed wireless access (FWA) 9 persen
(http://duduntok.multiply.com/journal/item/18 diunduh tanggal 26 Juni 2008).
Namun dari sepuluh operator itu hanya 3 operator yang memiliki pangsa pasar lebih
dari 5 persen yaitu Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo. Hal ini menyebabkan tingkat
persaingan antar operator di Indonesia mengalami peningkatan. Sementara para
pelanggan telepon seluler juga menikmati manfaat dari persaingan tersebut. Saat ini
persaingan antar operator telekomunikasi di Indonesia sangat ketat dan terjadi perang
harga di antara mereka, sehingga tentu saja secara umum masyarakat diuntungkan dengan
perkembangan baru tersebut baik karena harga yang terus-menerus turun dan pelayanan
yang bersaing antara satu operator dengan operator lain (http :// inditel. co. cc/ ?pilih = li
hat&topik=1&id=1 di unduh tanggal 23 Juni 2008).
Semakin banyaknya perusahaan telekomunikasi di Indonesia, memacu para
pengusaha di bidang ini untuk memaksimalkan dalam mempertahankan atau
meningkatkan pelanggan agar perusahaan dapat bersaing dengan perusahaan sejenis
lainnya. Pelanggan memiliki pilihan yang lebih banyak dalam menggunakan uang yang
dimilikinya. Hal tersebut memacu para pengusaha di bidang ini untuk memaksimalkan
loyalitas merek dalam mempertahankan atau meningkatkan pelanggan agar perusahaan
dapat bersaing dengan perusahaan sejenis lainnya (http :// eprint s.ums .ac.i d/231 /1/ BE
NEFIT_V9_N2,_DES_2005.pdf diunduh tanggal 9 Mei 2008). Bukti riset sejauh ini
menunjukkan bahwa kesetiaan merek merupakan fenomena spesifik produk. Para
konsumen yang setia atas satu kategori produk mungkin setia atau tidak terhadap kategori
produk yang lainnya (Mowen dan Minor, 2002, hal. 110).
Loyalitas merek didefinisikan sebagai sejauh mana seorang pelanggan
menunjukkan sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek
tertentu, dan berniat untuk terus membelinya di masa depan (Mowen dan Minor, 2002,
hal. 108). Loyalitas pelanggan terhadap merek perlu dipertahankan dan ditingkatkan
karena mempertahankan pelanggan yang sudah ada lebih mudah dan lebih menghemat
biaya dibandingkan dengan mencari pelanggan baru. Loyalitas merek juga mempunyai
peranan strategik dalam dunia pemasaran karena loyalitas merek menjadi dasar
terciptanya profitabilitas dan pembentukan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
(Darsono, 2005, hal. 56)
Bagi perusahaan loyalitas merek akan memungkinkan terjadinya pembelian yang
lebih banyak setiap tahunnya karena pembelian berulang. Juga biaya penjualan yang
lebih rendah karena dapat menekan biaya lebih besar jika mencari pelanggan baru. Arti
loyalitas bagi pelanggan antara lain: pertama mengurangi resiko, dengan tetap memakai
merek yang telah terbukti memberi kepuasaan berarti mengurangi resiko mendapatkan
produk atau jasa yang tidak sesuai dengan harapannya. Bagi pelanggan, loyalitas
terhadap suatu merek sama artinya dengan menyederhanakan berbagai pilihan ketika
membuat keputusan pembelian. Ini berarti menghemat waktu pencarian, menciptakan
transaksi yang lebih efisien, dan menghilangkan switching costs. (http ://www. Jakarta co
nsulting.com/art-11-19.htm di diunduh tanggal 23 Juni 2008) Senada dengan hal tersebut,
pada penelitian terhadap Dosen dan Mahasiswa mengenai loyalitas merek, terdapat
beberapa keuntungan konsumen yang memiliki loyalitas merek antara lain: puas terhadap
merek, mudah mencari produk dengan merek tertentu, mantap dan tidak ragu
menggunakan produk dengan merek tertentu, percaya pada merek, menjadi lebih
mengenal produk dengan merek tertentu, harga pasti sebagai dasar perencanaan
(Dongoran : 2001).
Loyalitas merek terbentuk melalui proses pembelajaran, yaitu suatu proses dimana
konsumen melalui pengalamannya berusaha mencari merek yang paling sesuai untuknya,
dalam arti produk dan merek tersebut dapat memberikan kepuasan yang sesuai dengan
harapan dan kebutuhannya. Konsumen akan terus menerus mencoba berbagai macam
merek sebelum menemukan merek yang benar-benar cocok. Kepuasan konsumen
merupakan bagian yang penting dalam loyalitas merek (Hatane Samuel dan Foedjiawati,
2005).
Semakin diminatinya produk-produk Telkomsel di tengah maraknya pasar dibanjiri
produk-produk baru dari operator baru yang mengedepankan tarif murah bahkan gratis,
tentunya menandakan bahwa kini masyarakat semakin kritis melihat value layanannya,
tidak sekedar tarif. Kini semua sudah menawarkan tarif yang relatif sama dan terjangkau,
jadi selling point-nya ada pada layanan yakni coverage, kualitas jaringan, ragam inovasi
fitur yang melekat pada produk, dan pelayanan pelanggan. (http://www.ntt-online .org/
2007/09/14/kovergensi-multi-media-ancaman-global-bagi networkless/?p=5747 diunduh
tanggal 11 April 2008). Saat ini pelanggan kartu prabayar simPATI mencapai 29 juta dari
total pelanggan TELKOMSEL 50 juta, ketika harga sudah mencapai titik jenuh, maka
faktor layanan akan menjadi pilihan pengguna. Pelanggan tidak hanya
mempertimbangkan pemilihan operator berdasarkan tarif murah tetapi mereka juga
mempertimbangkan faktor layanan (http://mobileindonesia.net/2007/07/16/pelanggan-
simpati-capai-23-juta/ diunduh tanggal 14 Mei 2008).
Jasa merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual.
Contohnya jasa telekomunikasi. Menurut Kotler (1996) dikutip Tjiptono (2003, hal. 23)
jasa adalah sebagai setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu
pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan
tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Tingkat kualitas jasa tidak dapat dinilai
perusahaan berdasarkan sudut pandang perusahaan tetapi harus dipandang dari sudut
pandang penilaian konsumen (Rangkuti, 2002, hal. 18).
Kualitas jasa merupakan hal yang sangat penting pada suatu bisnis jasa dan sangat
berkaitan dengan kepuasan konsumen. Menilai jasa agak sulit untuk diberi suatu ukuran
yang baku atau terstandarisasi karena dipengaruhi oleh sikap dan persepsi seseorang
dalam menilai jasa tersebut. Yang pasti adalah penilaian terhadap kualitas suatu jasa
sangat berkaitan dengan rasa puas atau tidak puas pengguna jasa tersebut. Kualitas jasa
lebih sulit bagi konsumen untuk mengevaluasi dibandingkan dengan produk, karena sifat
jasa yang tidak nyata (intangible), tidak dapat dipisahkan antara produksinya dan
konsumsinya (inseparability) dan jasa yang tidak sama atau berubah-ubah (variability).
Kualitas jasa sangat berpengaruh terhadap kepercayaan konsumen pada perusahaan jasa
tertentu maupun personelnya. Persepsi konsumen mengenai barang atau jasa merupakan
sesuatu yang subjektif. Sifat dari jasa dan layanan yang berbeda dari produk
menyebabkan pelanggan lebih sulit dalam mengevaluasi kualitas sehingga persepsi
kualitas lebih sering dianggap sebagai tolak ukur. Morgan berpendapat bahwa kualitas
diawali oleh kebutuhan konsumen dan diakhiri oleh persepsi konsumen. Persepsi dari
seorang konsumen akan mempengaruhi keputusan dalam pembelian. Persepsi konsumen
terhadap kualitas jasa akan mempengaruhi tingkat kepuasannya. Ketika pelanggan
memiliki persepsi yang positif terhadap kualitas jasa yang diterimanya, maka berarti
bahwa harapannya telah terpenuhi sehingga menimbulkan perasaan puas. Kepuasan
pelanggan merupakan hasil evaluasi pasca pembelian. Evaluasi tersebut
memperbandingkan antara harapan dengan kinerja yang diterimanya (Engel dkk, 1990).
Sependapat dengan hal tersebut hasil penelitian Ihalauw J JOI dan Wicaksono, A A
(2005) menunjukkan adanya hubungan positif antara persepsi kualitas layanan dengan
kepuasan konsumen. Kualitas layanan atau jasa yang baik berpengaruh terhadap loyalitas
merek secara langsung maupun melalui kepuasan. Terdapat pengaruh langsung antara
kualitas layanan atau jasa terhadap loyalitas pelanggan pada penelitian di Hotel
Majapahit Surabaya (Japarianto, 2007).
Mendirikan perusahaan jasa kunci utamanya adalah orientasi kepada konsumen.
Konsumen harus diperlakukan sebagai private audience dan bukan sebagai suatu
kelompok besar, karena tiap individu memiliki keinginan yang berbeda, maka untuk
mengetahui bagaimana perkembangan kualitas jasa di mata konsumen, kita harus
mengetahui persepsi konsumen mengenai kualitas jasa. (http ://chan9 .files. wordpress .
com/2008/02/pemasaran-jasa-bab-13.pdf diunduh tanggal 23 Juni 2008)
Keputusan dan perilaku konsumen muncul dari pandangan konsumen terhadap
sesuatu. Menurut Irwanto (1997, h. 71), persepsi merupakan proses diterimanya stimulus
(objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai stimulus tersebut
disadari dan diterima. Senada dengan pendapat Irwanto, Ahmadi (1998, h. 63)
mengemukakan bahwa persepsi adalah hasil perbuatan jiwa yang secara aktif dan penuh
perhatian untuk menyadari adanya perangsang. Setiadi (2003, h. 15) mendefinisikan
persepsi sebagai proses dimana seseorang memilih, mengorganisasikan, dan mengartikan
masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti. Persepsi individu
tidak timbul begitu saja, namun terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor
fungsional yang berasal dari kebutuhan dan pengalaman masa lalu mempengaruhi
persepsi individu. Selain itu kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang
budaya juga mempengaruhi persepsi (Rakhmat, 2003, h. 55).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik apakah terdapat hubungan antara
persepsi terhadap kualitas jasa dengan loyalitas merek kartu prabayar simPATI?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
hubungan antara persepsi terhadap kualitas jasa dengan loyalitas merek kartu prabayar
simPATI
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
terkait yaitu :
1.4.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi Psikologi
Industri dan Organisasi, Perilaku Konsumen dan Pemasaran serta
memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberi gambaran
mengenai Persepsi Kualitas Jasa dan Loyalitas Merek..

1.4.2 Manfaat praktis


1. Bagi Pemasar
Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi
khususnya kepada para pemasar dalam upaya untuk menyusun strategi
pemasaran yang berfokus pada loyalitas pelanggan terhadap merek

2. Bagi Peneliti
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
peneliti khususnya mengenai persepsi terhadap kualitas jasa dan
loyalitas merek.

3. Bagi Konsumen
Dengan adanya loyalitas pelanggan terhadap suatu merek maka
pelanggan dapat menyederhanakan berbagai pilihan ketika membuat
keputusan pembelian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Loyalitas Merek
2.1.1 Pengertian Merek
Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol atau rancangan atau kombinasi
dari hal-hal tersebut. Tujuan pemberian merek adalah untuk mengidentifikasikan
produk atau jasa yang dihasilkan sehingga berbeda dari produk atau jasa yang
dihasilkan oleh pesaing (American Marketing Association, dalam Sembiring, F dan
Anggraini, A, 2003, hal. 35).
Merek merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan
feauture, manfaat dan jasa kepada pembeli. Merek tidak hanya sekedar simbol,
karena merek memiliki enam tingkat pengertian yaitu:
1. Atribut adalah sesuatu yang melekat pada merek.
2. Manfaat, konsumen tidak membeli atribut tetapi mereka membeli manfaat.
3. Nilai, merek yang memiliki nilai tinggi akan dihargai oleh konsumen
sebagai merek yang berkelas, sehingga dapat mencerminkan siapa pengguna
merek tersebut.
4. Budaya, merek juga mewakili budaya tertentu.
5. Kepribadian, merek mewakili kepribadian para penggunanya. Dengan
menggunakan merek, kepribadian pengguna akan tercermin bersamaan
dengan merek yang digunakan.
6. Pemakai, merek juga menunjukkan pemakainya, oleh karena itu produsen
sering kali menggunakan analogi orang terkenal dan sukses untuk
penggunaan mereknya.
Dengan enam tingkat pengertian merek di atas, perusahaan harus
menentukan pada tingkat mana ia akan menanamkan identitas merek. Tantangan
dalam pemberian merek adalah mengembangkan satu set makna yang mendalam
untuk merek tersebut. Merek yang paling efektif memiliki ciri antara lain:
1. Mudah untuk diucapkan
2. Mudah untuk dikenal
3. Mudah untuk diingat
4. Pendek
5. Berbeda, unik
6. Menggambarkan produk
7. Menggambarkan penggunaan produk
8. Menggambarkan manfaat produk
9. Menggambarkan konotasi yang positif
10. Memperkuat citra produk yang diinginkan
11. Secara hukum kepentingannya terlindungi baik dipasar dalam maupun luar
negeri (Menurut Lamb, Hair dan Mc Daniel (2001).
Goodyear (1996) dalam (Sembiring, F dan Anggraini, A. 2003: 37)
mengatakan bahwa untuk memahami proses perkembangan suatu merek diperlukan
enam tahap yaitu:
1. Unbrand goods (produk tidak memiliki merek), pada tahap ini produk
dikelola sebagai komoditi sehingga merek hampir tidak diperlukan dan
biasanya situasi perekonomian bersifat monopolistik. Produk ini tidak
memerlukan pembedaan satu sama lain.
2. Brand as reference (merek yang dipakai referensi), pada tahap ini sudah
terjadi persaingan sedikit dan ini merangsang produsen untuk membuat
diferensiasi terhadap produk yang dihasilkan.
3. Merek sebagai personaliti, pada tahap ini membedaan produk yang
dihasilkan dari produk pesaing, produsen melakukan tambahan nilai
personaliti pada tiap merek.
4. Merek sebagai symbol, pada tahap ini pelanggan memiliki pengetahuan
yang mendalam mengenai merek yang digunakan dan biasanya produk
sudah bersifat internasional dan pelanggan yang menggunakan merek
tersebut dapat mengekspresikan dirinya.
5. Merek sebagai sebuah perusahaan, pada tahap ini merek merupakan wakil
perusahaan sehingga merek sama dengan perusahaan, semua direksi dan
karyawan memiliki persepsi yang sama tentang merek yang dimilikinya.
6. Merek sebagai kebijakan moral, tahap ini pelanggan memiliki komitmen
tinggi kepada perusahaan sehingga selalu menjaga reputasi produk yang
digunakan, layaknya karyawan perusahaan. Melalui komitmen ini pelanggan
selalu merasa merekalah yang memiliki merek tersebut dan meyakini bahwa
merek tersebut telah mewakili kepuasan moralnya baik secara etis maupun
spiritual.
Merek (brand) adalah penggunaan nama, tanda, desain untuk membedakan
suatu barang atau jasa yang dibuat oleh satu atau sekelompok produsen dengan
barang atau jasa yang dihasilkan produsen lain. Merek yang baik juga mampu
berkomunikasi menjelaskan produk apa dan siapa pembuatnya. Stanton
mengemukakan beberapa persyaratan untuk dapat dikatakan sebagai merek yang
baik yaitu:
1. Menjelaskan sesuatu tentang karakteristik produk seperti manfaat
penggunaannya atau bekerjanya produk.
2. Mudah dieja, diucapkan dan diingat, sehingga merek yang sederhana dan
singkat lebih diutamakan.
3. Mengandung arti adanya perbedaan atau sesuatu yang khusus dibandingkan
dengan merek lain.
4. Dapat diterapkan pada produk baru yang sebelumnya tidak ada dalam
produk line.
5. Dapat didaftarkan dan mendapatkan perlindungan hukum salah satu hal
yang tampaknya perlu dipenuhi disini adalah bahwa nama tersebut tidak
atau belum pernah dimiliki oleh produk atau produsen lain.
Sebuah merek lebih dari sekedar produk. Produk adalah sesuatu yang
diproduksi pabrik. Sedangkan merek adalah sesuatu yang dibeli konsumen.
Konsumen biasanya tidak menjalin relasi dengan barang dan jasa tertentu, namun
sebaliknya membina hubungan yang kuat dengan merek spesifik (http: //peminata
nm ana je menpemasaran006.blogspot.com/ diunduh tanggal 23 Juni 2008).
Kadang-kadang konsumen sangat terlibat dalam suatu pembelian tetapi
tidak melihat banyak perbedaan dalam merek. Keterlibatan yang tinggi ini
seringkali didasarkan pada kenyataan bahwa pembelian tersebut bersifat mahal,
jarang dan beresiko. Dalam kasus ini, pembeli akan berkeliling untuk mempelajari
apa yang tersedia, tetapi akan membeli dengan cukup cepat karena perbedaan
merek tidak nyata.
Merek dalam penelitian ini adalah simPATI, produk kartu GSM prabayar
yang dikeluarkan oleh Telkomsel.

2.1.2 Loyalitas Merek


Mowen dan Minor (2002, hal. 108) mendefinisikan loyalitas merek sebagai
sejauhmana seorang pelanggan menunjukkan sikap positif terhadap suatu merek,
mempunyai komitmen pada merek tertentu, dan berniat untuk terus membelinya di
masa depan. Loyalitas merek merupakan tanggapan perilaku nonacak yang terjadi
sepanjang waktu dan meliputi komponen sikap positif yang kuat, ini serupa dengan
konsep komitmen merek, yang sebagian besar terfokus pada sejauh mana konsumen
mempunyai perasaan positif terhadap merek khusus. (Mowen dan Minor, 2002, hal.
118)
Assael (1998: 130) mendefinisikan loyalitas sebagai a favorable attitude
toward a brand resulting in consitent purchase of the brand over time. Pendekatan
behavioral menganggap pembelian yang konsisten atas suatu merek tertentu dalam
kurun waktu tertentu sebagai indikasi adanya loyalitas. Loyalitas merek adalah
sebagai sejauh mana seorang pelanggan menunjukkan sikap positif terhadap suatu
merek, mempunyai komitmen pada merek tertentu, dan berniat untuk terus
membelinya di masa depan (Sunarto, 2006, hal.261)
Griffin (2005, hal. 31) mendefinisikan loyalitas merek berdasarkan perilaku
membeli, yaitu pelanggan yang melakukan pembelian berulang secara teratur dan
membeli antar lini produk dan jasa. Pelanggan yang mereferensikan kepada orang
lain dan menunjukkan kekebalan terhadap tarikan-tarikan dari pesaing. Loyalitas
dapat didefinisikan dari perilaku membeli. Pelanggan yang loyal adalah orang yang:
1. Melakukan pembelian berulang secara teratur
2. Membeli antarlini produk dan jasa
3. Mereferensikan kepada orang lain
4. Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing (Griffin, 2005, hal.
31).
Loyalitas merek tidak bisa dibentuk dalam sesaat, tetapi harus dipupuk sejak
awal mulai dari pelanggan belum mencoba produk (suspect dan prospek), kemudian
membeli produk pertama kali (first-time customer), membeli produk untuk kedua
kalinya (repeat customer), dan akhirnya menjadi pelanggan yang loyal. (Griffin,
2005, hal. 75)
Loyalitas merek adalah suatu komitmen yang mendalam untuk membeli
kembali atau berlangganan suatu produk atau jasa secara konsisten di masa yang
akan datang sehingga dapat menyebabkan pengulangan pembelian merek yang
sama walaupun ada pengaruh situasi dan berbagai usaha pemasaran yang berpotensi
untuk menyebabkan tindakan perubahan merek (Karsono, 2007, hal. 95)
Loyalitas merek merupakan ukuran kedekatan/keterkaitan pelanggan pada
sebuah merek. Ukuran ini menggambarkan tentang mungkin tidaknya konsumen
beralih ke merek lain, terutama jika merek tersebut mengalami perubahan baik yang
menyangkut harga ataupun atribut lainnya. Konsumen yang loyal pada umumnya
akan melanjutkan penggunaan merek tersebut, walaupun dihadapkan dengan
banyak alternatif merek produk pesaing yang menawarkan karakteristik produk
yang lebih unggul. (http://www.geocities.com/infobetastudio/doc/Brand_Equity.pdf
diunduh tanggal 18 Juni 2008)
Berdasarkan uraian di atas maka loyalitas merek adalah sejauh mana
seorang konsumen menunjukkan sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai
komitmen pada merek tertentu, merekomendasikan orang lain untuk membeli dan
berniat untuk terus membeli merek yang sama di masa depan walaupun ada
pengaruh situasi dan berbagai usaha pemasaran yang berpotensi untuk
menyebabkan tindakan perubahan merek.

2.1.3 Jenis-jenis Loyalitas merek


Pendekatan perilaku menjelaskan bahwa loyalitas merek bukan merupakan
keseluruhan dari fenomena yang ada di sini, perilaku dipandang sebagai sesuatu
yang terjadi melalui serangkaian kesatuan dari kesetiaan lengkap sampai dengan
ketidakacuhan merek. Pola membeli yang berbeda, di mana A, B, C dan D
merupakan merek yang berbeda, dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Kesetiaan yang tidak terbagi: A A A A A A A A.
2. Kesetiaan sewaktu-waktu: A A B A A A C A A D A
3. Kesetiaan beralih: A A A A B B B B.
4. Kesetiaan yang terbagi: A A A B B A A B B B.
5. Ketiadakacuhan merek: A B C D B A C D. (Mowen dan Minor, 2002, hal.
109)
Cranfield School of Management di Inggris menciptakan sebuah model
matriks klasifikasi diamond of loyalty yang membagi pelanggan ke dalam
kategori berbeda dan menjelaskan perilaku pembelian pelanggan. Pelanggan
menurut model ini diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Switchers adalah pelanggan yang baik yang memiliki pola pembelian
berulang, yang tidak loyal kepada suatu merek dan umumnya dipengaruhi
oleh harga
2. Habitual adalah pelanggan yang bertahan pada merek tertentu yang dipilih
karena kebiasaan, dan tidak terlalu memikirkan keputusan mereka
3. Variety seekers adalah pelanggan yang suka membeli suatu produk tetapi
akan melakukan eksperimen terhadap merek-merek lain, sekedar untuk
mencari perubahan.
4. Loyal customer adalah pelanggan yang loyal pada merek tertentu dan
memiliki tingkat komitmen yang tinggi terhadap merek tersebut (Nulman,
Philip, 2001, hal. 167).
Loyalitas konsumen terhadap merek terdiri dari lima kategori yang memiliki
tingkatan loyalitas mulai dari yang paling rendah sampai tertinggi yang membentuk
piramida loyalitas merek, adapun tingkatan loyalitas merek yaitu:
1. Switcher (konsumen yang berpindah-pindah) adalah pelanggan yang berada
pada tingkat paling dasar, dan juga sama sekali tidak loyal. Pembeli pada
tingkat ini tidak mau terikat pada merek apapun, karena karakteristik
konsumen yang berada pada kategori ini pada umumnya adalah mereka
yang sensitif terhadap harga. Mereka menganggap bahwa suatu produk
(apapun mereknya) dianggap telah memadai serta hanya memiliki peranan
yang kecil dalam keputusan untuk membeli.
2. Habitual Buyer (pembelian yang berdasarkan kebiasaan) adalah Pembeli
yang dikategorikan sebagai pelanggan yang puas dengan merek yang telah
mereka konsumsi. Para pelanggan tipe ini memilih merek hanya karena
faktor kebiasaan. Karakteristik pelanggan yang termasuk dalam kategori ini
adalah jarang untuk mengevaluasi merek lain. Sungkannya pelanggan untuk
berpindah ke merek lain lebih dikarenakan sikap mereka yang pasif.
3. Satisfied Buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan) adalah pembeli
yang dikategorikan sebagai pelanggan yang puas dengan merek yang
mereka konsumsi, namun demikian mungkin saja mereka memindahkan
pembelian ke merek lain dengan menanggung switch cost yang terkait
dengan waktu, uang, manfaat, ataupun resiko kinerja yang melekat dengan
tindakan mereka dalam peralihan merek.
4. Liking the Brand (pembeli yang menyukai merek) adalah pelanggan
sungguh-sungguh menyukai merek. Pada tingkat ini dijumpai perasaan
emosional yang terkait pada merek. Preferensi mereka dilandaskan pada
suatu assosiasi, seperti simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakan
merek produk.
5. Committed Buyer (pembeli yang setia) adalah pembeli yang merupakan
pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggan sebagai pengguna
suatu merek bahkan merek sudah menjadi suatu hal yang sangat penting
bagi mereka, baik karena fungsi operasional maupun emosional dalam
mengekspresikan jati diri. Salah satu aktualisasi loyalitas konsumen pada
tingkat ini ditunjukan dengan tindakan merekomendasikan dan
mempromosikan merek tersebut pada pihak lain (http ://www .geocities.co
m/infobetastudio/doc/Brand_Equity.pdf diunduh tanggal 18 Juni 2008).
Empat jenis loyalitas yang berbeda muncul bila keterikatan rendah dan
tinggi diklasifikasi silang dengan pola pembelian ulang yang rendah dan tinggi
yaitu:
1. Tanpa loyalitas, untuk berbagai alasan, pelanggan tidak mengembangkan
loyalitas terhadap produk atau jasa tertentu.
2. Loyalitas yang Lemah, keterikatan yang rendah digabung dengan pembelian
berulang yang tinggi menghasilkan loyalitas yang lemah. Pelanggan ini
membeli karena kebiasaan. Ini adalah jenis pembelian karena kami selalu
menggunakannya atau karena sudah terbiasa. Faktor nonsikap dan faktor
situasi merupakan alasan utama membeli.
3. Loyalitas tersembunyi, tingkat preferensi yang lebih tinggi digabung dengan
tingkat pembelian berulang yang rendah menunjukkan loyalitas
tersembunyi. Bila pelanggan memiliki loyalitas yang tersembunyi, pengaruh
situasi dan bukan pengaruh sikap yang menentukan pembelian berulang.
4. Loyalitas premium merupakan jenis loyalitas yang paling dapat
ditingkatkan, terjadi bila ada tingkat keterikatan yang tinggi dan tingkat
pembelian berulang yang juga tinggi. Pada tingkat preferensi paling tinggi
tersebut orang bangga karena menemukan dan menggunakan produk
tertentu dan senang membagi pengetahuan mereka dengan rekan dan
keluarga. Para pelanggan ini menjadi pendukung vocal atau jasa tersebut
dan selalu menyarankan orang lain untuk membelinya, ditunjukkan pada
tabel 1.1 (Griffin, 2005, hal. 22).
Tabel 1.1. Empat jenis loyalitas berdasarkan keterikatan rendah dan tinggi diklasifikasi silang
Pembelian Berulang

Tinggi Paste

Keterikatan relatif Tinggi Loyalitas premium Loyalitas tersembunyi

Rendah Loyalitas yang lemah Tanpa Loyalitas

2.1.4 Aspek-aspek Loyalitas Merek


Menurut Oliver 1999 (dikutip Durianto, 2005, hal. 19) aspek-aspek loyalitas
merek adalah sebagai berikut:
1. Cognitive loyalty, loyalitas hanya didasarkan pada kepercayaan merek,
memfokuskan perhatian pada aspek kinerja merek. Cognition dapat
didasarkan pada pengetahuan yang sebelumnya terhadap kinerja suatu
merek, baik yang dialami sendiri maupun yang dialami orang lain atau
berdasarkan informasi pengalaman terkini yang terkait dengan merek
tersebut. Dengan demikian, jika perusahaan meluncurkan produk baru
dengan merek yang sama, kepercayaan konsumen kepada produk tersebut
didasarkan pada kinerja merek tersebut sebelumnya.
2. Affective loyalty, pada tahap ini loyalitas konsumen didasarkan atas aspek
afektif konsumen. Loyalitas afektif muncul atas dasar kepuasan penggunaan
kumulatif, diarahkan kepada menyenangkannya merek. Komitmen-pikiran
konsumen sebagai pengertian dan pengaruh. Loyalitas pada tahap ini jauh
lebih sulit dirubah, karena loyalitasnya sudah masuk dalam benak konsumen
sebagai afek dan bukan sebagai kognisi yang mudah berubah.
3. Conative loyalty adalah yang dipengaruhi oleh episode berulang dari
pengaruh positif terhadap merek. Loyalitas merupakan pengalaman ketika
konsumen fokus pada keinginannya untuk membeli ulang merek. Loyalitas
berimplikasi pada komitmen khusus terhadap merek tertentu untuk
melakukan pembelian ulang.
4. Action loyalty merupakan loyalitas yang melengkapi kerangka loyalitas
sebelumnya membawa model loyalitas yang didasarkan atas sikap
keperilaku minat, yaitu tahap tindakan dari pembelian ulang yang berulang-
ulang. Loyalitas adalah komitmen untuk bertindak melakukan pembelian
ulang.
Suryani (1997, hal. 30) menyatakan aspek-aspek yang membentuk loyalitas
merek pada konsumen adalah:
1. Aspek kognitif meliputi accescibility, centrality, dan clarity. Accessibiluty
merupakan kemudahan bagi seseorang untuk mengingat kembali sikap yang
sudah terbentuk. Confidence merupakan derajat kepastian hubungan sikap
atau penilaian. Centrality menunjukkan keterkaitan antara sikap terhadap
merek dengan sistem nilai. Clarity merupakan kejelasan pelanggan terhadap
merek yang ditunjuk.
2. Aspek afektif meliputi emosi, moods, primary effect, dan kepuasan. Emosi
akan mengarahkan seseorang untuk terlibat secara khusus dengan sesuatu
hal dan bahkan bila tidak terkendalikan dapat mengarah pada terbentuknya
perilaku yang tidak terkehendaki. Moods atau suasana hati, jika
dibandingkan dengan emosi memiliki intensitas yang rendah. Primary effect
merupakan kesan yang ditangkap oleh konsumen atas merek produk
tertentu.
3. Aspek konatif merupakan kecenderungan yang ada pada diri konsumen
untuk melakukan tindakan.
Loyalitas menunjukkan kecenderungan pelanggan untuk menggunakan
suatu merek tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi. Ini berarti loyalitas
selalu berkaitan dengan preferensi pelanggan dan pembelian aktual. Definisi di atas
berdasarkan pada dua pendekatan, yaitu sikap dan perilaku. Dalam pendekatan
perilaku, perlu dibedakan antara loyalitas dan perilaku beli ulang. Perilaku beli
ulang dapat diartikan sebagai perilaku pelanggan yang hanya membeli suatu produk
secara berulang-ulang, tanpa menyertakan aspek perasaan dan pemilikan di
dalamnya. Sebaliknya loyalitas mengandung aspek kesukaan pelanggan pada suatu
produk. Ini berarti bahwa aspek sikap tercakup di dalamnya. Menurut Dharmessta
(1999) dikutip Mardalis A terdapat empat aspek loyalitas merek yaitu:
1. Loyalitas kognitif adalah pelanggan yang menggunakan informasi
keunggulan suatu produk atas produk lainnya. Loyalitas kognitif lebih
didasarkan pada karakteristik fungsional, terutama biaya, manfaat dan
kualitas. Jika ketiga faktor tersebut tidak baik, pelanggan akan mudah
pindah ke produk lain. Pelanggan yang hanya mengaktifkan tahap
kognitifnya dapat dihipotesiskan sebagai pelanggan yang paling rentan
terhadap perpindahan karena adanya rangsangan pemasaran.
2. Loyalitas afektif merupakan sikap dari fungsi kognisi pada periode awal
pembelian (masa sebelum konsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap
sebelumnya ditambah dengan kepuasan di periode berikutnya (masa setelah
konsumsi). Munculnya loyalitas afektif ini didorong oleh faktor kepuasan
yang menimbulkan kesukaan dan menjadikan objek sebagai preferensi.
Kepuasan pelanggan berkorelasi tinggi dengan niat pembelian ulang di
waktu mendatang. Pada loyalitas afektif, kerentanan pelanggan lebih banyak
terfokus pada tiga faktor, yaitu ketidakpuasan dengan merek yang ada,
persuasi dari pemasar maupun pelanggan merek lain, dan upaya mencoba
produk lain.
3. Loyalitas konatif menunjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan
sesuatu. Niat merupakan fungsi dari niat sebelumnya (pada masa sebelum
konsumsi) dan sikap pada masa setelah konsumsi. Maka loyalitas konatif
merupakan suatu loyalitas yang mencakup komitmen mendalam untuk
melakukan pembelian. Jenis komitmen ini sudah melampaui afek. Afek
hanya menunjukkan kecenderungan motivasional, sedangkan komitmen
untuk melakukan menunjukkan suatu keinginan untuk melaksanakan
tindakan. Keinginan untuk membeli ulang atau menjadi loyal itu hanya
merupakan tindakan yang terantisipasi tetapi belum terlaksana.
4. Loyalitas tindakan merupakan niat untuk melakukan yang berkembang
menjadi perilaku dan tindakan. Niat yang diikuti oleh motivasi, merupakan
kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan keinginan untuk
mengatasi hambatan dalam melakukan tindakan tersebut. Jadi loyalitas itu
dapat menjadi kenyataan melalui beberapa tahapan, yaitu pertama sebagai
loyalitas kognitif, kemudian loyalitas afektif, dan loyalitas konatif, dan
akhirnya sebagai loyalitas tindakan. Pelanggan yang terintegrasi penuh pada
tahap loyalitas tindakan dapat dihipotesiskan sebagai pelanggan yang rendah
tingkat kerentanannya untuk berpindah ke produk lain. Dengan kata lain,
loyalitas tindakan ini hanya sedikit bahkan sama sekali tidak memberi
peluang pada pelanggan untuk berpindah ke produk lain.
Loyalitas berkembang mengikuti empat tahap, yaitu kognitif, afektif, konatif
dan tindakan. Biasanya pelanggan menjadi setia lebih dulu pada aspek kognitifnya,
kemudian pada aspek afektif, lalu aspek konatif dan akhirnya pada aspek tindakan.
Keempat aspek tersebut biasanya sejalan, meskipun tidak semua kasus mengalami
hal yang sama.

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas Merek


Menurut Mardalis, A (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas
merek antara lain:
1. Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi setelah pembelian di mana produk
yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melebihi harapan pelanggan,
sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil (outcome) tidak memenuhi
harapan. Loyalitas terjadi karena adanya pengaruh kepuasan atau
ketidakpuasan dengan produk tersebut yang berakumulasi secara terus
menerus.
2. Kualitas jasa merupakan salah satu faktor penting yang dapat membuat
pelanggan puas(Shellyana dan Basu, 2002). Kualitas jasa ini mempunyai
pengaruh terhadap kepuasan pelanggan dan kepuasan pelanggan merupakan
faktor penentu loyalitas yang pertama. Pemasar dapat meningkatkan kualitas
jasa untuk mengembangkan loyalitas merek. Kualitas jasa memiliki
pengaruh langsung terhadap loyalitas dan mempengaruhi loyalitas melalui
kepuasan.
3. Citra adalah seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki seseorang
terhadap suatu objek. Sikap dan tindakan seseorang terhadap suatu objek
sangat dikondisikan oleh citra objek tersebut. Kemampuan menjaga loyalitas
pelanggan dan relasi bisnis, mempertahankan atau bahkan meluaskan
pangsa pasar, memenangkan suatu persaingan dan mempertahankan posisi
yang menguntungkan tergantung kepada citra produk yang melekat di
pikiran pelanggan.
4. Rintangan untuk Berpindah adalah faktor lain yang mempengaruhi loyalitas
yaitu besar kecilnya rintangan berpindah (switching barrier). Rintangan
berpindah terdiri dari; biaya keuangan (financial cost), biaya urus niaga
(transaction cost), diskon bagi pelanggan loyal (loyal customer discounts),
biaya sosial (social cost), dan biaya emosional (emotional cost).
(http://eprints.ums.ac.id/231/1/BENEFIT_V9_N2,_DES_2005.pdf diunduh
tanggal 9 Mei 2008)
Schiffman dan Kanuk (2004) menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya atau terciptanya loyalitas merek adalah:
1. Perceived product superiority (penerimaan keunggulan produk)
2. Personal fortitude (keyakinan yang dimiliki oleh seseorang terhadap merek
tersebut)
3. Bonding with the product or company (keterikatan dengan produk atau
perusahaan)
4. Kepuasan yang diperoleh konsumen
Menurut Purwani dan Dharmmesta (2002, hal. 290-291) faktor-faktor yang
mempengaruhi loyalitas merek adalah:
1. Perilaku mencari keragaman (Variety Seeking), ada individu-individu
tertentu yang memiliki perilaku mencari keragaman yang tinggi, karena
mereka hanya menekankan aspek kognitif saja saat membeli suatu produk.
2. Beragamnya penawaran produk lain yang sejenis menyebabkan beragamnya
harga, pilihan fitur, serta ongkos berpindah yang rendah, dan hal ini
mendorong kecenderungan konsumen untuk pindah merek menjadi besar,
terutama jika konsumen menekankan pada aspek kognitif saja saat memilih
produk.
3. Ketidakpuasan, ketika produk yang dibeli konsumen memiliki kualitas di
bawah harapan konsumen akan merasa tidak puas dan hal ini akan
menimbulkan respon internal, seperti tidak mau berhubungan dengan
produk tersebut atau mencari produk merek lain.
Dari uraian di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas merek antara
lain: Kepuasan atau ketidakpuasan konsumen, citra merek, rintangan untuk
berpindah, keterikatan dengan produk, keunggulan produk, beragamnya penawaran
produk lain, perilaku mencari keragaman (Variety Seeking), Personal fortitude dan
kualitas jasa.

2.2 Persepsi Terhadap Kualitas Jasa


2.2.1 Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan,
yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera.
Stimulus yang diindera itu kemudian oleh individu diorganisasikan,
diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera
itu. Dengan demikian, persepsi itu merupakan pengorganisasian, penginterpretasian
terhadap stimulus yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan
merupakan respons yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2004, hal. 87-88).
Karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu,
maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan
hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan
berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi
sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan
individu yang lain. Persepsi itu bersifat individual. Persepsi bukan sekedar
penginderaan tetapi lebih pada penafsiran pengalaman yang menyebabkan individu
memiliki suatu pemahaman terhadap lingkungannnya. Perbedaan persepsi membuat
seseorang memiliki kesan yang berbeda terhadap pengalaman individunya (Irwanto,
1994, hal. 71).
Menurut L.G Sciffman dan L.L Kanuk (2000) yang dikutip oleh Ristiyanti
Prasetijo dan Ihalauw John (2005 : 67) mendefinisikan: persepsi adalah cara
memandang dunia ini. Dari definisi yang umum ini dapat dilihat bahwa persepsi
seseorang akan berbeda dari yang lain. Cara memandang dunia sudah pasti
dipengaruhi oleh sesuatu dari dalam maupun dari luar orang itu. Sedangkan
menurut Solomon (1999) yang dikutip oleh Ristiyanti Prasetijo dan Ihalauw John
(2005 : 67) persepsi adalah sebagai proses di mana sensasi yang diterima oleh
seseorang dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan akhirnya diintepretasikan.
Persepsi memiliki peranan yang penting dalam memahami bagaimana
perilaku konsumen. Konsep pemasaran juga menjelaskan bahwa konsumen akan
melakukan persepsi terhadap stimulus-stimulus yang ada dilingkungannya. Menurut
Mowen (2002, h. 82) persepsi adalah proses dimana konsumen diekspos untuk
menerima informasi, memperhatikan informasi tersebut, dan memahaminya.
Berdasarkan pengertian diatas, maka persepsi konsumen terhadap stimulus yang
diterimanya melalui suatu pemrosesan informasi yang terdiri dari tahap exposure
(exsposure stage), tahap perhatian (attention stage) dan tahap pemahaman
(comprehension stage) (Mowen dan Minor, 2002, h. 87).
Persepsi bersifat individual yaitu setiap orang memiliki persepsi yang
berbeda-beda terhadap suatu objek. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh
pengalaman, pikiran dan lingkungan sekitar masingmasing individu (Setiadi, 2003,
h. 160). Sehingga setiap objek yang sama akan memberikan arti yang berbeda bagi
setiap individu.
Persepsi adalah cara individu memandang secara positif atau negatif suatu
stimulus yang meliputi proses pemilihan, pengorganisasian, dan penginterpretasian
terhadap stimulus yang diterima individu sehingga didapatkan suatu pemahaman
atau pengertian.

2.2.2 Kualitas Jasa


Menurut Kotler (1996) dikutip Tjiptono (2003, hal. 23) jasa adalah sebagai
setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada
pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak
menghasilkan kepemilikan sesuatu. Tingkat kualitas jasa tidak dapat dinilai
perusahaan berdasarkan sudut pandang perusahaan tetapi harus dipandang dari
sudut pandang penilaian konsumen (Rangkuti, 2002, hal. 18) Jasa merupakan
aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual, misalnya jasa
telekomunikasi (Tjiptono, 2003, hal. 23).
Kualitas jasa menurut Wyckop (Tjiptono, 2000:54) adalah tingkat
keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut
untuk memenuhi keinginan pelanggan. Kualitas jasa dan produk merupakan buah
dari proses yang baik; yang dimulai dari produksi sampai delivery kepada
pelanggan secara tepat waktu, efektif, dan dengan biaya yang efisien (Kertajaya,
2006. hal. 17). Jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu
pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud dan tidak menyebabkan
perpindahan kepemilikan. Produksi jasa dapat terikat atau tidak terikat pada suatu
produk fisik). Jasa pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output
selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat
bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud bagi
pembeli pertamanya. Jasa pada dasarnya adalah sesuatu yang mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Suatu yang tidak berwujud tetapi dapat memenuhi kebutuhan konsumen
2. Proses produksi jasa dapat menggunakan atau tidak menggunakan bantuan
suatu produk fisik
3. Jasa tidak mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan
4. Terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. (http://www.
damandiri.or.id/file/endangsulistiariniunairbab2.pdf diunduh tanggal 18 Juni
2008)
Kualitas Jasa didefinisikan sebagai peyampaian jasa yang akan melebihi
tingkat kepentingan pelanggan. Jenis kualitas yang digunakan untuk menilai
kualitas jasa adalah sebagai berikut:
1. Kualitas teknis (outcome), yaitu kualitas hasil kerja penyampaian jasa itu
sendiri.
2. Kualitas pelayanan (proses), yaitu kualitas cara penyampaian jasa tersebut.
(Rangkuti, 2002, hal. 26)
Menurut Zeithaml and Bitner (2003 : 20), jasa memiliki empat ciri utama
yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu sebagai berikut :
1. Tidak berwujud menyebabkan konsumen tidak dapat melihat, mencium,
meraba, mendengar dan merasakan hasilnya sebelum mereka membelinya.
Untuk mengurangi ketidakpastian, konsumen akan mencari informasi
tentang jasa tersebut, seperti lokasi perusahaan, para penyedia dan penyalur
jasa, peralatan dan alat komunikasi yang digunakan serta harga produk jasa
tersebut.
2. Tidak terpisahkan (inseparability) dari sumbernya, yaitu perusahaan jasa
yang menghasilkannya. Jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat
bersamaan. Jika konsumen membeli suatu jasa maka ia akan berhadapan
langsung dengan sumber atau penyedia jasa tersebut.
3. Bervariasi (variability) atau jasa yang diberikan sering kali berubah-ubah
tergantung siapa yang menyajikannya, kapan dan dimana penyajian jasa
tersebut dilakukan. Ini mengakibatkan sulitnya menjaga kualitas jasa
berdasarkan suatu standar.
4. Mudah musnah (perishability) adalah jasa tidak dapat disimpan sehingga
tidak dapat dijual pada masa yang akan datang. (http ://www. damandiri. or.
id/file/endangsulistiariniunairbab2.pdf diunduh tanggal 18 Juni 2008)
Menurut Kotler (1996) dikutip Tjiptono (2003, hal. 23) kualitas jasa
memiliki lima dimensi yaitu:
1. Tangible, karena suatu pelayanan tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, maka
aspek tangible menjadi penting sebagai ukuran terhadap pelayanan. Untuk
sim card dimensi tangible yang penting adalah materi promosi. Brosur dan
leaflet yang dipajang digerai-gerai layanan telepon seluler akan
mempengaruhi konsumen dalam menilai kualitas pelayanan.
2. Reliabilitas, merupakan dimensi yang mengukur kemampuan dari
perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada konsumennya, baik
pelayanan seperti yang dijanjikan maupun pelayanan yang akurat. Iklan
yang memberikan janji yang berlebihan jelas tidak efektif.
3. Responsiviness, pelayanan yang responsif atau tanggap dapat dilihat salah
satunya melalui sikap front-line staf, seperti kesigapan dalam menjawab
pertanyaan atau permintaan konsumen. Selain itu kesigapan pelayanan yang
diberikan oleh customer center.
4. Assurance, berhubungan dengan perilaku front-line staff dalam
menanamkan rasa percaya dan keyakinan konsumennya, yang meliputi
dimensi keramahan, kompetensi, kredibiltas dan keamanan
5. Empati, pelayanan yang empati sangat memerlukan sentuhan pribadi.
Kualitas jasa adalah ciri atau atribut produk dan tindakan baik pada proses
maupun pelayanan yang dapat ditawarkan oleh penyedia jasa. Perusahaan harus
mempertimbangkan empat karakteristik jasa tertentu yaitu ketidakberwujudan,
ketidakterpisahan, keragaman, tidak tahan lama. Tidak berwujudnya jasa berarti
bahwa jasa tidak bisa dilihat, dicicipi, dirasakan, didengar, dibaui sebelum dibeli.
Tugas penyedia jasa adalah membuat jasa berwujud dalam satu atau beberapa cara.
Ketika pemasar produk berupaya menambah hal-hal yang tidak berwujud pada
barang berwujud yang mereka tawarkan, pemasar jasa berusaha untuk menambah
hal-hal yang berwujud yang mereka tawarkan.
Barang fisik diproduksi, lalu disimpan, kemudian dijual, dan akhirnya akan
dikonsumsi sebaliknya, pada pertama kali jasa itu dijual, kemudian diproduksi
kemudian di konsumsi pada saat yang sama. Ketidakpisahan jasa maksudnya adalah
bahwa jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedianya, apakah penyedianya tadi
adalah orang atau mesin. Bila karyawan jasa menyediakan jasa, maka karyawan itu
merupakan bagian dari jasa. Baik penyedia jasa maupun pelanggan akan
mempengaruhi hasil jasa.
Keragaman jasa berarti bahwa kualitas jasa tergantung pada siapa yang
menyediakan jasa, waktu, tempat dan bagaimana cara mereka disediakan. Tidak
tahan lama jasa berarti jasa tidak dapat disimpan untuk penjualan atau pemakaian
yang akan datang. Oleh karena itu perusahaan jasa seringkali merancang strategi
agar lebih baik lagi menyesuaikan permintaan dan penawaran. (Kotler dan
Amstrong , 2001: 375). Ada 3 aspek layanan dalam persaingan di industri jasa
telekomunikasi antara lain:
1. Coverage Area yang luas, semakin banyak BTS maka jangkauan area
pelayanan makin luas, sehingga sinyal dapat ditemukan dimana-mana.
Pengguna cenderung memilih operator yang sinyalnya kuat dan wilayah
layanannya luas. Sehingga pengguna dapat melakukan panggilan atau
menerima panggilan dengan baik.
2. VAS (Value Added Servis) yang lengkap akan menjadi pilihan pelanggan,
terutama mereka dari kalangan berpendidikan. Pelanggan membutuhkan
fitur yang menarik dan selalu update sehingga memudahkan aktivitas
misalnya melakukan transaksi, pembayaran tagihan, pembelian tiket dengan
sms. Info-info yang dibutuhkan melalui kontent yang menarik, misalnya
berita terkini, layanan kesehatan. Ke depan nomor HP bisa digunakan
sebagai pengganti pembayaran tunai, misalkan melalui sms dari nomor HP
maka terjadi transaksi tunai.
3. Customer Care yang baik, santun dan simpatik adalah pelayanan yang tak
kalah. Seringkali orang berpindah operator karena mendapat pelayanan yang
kurang simpatik dari operator call center. Selain itu club-club yang telah
dibentuk setiap operator harus terus dikekola dengan baik. Melalui
hubungan yang dekat dengan anggota maka loyalitas pelanggan pun kian
besar.
Ada 5 (lima) parameter umum yang digunakan untuk mengukur kualitas
pelayanan pada penyedia Layanan Telepon Seluler. Kelima parameter itu adalah:
1. Performa tagihan (billing performance) adalah bagaimana operator seluler
menangani komplain tagihan dalam satu periode tagihan. Ada dua hal yang
harus diperhatikan, yaitu presentase komplain tagihan dalam satu periode
tagihan dan kerangka waktu dalam menangani tagihan. Persentase komplain
tagihan dalam satu periode tagihan biasanya tidak boleh lebih dari 2% dari
total jumlah tagihan dalam satu periode tagihan. Sedangkan kerangka waktu
dalam menangani tagihan yang harus diselesaikan adalah antara 15 sampai
dengan 30 hari
2. Kesediaan layanan antar pengguna (endpoint service availability), poin ini
sebenarnya lebih menitikberatkan pada berapa banyak toleransi terjadi
dropped calls (panggilan yang terputus) dan blocked calls (panggilan yang
tidak bisa masuk). Jumlah dropped calls dan blocked calls yang terjadi antar
jaringan sendiri maupun antar jaringan operator lain, rata-rata tidak boleh
lebih dari 10%.
3. Penanganan komplain pelanggan secara umum (general customer complaint
handling) adalah berapa banyak komplain yang boleh muncul dalam satu
tahun. Rata-rata jumlah komplain pelanggan secara umum tidak lebih dari
50 komplain per 1000 satuan sambungan telepon per 12 bulan
4. Kecepatan operator dalam menjawab (operator speed of answer) biasanya
rata-rata antara 10 sampai dengan 20 detik setelah panggilan masuk
5. Performa layanan pesan singkat (Short Message Service Performance)
secara umum diukur dalam hal waktu penerimaan SMS dan masalah gagal
kirim. Interval waktu (pending) antara waktu dikirim hingga diterima oleh
penerima pun bervariasi. Rata-rata 95% SMS pending yang terkirim tidak
boleh lebih dari 20 detik, dan hanya menolerir rata-rata 4% untuk pending
SMS selama 1 menit hingga 60 menit. Sedangkan SMS gagal kirim hanya
ditolerir rata-rata 1%. Sebagai catatan, angka-angka tersebut di tiap negara
bervariasi tergantung kesiapan operator seluler dan infrastrukturnya.

2.2.3 Persepsi terhadap kualitas jasa


Tingkat kepentingan konsumen atas jasa yang akan mereka terima dapat
dibentuk berdasarkan pengalaman dan saran yang mereka peroleh. Konsumen
memilih pemberi jasa berdasarkan peringkat kepentingan. Dan setelah menikmati
jasa tersebut mereka cenderung akan membandingkannya dengan yang mereka
harapkan. Bila jasa yang mereka nikmati ternyata berada jauh di bawah jasa yang
mereka harapkan, para konsumen akan kehilangan minat terhadap pemberi jasa
tersebut. Sebaliknya jika jasa yang mereka nikmati memenuhi atau melebihi tingkat
kepentingan, mereka akan cenderung memakai kembali produk jasa tersebut
(Rangkuti, 2002, hal. 18)
Persepsi terhadap kualitas jasa adalah cara individu memandang secara
positif atau negatif kualitas yang meliputi jasa yang dirasakan dan jasa yang
diharapkan yang diterima melalui proses pemilihan, pengorganisasian dan
penafsiran sehingga didapatkan suatu pemahaman atau pengertian tentang kualitas
jasa, baik jasa yang terikat atau tidak terikat pada suatu produk fisik

2.2.4 Aspek-aspek Persepsi terhadap Kualitas Jasa


Kualitas jasa dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu jasa yang dirasakan
(perceived service) dan jasa yang diharapkan (expectated service). Bila jasa yang
dirasakan lebih kecil daripada yang diharapkan, para pelanggan menjadi tidak
tertarik pada penyedia jasa yang bersangkutan. Sedangkan bila yang terjadi adalah
sebaliknya (perceived > expected), ada kemungkinan para pelanggan akan
menggunakan penyedia jasa itu lagi.
Berdasarkan teori-teori diatas, maka aspek-aspek persepsi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah aspek persepsi yang dikemukakan oleh Branca,
Woodworth & Marquis (Walgito, 2002, H. 69). Aspek-aspek persepsi terhadap
kualitas jasa adalah :
1. Aspek kognisi yaitu menyangkut proses diterimanya informasi tentang
kualitas jasa melalui alat indera dan fungsi fisiologis dari susunan syaraf
pusat dalam melakukan seleksi terhadap informasi tentang kualitas jasa yang
diterima individu. Proses ini meliputi bagaimana pandangan, harapan, cara
berpikir dan pengalaman masa lalu dari individu dalam menerima informasi
tentang kualitas jasa.
2. Aspek afeksi yaitu berkaitan dengan kesan atau perasaan individu dalam
menafsirkan kualitas jasa.
3. Aspek konasi berhubungan dengan bagaimana perilaku atau kecenderungan
berperilaku individu berkaitan dengan stimulus kualitas jasa yang
dipersepsinya.

2.3 Hubungan antara persepsi terhadap kualitas jasa dengan loyalitas merek
Loyalitas pelanggan terhadap merek memiliki peranan yang besar bagi keuntungan
perusahaan. Dalam jangka panjang lebih menguntungkan memelihara pelanggan lama
dibandingkan terus menerus menarik dan menumbuhkan pelanggan baru, karena semakin
mahalnya biaya perolehan pelanggan baru dalam iklim kompetisi yang sedemikian ketat.
Loyalitas pada suatu merek juga berarti bagi konsumen yaitu menyederhanakan berbagai
pilihan ketika membuat keputusan pembelian.
Kualitas diawali oleh kebutuhan konsumen dan diakhiri oleh persepsi konsumen.
Persepsi merupakan proses yang rumit karena tidak hanya melibatkan panca indera tetapi
juga melibatkan faktor-faktor psikologis (Ristiyanti dan Ihalauw, 2005, hal. 84). Persepsi
konsumen terhadap kualitas memiliki pengaruh yang kuat terhadap keputusan pembelian
dan kepuasan. Konsumen memperbandingkan harapan dengan kinerja barang atau jasa.
Apabila kinerja melebihi atau sama dengan harapan, maka akan timbul kepuasan. Setelah
pembelian dilakukan konsumen akan melakukan evaluasi terhadap barang atau jasa yang
kemudian menghasilkan perasaan puas dan tidak puas. Sependapat dengan hal tersebut
hasil penelitian Ihalauw J JOI dan Wicaksono, A A (2005) menunjukkan adanya
hubungan positif antara persepsi kualitas layanan dengan kepuasan pelanggan. Apabila
Perusahaan (dalam hal ini merek simPATI) yang memiliki kinerja unggul akan dipersepsi
positif oleh konsumen. Persepsi kualitas jasa yang positif pada konsumen akan
menimbulkan rasa puas karena klien meyakini bahwa perusahaan (dalam hal ini merek
simPATI) tersebut telah memenuhi harapannya.
Persepsi konsumen terhadap kualitas jasa akan mempengaruhi tingkat kepuasannya.
Ketika pelanggan memiliki persepsi yang positif terhadap kualitas jasa yang diterimanya,
maka berarti bahwa harapannya telah terpenuhi sehingga menimbulkan perasaan puas.
Kepuasan konsumen merupakan hasil evaluasi pasca pembelian. Evaluasi tersebut
memperbandingkan antara harapan dengan kinerja yang diterimanya.
Kepuasan pelanggan sebagai perasaan suka atau tidak seseorang terhadap suatu
produk atau jasa setelah ia membandingkan prestasi produk atau jasa tersebut dengan
harapannya. Kepuasan pelanggan sebagai tanggapan emosional yang positif pada
evaluasi terhadap pengalaman dalam menggunakan suatu produk atau jasa. Dari berbagai
definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengertian kepuasan
pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan prestasi atau hasil yang dirasakan.
Kepuasan adalah langkah yang penting dalam pembentukan loyalitas tetapi menjadi
kurang signifikan ketika loyalitas mulai timbul melalui mekanisme-mekanisme lainnya.
Mekanisme lainnya itu dapat berbentuk kebulatan tekad dan ikatan sosial. Loyalitas
memiliki dimensi yang berbeda dengan kepuasan. Kepuasan menunjukkan bagaimana
suatu produk memenuhi tujuan pelanggan. Kepuasan pelanggan senantiasa merupakan
penyebab utama timbulnya loyalitas.
Pengaruh Kualitas terhadap loyalitas juga telah dibuktikan oleh penelitian Sabihaini
(2002) yang menyimpulkan bahwa peningkatan kualitas jasa akan memberikan dampak
yang baik untuk meningkatkan loyalitas. Bloemer, Ruyter dan Peeters (1998)
mendapatkan kualitas jasa memiliki pengaruh langsung terhadap loyalitas dan
mempengaruhi loyalitas melalui kepuasan. Hasil yang sama juga diperlihatkan oleh hasil
penelitian Japarianto (2007).
Loyalitas terjadi karena adanya pengaruh kepuasan atau ketidakpuasan dengan
produk tersebut yang berakumulasi secara terus menerus di samping adanya persepsi
tentang kualitas produk atau jasa, ditunjukkan pada gambar 1.1

Kualitas Faktor
Barang Situasi

Kualitas Kepuasan Loyalitas


Jasa Pelanggan Merek

Harga Faktor
Pribadi
Gambar 1.1. Dinamika Alur Berpikir Peneliti, Sumber: Zeithami dan Betner (1996)

2.4 Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut terdapat hubungan yang positif antara persepsi terhadap kualitas jasa
dengan loyalitas merek. Semakin positif persepsi terhadap kualitas jasa maka semakin
tinggi loyalitas merek dan sebaliknya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Latipun (2004, hal. 57) menyatakan bahwa variabel merupakan konsep yang
mempunyai variabilitas. Variabel juga merupakan suatu konstruk yang bervariasi dan bisa
terukur. Variabel itu menurut fungsinya dibedakan menjadi variabel tergantung dan
variabel bebas. Perbedaan tersebut berdasarkan adanya hubungan sebab akibat. Variabel
tergantung merupakan variabel yang keadaannya dipengaruhi oleh variabel bebas.
3.1 Identifikasi variabel penelitian
Berdasarkan landasan teori yang ada serta rumusan hipotesis penelitian maka yang
menjadi variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Tergantung: Loyalitas Merek

2. Variabel Bebas: Persepsi terhadap Kualitas Jasa

3.2 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah bagaimana operasi atau kegiatan yang harus dilakukan
untuk memperoleh data atau indikator yang menunjukan konsep yang dimaksud
(Soehartono, 1999, h. 29). Definisi operasional dari variabel penelitian ini adalah :
3.2.1 Loyalitas merek
Loyalitas merek adalah sejauh mana konsumen menunjukkan sikap positif
terhadap merek, merek di sini adalah simPATI, suatu produk layanan prabayar GSM
yang dimiliki oleh Telkomsel, mempunyai komitmen merek simPATI,
merekomendasikan pada orang lain untuk menggunakan simPATI dan berniat untuk
terus membeli simPATI di masa depan. Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek
persepsi Menurut Oliver 1999 (dikutip Durianto, 2005, hal. 19) aspek kognitif,
afektif, konatif dan tindakan. Tinggi atau rendahnya loyalitas merek ditunjukkan oleh
skor yang diperoleh pada skala loyalitas merekn. Semakin tinggi skor yang diperoleh
berarti loyalitas merek simPATI semakin tinggi dan sebaliknya.
3.2.2 Persepsi terhadap kualitas jasa:
Persepsi terhadap kualitas jasa adalah cara individu memandang secara positif
atau negatif kualitas yang meliputi jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan yang
diterima melalui proses pemilihan, pengorganisasian dan penafsiran sehingga
didapatkan suatu pemahaman atau pengertian tentang kualitas jasa, baik jasa yang
terikat atau tidak terikat pada suatu produk fisik. Skala ini disusun berdasarkan aspek-
aspek persepsi dari Branca,Woodworth & Marquis (Walgito, 1997, H. 69), yaitu
kognisi, afeksi, dan konasi. Positif atau negatifnya persepsi terhadap kualitas jasa
ditunjukkan oleh skor yang diperoleh pada skala persepsi terhadap kualitas jasa.
Semakin tinggi skor yang didapat berarti semakin positif pula tingkat persepsinya
terhadap kualitas jasa. Sebaliknya, semakin rendah skor yang didapat berarti semakin
rendah pula persepsi terhadap kualitas jasa.
3.3 Populasi dan Sampel (Subjek Penelitian)
3.3.1 Populasi
Subjek penelitian adalah sumber utama dalam data penelitian yaitu memiliki
data mengenai variabel-variabel yang diteliti. Subjek penelitian pada dasarnya adalah
yang dikenai kesimpulan hasil penelitian (Azwar, 1999, h. 34-35). Penentuan subjek
dalam suatu penelitian menjadi hal yang sangat penting karena melalui penentuan
subjek seluruh kegiatan penelitian dapat terarah. Penentuan subjek juga berkaitan
dengan metode penelitian yang digunakan untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan dalam penelitian. Subjek dalam penelitian adalah mahasiswa pengguna
katu simPATI prabayar di Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian dilakukan
pada mahasiswa karena mahasiwa merupakan orang yang selalu tanggap dengan
teknologi serta orang yang relatif banyak membawa ponsel. Berdasarkan
pertimbangan tersebut peneliti ingin melihat loyalitas merek pada mahasiswa
pengguna simPATI.
3.3.2 Sampel
Sampel menurut Azwar (1999) adalah bagian dari populasi yang memiliki
ciri-ciri yang sama dengan yang dimiliki populasinya. Pengambilan sampel dengan
incidental sampling yaitu pengambilan sampel pada individu yang kebetulan
dijumpai dan sesuai dengan ciri-ciri atau karakteristik subyek penelitian yang telah
ditentukan. Digunakan Teknik incidental sampling digunakan dalam penelitian ini
dengan alasan bahwa sangat sulit melakukan random murni karena sampel penelitian
menyebar di daerah populasi selain itu lebih praktis, ekonomis dan hemat waktu.
Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiwa dengan karateristik:
1. Pengguna operator layanan telepon seluler simPATI dan sudah
menggunakan sedikitnya selama satu tahun terakhir.
2. Mahasiswa yang berusia 20-30 tahun. Kelompok ini dipilih didasari pada
pertimbangan bahwa konsumen pada usia ini dianggap sudah memiliki
kematangan kognitif, dan sudah lebih mampu mengevaluasi dan membuat
keputusan serta tindakan. Di samping itu, usia ini penggunaan telepon
seluler sudah menjadi keseharian mereka.
3. Minimal sekali dalam sebulan berhubungan dengan pembelian simPATI
prabayar (pengisian ulang).
4. Salah satu karakteristik konsumen yang mempengaruhi loyalitas merek
adalah aspek sosio-ekonomi karenanya kelompok mahasiswa yang dijadikan
sampel adalah mereka yang terdaftar sebagai mahasiswa Universitas
Diponegoro Semarang. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa kelompok
ini diasumsikan berada pada golongan ekonomi yang setara.
Subjek dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa Universitas Diponegoro
pengguna simPATI ditemui oleh peneliti dilokasi penelitian pada saat penelitian
dilakukan dan sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Jumlah subjek yang
akan dijadikan sampel adalah minimal sebanyak 100 orang yang dipilih secara
accidental.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer
didapatkan secara langsung dari subjek melalui skala psikologi yang diisi oleh subjek.
Menurut Azwar (2005, h.4), skala psikologi memiliki karakteristik meliputi:
1. Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang mengungkap indikator
perilaku dari atribut yang hendak diukur.
2. Berisi banyak aitem sehingga kesimpulan baru dapat diambil apabila semua
jawaban sudah direspon.
3. Respon subyek tidak diklasifikasikan sebagai benar atau salah.
Skala Psikologi yang digunakan dalam penelitian terdiri atas dua jenis, yaitu skala
persepsi terhadap kualitas jasa dan skala loyalitas merek. Skala yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Skala loyalitas merek
Skala loyalitas merek disusun untuk mengungkap sejauh mana konsumen
menunjukkan sikap positif terhadap merek, mempunyai komitmen merek,
merekomendasikan pada orang lain untuk menggunakan merek dan berniat untuk
terus membeli simPATI di masa depan. Skala yang peneliti susun memuat aspek-
aspek menurut Oliver 1999 (dikutip Durianto, 2005, hal. 19) menyatakan aspek-
aspek yang membentuk loyalitas merek pada konsumen adalah:
a. Aspek Kognitif, meliputi kemudahan bagi seseorang untuk mengingat
kembali sikap yang sudah terbentuk, derajat kepastian hubungan sikap
atau penilaian, keterkaitan antara sikap terhadap merek dengan sistem
nilai, kejelasan pelanggan terhadap merek yang ditunjuk.
b. Aspek Afektif, meliputi emosi yang mengarahkan seseorang untuk
terlibat secara khusus dengan merek, kesan yang ditangkap oleh
konsumen atas merek.
c. Aspek Konatif, merupakan kecenderungan yang ada pada diri konsumen
untuk melakukan tindakan pembelian atau menggunakan kembali
merek, merekomendasikan pada orang lain.
d. Aspek Tindakan, tindakan dari pembelian ulang dan komitmen untuk
bertindak untuk tetap menggunakan merek tersebut meskipun ada
pengaruh situasi atau perubahan dari merek tersebut.
Tabel 3.1 Blue print Skala Loyalitas Merek
No Aspek Indikator Aitem Total Total
(n) (%)
favorable Unfavorable
1 Kognitif a. memiliki pengetahuan 6 6 12 24%
tentang merek
b. mudah mengingat merek
c. memiliki sikap positif
terhadap merek
2 Afektif a. ada keterikatan secara 6 6 12 24%
emosinal dengan merek
b. adanya kepuasan dalam
pemakaian merek
c. senang menggunakan
merek
3 Konatif a. merekomendasikan 5 5 10 20%
pada orang lain
b. membeli barang secara
berulang
4 Tindakan a. kesediaan untuk menjadi 8 8 16 32%
pelanggan di masa
mendatang
b. membeli merek yang
sama secara terus menerus
Total 50 100 %

2. Skala persepsi terhadap kualitas jasa


Skala persepsi terhadap kualitas jasa disusun untuk mengungkap penilaian
individu terhadap kualitas jasa yang meliputi jasa yang dirasakan dan jasa yang
diharapkan yang diterima melalui proses pemilihan, pengorganisasian dan
penafsiran sehingga didapatkan suatu pemahaman atau pengertian tentang kualitas
jasa.. Skala yang peneliti susun memuat aspek-aspek yaitu aspek persepsi dari
Branca,Woodworth & Marquis (Walgito, 1997, H. 69):
a. Aspek koginisi, menyangkut proses diterimanya informasi tentang
kualitas jasa melalui alat indera dan fungsi fisiologis dari susunan syaraf
pusat dalam melakukan seleksi terhadap informasi tentang kualitas jasa
yang diterima individu. Proses ini meliputi bagaimana pandangan,
harapan, cara berpikir dan pengalaman masa lalu dari individu dalam
menerima informasi tentang kualitas jasa.
b. Aspek afeksi, berkaitan dengan kesan atau perasaan individu dalam
menafsirkan kualitas jasa.
c. Aspek konasi, berhubungan dengan bagaimana perilaku, respon atau
kecenderungan berperilaku individu berkaitan dengan kualitas jasa yang
dipersepsinya.
Tabel 3.2Blue print Skala Persepsi Terhadap Kualitas Jasa
No Aspek Indikator Aitem Total Total
(n) (%)
favorable Unfavorable
1 Kognitif a. jasa yang dirasakan 6 6 12 24 %
lebih tinggi daripada
harapannya
2 Afektif a. senang dengan jasa 7 8 15 30 %
yang dirasakan
3 Konatif a. niat untuk 11 12 23 46 %
mendapatkan kembali
jasa
Total 50 100 %

Butir-butir pernyataan pada skala disajikan dengan menggunakan empat pilihan


jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak
Sesuai (STS). Skala tersebut tidak menggunakan jawaban Netral (N) pada alternatif
jawaban yang disediakan sebab menurut Deveills (1991, h.67) menyatakan bahwa:
1. Kategori undecided atau netral mempunyai arti ganda sehingga tidak dapat
dinilai kecenderungannya (sesuai atau tidak sesuai)
2. Tersedianya jawaban ditengah dapat menimbulkan kecenderungan untuk
memilih jawaban tengah tersebut bagi subyek yang ragu-ragu atas arah
kecenderungan jawabannya.
3. Maksud menghilangkan jawaban tengah (N) adalah untuk melihat dengan
pasti kecenderungan subyek pada salah satu kutub
Sistem penilaian mengacu pada Skala Likert. Subjek hanya diperkenankan memilih
salah satu dari keempat jawaban yang tersedia untuk setiap aitem. Aitem-aitem favorable,
yang meliputi jawaban SS sampai STS skornya bergerak dari empat sampai satu dengan
sistem penilaian SS = 4, S = 3, TS = 2 dan STS = 1. Sedangkan aitem-aitem unfavorable,
yang meliputi jawaban SS sampai STS skornya bergerak dari satu sampai empat dengan
sistem penilaian STS = 4, TS = 3, S = 2 dan SS = 1.
Sebelum skala digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu akan dilakukan uji coba
terhadap aitem-aitem skala persepsi kualitas jasa dan skala loyalitas merek pada
kelompok subjek yang mempunyai karakteristik serupa dengan subjek penelitian. Uji
coba skala tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan skala dengan aitem-aitem yang
mempunyai daya beda yang memadai dan skala yang reliabel.
3.5 Metode Analisis Data
3.5.1 Uji Validitas Aitem
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kesahihan
suatu instrumen. Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan korelasi produck
moment. Adapun rumusnya:

rxy =
N XY X Y
N X 2

X 2 N Y 2 Y 2
diimana :
rxy = Koefisien korelasi Product Moment.
X = Jumlah skor tiap aitem.
Y = Jumlah skor total item.
N = Jumlah sampel.
Jika r hitung > r tabel berarti signifikan, maka butir tersebut shahih. Bila r

hitung > r tabel butir tersebut kurang signifikan, maka butir tersebut gugur. Untuk
perhitungannya maka peneliti akan menggunakan bantuan program SPSS 11. 0.
3.5.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk
digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Uji
reabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus alpha. Penggunaan rumus alpha
disini karena skor yang didapat bukan angka 1 dan 0, namun skor dari aitem
merupakan rentangan antara beberapa nilai 1-4, 1-5, dan sebagainya. Perhitungan
reliabilitas yang digunakan oleh peneliti adalah dengan menggunakan rumus alfa
cronbach yakni :


1

2
k
R= k 1
b


2
t

dimana:
R = Reliabilitas instrumen
K = Banyaknya butir pertanyaan soal


2
= Jumlah varians butir
b


2
t
= Varians total

Tinggi rendahnya reliabilitas secara empirik akan ditunjukkan oleh koefisien


reliabilitas, semakin tinggi koefisien korelasi hasil ukur dua alat paralel, maka
konsistensi keduanya semakin baik, koefisien reliabilitas secara teoriritis berkisar
antara 0-1, jadi apa bila hasil yang didapatkan bukan dalam wilayah itu atau
mendekati nol maka alat ukur tersebut dikatakan kurang reliabel. Untuk
perhitungannya maka peneliti akan menggunakan bantuan program SPSS 11. 0.
3.5.3 Analisis data penelitian
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
regresi sederhana yang diolah dengan program computer statistical package for
social science (SPSS) versi 11.0. Teknik analisis regresi sederhana dipilih dengan
pertimbangan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari hubungan antara
dua variabel penelitian, yaitu satu variabel bebas (persepsi terhadap kualitas jasa) dan
satu variabel tergantung (loyalitas merek), serta menguji hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini. Selain itu, dapat juga diketahui besarnya sumbangan efektif
variabel bebas (persepsi terhadap kualitas jasa) terhadap variabel tergantung (loyalitas
merek simPATI) pada konsumen.
Asumsi yang harus dipenuhi untuk melakukan analisis data dengan teknik
analisis regresi sederhana adalah :
1. Uji normalitas, dipakai untuk mengkaji apakah data sampel dari populasi
mengikuti suatu distribusi normal statistik (Santoso, 2002, h. 378). Uji
normalitas dilakukan dengan menggunakan teknik statistik uji Kolmogorov-
Smirnov Goodness of Fit Test.
2. Uji linieritas, merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk mengetahui
status linier tidaknya suatu distribusi data penelitian (Winarsunu, 1996, h.
98). bila harga F empirik lebih kecil daripada F teoritik, berarti data yang
diteliti berbentuk linier. Semua perhitungan dalam analisis tersebut
menggunakan SPSS (Statistical Packages for Social Service) versi 12.0.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu. 1998. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Atom, 2008. Peminatan Manajemen Pemasaran 006. http://peminatanmanajmen
pemasaran006.blogspot.com/ diunduh tanggal 23 Juni 2008
Assael, H. 1998. Consumer Behavior and Marketing ActionI, 6thed. Cincinnati, OH:
South-Western College Publishing
Azwar, Saifuddin. 1999. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______________. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bloemer dan Ruyter, 1998. On the Relationship between Store Image, Store Satisfaction,
and Store Loyalty. International Journal of Bank Marketing. Vol. 16/7, hal 276-286
Darsono, Indrawati L. 2004. Loyalty and Disloyalty: Sebuah Pandangan Komprehensif
dalam Analisis Loyalitas Pelanggan. Jurnal Administrasi da Bisnis Vol. 4 No.
9/10/11 Agustus 2004 Januari 2005 : 47-47
Dimas, Prasetyo, 2008. http://inditel.co.cc/?pilih=lihat&topik=1&id=1 di unduh tanggal
23 Juni 2008
Dongoran, John. 2001. Loyalitas Merek Pada Produk Tertentu. Jurnal Ekonomi dan
Bisnis (Dian Ekonomi) Vol. VII No. 2 September : 206-232
Dudun, 2007. Perang Tarif Usai, Persaingan Layanan di mulai. http ://dudu ntok. Multi
ply . com/journal/item/18 diunduh tanggal 26 Juni 2008
Durianto, Darmadi dkk. 2005. Recent Trends in Marketing Issues, Melihat Tren
Pemasaran untuk Memperbesar Pangsa Pasar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Edangsulistyaningrum,2008.http://www.damandiri.or.id/file/endangsulistiariniunairbab2.
pdf diunduh tanggal 18 Juni 2008
Griffin, Jill. 2005. Customer Loyalty, Menumbuhkan dan Mempertahankan Kesetiaan
Pelanggan, Terjemahan cd. Jakarta: Erlangga
Haryanto, D, 2008 http://www.geocities.com/infobetastudio/doc/Brand_Equity.pdf
diunduh tanggal 18 Juni 2008
Hatane Samuel, Foedjiawati. Pengaruh Kepuasan Konsumen Terhadap Kesetian Merek
(Studi Kasus Restoran The Prime Steak & Ribs Surabaya). Jurnal Manajemen &
Kewirausahaan, VOL. 7, NO. 1, MARET 2005: 74-82
http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/ diunduh tanggal 8 Juni 2008
Ihalauw dan Wicaksono. 2005. Pengaruh Persepsi Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan

Klien dan Dampaknya pada Preferensi Rekomendasi Klien. Jurnal Ekonomi

Perusahaan, IBII. Vol. 12-No.3. September 2005

Irwanto. 1994. Psikologi Umum, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama


______. 1997. Psikologi Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Japarianto, Edwin. 2007. Analisa Kualitas Layanan sebagai Pengukur Loyalitas

Pelanggan Hotel Majapahit Surabaya dengan Pemasaran Relational sebagai

Variabel intervening. Jurnal Manajemen Perhotelan, Vol. 3. No. 1, Maret 2007: 34-

42

Karsono. 2007. Peran Variabel Citra Perusahaan, Kepercayaan dan Biaya Perpindahan
yang Memediasi Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Loyalitas Pelanggan.
Jurnal Bisnis dan Manajemen. Vol. 7 No.1 (93-110)
Kertajaya, Hermawan. 2006. Seri 9 Elemen marketing, on Process. Bandung: Mizan
Pustaka
_________________. 2007. Boosting Loyalty Marketing Performance. Bandung: PT.
Mizan Pustaka

Kotler & Amstrong (2001), Prinsip-Prinsip Pemasaran, Erlangga, Jakarta


Kiskenda, 2007. Telkomsel Layani 50 Juta Pelanggan. http://www.ntt-online.org/

2007/09/14/kovergensi-multi-media-ancaman-global-bagi networ kless /?p= 57 47

diunduh tanggal 11 April 2008

Lamb, Charles W., Joseph F. Hair dan Carl Mc Daniel, 2001. Pemasaran. Jakarta:
Salemba 4
Latipun.2004. Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press.
Mardalis A, 2005. Meraih Loyalitas Pelanggan. http://eprints.ums.ac.id/231/1/BE
NEFIT_V9_N2,_DES_2005.pdf diunduh tanggal 9 Mei 2008
Mowen dan Minor, 2002. Perilaku Konsumen. Jakarta: Erlangga
Nulman, Philip. 2001. Layanan Ekstreem bagi Pelanggan. Jakarta: Mitra Utama
Prasetijo, Ristiyanti dan Ihalauw, John. 2005. Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Andi
Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Rangkuti, Fredy. 2002. Teknik Mengukur Dan Strategi Meningkatkan Kepuasan
Pelanggan Dan Analisis Kasus PLN-JP. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Riswan, 2008. Pelanggan simPATI capai 23 juta. http:// mobile indonesia .net/2007 /07 /

16/pelanggan-simpati-capai-23-juta/ diunduh tanggal 14 Mei 2008

Schiffman, Leon G. & Kanuk, Leslie L. 1997. Consumer Behavior (sixth edition). New
Jersey: Prentice Hall.
Sabihaini, 2002. Analisis Konsekuensi Keperilakuan Kualitas Layanan; Suatu Kajian
Empirik. Usahawan, No, 02 tahun xxxi hal 29-36
Sembiring, F dan Anggraini, A. 2003. Merek dan CRM. Jurnal Ekonomi. Analisis
ekonomi, Manajemen, Keuangan dan Pembangunan. Vol XIII. No. 32
Ferbruari/Maret 2003. hal. 34-43
Setiadi., N. J. 2003. Perilaku Konsumen. Jakarta: Kencana
Soehartono, I. 1999. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Sunarto. 2006. Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Amus dan Aditya Media
Susanto, 2006. Mengembangkan Brand-Oriented Organization. http://www.jakartacons u
lting.com/art-11-19.htm di unduh tanggal 23 Juni 2008
Suryani, T. 1997. Kesetiaan Pelanggan: Konsep dan Implikasinya. Ventura, Vol. I (1), hal.
28-32
Tjiptono, Fandy, 2000. Manajemen Jasa, Edisi Kedua. Jakarta: Andy Offset
_____________, 2003. Prinsip-prinsip Total Quality Service. Yogyakarta: Andi
Walgito, Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI.
Winarsunu, Tulus. 2002. Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang :
UMM Press
http ://chan9.files.wordpress.com/2008/02/pemasaran-jasa-bab-13.pdf diunduh tanggal 23
Juni 2008

Anda mungkin juga menyukai