BLOK TRAUMATOLOGI
Kelompok A6
1.Afrinda Darmawan G0012005
2.LD Mukhlis A G0012113
3.Raka Aditya Pradana G0012175
4.Zakka Zayd Z J G0012241
5.Monica Fradisha Zukhri G0012135
6.Aulia Zhafira G0012035
7.Asti Swari P G0012031
8.Lusiani Puspita G0012117
9.Rahmi Syuadzah G0012173
10.Noni Kartika Sari G0012151
11.Arini Hidayati G0012027
12.Umi Hani Vismayanti L G0012223
Tutor :
Briandani S., dr.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO I
Saat sedang bertugas jaga IGD, dokter jaga TRIAGE mendapat pasien korban kecelakaan lalu
lintas seorang laki- laki berusia 35 tahun diantar oleh patroli polisi lalu lintas.
Pasien sadar, mengeluh nyeri dada, sesak napas yang semakin bertambah, dan bahu kiri
terasa nyeri. Dokter dibantu perawat segera melakukan primary survey, dan secondary
survey.
Menurut keterangan pengantar, 3 jam SMRS pasien membonceng sepeda motor dengan
kecepatan tinggi, menabrak pohon ketika menghindari hewan yang melintas. Penderita
terjungkal dan jatuh dari motor, dada terbentur stang motor dan nyeri pada bahu sebelah kiri.
Dari pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15. Napas cepat dan dangkal, suara tambahan tidak
didapatkan (gurgling -, snoring -), Vital sign: nadi 120x/menit, tekanan darah 90/70 mmHg,
suhu 37,0C, RR 32x/menit.
Terdapat jejas pada hemithorax kanan, pergerakan dada kanan tertinggal, perkusi hipersonor,
auskultasi vesiculer menurun, emfisema subkutis (+).
Regio bahu kiri terdapat jejas (+), perdarahan aktif (-), oedem (+), deformitas (+), nyeri tekan
(+), dan krepitasi (+). Dokter melakukan pemeriksaan klinis dan imobilisasi.
Dokter IGD menduga adanya pneumothorax ventil kanan dan berencana melakukan
thorakosintesis segera. Keluarga pasien belum ada yang dating. Sambil menunggu keluarga,
dokter melakukan informed consent, permintaan cek lab darah, dan radiologi.
BAB II
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Tersusun dari tulang dan jaringan lunak. Tulang yang membentuk dinding dada adalah
tulang iga, columna vertebralis Thoracalis, sternum, tulang clavicula dan scapula.
Jarinan lunak yang membentuk dinding dada adalah otot serta pembuluh darah
terutama pembuluh darah intrerkostalis dan Thoracalis interna
Costae:
Rangka toraks terluas adalah iga-iga (costae) yang merupakan tulang jenis
osseokartilaginosa. Memiliki penampang berbentuk konus, dengan diameter
penampang yang lebih kecil pada iga teratas dan makin melebar di iga sebelah bawah.
Di bagian posterior lebih petak dan makin ke anterior penampang lebih memipih.
Penampang corpus costae adalah tipis dan rata dengan 2 permukaan (eksternal
dan internal), serta 2 tepi (superior dan inferior). Permukaan eksternal cembung
(convex) dan halus; permukaan internal cekung (concave) dengan sudut mengarah ke
superior. Diantara batas inferior dan permukaan internal terdapat costal groove,
tempat berjalannya arteri-vena-nervus interkostal.
Iga pertama merupakan iga yang penting oleh karena menjadi tempat
melintasnya plexus brachialis, arteri dan vena subklavia. M.scalenus anterior melekat
di bagian anterior permukaan internal iga I (tuberculum scalenus), dan merupakan
pemisah antara plexus brachialis di sebelah lateral dan avn subklavia di sebelah
medial dari otot tersebut.
Sela iga ada 11 (sela iga ke 12 tidak ada) dan terisi oleh m. intercostalis externus dan
internus. Lebih dalam dari m. intercostalis internus terdapat fascia transversalis, dan
kemudian pleura parietalis dan rongga pleura. Pembuluh darah dan vena di bagian
dorsal berjalan di tengah sela iga (lokasi untuk melakukan anesteri blok), kemudian
ke anterior makin tertutup oleh iga. Di cekungan iga ini berjalan berurutan dari atas ke
bawah vena, arteri dan syaraf (VAN). Mulai garis aksilaris anterior pembuluh darah
dan syaraf bercabang dua dan berjalan di bawah dan di atas iga. Di anterior garis ini
kemungkinan cedera pembuluh interkostalis meningkat pada tindakan pemasangan
WSD.
Vertebrae
Lapisan luar: kulit, jaringan lemak bawah kulit, dan fascia-fascia otot.
M. serratus anterior
M. rectus abdominis
M. latissimus dorsi
M. Trapezius
o Nervi :
N. accessories XI
N. Subscapularis
o Arteria:
A. Thoracoacromialis
A. thoracica lateralis
A. Thoracodorsalis
Lapisan dalam:
o Musculi:
o A. subclavia:
A. thoracica interna
Truncus costocervicalis
b) Dasar Thorax
Rongga pleura kiri dan kanan berisi paru-paru. Rongga ini dibatasi oleh pleura
visceralis dan parietalis. Rongga Mediastinum dan isinya terletak di tengah dada.
Mediastinum dibagi menjadi bagian anterior, medius, posterior dan superior. Rongga
dada dibagi menjadi 3 rongga utama yaitu:
Mediastinum anterior
Mediastinum medius
Mediastinum Posterior
Inferior : Diafragma
Anterior: Pericardium
Posterior: Pericardium
Inferior: Diafragma
Anterior : Pericardium
Inferior : Diafragma.
d) Batas-batas Thorax
Thorax adalah daerah antara sekat rongga badan (diafragma) dan leher. Batas bawah
thorax:
Arcus costarum
Processus xyphoideus
Clavicula
letak scapula
2. Anatomi Paru-paru
o Pleura parietalis:
Persarafan pleura:
o N. phrenicus.
o Nn. Intercostales.
Posterius Anterius
Mediobasale Laterobasale
Anterobasale Posterobasale
Laterobasale
Posterobasale
o Aa. Dan Vv. Bronchiales, yang berhubungan dengan pertukaran zat di jaringan
paru.
Persarafan paru:
Serabut symphaticus, yang berasal dari truncus symphaticus (Th. III, IV, V).
3. Anatomi Bahu
Bahu dibentuk oleh ossa beserta ligamenta dan musculinya. Ossanya ada os humeri,
os scapula dan os clavicula. Ossa tersebut akan membentuk suatu hubungan yang disebut
articulation humeri yang terdiri dari caput humeri dan cavitas glenoidalis scapula dengan tipe
globoidea. Nantinya hubungan ini akan difiksasi oleh ligamenta dan musculinya.
4. Jejas
Jejas sel merupakan keadaan dimana sel beradaptasi secara berlebih atau sebaliknya,
sel tidak memungkinkan untuk beradaptasi secara normal. Di bawah ini merupakan
penyebab-penyebab dari jejas sel.
Etiologi jejas:
Hipoksia
a. Daya angkut oksigen berkurang: anemia, keracunan CO
b. Gangguan pada sistem respirasi
c. Gangguan pada arteri: aterosklerosis
Jejas fisik
A. Trauma mekanis: ruptura sel, dislokasi intraseluler
b. Perubahan temperatur: vasodilatasi, reaksi inflamasi
c. Perubahan tekanan atmosfer
d. Radiasi
Jejas kimiawi
a. Glukosa dan garam-garam dalam larutan hipertonis yang dapat menyebabkan gangguan
homeostasis cairan dan elektrolit
b. Oksigen dalam konsentrasi tinggi
c. Zat kimia, alkohol, dan narkotika
Agen biologik: virus, bakteri, fungi, dan parasit
Reaksi imunologik
a. Anafilaktik
b. Autoimun
Faktor genetik: sindroma Down, anemia sel sabit
Gangguan nutrisi: defisiensi protein, avitaminosis
Jenis-jenis jejas:
1. Jejas Reversible (oedem, cloudy swelling)
Contoh: degenerasi hidropik.
Degenerasi ini menunjukkan adanya edema intraselular, yaitu adanya peningkatan
kandungan air pada rongga-rongga sel selain peningkatan kandungan air pada mitokondria
dan retikulum endoplasma. Pada mola hidatidosa telihat banyak
sekaligross (gerombolan) mole yang berisi cairan. Mekanisme yang mendasari terjadinya
generasi ini yaitu kekurangan oksigen, karena adanya toksik, dan karena pengaruh
osmotik.
2. Jejas Irreversible
Terdapat dua jenis jejas irreversible (kematian sel) yaitu apotosis dan nekrosis.
Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram. Sedangkan nekrosis merupakan
kematian sel/jaringan pada tubuh yang hidup di luar dari kendali. Sel yang mati pada
nekrosis akan membesar dan kemudian hancur dan lisis pada suatu daerah yang
merupakan respons terhadap inflamasi (Lumongga, 2008). Jadi, perbedaan apoptosis dan
nekrosis terletak pada terkendali atau tidaknya kematian sel tersebut.
5. Trauma Mekanik
1. Trauma Tumpul
Lebam mayat atau livor mortis sering salah diinterpretasikan dengan luka memar.
Livor mortis merupakan perubahan warna ungu kemerahan pada area mengikuti posisi tubuh
disebabkan oleh akumulasi darah oleh pembuluh darah kecil secara gravitasi.
Lebam mayat biasanya terjadi yang terbentuk 30 menit sampai 2 jam setelah kematian dan
perubahan warna mencapai puncaknya pada 8 sampai 12 jam setelah kematian.( Dikutip dari
kepustakaan injury and death investigation pdf)
Lebam mayat dapat dibedakan dengan luka memar (Dikutip dari kepustakaan kepustakaan
injury and death investigation pdf).
Tanda-tanda dan tipe trauma yang khas, sering di dapat pada trauma tumpul karena
kecelakaan:
a. Tabrakan kendaraan dimana penderita adalah penumpang atau pengemudi
b. Tabrakan pejalan kaki
c. Tabrakan sepeda motor
d. Trauma yang disengaja (serangan)
e. Jatuh (Falls)
f. Trauma Ledakan (Blast Injury)
Sumbu kendaraan terutama ialah sumbu depan dan titik berat kendaraan
adalah diatas titik ini dekat dengan kursi. Bila roda depan bertabrakan dengan
suatu obyek dan berhenti maka kendaraan akan berputar ke depan dengan
momentum mengarah ke sumbu depan. Momentum ke depan akan tetap, sampai
pengendara dan kendaraannya dihentikan oleh tanah atau benda lain. pada saat
gerakan ke depan ini kepala, dada atau perut pengendara mungkin membentur
stang kemudi. Bila pengendara terlempar ke atas melewati stang kemudi maka
tungkainya dapat membentur stang kemudi dan dapat terjadi fraktur femur
bilateral. Derajat trauma yang dialami selama tabrakan sekunder bergantung
pada tempat benturan, energy kinetik dari pengendara/motornya dan interval
waktu (lamanya) energy ini bekerja.
b. Benturan Lateral
Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur terbuka atau tertutup
tungkai bawah, Crush Injury padatungkai bawah sering dijumpai. Kalau pengendara
sepeda/ sepeda motor ditabrak oleh kendaraan bergerak, maka pengendara akan rawan
untuk mengalami tipe trauma yang sama dengan pemakai mobil yang mengalami
tabrakan samping. Tidak seperti penumpang dalam mobil, pengendara sepeda/motor
tidak memiliki struktur kompartemen bagi penumpang yang dapat mengurangi
pemindahan energy kinetic benturan. Pengendara menerima energy benturan secara
penuh. Sebagaiman halnya dalam benturan frontal, tabrakan trauma yang dialami
selama benturan sekunder yaitu benturan dengan tanah atau obyek-obyek statis
lainnya.
c. Laying The bike down
Untuk menghindari terjepit antara kendaraan dan objek yang akan
ditabraknya, pengendara mungkin akan menjatuhkan kendaraannya ke samping,
membiarkan kendaraannya bergeser dan ia sendiri bergeser dibelakangnya. Strategi
ini dimaksudkan untuk memprlambat pengendara dan memisahkan pengendara dari
sepeda/motor. Disamping jenis-jenis trauma yang telah di uraikan sebelumnya, bila
jatuh dengan cara ini akan dapat terjadi trauma jaringan lunak yang parah.
d. Helm
Helm yang digunakan oleh pengendara sepeda (bermotor maupun bukan
bermotor) telah terbukti secara meyakinkan dapat menurunkan angka kematian,
kejadian trauma kepala berat, pemendekan waktu perawatan, mengurangi biaya
rumah sakit, dan mungkin berhubungan dengan berkurangnya kebiasaan mengambil
resiko. Baik pada pengendara sepeda maupun sepeda motor, trauma kepala akan
terjadi pada lebih dari 1/3 kasus trauma dan 66% akan dirawat. Trauma kepala juga
merupakan kematian nomor 1 (85%) diantara penyebab kematian lain pada
pengendara sepeda/ sepeda motor. Walaupun kemampuan helm untuk melindungi
kepala agak terbatas namun penggunaannya jangan diremehkan. Helm didesain untuk
mengurangi kekuatan yang mengenai kepala dengan cara mengubah energy kinetic
benturan melalui kerja deformasi dari bantalannya dan di ikuti dengan
mendistribusikan (menyebarkan) kekuatan yang menimpa tersebuta melalui area yang
seluas-luasnya. Secara nyata helm mampu mengurangi energy transfer dengan cara
tranlasi. Secara umum di anggap bahwa yang sangat sering menyebabkan trauma otak
adalah akselerasi angular atau rotasional. Helm akan mengurangi gaya rotasional dan
benturan
2.Trauma Tajam
LUKA TRAUMA TAJAM
Luka benda tajam merupakan putusnya atau rusaknya kontinuitas jaringan karena
trauma akibat alat/senjata yang bermata tajam dan atau berujung runcing. Luka akibat benda
tajam pada umumnya mudah dibedakan dari luka yang disebabkan oleh benda tumpul dan
dari luka tembakan senjata api.
Luka yang disebabkan oleh beda yang berujung runjing dan bermata tajam dibagi
menurut beberapa kategori:
1. Luka tusuk (stab wound)
2. Luka Iris (Incised wounds)
3. Luka Bacok (Chop wounds)
Ciri-ciri luka benda tajam sering dibandingkan dengan luka benda tumpul:
Trauma Tumpul Tajam
g. Bentuk luka Tidak teratur Teratur
l. Sekitar Luka Ada luka lecet atau Tak ada luka lain
memar
3. LUKA TEMBAK
Senapan dan pistol memiliki amunisi dan kartrij yang terdiri dari primer, mesiu atau
propellant dan peluru atau projektil. Apabila picu dari senjata menghentam primer maka
ledakan yang tercetus akan membakar mesiu. Mesiu, primer yang tervaporisasi dan metal
dapat menempel pada kulit dan/atau pakaian korban. Kehadiran dan lokasi dari elemen
primer pada tangan dapat membantu dalam mengenalpasti suspek yang telah melepaskan
tembakan.
Mesiu yang keluar dari mncung senjata terdiri dari dua jenis:
a. Mesiu yang terbakar sepenuhnya, juga disebut sebagai soot atau fouling yang dapat
dicuci dari permukaan kulit.
b. Partikel dari mesiu yang terbakar atau tidak terbakar yang dapat tertanam di
permukaan kulit atau memberikan gambaran tattooing atau stippling
b. Ada atau tidaknya mesiu pada pakaian atau kulit mengindikasikan apakah tembakan
merupakan tembakan kontak kencang
c. semua mesiu ditemukan pada tepi atau dalam luka. Dapat juga ditemukan luka bakar
pada tepi luka atau kemerahan pada sekitar luka yang disebabkan oleh karbon
monoksida : tembakan kontak longgar
d. mesiu keluar dari barrel dan tertanam di sekitar tepi luka :tembakan jarak dekat
e. tembakan jarak dekat ditemukan pada jarak kurang lebih enam sampai dengan dua
belas inci. Kedua fouling dan stipling dapat ditemukan : tembakan jarak
intermediet
f. tembakan jarak dekat ditemukan pada jarak kurang lebihdua belas sampai tiga kaki.
Tidak ditemukan fouling tapi Cuma ditemukan stipling atau deposit partikel pada
pakaian : tembakan jarak jauh
g. luka tembak masuk dan luka tembak keluar mudah dibedakan. Luka tembak masuk
lebih sering berbentuk sirkuler dengan abrasi berbentuk cincin yang diakibatkan oleh
geseran peluru dan perforasi kulit. Luka tembak masuk pada wajah dapat memberikan
gambaran berbeda oleh karena permukaanya yang tidak rata.
h. Luka tembak keluar dapat berbentuk sirkuler seperti luka tembak masuk namun lebih
sering berbentuk irregular. Luka dapat memberikan gambaran tepi yang tidak rata,
tidak memiliki cincin abrasi seperti luka tembakmasuk kecuali sekiranya kulit korban
menempel dengan objek lain.
i. Kulit pada luka tembak keluar dapat ditemukan perubahan warna oleh karena
perdarahan pada jaringan lunak.
4. Aspek Medikolegal dalam Kegawatdaruratan
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum kesehatan
terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa. Menurut segi
pendanaan, nampaknya hal itu menjadi masalah, karena dispensasi di bidang ini sulit
dilakukan.
Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat
Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan
pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus
dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan
menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.
Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat Pada keadaan gawat darurat medik didapati
beberapa masalah utama yaitu:
- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
- Perubahan klinis yang mendadak
- Mobilitas petugas yang tinggi
Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan darurat, maka ia
harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan
itu atau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan
dengan tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/
menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain (loss of chance).
6. Mekanisme keluhan
a. Nyeri dada
trauma dada-> tembus hingga ke pleura-> peregaangan pleura-> nyeriTrauma dada-
> kerusakan jaringan -> impuls nyeri pada daerah yang luka (kulit, otot)
A. TRIAGE
Triage adalah suatu proses untuk menentukan pasien mana yang harus ditangani terlebih
dahulu berdasarkan seberapa parah atau serius trauma yang terjadi. Berdasarkan CDC
Guideline for Field Triage of Injured Patients pada tahun 2011, triaging dibagi menjadi 4
tahap:
1. Step 1: kriteria fisiologi.
Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara cepat pasien trauma yang kritis
dengan menilai level kesadaran (Glasgow Coma Scale [GCI]) dan mengukur tanda
vital (systolic blood pressure [SBP] dan respiratory rate [RR]).
2. Step 2: kriteria anatomi
Pada tahap ini, dilakukan penilaian mengenai cedera anatomi yang mungkin
memerlukan perawatan yang intensif pada beberapa pasien yang pada presentasi awal
memiliki fisiologi normal. Transport ke fasilitas yang menyediakan level tinggi
perawatan trauma harus dilakukan apabila ditemukan cedera anatomi (gambar 1).
3. Step 3: mekanisme trauma
Pasien yang tidak memenuhi kriteria pada step 1 dan 2 harus dievaluasi tentang
mekanisme terjadinya trauma untuk menentukan apabila trauma mungkin parah akan
tetapi tidak terlihat.
4. Step 4: special consideration
Menentukan apakah pasien yang tidak masuk kriteria fisiologis, anatomic, atau
mekanisme trauma memiliki kondisi yang mendasari atau faktor-faktor komorbid
yang menyebabkan pasien dalam risiko tinggi mengalami cedera atau yang membantu
mengidentifikasi pasien yang cedera parah.
B.Primary
Survey,
Adjunct
Primary
Survey,
dan
Secondary
Survey
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
Primary Survey
a. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
a) Mengenal patensi
airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat
dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang
rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal dan pasang airway definitif
sesuai indikasi
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap
penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan
diatas klavikula.
5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
a) Buka leher dan dada
penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Tentukan laju dan
dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi
leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea,
ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan
tanda-tanda cedera lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk
menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks
bilateral
2) Pengelolaan
a) Pemberian oksigen
konsentrasi tinggi (nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
c. Circulation dengan kontrol perdarahan
1) Penilaian
a) Mengetahui sumber
perdarahan eksternal yang fatal
b) Mengetahui sumber
perdarahan internal
c) Periksa nadi :
kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya
pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif
segera.
d) Periksa warna kulit,
kenali tanda-tanda sianosis.
e) Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta
konsultasi pada ahli bedah.
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah
untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia
subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-
pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f) Cegah hipotermia
3) Evaluasi
d. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi
tanda-tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan
circulation.
e. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan
yang cukup hangat.
RESUSITASI
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian
cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan
tetesan cepat.
c. Evaluasi resusitasi
cairan
1) Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal.
2) Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan
produksi urin ) serta awasi tanda-tanda syok
d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
1) Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih
diperlukan
2) Respon Sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah.
3) Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung
atau kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya
2. Adjunct Primary Survey
a. Periksa vital sign: nadi, tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi napas
b. Pasang EKG
1) Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai
adanya hipoksia dan hipoperfusi
2) Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia
c. Pasang kateter uretra
1) Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi pemasangan
kateter urine
2) Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH,
jangan dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada
bagian bedah
3) Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine
4) Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginjal
dan hemodinamik penderita
5) Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1
ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi
d. Pasang kateter lambung
1) Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma maksilofacial yang
merupakan kontraindikasi pemasangan nasogastric tube, gunakan orogastric
tube.
2) Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena
bahaya aspirasi bila pasien muntah.
e. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium
Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah,
Analisis Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan
laboratorium darah.
f. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST
1) Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral, menggunakan mesin
x-ray portabel dan atau FAST bila terdapat kecurigaan trauma abdomen.
2) Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat
proses resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat
secondary survey.
3) Pada wanita hamil, foto rotgen yang mutlak diperlukan, tetap harus
dilakukan.
3. Secondary Survey
a. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat :
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
b. Pemeriksaan Fisik (Pemeriksaan dilakukan dari head to toe)
2. Cervical Spine/Neck
Palpasi cervical spine
Cari adanya penetrating injury
Evaluasi emfisema subkutis
3. Chest
Palpasi sternum, klavikula dan costae untuk adanya krepitasi atau
tenderness, emfisema subkutis
Cari adanya memar atau deformitas
4. Abdomen
Nilai adanya distensi, nyeri, rebound tenderness
Ekimosis pada pinggul mungkin perdarahan retroperitoneal
Adanya seat belt sing resiko injury intraperitoneal
5. Back
Palpasi vertebra untuk kemungkinan adanya nyeri pada prosesus
Nilai adanya cedera tersembunyi di aksila, di bawah cervical collar dan di
regio gluteal
Pelvis
Palpasi simfisis pubis -> krepitasi atau pelebaran
6. Perineum
Ada tidaknya ekimosis, fraktur atau urethral disruption
7. Urethra
Ada tidak darah di urethral meatus
8. Rectum
pemeriksaan rectal diperlukan untuk menilai tonus sfingter selama
pemeriksaan neurologist
fraktur pelvis mungkin menyebabkan laserasi dinding rectal dan
perdarahan rectal
jika pada pemeriksaan dengan jari didapat darah maka curiga ada
perdarahan usus
9. Vagina
Untuk mencarai adanya fraktur, laserasi dan darah
10. Ekstremitas
Re-check status vaskuler dari masing-masing ekstremitas, termasuk
pulsasi, warna, pengisian kapiler, dan temperatur
Inspeksi setiap inci dan palpasi setiap tulang dan cek gerakan sendi.
Cek adanya deformitas, krepitasi, nyeri
11. Neurologic
Ulangi penialain GCS, reevaluasi pupil, pemeriksaan nervus sensoris dan
motorik, refleks tendon dan respon plantar
B.Thoracosentesis
Indikasi:
1. Efusi parapneumonik yang mengalami komplikasi/empiema
2. Mengurangi sesak nafas
3. Evaluasi dasar dari penyakit paru kronik
Hasil:
1. Normal: jumlah fluidanya sedikit, tidak berwarna/kuning pucat, kurang dari 20 mL
2. Abnormal: jumlah fluidanya banyak, terdapat transudat (sel darah putih jumlahnya
sedikit, LDH sedikit, jumlah protein turun karena sirosis, gagal jantung, sindrom
nefrotik) / eksudat (karena penyakit infeksi, trauma dada, emboli paru)
5. Diagnosis banding
a. Pneumothorax dan Emfisema sub kutis
Pneumothorax terjadi karena ada hubungan terbuka antara rongga dada dan
dunia luar. Hubungan mungkin melalui luka di dinding dada yang menembus pleura
parietalis atau melalui luka dijalan nafas yang sampai ke pleura viseralis. Jika luka
penyebab tetap terbuka, paru akan mneguncup karena jaringan paru bersifat elastic
karena jaringan paru bersifat elastic dan karena tidak ada tekanan negative yang
menyedot (kolaps). Gejala dan tanda klinisnya adalah nyeri dan sesak nafas.
Pemeriksaan fisik didapatkan dada tampak asimetris, suara fremitus menurun atau
menghilang.
Jika terjadi mekanisme katup pada luka di dinding thoraks atau luka di pleura
visceralis, timbul pneumothorax desak. Tekanan didalam rongga pleura akan semakin
tinggi karena penderita memaksakan diri inspirasi kuat untuk memperoleh zat asam,
tetapi ketika ekspirasi udara tidak dapat keluar. Inspirasi paksaan ini akan menambah
tekanan sehingga makin mendesak mediastinum ke sisi yang sehat dan memperburuk
keadaan umum karena paru sehat tertekan. Karena pembuluh darah besar, terutama
vena cava superior et inferior terdorong atau telipat sehingga darah tidak bisa kembali
ke jantung yang bisa menyebabkan kematian.
Pada pneumothorax desak traumatik dapat terjadi emfisema. Karena tekanan
tinggi di rongga pleura, udara ditekan masuk ke jaringan lunak melalui luka dan naik
ke wajah. Leher dan wajah membengkak seperti pada udem hebat. Pada perabaan
terdapat krepitasi yang mungkin meluas ke jaringan sub kutis thorax
b. Fraktur costae
Fraktur costae dibagi menjadi dua yaitu fraktur tunggal dan fraktur multiple.
Pada fraktur multiple dibagi menjadi gerakan dan bentuk yang masih memadai
atau tidak yang sering disebut dada gail. Kriteria dada gail yaitu :
a. Beberapa costae pada dua tempat yang berurutan dengan dinding luka
terbuka
b. Ketika menarik nafas, rongga dada mengembang dan dindingnya meluas.
Segmen yang terlepas tidak turut mengembang bahkan tertarik ke dalam
oleh daya tarik elastic jaringan paru yang mneyebabkantekanan negative
rongga pleura. Oleh karena itu, mediastinum akan tertarik ke sisi yang sehat
c. Ketika ekspirasi, dinding thorax kembali ke sikap istirahat dan segmen
yang lepas cenderung menonjol keluar, apalagi jika ekspirasi diusahakan
aktif karena sesak nafas dan hipoksemia. Mediastinum bergerak kembali ke
sisi yang cedera. Jadi, segmen yang lepas menunjukkan gerak paradox,
sedangkan mediastinum menunjukkan gerak undulasi
d. Pada patah tulang sternum yang disertai patahnya tulang rawan atau
terlepasnya hubungan osteokondral iga, terjadi juga pelepasan segmen
sehingga terjadi dada gail
6. Diagnosis
Kemungkinan pasien dalam skenario ini mengalami Tension Pneumothorax
BAB III
PEMBAHASAN
Pada secondary survey dilakukan head to toe examination yaitu pemeriksaan yang
dilakukan dari kepala sampai kaki untuk melihat adanya kelainan. Pemeriksaan ini dilakukan
ketika airway, breathing, dan circulation pasien sudah stabil. Penatalaksanaan awal pasien di
ruang resusitasi pada umumnya sesuai dengan tata cara penanganan pasien trauma yaitu
mulai dari tahapan primary survey, resusitasi, secondary survey dan pemeriksaan penunjang.
Masalah yang pertama kali dihadapi (primary survey) adalah tension pneumothorax
dan fraktur pada regio bahu. Setelah tindakan resusitasi dilakukan maka masuk tahapan
secondary survey guna menentukan diagnosis pasti dengan melakukan pemeriksaan fisis
yang menyeluruh diikuti dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologis yang memerlukan
informed consent dari pasien atau keluarga pasien. Pemeriksaan laboratorium dilakukan
setelah secondary survey dikerjakan termasuk pemeriksaan analisis gas darah. Analisis gas
darah diperlukan untuk menetukan apakah pasien dengan trauma thoraxs harus dilakukan
intubasi atau tidak.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Pasien mengalami tension pneumothorax sehingga perlu penanganan yang cepat dan
tepat
2. Tindakan dokter umum dalam skenario sudah tepat dalam mengatasi pasien trauma
B. SARAN
1. Saran untuk skenario
a. Perlunya penanganan yang sesegera mungkin setelah terjadi trauma akibat
kecelakaan
b. Kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas cukup tinggi, sehingga disarankan bagi
pengendara untuk lebih berhati-hati lagi agar bisa menekan angka kecelakaan dan
trauma akibat kecelakaan lalu lintas.
2. Saran untuk kelompok:
a. Pelaksanaan tutorial juga sudah cukup baik. Namun disarankan peran serta lebih
aktif dari mahasiswa sehingga semua Learning Objective dapat diselesaikan dengan
baik.
b. Ketua kelompok sebaiknya mengatur jalannya diskusi dan memperingatkan
anggotanya apabila ada yang kurang aktif atau kurang memperhatikan jalannya
diskusi.
c. Anggota kelompok sebaiknya saling menghargai dan memberikan kesempatan
anggota yang lain untuk mengutarakan pendapat
DAFTAR PUSTAKA
Anderson SP, Wilson LM (200). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jilid I.
Edisi ke 4. Jakarta: EGC.
Auckland District Health Board (2011). Secondary Survey For Trauma.
http://www.adhb.govt.nz/trauma/T_guidelines/secondary_survey.htm. Diakses April
2015.
Barnawi H dan Eko B (2006). PneumoThoraxs spontan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I,Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke
4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Brandler ES (2010). Cardiogenic shock in emergency medicine.
http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment. Diakses April 2015
Demetriades D. 2009. Assessment and management of trauma 5th edition. Department of
surgery university of southern california.
Doegoes LM (2009). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Hudak CM (2009). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Jain DG, Gosavi SN, Jain DD (2008). Understanding and Managing Tension Pneumothorax.
JIACM ;9(1): 42-50
Khan AN .(2008). Thorax and Trauma. http://emedicine.medscape.com/article/357007-
overview. Diakses April 2015.
Pusponegoro AD (2007) . Ilmu Bedah. Jakarta : FKUI.
Sasser SM, Hunt RC, Faul M, Sugerman D, Pearson WS, Dulski T, et al. (2012). Guidelines
for Field Triage of Injured Patients: Recommendations of the National Expert Panel on
Field Triage, 2011. CDC MMWR, 61:1.
Sjamsuhidajat R, De Jong (2010). Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke 3. Jakarta: EGC