Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN TUTORIAL

BLOK TRAUMATOLOGI

Sesak Napas dan Patah Tulang Setelah Kecelakaan

Kelompok A6
1.Afrinda Darmawan G0012005
2.LD Mukhlis A G0012113
3.Raka Aditya Pradana G0012175
4.Zakka Zayd Z J G0012241
5.Monica Fradisha Zukhri G0012135
6.Aulia Zhafira G0012035
7.Asti Swari P G0012031
8.Lusiani Puspita G0012117
9.Rahmi Syuadzah G0012173
10.Noni Kartika Sari G0012151
11.Arini Hidayati G0012027
12.Umi Hani Vismayanti L G0012223

Tutor :
Briandani S., dr.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO I

SESAK NAPAS DAN PATAH TULANG SETELAH KECELAKAAN

Saat sedang bertugas jaga IGD, dokter jaga TRIAGE mendapat pasien korban kecelakaan lalu
lintas seorang laki- laki berusia 35 tahun diantar oleh patroli polisi lalu lintas.
Pasien sadar, mengeluh nyeri dada, sesak napas yang semakin bertambah, dan bahu kiri
terasa nyeri. Dokter dibantu perawat segera melakukan primary survey, dan secondary
survey.
Menurut keterangan pengantar, 3 jam SMRS pasien membonceng sepeda motor dengan
kecepatan tinggi, menabrak pohon ketika menghindari hewan yang melintas. Penderita
terjungkal dan jatuh dari motor, dada terbentur stang motor dan nyeri pada bahu sebelah kiri.
Dari pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15. Napas cepat dan dangkal, suara tambahan tidak
didapatkan (gurgling -, snoring -), Vital sign: nadi 120x/menit, tekanan darah 90/70 mmHg,
suhu 37,0C, RR 32x/menit.
Terdapat jejas pada hemithorax kanan, pergerakan dada kanan tertinggal, perkusi hipersonor,
auskultasi vesiculer menurun, emfisema subkutis (+).
Regio bahu kiri terdapat jejas (+), perdarahan aktif (-), oedem (+), deformitas (+), nyeri tekan
(+), dan krepitasi (+). Dokter melakukan pemeriksaan klinis dan imobilisasi.
Dokter IGD menduga adanya pneumothorax ventil kanan dan berencana melakukan
thorakosintesis segera. Keluarga pasien belum ada yang dating. Sambil menunggu keluarga,
dokter melakukan informed consent, permintaan cek lab darah, dan radiologi.
BAB II
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

A. Jump 1 : Klarifikasi istilah dan konsep


a. Triage: klasifikasi yang digunakan pada korban perang/bencana/pasien untuk
menentukan prioritas keperluan dan tempat yang tepat untuk melakukan terapi
(Dorland, 2010).
b. Gurgling: Suara yang menyerupai gelembung udara yang keluar dari air
c. Snoring : Suara seperti mendengkur yang disebabkan oleh menutupnya jalan nafas
karena lidah yang menempel ke pallatum (Sjamsuhidajat dan Jong, 1995)
d. Primary Survey: Penilaian awal terhadap pasien, bertujuan untuk identifikasi
secara cepat dan sistematis serta untuk mengambil tindakan dari permasalahan
yang mengancam jiwa pasien. Dilakukan dalam waktu 2-5 menit.
e. Secondary Survey: Penilaian lanjutan secara holistik yang dilakukan setelah
pasien stabil untuk melihat jejas dan kelainan yang ada pada pasien
f. Emfisema Subkutis: Adanya udara yang masuk ke jaringan subkutis yang
disebabkan oleh tingginya tekanan udara di dalam dinding dada.
g. Pneumothorax: Sebuah kejadian dimana masuknya udara ke dalam cavum pleura
B. Jump 2 : Menetapkan dan mendefinisikan masalah
Berikut adalah masalah yang ditetapkan dari skenario

1. Apa bedanya penjaga triage dengan dokter biasa?


2. Mengapa dilakukan primary survey dan secondary survey?
3. Mengapa pasien mengeluh sesak napas yang semakin berat?
4. Apakah hubungan dada terbentur stang dengan nyeri bahu?
5. Apakah hubungan jejas pasien dengan kejadian trauma?
6. Mengapa dokter melakukan pemeriksaan klinis dan imobilisasi?
7. Mengapa dokter menduga pneumothorax ventil dan melakukan thoracosentesis?
8. Apakah penatalaksanaan awal pasien emergency?
9. Mengapa dokter melakukan informed concent?
10.Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisiknya?
11 .Apa akibatnya bila thoracosintesis tdk segera dilakukan?
12.Bagaimana cara melakukan dan urutan triage (primary dan secondary survey)?
C. Jump 3 : Analisis masalah
1. Anatomi thorax dan bahu
2. Fisiologi dan patofisiologi jejas
3. Trauma Mekanik
4. Mekanisme keluhan
a.nyeri dada
b.sesak napas
c.bahu kiri nyeri
5. Interpretasi pemeriksaan fisik dan penunjang
D. Jump 4 : Menginventarisasi secara sistematik berbagai penjelasan yang didapatkan
pada langkah 3
1. Anatomi Thorax
a) Dinding Thorax

Tersusun dari tulang dan jaringan lunak. Tulang yang membentuk dinding dada adalah
tulang iga, columna vertebralis Thoracalis, sternum, tulang clavicula dan scapula.
Jarinan lunak yang membentuk dinding dada adalah otot serta pembuluh darah
terutama pembuluh darah intrerkostalis dan Thoracalis interna

Costae:

Rangka toraks terluas adalah iga-iga (costae) yang merupakan tulang jenis
osseokartilaginosa. Memiliki penampang berbentuk konus, dengan diameter
penampang yang lebih kecil pada iga teratas dan makin melebar di iga sebelah bawah.
Di bagian posterior lebih petak dan makin ke anterior penampang lebih memipih.

Terdapat 12 pasang iga : 7 iga pertama melekat pada vertebra yang


bersesuaian, dan di sebelah anterior ke sternum. Iga VIII-X merupakan iga palsu
(false rib) yang melekat di anterior ke rawan kartilago iga diatasnya, dan 2 iga
terakhir merupakan iga yang melayang karena tidak berartikulasi di sebelah anterior.
Setiap iga terdiri dari caput (head), collum (neck), dan corpus (shaft). Dan memiliki 2
ujung : permukaan artikulasi vertebral dan sternal.

Bagian posterior iga kasar dan terdapat foramen-foramen kecil. Sedangkan


bagian anterior lebih rata dan halus. Tepi superior iga terdapat krista kasar tempat
melekatnya ligamentum costotransversus anterior, sedangkan tepi inferior lebih bulat
dan halus.
Pada daerah pertemuan collum dan corpus di bagian posterior iga terdapat
tuberculum. Tuberculum terbagi menjadi bagian artikulasi dan non artikulasi.

Penampang corpus costae adalah tipis dan rata dengan 2 permukaan (eksternal
dan internal), serta 2 tepi (superior dan inferior). Permukaan eksternal cembung
(convex) dan halus; permukaan internal cekung (concave) dengan sudut mengarah ke
superior. Diantara batas inferior dan permukaan internal terdapat costal groove,
tempat berjalannya arteri-vena-nervus interkostal.

Iga pertama merupakan iga yang penting oleh karena menjadi tempat
melintasnya plexus brachialis, arteri dan vena subklavia. M.scalenus anterior melekat
di bagian anterior permukaan internal iga I (tuberculum scalenus), dan merupakan
pemisah antara plexus brachialis di sebelah lateral dan avn subklavia di sebelah
medial dari otot tersebut.
Sela iga ada 11 (sela iga ke 12 tidak ada) dan terisi oleh m. intercostalis externus dan
internus. Lebih dalam dari m. intercostalis internus terdapat fascia transversalis, dan
kemudian pleura parietalis dan rongga pleura. Pembuluh darah dan vena di bagian
dorsal berjalan di tengah sela iga (lokasi untuk melakukan anesteri blok), kemudian
ke anterior makin tertutup oleh iga. Di cekungan iga ini berjalan berurutan dari atas ke
bawah vena, arteri dan syaraf (VAN). Mulai garis aksilaris anterior pembuluh darah
dan syaraf bercabang dua dan berjalan di bawah dan di atas iga. Di anterior garis ini
kemungkinan cedera pembuluh interkostalis meningkat pada tindakan pemasangan
WSD.

Vertebrae

Vertebra Thoracalis pertama (T 1)mempunyai satu persendian yang lengkap


dengan iga I dan setengah persendian dengan iga II. Selanjutnya T2-T8 mempunyai
dua persendian, di atas dan di bawah korpus vertebra (untuk iga II sampai dengan
VIII). Sedang dari T9-T12 hanya mempunyai satu persendian dengan iga. Semua ini
penting untuk melepaskan iga dari korpus vertebra pada waktu melakukan
torakotomi.

Yang perlu juga diketahui adalah ligamentum longitudinalis anterior; di depan


ligamentum ini terdapat suatu ruangan (space) dengan susunan jaringan ikat yang
longgar dan merupakan jalan untuk descending infection dari daerah leher menuju
mediastinum. Susunan thorax memperlihatkan susunan metameri (tembereng),
terutama pada lapisan-lapisan dalam seperti: saraf dan pembuluh antar iga, iga-iga,
Mm intercostals dalam spatial intercostalis.

Lapisan-lapisan dinding thorax terdiri atas:

Lapisan luar: kulit, jaringan lemak bawah kulit, dan fascia-fascia otot.

Lapisan tengah: otot-otot, saraf, pembuluh darah

o Otot-otot dinding depan dan sisi thorax:

M. pectoralis major dan minor

M. serratus anterior

M. rectus abdominis

M. obliquus abdominis externus

o Otot-otot dinding dorsalis thorax:

M. latissimus dorsi
M. Trapezius

Mm. rhamboides major dan minor

M. serratus posterior, superior, inferior

Mm. sacrospinales, spinales, semispinales

o Nervi :

Rami dorsales Nn. Intercostals

N. accessories XI

Nn. Thoracici ventralis

N. Subscapularis

Cabang-cabang Nn. Intercostales

o Arteria:

A. Thoracoacromialis

A. thoracica lateralis

A. Thoracodorsalis

Rami dorsales Aa. Intercostals

o Vena: sesuai dengan arteiae.

Lapisan dalam:

Thorax bagian tulang, Otot-otot antar iga.

o Musculi:

o Mm. intercostals interni

o Mm. intercostals externi

o Pembuluh antar iga:


o A. Thoracica

o A. subclavia:

A. thoracica interna

Rami intercostales A. Musculophrenica

Truncus costocervicalis

o Saraf antar iga: Nn. intercostales I-XII

b) Dasar Thorax

Dibentuk oleh otot diafragma yang dipersyarafi nervus frenikus. Diafragma


mempunyai lubang untuk jalan Aorta, Vana Cava Inferior serta esofagus

c) Isi rongga Thorax.

Rongga pleura kiri dan kanan berisi paru-paru. Rongga ini dibatasi oleh pleura
visceralis dan parietalis. Rongga Mediastinum dan isinya terletak di tengah dada.
Mediastinum dibagi menjadi bagian anterior, medius, posterior dan superior. Rongga
dada dibagi menjadi 3 rongga utama yaitu:

Rongga dada kanan (cavum pleura kanan )

Rongga dada kiri (cavum pleura kiri)

Rongga dada tengah (mediastinum).


Rongga Mediastinum secara anatomi dibagi menjadi:

o Mediastinum superior dengan batas:

Atas : bidang yang dibentuk oleh VTH1, kosta 1 dan jugular


notch.

Bawah : Bidang yang dibentuk dari angulus sternal ke Vth4

Lateral : Pleura mediastinalis

Anterior : Manubrium sterni.

Posterior : Corpus Vth1 4


o Mediastinum inferior terdiri dari:

Mediastinum anterior

Mediastinum medius

Mediastinum Posterior

o Mediastinum Anterior memiliki batas:

Anterior : Sternum (tulang dada)

Posterior : Pericardium ( selaput jantung

Lateral : Pleura mediastinalis

Superior : Plane of sternal angle

Inferior : Diafragma

o Mediastinum Medium memiliki batas:

Anterior: Pericardium

Posterior: Pericardium

Lateral: Pleura mediastinalis

Superior: Plane of sternal angle

Inferior: Diafragma

o Mediastinum posterior, batasnya :

Anterior : Pericardium

Posterior : Corpus VTh 5 12

Lateral : Pleura mediastinalis

Superior : Plane of sternal angle

Inferior : Diafragma.
d) Batas-batas Thorax

Thorax adalah daerah antara sekat rongga badan (diafragma) dan leher. Batas bawah
thorax:

Arcus costarum

Processus xyphoideus

Garis penghubung antara puncak-puncak ketiga iga terakhir dan processus


spinalis thoracal XII

Batas atas thorax:

Incisura jugularis ossis sterni

Clavicula

Garis penghubung antara articulus acromioclavicularis dan processus spinalis


cervical VII

Bentuk thorax ditentukan oleh:

Rangka dada bagian tulang

letak scapula

otot-otot yang berjalan dari thorax ke anggota gerak atas: Mm pectoralis


major dan minor, Mm latissimus dorsi

2. Anatomi Paru-paru

Pleura terdiri atas:

o Pleura visceralis, yang meliputi paru-paru dengan erat.

o Pleura parietalis:

o Pleura costalis (pars costovertebralis pleura).

o Pleura mediastinalis ( pars diaphragmatica pleura).

o Pleura mediastinalis ( pars mediastinalis pleura).


o Cupula pleura (pleura cervicalis).

Persarafan pleura:

o Pleura parietalis oleh:

o N. phrenicus.

o Nn. Intercostales.

o Pleura visceralis oleh: saraf-saraf symphaticus.

Pada paru-paru terdapat beberapa facies, yaitu:

o Facies diaphragmatica ( basis pulmonis), yang berhadapan dengan pleura


diaphragmatica.

o Facies costalis, yang berhadapan dengan pleura costalis.

o Facies mediastinalis, yang berhadapan dengan pleura mediastinalis.

Nama-nama Broncho Pulmonary Segments

Pulmo Dextra Pulmo Sinistra

Lobus Segmentum Lobus Segmentum

Superior Apicale Superior Apicoposterius

Posterius Anterius

Anterius Lingulare posterius

Medius Laterale Lingulare inferius

Mediale Inferior Apicale

Inferior Apicale Antero-mediobasale

Mediobasale Laterobasale

Anterobasale Posterobasale

Laterobasale
Posterobasale

Pembuluh darah paru:

o Aa. dan Vv. Pulmonales yang berhubungan dengan faal pernafasan.

o Aa. Dan Vv. Bronchiales, yang berhubungan dengan pertukaran zat di jaringan
paru.

Persarafan paru:

Serabut symphaticus, yang berasal dari truncus symphaticus (Th. III, IV, V).

Serabut parasymphaticus dari N vagus.

3. Anatomi Bahu

Bahu dibentuk oleh ossa beserta ligamenta dan musculinya. Ossanya ada os humeri,
os scapula dan os clavicula. Ossa tersebut akan membentuk suatu hubungan yang disebut
articulation humeri yang terdiri dari caput humeri dan cavitas glenoidalis scapula dengan tipe
globoidea. Nantinya hubungan ini akan difiksasi oleh ligamenta dan musculinya.

4. Jejas
Jejas sel merupakan keadaan dimana sel beradaptasi secara berlebih atau sebaliknya,
sel tidak memungkinkan untuk beradaptasi secara normal. Di bawah ini merupakan
penyebab-penyebab dari jejas sel.
Etiologi jejas:
Hipoksia
a. Daya angkut oksigen berkurang: anemia, keracunan CO
b. Gangguan pada sistem respirasi
c. Gangguan pada arteri: aterosklerosis
Jejas fisik
A. Trauma mekanis: ruptura sel, dislokasi intraseluler
b. Perubahan temperatur: vasodilatasi, reaksi inflamasi
c. Perubahan tekanan atmosfer
d. Radiasi
Jejas kimiawi
a. Glukosa dan garam-garam dalam larutan hipertonis yang dapat menyebabkan gangguan
homeostasis cairan dan elektrolit
b. Oksigen dalam konsentrasi tinggi
c. Zat kimia, alkohol, dan narkotika
Agen biologik: virus, bakteri, fungi, dan parasit
Reaksi imunologik
a. Anafilaktik
b. Autoimun
Faktor genetik: sindroma Down, anemia sel sabit
Gangguan nutrisi: defisiensi protein, avitaminosis
Jenis-jenis jejas:
1. Jejas Reversible (oedem, cloudy swelling)
Contoh: degenerasi hidropik.
Degenerasi ini menunjukkan adanya edema intraselular, yaitu adanya peningkatan
kandungan air pada rongga-rongga sel selain peningkatan kandungan air pada mitokondria
dan retikulum endoplasma. Pada mola hidatidosa telihat banyak
sekaligross (gerombolan) mole yang berisi cairan. Mekanisme yang mendasari terjadinya
generasi ini yaitu kekurangan oksigen, karena adanya toksik, dan karena pengaruh
osmotik.
2. Jejas Irreversible
Terdapat dua jenis jejas irreversible (kematian sel) yaitu apotosis dan nekrosis.
Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram. Sedangkan nekrosis merupakan
kematian sel/jaringan pada tubuh yang hidup di luar dari kendali. Sel yang mati pada
nekrosis akan membesar dan kemudian hancur dan lisis pada suatu daerah yang
merupakan respons terhadap inflamasi (Lumongga, 2008). Jadi, perbedaan apoptosis dan
nekrosis terletak pada terkendali atau tidaknya kematian sel tersebut.
5. Trauma Mekanik
1. Trauma Tumpul

LUKA TRAUMA TUMPUL


Trauma atau luka mekanik terjadi karena alat atau senjata dalam berbagai bentuk,
alami atau dibuat manusia. Senjata atau alat yang dibuat manusia seperti kampak, pisau,
panah, martil dan lain-lain. Benda tumpul yang sering mengakibatkan luka antara lain
adalah batu, besi, sepatu, tinju, lantai, jalan dan lain-lain. Adapun definisi dari benda
tumpul itu sendiri adalah :

Tidak bermata tajam


Konsistensi keras / kenyal
Permukaan halus / kasar
Kekerasan tumpul dapat terjadi karena 2 sebab yaitu alat atau senjata yang
mengenai atau melukai orang yang relatif tidak bergerak dan yang lain orang bergerak ke
arah objek atau alat yang tidak bergerak.
Luka karena kererasan tumpul dapat berebentuk salah satu atau kombinasi dari
luka memar, luka lecet, luka robek, patah tulang atau luka tekan.
Luka Akibat Trauma Tumpul
Variasi mekanisme terjadinya trauma tumpul adalah:
1. Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
2. Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.
Sekilas nampak sama dalam hasil lukanya namun jika diperhatikan lebih lanjut
terdapat perbedaan hasil pada kedua mekanisme itu. Derajat luka, perluasan luka serta
penampakan dari luka yang disebabkan oleh benda tumpul bergantung kepada:
Kekuatan dari benda yang mengenai tubuh
Waktu dari benda yang mengenai tubuh
Bagian tubuh yang terkena
Perluasan terhadap bagian tubuh yang terkena
Jenis benda yang mengenai tubuh
Organ atau jaringan pada tubuh mempunyai beberapa cara menahan kerusakan yang
disebabkan objek atau alat, daya tahan tersebut menimbulkan berbagai tipe luka. Luka
Akibat trauma tumpul dibagikan menurut beberapa kategori:
Abrasi
Laserasi
Kontusio

Abrasi (Luka Lecet)


Luka lecet adalah luka yang superficial, kerusakan tubuh terbatas hanya pada
lapisan kulit epidermis. Jika abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis
pembuluh darah dapat terkena sehingga terjadi perdarahan. Arah dari pengelupasan
dapat ditentukan dengan pemeriksaan luka.
Pola dari abrasi sendiri dapat menentukan bentuk dari benda yang
mengenainya. Waktu terjadinya luka sendiri sulit dinilai dengan mata telanjang.
Perkiraan kasar usia luka dapat ditentukan secara mikroskopik. Kategori yang
digunakan untuk menentukan usia luka adalah saat ini (beberapa jam sebelum), baru
terjadi (beberapa jam sebelum sampai beberapa hari), beberapa hari lau, lebih dari
benerapa hari. Sesuai dengan mekanisme terjadinya, luka lecet dapat diklasifikasikan
sebagai luka lecet gores (Scratch), luka lecet serut (Scrape), luka lecet tekan (impact
abrasion) dan luka lecet berbekas (patterned abrasion).
a. Luka lecet gores ( Scratch)
Diakibatkan oleh benda runcing ( misalnya kuku jari yang menggores kulit) yang
menggeser lapisan permukaan kulit (epidermis) di depannya dan mengakibatkan lapisan
tersebut terangkat, sehingga dapat menunjukan arah kekerasan yang terjadi.
b. Luka lecet serut (Scraping )
Adalah variasi dari luka lecet gores yang daerah persentuhannya dengan permukaan
kulit lebih lebar. Arah kekerasan di tentukan dengan melihat letak tumpukan epitel.
c. Luka lecet tekan ( Impact abrasion)
Disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit. Karena kulit adalah jaringan
yang lentur maka, bentuk luka lecet tekan belum tentu sama dengan bentuk permukaan
benda tumpul tersebut, tetapi masih memungkinkan identifikasi benda penyebab yang
mempunyai bentuk yang khas, misalnya kisi-kisi radiator mobil, jejas gigitan dan
sebagainya. Gambaran luka lecet tekan yang di temukan pada mayat adalah daerah kulit
yang kaku dengan warna yang lebih gelap dari sekitarnya akibat menjadi lebih padatnya
jaringan yang tertekan serta terjadinya pengeringan yang berlangsung pasca kematian.
Karakteristik luka lecet :
1. Sebagian/seluruh epitel hilang terbatas pada lapisan epidermis
2. Disebabkan oleh pergeseran dengan benda keras dengan permukaan kasar dan
tumpul
3. Permukaan tertutup exudasi yang akan mengering (krusta)
4. Timbul reaksi radang (Sel PMN)
5. Sembuh dalam 1-2 minggu dan biasanya pada penyembuhan tidak meninggalkan
jaringan parut.
Memperkirakan umur luka lecet:
Hari ke 1 3 : warna coklat kemerahan
Hari ke 4 6 : warna pelan-pelan menjadi gelap dan lebih suram
Hari ke 7 14 : pembentukan epidermis baru
Beberapa minggu : terjadi penyembuhan lengkap

Perbedaan luka lecet ante motem dan post mortem

ANTE MORTEM POST MORTEM


Coklat kemerahan Kekuningan
Terdapat sisa sisa-sisa epitel Epidermis terpisah sempurna dari
Tanda intravital (+) dermis
Sembarang tempat Tanda intravital (-)
4. Pada daerah yang ada
penonjolan tulang

b. Kontusio (Luka Memar)


Kontusio Superfisial
Kontusio terjadi karena tekanan yang besar dalam waktu yang singkat. Penekanan ini
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil dan dapat menimbulkan perdarahan pada
jaringan bawah kulit atau organ dibawahnya. Kontusio adalah suatu keadaan dimana terjadi
pengumpulan darah dalam jaringan yang terjadi sewaktu orang masih hidup, dikarenakan
pecahnya pembuluh darah kapiler akibat kekerasan benda tumpul.
Salah satu bentuk luka memar yang dapat memberikan informasi mengenai bentuk
dari benda tumpul, ialah perdarahan tepi (marginal haemorrhages), misalnya bila tubuh
korban terlindas ban kendaraan, dimana pada tempat yang terdapat tekanan justru tidak
menunjukkan kelainan, kendaraan akan menepi sehingga terbentuk perdarahan tepi yang
bentuknya sesuai dengan bentuk celah antara kedua kembang ban yang berdekatan.Perubahan
warna pada memar berhubungan dengan waktu lamanya luka, namun waktu tersebut
bervariasi tergantung jenis luka dan individu yang terkena. Tidak ada standar pasti untuk
menentukan lamanya luka dari warna yang terlihat secara pemeriksaan fisik.
Luka memar dapat diklasifikasikan sebagai luka memar superficial (Superficial), Luka
memar dalam (Deep), dan luka memar berbekas ( Patterned/ imprint).
a. Luka memar superfisial
Luka memar superficial dapat terjadi secara segera, disebabkan oleh akumulasi
darah secara subkutan.
b. Luka memar dalam
Luka memar dalam menandakan adanya akumulasi pendarahan lebih dalam
dari lapisan kulit subkutan. Biasanya jenis luka ini memerlukan 1 sampai 2 hari untuk
dapat terlihat di permukaan kulit.
c. Luka memar berbekas
Luka memar berbekas disebabkan oleh penekanan pada tubuh, biasanya objek
yang menekan tubuh meninggalkan bekas pada permukaan kulit.
Pada mayat waktu antara terjadinya luka memar, kematian dan pemeriksaan
menentukan juga karekteristik memar yang timbul. Semakin lama waktu antara
kematian dan pemeriksaan luka akan semakin membuat luka memar menjadi gelap.
Pemeriksaan mikroskopik adalah sarana yang dapat digunakan untuk menentukan
waktu terjadinya luka sebelum kematian. Namun sulit menentukan secara pasti karena
hal tersebut pun bergantung pada keahlian pemeriksa.

Memperkirakan umur luka memar :


o Hari ke 1 : terjadi pembengkakan warna merah kebiruan
o Hari ke 2 3 : warna biru kehitaman
o Hari ke 4 6 : biru kehijauancoklat
o > 1 minggu-4 minggu : menghilang / sembuh

Lebam mayat atau livor mortis sering salah diinterpretasikan dengan luka memar.
Livor mortis merupakan perubahan warna ungu kemerahan pada area mengikuti posisi tubuh
disebabkan oleh akumulasi darah oleh pembuluh darah kecil secara gravitasi.
Lebam mayat biasanya terjadi yang terbentuk 30 menit sampai 2 jam setelah kematian dan
perubahan warna mencapai puncaknya pada 8 sampai 12 jam setelah kematian.( Dikutip dari
kepustakaan injury and death investigation pdf)
Lebam mayat dapat dibedakan dengan luka memar (Dikutip dari kepustakaan kepustakaan
injury and death investigation pdf).
Tanda-tanda dan tipe trauma yang khas, sering di dapat pada trauma tumpul karena
kecelakaan:
a. Tabrakan kendaraan dimana penderita adalah penumpang atau pengemudi
b. Tabrakan pejalan kaki
c. Tabrakan sepeda motor
d. Trauma yang disengaja (serangan)
e. Jatuh (Falls)
f. Trauma Ledakan (Blast Injury)

Trauma tabrakan kendaraan roda dua


Trauma sepeda dan sepeda motor di amerika serikat merupakan penyebab utama
trauma, dengan lebih dari 600.000 kejadian pertahun. Angka kematian kaerena sepeda adalah
1200 setiap tahun, dan sepeda motor lebih dari 5000 setiap tahunnya. Pengendara maupun
penumpangnya dapat mengalami kompresi, akselerasi/ deselerasi dan trauma tipe robekan.
Pengendara tidak dilindungi oleh perlengkapan pengaman sebagaimana halnya pengendara
mobil. Mereka hanya dilindungi oleh pakaian dan perlengkapan pengaman yang dipakai
langsung pada badannya, helm, sepatu atau pakaian pelindung. Hanya helm yang memiliki
kemampuan untuki mendestribusi transmisi energy dan mengurangi intensitas benturan,
inipun sangat terbatas. Jelas bahwa semakin sedikit alat pelindung semakin besar resiko
terjadinya trauma. Mekanisme trauma yang mungkin terjadi pada tabrakan motor atau sepeda
meliputi benturan frontal, lateral, terlempar dan laying the bike down. Disamping itu
pengendara mungkin mengalami trauma karena jatuhn dari sepeda/ motor atau terrperangkap
oleh komponen-komponen mekanik.
a. Benturan Frontal

Sumbu kendaraan terutama ialah sumbu depan dan titik berat kendaraan
adalah diatas titik ini dekat dengan kursi. Bila roda depan bertabrakan dengan
suatu obyek dan berhenti maka kendaraan akan berputar ke depan dengan
momentum mengarah ke sumbu depan. Momentum ke depan akan tetap, sampai
pengendara dan kendaraannya dihentikan oleh tanah atau benda lain. pada saat
gerakan ke depan ini kepala, dada atau perut pengendara mungkin membentur
stang kemudi. Bila pengendara terlempar ke atas melewati stang kemudi maka
tungkainya dapat membentur stang kemudi dan dapat terjadi fraktur femur
bilateral. Derajat trauma yang dialami selama tabrakan sekunder bergantung
pada tempat benturan, energy kinetik dari pengendara/motornya dan interval
waktu (lamanya) energy ini bekerja.
b. Benturan Lateral
Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur terbuka atau tertutup
tungkai bawah, Crush Injury padatungkai bawah sering dijumpai. Kalau pengendara
sepeda/ sepeda motor ditabrak oleh kendaraan bergerak, maka pengendara akan rawan
untuk mengalami tipe trauma yang sama dengan pemakai mobil yang mengalami
tabrakan samping. Tidak seperti penumpang dalam mobil, pengendara sepeda/motor
tidak memiliki struktur kompartemen bagi penumpang yang dapat mengurangi
pemindahan energy kinetic benturan. Pengendara menerima energy benturan secara
penuh. Sebagaiman halnya dalam benturan frontal, tabrakan trauma yang dialami
selama benturan sekunder yaitu benturan dengan tanah atau obyek-obyek statis
lainnya.
c. Laying The bike down
Untuk menghindari terjepit antara kendaraan dan objek yang akan
ditabraknya, pengendara mungkin akan menjatuhkan kendaraannya ke samping,
membiarkan kendaraannya bergeser dan ia sendiri bergeser dibelakangnya. Strategi
ini dimaksudkan untuk memprlambat pengendara dan memisahkan pengendara dari
sepeda/motor. Disamping jenis-jenis trauma yang telah di uraikan sebelumnya, bila
jatuh dengan cara ini akan dapat terjadi trauma jaringan lunak yang parah.
d. Helm
Helm yang digunakan oleh pengendara sepeda (bermotor maupun bukan
bermotor) telah terbukti secara meyakinkan dapat menurunkan angka kematian,
kejadian trauma kepala berat, pemendekan waktu perawatan, mengurangi biaya
rumah sakit, dan mungkin berhubungan dengan berkurangnya kebiasaan mengambil
resiko. Baik pada pengendara sepeda maupun sepeda motor, trauma kepala akan
terjadi pada lebih dari 1/3 kasus trauma dan 66% akan dirawat. Trauma kepala juga
merupakan kematian nomor 1 (85%) diantara penyebab kematian lain pada
pengendara sepeda/ sepeda motor. Walaupun kemampuan helm untuk melindungi
kepala agak terbatas namun penggunaannya jangan diremehkan. Helm didesain untuk
mengurangi kekuatan yang mengenai kepala dengan cara mengubah energy kinetic
benturan melalui kerja deformasi dari bantalannya dan di ikuti dengan
mendistribusikan (menyebarkan) kekuatan yang menimpa tersebuta melalui area yang
seluas-luasnya. Secara nyata helm mampu mengurangi energy transfer dengan cara
tranlasi. Secara umum di anggap bahwa yang sangat sering menyebabkan trauma otak
adalah akselerasi angular atau rotasional. Helm akan mengurangi gaya rotasional dan
benturan
2.Trauma Tajam
LUKA TRAUMA TAJAM
Luka benda tajam merupakan putusnya atau rusaknya kontinuitas jaringan karena
trauma akibat alat/senjata yang bermata tajam dan atau berujung runcing. Luka akibat benda
tajam pada umumnya mudah dibedakan dari luka yang disebabkan oleh benda tumpul dan
dari luka tembakan senjata api.
Luka yang disebabkan oleh beda yang berujung runjing dan bermata tajam dibagi
menurut beberapa kategori:
1. Luka tusuk (stab wound)
2. Luka Iris (Incised wounds)
3. Luka Bacok (Chop wounds)
Ciri-ciri luka benda tajam sering dibandingkan dengan luka benda tumpul:
Trauma Tumpul Tajam
g. Bentuk luka Tidak teratur Teratur

h. Tepi Luka Tidak rata Rata

i. Jembatan Jaringan Ada Tidak ada

j. Rambut Tidak terpotong Terpotong

k. Dasar Luka Tidak teratur Teratur

l. Sekitar Luka Ada luka lecet atau Tak ada luka lain
memar

a. Luka tusuk (Stab wounds)


Luka akibat alat yang berujung runcing dan bermata tajam atau tumpul yang terjadi
dengan suatu tekanan tegak lurus atau serong pada permukaan tubuh. Contoh: belati, bayonet,
keris, clurit, kikir, tanduk kerbau.Selain itu, pada luka tusuk , sudut luka dapat menunjukkan
perkiraan benda penyebabnya, apakah berupa pisau bermata satu atau bermata dua.
Karakteristik dari luka tusuk:
o Tepi luka rata
o Dalam luka lebih besar dari panjang luka
o Sudut luka tajam
o Sisi tumpul pisau menyebabkan sudut luka kurang tajam
o Sering ada memar / echymosis di sekitarnya
Identifikasi senjata pada luka tusuk:
Panjang Luka : ukuran maksimal dari lebar senjata
Dalam luka : Ukuran minimal dari panjang senjata
Untuk luka tusuk pada bagian dada stabil
Untuk luka tusuk di perut tidak dapat diambil kesimpulan panjang
senjatanya karena perut sangat elastis.
Cara menentukan luka tusuk disebabkan oleh pembunuhan atau bunuh diri:
Pembunuhan Bunuh Diri
Lokalisasi di sembarang tempat, juga di Lokalisasi pada daerah tubuh yang
daerah tubuh yang tak mungkin dicapai mudah
tangan korban dicapai tubuh korban (dada, perut)
Jumlah luka dapat satu/lebih Jumlah luka yang mematikan biasanya
satu
Didapatkan tanda perlawanan dari korban Tidak ditemukan Luka Tangkisan
yang menyebabkan luka tangkisan
Pakaian ikut terkoyak Bila pada daerah yang ada pakaian, maka
pakaian disingkirkan lebih dahulu,
sehingga
tidak ikut terkoyak
Ditemukan Luka Tusuk Percobaan Tidak ditemukan Luka Tusuk
Percobaan

2.Luka Iris ( Incised wounds)


Luka iris adalah luka karena alat yang tepinya tajam dan timbulnya luka oleh karena
alat ditekan pada kulit dengan kekuatan relatif ringan kemudian digeserkan sepanjang kulit.
Perbedaan antara luka iris pada pembunuhan dan bunuh diri:
Pembunuhan Bunuh Diri
Sebenarnya sukar membunuh seseorang Lokalisasi luka pada daerah tubuh yang
dengan irisan, kecuali kalau fisik korban dapat
jauh lebih lemah dari pelaku atau korban dicapai korban sendiri:
dalam leher
keadaan/dibuat tidak berdaya pergelangan tangan
lekuk siku, lekuk lutut
pelipatan paha
Luka di sembarang tempat, juga pada Ditemukan Luka Iris Percobaan
daerah
tubuh yang tidak mungkin dicapai tangan
korban sendiri

Ditemukan Luka tangkisan/ tanda Tidak ditemukan Luka Tangkisan


perlawanan
Pakaian ikut koyak akibat senjata tajam Pakaian disingkirkan dahulu/tidak ikut
tersebut robek

3.Luka Bacok ( Chop Wounds)


Adalah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau agak tumpul
yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup besar. Contoh : pedang, clurit,
kapak, baling-baling kapal. Kehadiran luka iris yang terdapat pada kulit, dengan fraktur
comminuted mendasari atau terdapat alur yang dalam pada tulang, menunjukkan bahwa
disebabkan oleh senjata yang bersifat membacok.
Karakteristik pada luka bacok:
Luka biasanya besar
Pinggir luka rata
Sudut luka tajam

3. LUKA TEMBAK
Senapan dan pistol memiliki amunisi dan kartrij yang terdiri dari primer, mesiu atau
propellant dan peluru atau projektil. Apabila picu dari senjata menghentam primer maka
ledakan yang tercetus akan membakar mesiu. Mesiu, primer yang tervaporisasi dan metal
dapat menempel pada kulit dan/atau pakaian korban. Kehadiran dan lokasi dari elemen
primer pada tangan dapat membantu dalam mengenalpasti suspek yang telah melepaskan
tembakan.
Mesiu yang keluar dari mncung senjata terdiri dari dua jenis:
a. Mesiu yang terbakar sepenuhnya, juga disebut sebagai soot atau fouling yang dapat
dicuci dari permukaan kulit.
b. Partikel dari mesiu yang terbakar atau tidak terbakar yang dapat tertanam di
permukaan kulit atau memberikan gambaran tattooing atau stippling
b. Ada atau tidaknya mesiu pada pakaian atau kulit mengindikasikan apakah tembakan
merupakan tembakan kontak kencang
c. semua mesiu ditemukan pada tepi atau dalam luka. Dapat juga ditemukan luka bakar
pada tepi luka atau kemerahan pada sekitar luka yang disebabkan oleh karbon
monoksida : tembakan kontak longgar
d. mesiu keluar dari barrel dan tertanam di sekitar tepi luka :tembakan jarak dekat
e. tembakan jarak dekat ditemukan pada jarak kurang lebih enam sampai dengan dua
belas inci. Kedua fouling dan stipling dapat ditemukan : tembakan jarak
intermediet
f. tembakan jarak dekat ditemukan pada jarak kurang lebihdua belas sampai tiga kaki.
Tidak ditemukan fouling tapi Cuma ditemukan stipling atau deposit partikel pada
pakaian : tembakan jarak jauh
g. luka tembak masuk dan luka tembak keluar mudah dibedakan. Luka tembak masuk
lebih sering berbentuk sirkuler dengan abrasi berbentuk cincin yang diakibatkan oleh
geseran peluru dan perforasi kulit. Luka tembak masuk pada wajah dapat memberikan
gambaran berbeda oleh karena permukaanya yang tidak rata.
h. Luka tembak keluar dapat berbentuk sirkuler seperti luka tembak masuk namun lebih
sering berbentuk irregular. Luka dapat memberikan gambaran tepi yang tidak rata,
tidak memiliki cincin abrasi seperti luka tembakmasuk kecuali sekiranya kulit korban
menempel dengan objek lain.
i. Kulit pada luka tembak keluar dapat ditemukan perubahan warna oleh karena
perdarahan pada jaringan lunak.
4. Aspek Medikolegal dalam Kegawatdaruratan
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum kesehatan
terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa. Menurut segi
pendanaan, nampaknya hal itu menjadi masalah, karena dispensasi di bidang ini sulit
dilakukan.
Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat
Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan
pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus
dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan
menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.
Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat Pada keadaan gawat darurat medik didapati
beberapa masalah utama yaitu:
- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
- Perubahan klinis yang mendadak
- Mobilitas petugas yang tinggi
Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan darurat, maka ia
harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan
itu atau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan
dengan tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/
menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain (loss of chance).

5. Interpretasi pemeriksaan fisik

6. Mekanisme keluhan
a. Nyeri dada
trauma dada-> tembus hingga ke pleura-> peregaangan pleura-> nyeriTrauma dada-
> kerusakan jaringan -> impuls nyeri pada daerah yang luka (kulit, otot)

b. Sesak napas yang semakin bertambah


Akibat penurunan fungsi paru:menurunnya compliance paru yang mengalami
penumothoraks-> pertukaran udara tidak adekuat -> hipoxemia ->hipoksia-> sesak
napasserta paru sebelahnya yang terdorong menyebabkan sesak napas.Selain itu
peningkatan kerja pernapasan: hipoksia -> takipneu-> sesak napas

c.Bahu kiri terasa nyeri


Terjadinya trauma yang mengakibatkan fraktur akan dapat merusak jaringan lunak
disekitar fraktur mulai dari otot fascia, kulit sampai struktur neuromuskuler atau organ-
organ penting lainnya, pada saat kejadian kerusakan terjadilah respon peradangan dengan
pembentukan gumpulan atau bekuan fibrin, osteoblas mulai muncul dengan jumlah yang
besar untuk membentuk suatu metrix baru antara fragmen-fragmen tulang.
Mekanisme rasa nyeri atau sakit dimulai dari stimulasi nociceptor oleh stimulus
noxious pada jaringan, yang nantinya akan dirubah menjadi potensial aksi. Proses ini
disebut transduksi atau aktifasi reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan
ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri.
Tahap pertama transmisi adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu
dorsalis medulla spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron aferen primer bersinap dengan
neuron susunan saraf pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik ke atas di medulla
spinalis menuju batang otak dan thalamus. Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik
antara thalamus dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi respon persepsi
dan afektif yang berhubungan dengan nyeri. Tetapi rangsangan nociceptif tidak selalu
menimbulakn persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri tidak bisa terjadi tanpa
stimulasi nosiseptif. Terdapat prose modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses
nyeri tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling diketahui adalah pada kornu dorsalis
medulla spinalis. Proses terakhir adalah persepsi, dimana pesan nyeri direlai menuju ke
otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan (Setiyohadi et al, 2009).

E. Jump 5 : Merumuskan tujuan pembelajaran


Berikut pertanyaan yang menjadi tujuan pembelajaran
1. Bagaimana cara melakukan triage, primary survey dan secondary survey pada kasus?
2. Bagaimanakah patofisiologi dari pneumothorax dan macamnya?
3. Bagaimanakah indikasi dilakukannya thoracosintesis?
4. Bagaimanakah bioetika kasus emergency?
5. Apa itu emfisema subkutis dan bagaimakah patofisiologinya?
6. Mengapa dokter melakukan pemeriksaan klinis dan imobilisasi?
7.
F. Jump 6 : Belajar Mandiri
Kegiatan belajar mandiri dan diskusi tanpa tutor.

G. Jump 7 : Melakukan sintesis dan pengujian informasi yang telah terkumpul


Berikut hasil sintesis setelah pengumpulan informasi

A. TRIAGE
Triage adalah suatu proses untuk menentukan pasien mana yang harus ditangani terlebih
dahulu berdasarkan seberapa parah atau serius trauma yang terjadi. Berdasarkan CDC
Guideline for Field Triage of Injured Patients pada tahun 2011, triaging dibagi menjadi 4
tahap:
1. Step 1: kriteria fisiologi.
Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara cepat pasien trauma yang kritis
dengan menilai level kesadaran (Glasgow Coma Scale [GCI]) dan mengukur tanda
vital (systolic blood pressure [SBP] dan respiratory rate [RR]).
2. Step 2: kriteria anatomi
Pada tahap ini, dilakukan penilaian mengenai cedera anatomi yang mungkin
memerlukan perawatan yang intensif pada beberapa pasien yang pada presentasi awal
memiliki fisiologi normal. Transport ke fasilitas yang menyediakan level tinggi
perawatan trauma harus dilakukan apabila ditemukan cedera anatomi (gambar 1).
3. Step 3: mekanisme trauma
Pasien yang tidak memenuhi kriteria pada step 1 dan 2 harus dievaluasi tentang
mekanisme terjadinya trauma untuk menentukan apabila trauma mungkin parah akan
tetapi tidak terlihat.
4. Step 4: special consideration
Menentukan apakah pasien yang tidak masuk kriteria fisiologis, anatomic, atau
mekanisme trauma memiliki kondisi yang mendasari atau faktor-faktor komorbid
yang menyebabkan pasien dalam risiko tinggi mengalami cedera atau yang membantu
mengidentifikasi pasien yang cedera parah.

Label warna pada triage


1. Merah: merupakan prioritas utama, perlu pengobatan yang segera karena dalam
kondisi yang sangat kritis yaitu tersumbatnya jalan nafas, dyspnea, pendarahan, syok,
hilang kesadaran.
2. Kuning: bisa menunggu pengobatanpengobatan dapat ditunda untuk beberapa jam dan
tidak akan berpengaruh terhadap nyawanya, dan tanda-tanda vital stabil.
3. Hijau: dapat dilakukan rawat jalan.
4. Hitam: korban sudah meninggal dunia atau tanda vital menghilang.
Gambar 1. Guidelines CDC tahun 2011 menentukan triage pada pasien yang mengalami
trauma (Sasser et al., 2012).

B.Primary
Survey,
Adjunct
Primary
Survey,
dan
Secondary
Survey
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
1.
Primary Survey
a. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
a) Mengenal patensi
airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat
dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang
rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal dan pasang airway definitif
sesuai indikasi
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap
penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan
diatas klavikula.
5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
a) Buka leher dan dada
penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Tentukan laju dan
dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi
leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea,
ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan
tanda-tanda cedera lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk
menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks
bilateral
2) Pengelolaan
a) Pemberian oksigen
konsentrasi tinggi (nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
c. Circulation dengan kontrol perdarahan
1) Penilaian
a) Mengetahui sumber
perdarahan eksternal yang fatal
b) Mengetahui sumber
perdarahan internal
c) Periksa nadi :
kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya
pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif
segera.
d) Periksa warna kulit,
kenali tanda-tanda sianosis.
e) Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta
konsultasi pada ahli bedah.
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah
untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia
subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-
pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f) Cegah hipotermia
3) Evaluasi
d. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi
tanda-tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan
circulation.
e. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan
yang cukup hangat.
RESUSITASI
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian
cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan
tetesan cepat.
c. Evaluasi resusitasi
cairan
1) Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal.
2) Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan
produksi urin ) serta awasi tanda-tanda syok
d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
1) Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih
diperlukan
2) Respon Sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah.
3) Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung
atau kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya
2. Adjunct Primary Survey
a. Periksa vital sign: nadi, tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi napas
b. Pasang EKG
1) Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai
adanya hipoksia dan hipoperfusi
2) Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia
c. Pasang kateter uretra
1) Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi pemasangan
kateter urine
2) Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH,
jangan dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada
bagian bedah
3) Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine
4) Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginjal
dan hemodinamik penderita
5) Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1
ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi
d. Pasang kateter lambung
1) Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma maksilofacial yang
merupakan kontraindikasi pemasangan nasogastric tube, gunakan orogastric
tube.
2) Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena
bahaya aspirasi bila pasien muntah.
e. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium
Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah,
Analisis Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan
laboratorium darah.
f. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST
1) Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral, menggunakan mesin
x-ray portabel dan atau FAST bila terdapat kecurigaan trauma abdomen.
2) Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat
proses resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat
secondary survey.
3) Pada wanita hamil, foto rotgen yang mutlak diperlukan, tetap harus
dilakukan.
3. Secondary Survey
a. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat :
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
b. Pemeriksaan Fisik (Pemeriksaan dilakukan dari head to toe)

1. HEENT (Head, eyes, ears, nose and throat)


Nilai bukti fraktur basila adanya Battles sign (ekimosis pada
mastoid), raccoon eyes ( ekimosis pada mata) atau hemotimpani ( darah
di belakang eardrum)
Nilai adanya depresi fraktur tengkorak dengan palpasi hati-hati, benda
asing dan fragment tulang, jangan dimanipulasi!
Nilai cedera wajah dengan palpasi tulang wajah
Lihat adanya laserasi
Tentukan kemampuan visual dan nilai fungsi dan ukuran pupil, cedera
pada struktur mata
Nilai septum nasal jika mungkin ada hematoma

2. Cervical Spine/Neck
Palpasi cervical spine
Cari adanya penetrating injury
Evaluasi emfisema subkutis

3. Chest
Palpasi sternum, klavikula dan costae untuk adanya krepitasi atau
tenderness, emfisema subkutis
Cari adanya memar atau deformitas

4. Abdomen
Nilai adanya distensi, nyeri, rebound tenderness
Ekimosis pada pinggul mungkin perdarahan retroperitoneal
Adanya seat belt sing resiko injury intraperitoneal

5. Back
Palpasi vertebra untuk kemungkinan adanya nyeri pada prosesus
Nilai adanya cedera tersembunyi di aksila, di bawah cervical collar dan di
regio gluteal
Pelvis
Palpasi simfisis pubis -> krepitasi atau pelebaran

Ada fraktur atau tidak

6. Perineum
Ada tidaknya ekimosis, fraktur atau urethral disruption

7. Urethra
Ada tidak darah di urethral meatus

8. Rectum
pemeriksaan rectal diperlukan untuk menilai tonus sfingter selama
pemeriksaan neurologist
fraktur pelvis mungkin menyebabkan laserasi dinding rectal dan
perdarahan rectal
jika pada pemeriksaan dengan jari didapat darah maka curiga ada
perdarahan usus
9. Vagina
Untuk mencarai adanya fraktur, laserasi dan darah
10. Ekstremitas
Re-check status vaskuler dari masing-masing ekstremitas, termasuk
pulsasi, warna, pengisian kapiler, dan temperatur
Inspeksi setiap inci dan palpasi setiap tulang dan cek gerakan sendi.
Cek adanya deformitas, krepitasi, nyeri
11. Neurologic
Ulangi penialain GCS, reevaluasi pupil, pemeriksaan nervus sensoris dan
motorik, refleks tendon dan respon plantar
B.Thoracosentesis
Indikasi:
1. Efusi parapneumonik yang mengalami komplikasi/empiema
2. Mengurangi sesak nafas
3. Evaluasi dasar dari penyakit paru kronik

Hasil:
1. Normal: jumlah fluidanya sedikit, tidak berwarna/kuning pucat, kurang dari 20 mL
2. Abnormal: jumlah fluidanya banyak, terdapat transudat (sel darah putih jumlahnya
sedikit, LDH sedikit, jumlah protein turun karena sirosis, gagal jantung, sindrom
nefrotik) / eksudat (karena penyakit infeksi, trauma dada, emboli paru)

5. Diagnosis banding
a. Pneumothorax dan Emfisema sub kutis

Pneumothorax terjadi karena ada hubungan terbuka antara rongga dada dan
dunia luar. Hubungan mungkin melalui luka di dinding dada yang menembus pleura
parietalis atau melalui luka dijalan nafas yang sampai ke pleura viseralis. Jika luka
penyebab tetap terbuka, paru akan mneguncup karena jaringan paru bersifat elastic
karena jaringan paru bersifat elastic dan karena tidak ada tekanan negative yang
menyedot (kolaps). Gejala dan tanda klinisnya adalah nyeri dan sesak nafas.
Pemeriksaan fisik didapatkan dada tampak asimetris, suara fremitus menurun atau
menghilang.
Jika terjadi mekanisme katup pada luka di dinding thoraks atau luka di pleura
visceralis, timbul pneumothorax desak. Tekanan didalam rongga pleura akan semakin
tinggi karena penderita memaksakan diri inspirasi kuat untuk memperoleh zat asam,
tetapi ketika ekspirasi udara tidak dapat keluar. Inspirasi paksaan ini akan menambah
tekanan sehingga makin mendesak mediastinum ke sisi yang sehat dan memperburuk
keadaan umum karena paru sehat tertekan. Karena pembuluh darah besar, terutama
vena cava superior et inferior terdorong atau telipat sehingga darah tidak bisa kembali
ke jantung yang bisa menyebabkan kematian.
Pada pneumothorax desak traumatik dapat terjadi emfisema. Karena tekanan
tinggi di rongga pleura, udara ditekan masuk ke jaringan lunak melalui luka dan naik
ke wajah. Leher dan wajah membengkak seperti pada udem hebat. Pada perabaan
terdapat krepitasi yang mungkin meluas ke jaringan sub kutis thorax

b. Fraktur costae
Fraktur costae dibagi menjadi dua yaitu fraktur tunggal dan fraktur multiple.
Pada fraktur multiple dibagi menjadi gerakan dan bentuk yang masih memadai
atau tidak yang sering disebut dada gail. Kriteria dada gail yaitu :
a. Beberapa costae pada dua tempat yang berurutan dengan dinding luka
terbuka
b. Ketika menarik nafas, rongga dada mengembang dan dindingnya meluas.
Segmen yang terlepas tidak turut mengembang bahkan tertarik ke dalam
oleh daya tarik elastic jaringan paru yang mneyebabkantekanan negative
rongga pleura. Oleh karena itu, mediastinum akan tertarik ke sisi yang sehat
c. Ketika ekspirasi, dinding thorax kembali ke sikap istirahat dan segmen
yang lepas cenderung menonjol keluar, apalagi jika ekspirasi diusahakan
aktif karena sesak nafas dan hipoksemia. Mediastinum bergerak kembali ke
sisi yang cedera. Jadi, segmen yang lepas menunjukkan gerak paradox,
sedangkan mediastinum menunjukkan gerak undulasi
d. Pada patah tulang sternum yang disertai patahnya tulang rawan atau
terlepasnya hubungan osteokondral iga, terjadi juga pelepasan segmen
sehingga terjadi dada gail

Diagnosis fraktur ditentukan berdasarkan gejala dan tanda nyeri local.


Nyerinya berupa nyeri local dan nyeri kompresi kiri-kanan atau muka-
belakang dan nyeri pada gerakan nafas. Penyulit pada fraktur costae adalah
pneumonia, pneumothoraks dan hemothorax. Pneumonia disebabkan oleh
gangguan gerakan nafas dan gangguan batuk. Pneumothoraks dan
hemothoraks terjadi karena tusukan patah tulang pada pleura parietalis
dan/atau pleura visceralis. Luka pada pleura visceralis menyebabkan
hemothoraks dan/atau pneumothorax sedangkan luka pada pleura parietalis
mneyebabkan hemothoraks. Costae I dan II jarang oatah karena letaknya di
atas dan tunganya pendek, lebar dan kuat. Apabila kedua ini patah, pasti
penderita mengalami cedera berat

6. Diagnosis
Kemungkinan pasien dalam skenario ini mengalami Tension Pneumothorax
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki berusia 35 tahun, 3 jam sebelum masuk rumah sakit , ia


mengendarai sepada motor dengan kecepatan tinggi dan menabrak pohon ketika menghindari
hewan yang melintas, ia terjatuh dengan dada terbentur stang motor dan nyeri pada bahu kiri.
Dari pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15, nafas cepat dan dangkal, tidak ada suara
tambahan seperti gurgling atau snoring. Vital sign: RR 32x/mnt, nadi 120x/mnt, TD 90/70
mmHg, suhu 370C.
Waktu kurang lebih 3 jam disini menunjukkan distribusi kematian trimodal
penanganan pada pasien trauma yaitu pada puncak periode kedua yang harus segera
memerlukan penilaian dan tindakan resusitasi yang cepat harus dilakukan pada jam-jam
pertama yang merupakan prinsip penanggulangan pada kasus trauma. Tidak adanya riwayat
pingsan dan muntah berarti pasien tidak mengalami trauma pada kepala yang menyebabkan
peningkatan tekanan intra kranial ataupun trauma pada abdomen yang mengenai gaster
pasien sehingga bisa menyebabkan muntah.
Pada primary survey, airway bebas tidak ada obstruksi karena pasien masih bisa
bernapas bebas. Pada pemeriksaan breathing, terdapat peningkatan RRnya 32x/mnt tetapi
tidak ditemukan suara gurgling ataupun snoring yang menandakan tidak ada timbunan
cairan pada jalan napas. Jika airway tidak ada masalah maka masalah breathing ini
dipastikan karena ada gangguan dari paru ataupun organ dalam. Pemeriksaan circulation
dilakukan untuk menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan
nafas bebas dan pernafasan cukup.
Dari pemeriksaan paru didapatkan jejas di hemithorax dextra, akibat trauma, maka
jejas ini nantinya akan mengganggu pernapasan pasien. Terbukti dengan pergerakan dada
kanan yang tertinggal. Kemudian berdasarkan perkusi yang hipersonor menunjukkan bahwa
paru terisi dengan udara yang banyak karena normal perkusi paru adalah sonor. Pada
auskultasi suara dasar vesikuler peumothorax akibat adanya jejas dada kanan akibat tebentur
stang sepeda motor.
Tension pneumothorax menyebabkan cavum pleura terisi udara, akibatnya adalah
jejas mengenai pleura sehingga ada jalan udara masuk ke dalam cavum pleura, menyebabkan
parunya kolaps dan mengecil. Masuknya udara yang cukup banyak ini akan menggeser letak
jantung dan trachea ke sisi yang kontralateral. Kemudian dokter melakukan needle
thoracocentesis untuk mengeluarkan akumulasi udara dari cavum pleura.
Regio bahu kiri terdapat jejas, edema, deformitas, nyeri tekan dan krepitasi. Tidak
didapatkan perdarahan aktif. Kemungkinan terdapat fraktur tertutup pada bahu kiri sehingga
tindakan imobilisasi diperlukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi nyeri pada bahu
kiri. Penanganan lebih lanjut pada regio dilakukan setelah dokter dapat mengatasi keadaan
tension penumothorax pasien.
Pemeriksaan disability didapatkan GCS 15 yang menunjukkan kondisi kesadaran
pasien tidak terganggu dan menyingkirkan kecurigaan adanya trauma pada kepala. Pada
pemeriksaan environment/exposure semua pakaian pasien dibuka agar dapat dinilai kelainan
yang mungkin terlewat pada saat inspeksi keadaan umum pasien pertama kali. Dinilai adanya
kelainan yang sifatnya life threatening. Pada adjunct primary survey dilakukan pemeriksaan
foto rontgen Cervikal lateral untuk menyingkirkan kecurigaan cidera cervical, Thorax AP
untuk mengetahui ada atau tidak trauma tulang belakang, dan keadaan cavum thorax.
Pemeriksaan radiologi ini dapat dilakukan setelah keadaan emergency teratasi.

Pada secondary survey dilakukan head to toe examination yaitu pemeriksaan yang
dilakukan dari kepala sampai kaki untuk melihat adanya kelainan. Pemeriksaan ini dilakukan
ketika airway, breathing, dan circulation pasien sudah stabil. Penatalaksanaan awal pasien di
ruang resusitasi pada umumnya sesuai dengan tata cara penanganan pasien trauma yaitu
mulai dari tahapan primary survey, resusitasi, secondary survey dan pemeriksaan penunjang.
Masalah yang pertama kali dihadapi (primary survey) adalah tension pneumothorax
dan fraktur pada regio bahu. Setelah tindakan resusitasi dilakukan maka masuk tahapan
secondary survey guna menentukan diagnosis pasti dengan melakukan pemeriksaan fisis
yang menyeluruh diikuti dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologis yang memerlukan
informed consent dari pasien atau keluarga pasien. Pemeriksaan laboratorium dilakukan
setelah secondary survey dikerjakan termasuk pemeriksaan analisis gas darah. Analisis gas
darah diperlukan untuk menetukan apakah pasien dengan trauma thoraxs harus dilakukan
intubasi atau tidak.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
1. Pasien mengalami tension pneumothorax sehingga perlu penanganan yang cepat dan
tepat
2. Tindakan dokter umum dalam skenario sudah tepat dalam mengatasi pasien trauma

B. SARAN
1. Saran untuk skenario
a. Perlunya penanganan yang sesegera mungkin setelah terjadi trauma akibat
kecelakaan
b. Kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas cukup tinggi, sehingga disarankan bagi
pengendara untuk lebih berhati-hati lagi agar bisa menekan angka kecelakaan dan
trauma akibat kecelakaan lalu lintas.
2. Saran untuk kelompok:
a. Pelaksanaan tutorial juga sudah cukup baik. Namun disarankan peran serta lebih
aktif dari mahasiswa sehingga semua Learning Objective dapat diselesaikan dengan
baik.
b. Ketua kelompok sebaiknya mengatur jalannya diskusi dan memperingatkan
anggotanya apabila ada yang kurang aktif atau kurang memperhatikan jalannya
diskusi.
c. Anggota kelompok sebaiknya saling menghargai dan memberikan kesempatan
anggota yang lain untuk mengutarakan pendapat

DAFTAR PUSTAKA

Anderson SP, Wilson LM (200). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jilid I.
Edisi ke 4. Jakarta: EGC.
Auckland District Health Board (2011). Secondary Survey For Trauma.
http://www.adhb.govt.nz/trauma/T_guidelines/secondary_survey.htm. Diakses April
2015.
Barnawi H dan Eko B (2006). PneumoThoraxs spontan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I,Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke
4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Brandler ES (2010). Cardiogenic shock in emergency medicine.
http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment. Diakses April 2015
Demetriades D. 2009. Assessment and management of trauma 5th edition. Department of
surgery university of southern california.
Doegoes LM (2009). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian Keperawatan. Jakarta :
EGC.
Hudak CM (2009). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Jain DG, Gosavi SN, Jain DD (2008). Understanding and Managing Tension Pneumothorax.
JIACM ;9(1): 42-50
Khan AN .(2008). Thorax and Trauma. http://emedicine.medscape.com/article/357007-
overview. Diakses April 2015.
Pusponegoro AD (2007) . Ilmu Bedah. Jakarta : FKUI.

Sasser SM, Hunt RC, Faul M, Sugerman D, Pearson WS, Dulski T, et al. (2012). Guidelines
for Field Triage of Injured Patients: Recommendations of the National Expert Panel on
Field Triage, 2011. CDC MMWR, 61:1.
Sjamsuhidajat R, De Jong (2010). Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai