Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

SINDROM NEFRITIK AKUT

Disusun Oleh
Adila Nurhadiya

Pembimbing
dr. Hj. Nurvita Susanto, SpA
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. F
Usia : 10 tahun
Alamat : Cipedung
Masuk RS : 25 Februari 2017

I. Keluhan Utama
Bengkak pada wajah, tangan dan kaki

II. Riwayat Penyakit Sekarang


Anak diantar oleh orangtuanya ke poliklinik aster karena bengkak pada wajah,
tangan, dan kaki sejak 1 hari SMRS. Keluhan bengkak mendadak timbul ketika pagi hari
saat os bangun tidur. Keluhn bengkak diawali di bagian wajah, kemudian ke bagian kaki
dan tangan . Keluhan juga disertai BAK menjadi sedikit dan jarang sejak 1 hari SMRS.
Keluhan BAK berwarna merah atau seperti air cucian daging tidak diketahui karena
pasien tidak memeperhatikan warna urin, namun saat dilakukan pemerikaan urin di
poliklinik warna urin agak kemerahan. Keluhan tidak disertai pusing, muntah, kejang,
maupun penurunan kesadaran. Keluhan BAK nyeri, BAK terasa panas, maupun BAK
keluar seperti batu/ pasir disangkal oleh pasien. Keluhan bengkak dan BAK berwarna
merah seperti ini baru pertama kali dikeluhkan oleh pasien.

III. RIwayat Penyakit Dahulu


Riwayat batuk, pilek, nyeri menelan, maupun panas badan sebelum munculnya
gejala disangkal oleh penderita. Namun sembilan hari sebelum munculnya bengkak,
pasien mengeluhkan terdapat luka yang bernanah pada jari, akibat mencabut kulit
disekitar kuku.
Riwayat bengkak-bengkak dan BAK kemerahan sebelumnya disangkal oleh penderita.

IV. Riwayat Pengobatan


Pasien telah berobat ke puskesmas untuk mengobati luka yang terdapat pada
jarinya. Oleh puskesmas diberikan 3 jenis obat, namun penderita maupun orang tua tidak
mengetahui jenis obat yang diberikan, namun hingga dibawa berobat ke poliklinik aster
luka belum sembuh, masih tampak basah dan bernanah.

V. Riwayat Kehamilan
Morbiditas Anemia (-), hipertensi (-), proteinuria (-),
kehamilan diabetes melitus (-), penyakit jantung (-),
penyakit paru (-), merokok (-), infeksi (-),
Kehamila
minum alkohol (-)
n
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke bidan setiap bulannya. Riwayat
imunisasi TT (+) 2 x, konsumsi suplemen
selama kehamilan (+) namun jarang diminum.
Tempat persalinan Bidan daerah katapang

Kelahiran Penolong persalinan Bidan


Cara persalinan Spontan
Masa gestasi Cukup bulan (9 bulan)
Keadaan bayi Berat lahir: 2900 gram
Panjang lahir: 54 cm
Lingkar kepala : (ibu pasien tidak ingat)
Langsung menangis (+)
Kemerahan: (+)
Nilai APGAR: (ibu pasien tidak tahu)
Kelainan bawaan: (-)

VI. Riwayat Makanan


Usia ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
06 ASI dan Susu - - -
Formula
6 12 ASI dan Susu - + -
Formula
12 18 ASI dan Susu + + +
Formula
18 24 ASI dan Susu + + +
Formula

Riwayat makanan diatas 2 tahun

Frekuensi Frekuensi

Nasi 2 x 1 porsi Telur 2 hari 1 butir

Sayur 1x1 porsi Tahu/Tempe 3x 2 potong

Daging 2hari 1 potong


VII. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
Hepatitis 0 bulan 1 bulan 6 bulan
B
Polio 0 2 bulan 4 bulan -
bula
n
BCG 2 bulan
DPT/PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan 5 th
Campak 9 bulan 6 th
Hib 2 bulan 4 bulan 6 bulan

VIII. Pemeriksaan Fisik


Status Generlis
Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan gizi : Cukup
Data antropometri
Berat badan : 25 kg
Tinggi badan : 125 cm
Status Gizi (dengan menggunakan penghitungan Body Mass Index):

BMI = 25 / (1,25)2 = 16
BMI/U = 0 s/d -1 SD
Tanda Vital
Tekanan Darah = 140/100 mmHg
Nadi = 104 x/menit
Respirasi = 26x/menit, reguler
Suhu = 37,2 C
Wajah
Puffy face :-/-
Rambut
Rambut hitam, lurus, dan tidak mudah dicabut
Mata
Sklera ikterik : Tidak ada Konjungtiva anemis : /
Edema palpebra : Tidak ada Pupil : 2 mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : Langsung ada/ada, tidak langsung ada/ada
Telinga
Bentuk : Normotia Nyeri tarik aurikula : Tidak ada
Nyeri tekan tragus : Tidak ada
Hidung
Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : Tidak ada
Sekret : Tidak ada Deviasi septum : Tidak ada
Bibir
Mukosa berwarna merah muda , tidak sianosis
Mulut
Oral hygiene baik
Lidah
Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, tidak tampak hiperemis, tidak
tampak atrofi papil , lidah kotor (-)

Tenggorokan
Dinding posterior faring tidak hiperemis, uvula terletak di tengah, ukuran
tonsil T2/T2 tidak hiperemis, kripta tidak melebar, tidak ada detritus
Leher
Bentuk tidak tampak kelainan, tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba
pembesaran KGB
Thoraks
Bentuk dada datar dan gerak statis dan dinamis
COR : Bunyi Jantung Murni Regular, Murmur (-) Gallop (-)
Pulmonal :
Pergerakan dada simetris kanan dan kiri
Vocal fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor kanan = kiri
Vesicular Breath Sound kanan = kiri, Rhonki -/- Wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada kelainan kulit
Auskultasi : Bising usus(+) normal
Palpasi : Soepel, lembut, turgor normal, nyeri tekan epigastrium (+)
Hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Suara timpani pada keempat kuadran abdomen
Pekak samping/ pekak pindah (-/-)
Genitalia
Jenis kelamin : perempuan

Ekstremitas Atas dan Bawah


Inspeksi : simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan kaki,
serta sikap badan.
Terdapat luka di jari kedua tangan kanan, tampak kering, nanah (-), darah (-)
Palpasi : akral hangat pada keempat ekstremitas, capillary refill time < 2 detik
edema minimal+/+ a/r dorsum pedis

IX. Pemeriksaan Laboratorium


Darah Rutin ( tanggal 25 Februari 2017)
Hematologi Hasil Nilai normal
Hemoglobin 11,4 g/dL () 12-16 g/dL
Leukosit 6.700/mm3 5.000-12.000/mm3
Trombosit 291.000/mm3 150.000-400.000/mm3
Hematokrit 35 % 37-43%

Kimia Klinik ( tanggal 25 Februari 2017)


Protein Total 5,30 gr/dl ()
Albumin 2,80 gr/dl ()
Globulin 2,50 gr/dl ()
Ureum 68,5mg/dl ()
Kreatinin 0,66 mg/dl
Kolesterol total 198,8 mg/dl

Pemeriksaan Urin
Urine Lengkap 25/02/2017 01/03/2017 04/03/2017
Makroskopis
Warna Kuning Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Agak keruh Jernih
Kimia Urin
pH 6,0 5,0 7,0
Berat Jenis 1020 1020 1005
Protein +3 +3 TRACE
Reduksi Negatif Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif Negatif
Mikroskopik Urin
Leukosit 46 68 13
Eritrosit >20 >20 >20
Epitel 1-3 2-5 02
Silinder Negatif Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif Negatif
Lain-lain - - -

PEMERIKSAAN IMUNSOEROLOGI ( tanggal 28 Februari 2017)


Pemeriksaan imunoserologi Hasil
ASTO Negatif

X. Diagnosis Bandung
Sindrom Nefritik Akut ( Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus)
Sindrom Nefrotik

XI. Diagnosa Kerja


Sindrom Nefritik Akut

XII. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan kadar komplemen C3
Pemeriksaan apusan dari kulit

XIII. Penatalaksanaan
A. Non Farmakologis
Istirahat
Diet
Pembatasan asupan garam
Pengaturan asupan cairan
B. Farmakologis
Antibiotik
Amoksisilin 50mg/kgbb/hari = 3 x 500 mg po selama 10 hari
Eritromisin 30 mg/kgbb/hari = 3 x 250 mg po selama 10 hari
Obat Anti Hipertensi
Kaptopril (0,32 mg/kgBB/hr) = 3 x 12,5 mg po
Furosemid 1 mg/kgbb/kali = 3x25 mg po

XIV. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Penyakit GNAPS ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak
ada komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Pada
kasus ini tidak terdapat tanda dan gejala ke arah komplikasi, sehingga pasien
dapat sembuh sempurna, dan tidak terdapat kelainan di kemudian hari.
Quo ad funtionam : dubia ad bonam
Walaupun prognosis GNAPS baik, tetapi dalam fase akut dapat terjadi gangguan
ginjal akut (Acute kidney injury), yang apabila berlanjut dapat menjadi gangguan
ginjal kronik. Dalam kasus ini setelah perawatan selama 2 hari, pasien
menunjukan jumlah diuresis dalam batas normal serta tidak terdapat peningkatan
ureum dan kreatinin yang signifikan.
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala
laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12
bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang
dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun
secara histologik atau laboratorik.

PEMBAHASAN

Perbedaan Sindrom Nefrotik dengan Glomerulonefritis Akut


A. Sindroma Nefritik Akut
I. Definisi
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi
menunjukkan proliferasi & inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A -
hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria,
edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.
Sindrom nefritik akut (SNA): suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria,
hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria & hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara
akut.
Glomerulonefritis akut (GNA) merupakan suatu istilah yang lebih bersifat umum
dan lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa proliferasi & inflamasi sel
glomeruli akibat proses imunologik. Dalam kepustakaan istilah GNA dan SNA sering
digunakan secara bergantian. GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik,
sedangkan SNA lebih bersifat klinik. Dalam kepustakaan disebutkan bahwa selain
GNAPS, banyak penyakit yang juga memberikan gejala nefritik seperti hematuria,
edema.

II. Manifestasti Klinis


Glomerulonefritis akut pascastreptokokus (GNAPS) lebih sering terjadi pada anak
usia 615th dan jarang pada umur di bawah 2 th. GNAPS didahului oleh infeksi
streptokokus hemolitikus grup A melalui infeksi saluran pernapasan akut (45,8%) atau
infeksi kulit (31,6%) melalui periode laten 12 minggu atau 3 minggu.
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala
yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik. Bentuk
asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria
mikroskopik yang disertai kontak dengan penderita GNAPS simptomatik.
Pasien yang hanya memperlihatkan gejala nefritik saja, misalnya proteinuria dan
hematuria atau edema dan hematuria di diagnose sebagai sindrom nefritik akut,
mengingat gejala nefritik bukan hanya disebabkan oleh GNAPS, tetapi dapat pula
disebabkan oleh penyakit lain. Bila pada pemantauan selanjutnya ditemukan gejala dan
tanda yang menyokong diagnosis GNAPS (C3, ASO, dll), maka diagnosis menjadi
GNAPS. Hal ini penting diperhatikan, oleh karena ada pasien yang didiagnosis sebagai
GNAPS hanya berdasarkan gejala nefritik, ternyata merupakan penyakit sistemik yang
juga memperlihatkan gejala nefritik. Bila dijumpai full blown cases yaitu kasus dengan
gejala nefritik yang lengkap yaitu proteinuria, hematuria, edema, oliguria, dan hipertensi,
maka diagnosis GNAPS dapat ditegakkan, karena gejala tersebut merupakan gejala khas
untuk suatu GNAPS.
Secara klinis diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case
dengan gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan gejala-gejala khas
GNAPS. Untuk menunjang diagnosis klinis, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
ASTO () & C3 () dan pemeriksaan lain yang menunjukkan terdapat eritrositcast,
hematuria& proteinuria Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan (+) untuk streptokokus
hemolitikus grup A. Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan kelainan sedimen
urin (hematuria mikroskopis), proteinuria, dan terdapatepidemi/ kontak dengan penderita
GNAPS.

GNAPS simtomatik
1. Periode laten
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-
2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan
periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di
bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka
harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari
glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schenlein
atau Benign recurrent haematuria.
2. Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang
pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema
palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema
timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva)
menyerupai sindrom nefrotik.
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan
lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi,
karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang
pada siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitanfisik. Hal ini terjadi
karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak
tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat
badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke
jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, sedangkan hematuria
mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Urin tampak coklat kemerah-
merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola.
Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung
beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria
mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6
bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria
walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa
menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan
terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat
kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik
4. Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Umumnya
terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya
gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan
diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat
yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya
hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai
gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang.
5. Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi
urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau
timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya
timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis
pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan
adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek
6. Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi
pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat
hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi
walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan
terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan
air sehingga terjadi hypervolemia
a. Edema paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara
radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada
pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini
disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama dan
kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai bronkopnemonia
sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-
kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin.
Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus
GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama dan menghilang
bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik
toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya
kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan dengan
posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan (LDK).
Kardiomegali disertai dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung. Kelainan
ini bisa berdiri sendiri atau bersama-sama. Kelainan radiologik paru yang
ditemukan pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari bronkopnemonia,
pnemonia, atau peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan edema
paru. Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS biasanya
lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia
atau pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah
kelainan radiologik paru dapat membantu menegakkan diagnosis GNAPS
walaupun tidak patognomonik. Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti
paru yang disebabkan oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air
7. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan
anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema
atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.

III. Kelainan Laboratorium


1. Urin
Proteinuria : Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif
sampai dengan ++, jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat
proteinuria +++ harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik
atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya
kurang dari 2 gram/ m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu
dapat melebihi 2 gram/ m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak
selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya
proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan
sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari
6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang
menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang
memerlukan biopsi ginjal untuk membuktikannya
Hematuria mikroskopik : Hematuria mikroskopik merupakan kelainan
yang hampir selalu ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin ini
merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut
kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak
eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus
GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat
penting pada kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini
menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus (glomerulitis).
Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula dijumpai pada
penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut.
2. Darah
Reaksi serologis
Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis
terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul
antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASO),
antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B).
Titer ASO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa,
karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS.
Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang
meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus
sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14
sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu
ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer
ASO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan
oleh streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat akibat
pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini
titer ASO. Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi.
Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang
menghalangi pembentukan antibodi terhadap streptokokus sehingga
infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus
menyebabkan titer ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas
meningkat setelah infeksi melalui kulit.
Aktivitas komplemen : Komplemen serum hampir selalu menurun
pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam proses antigen-
antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di
antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C
globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara
pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 8092% kasus
GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai
menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan
penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya
gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini
masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang
dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau
nefritis lupus
Laju endap darah : LED umumnya meninggi pada fase akut dan
menurun setelah gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED
tidak dapat digunakan sebagai parameter kesembuhan GNAPS, karena
terdapat kasus GNAPS dengan

IV. Patofisiologi
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi
glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan
menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan
menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan
tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan
menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa
retensi Na dan air didukung oleh keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di
glomerulus
2. Overexpression dari epithelial sodium channel
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air,
sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang terjadi pada
GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang
mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti
diuretik hormon.

V. Diagnosis Banding
Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti
GNAPS.
1. Penyakit ginjal
a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat berbeda.
Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat penyakit ginjal
sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3 hari. Selain itu
adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas meninggi waktu
timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis.
b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom
Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan benign recurrent haematuria.
Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi. Hematuria mikroskopik
yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas
tanpa periode laten ataupun kalau ada berlangsung sangat singkat.
c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)
RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak. Kelainan ini
sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut dengan adanya
oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi pada GNAPS,
sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang menurun pada
GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan
prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal
2. Penyakit-penyakit sistemik
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura Henoch-
Schenlein, SLE, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga penyakit ini
dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria, proteinuria
dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok negatif dan titer ASO
normal. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang kelainan
histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat
fokal
3. Penyakit-penyakit infeksi
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh Group A
-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala GNA yang timbul
sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO. Diagnosis banding
dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit dasarnya.

VI. Komplikasi
1. Ensefalopati hipertensi (EH)
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun dapat
melewati tekanan darah 180/120 mmHg.
2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)
Pengobatan konservatif :
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan memberikan
kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/harib. Mengatur elektrolit :
Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%
Bila terjadi hiperkalemia diberikan :
Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari
Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
3. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering disangka
sebagai bronkopneumoni
4. Posterior leukoencephalopathy syndrome
5. Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan ensefalopati
hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit kepala, kejang,
halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal

VII. Penatalaksanaan
1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase
akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan
kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan
penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan
dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih
progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat
tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka
dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu
lama di tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari
temantemannya, sehingga dapat memberikan beban psikologik.
2. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan
makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam
dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi,
yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan
baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang
masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah
urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/ hari) + jumlah keperluan cairan
pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari)
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan
tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain
memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat
menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena
telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten
yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin
diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam
3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat
diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari
4. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan,
dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema
berat atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya
furosemid. Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.
b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi
ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan
darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang
atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2
mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat
tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi
nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat
diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau
hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi
klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau
diazoxide 5 mg/ kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut
dapat digabung dengan furosemid (1 3 mg/kgbb).
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian
kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus
diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca
glukonas atau Kayexalate untuk mengikat.

B. Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia (<2,5 g/dL), edema anasarka, dan hiperkolesterolemia. Etiologi sindrom
nefrotik dibagi menjadi primer/idiopatik dan sekunder. Sembilan puluh persen sindrom
nefrotik pada anak adalah sindroma nefrotik idiopatik (SNI) dan sisanya adalah sekunder.
Angka kejadian sindrom nefrotik berkisar 1-3 setiap 100.000 anak dengan usia dibawah 16
tahun. Delapan puluh persen memberikan respon terhadap pemberian terapi kortikosteroid.
Prevalensi sindrom nefrotik di indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio
antaralaki-laki dan perempuan berkisar 2:1, dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah
5 tahun.
Pada SN kelainan utama yang terjadi adalah proteinuria akibat meningkatnya
permeabilitas kapiler glomerulus. Secara normal, glomerular filtration barrier terdiri dari 3
layer:
1. Fenestrated endothelium
2. Glomerular basement membrane
3. Visceral glomerular epithelium, juga disebut sebagai podosit.
- Podosit berisi foot processes, yang akan membentuk barrier
- Small pores antara foot processes dihubungkan oleh slit diaphragms
- Podosit mempengaruhi struktur dan fungsi dari glomerular basement membrane
dan endothelial cells
Glomerulus diketahui memiliki muatan negatif akibat adanya residu asam sialat pada
glikokaliks yang melapisi baik epitel maupun endotel, serta adanya proteoglikan heparan
sulfat pada membrana basalis. Plasma albumin juga diketahui bermuatan negatif sehingga
terjadi charge barrier oleh glomerulus yang mencegah keluarnya protein melalui glomerulus.
Pada SN, muatan negatif tersebut sangat berkurang atau hilang sehingga charge barrier yang
menahan protein yang bermuatan negatif menjadi tidak ada. Podosit terdiri dari foot process
yang saling bertautan. Pada SN terjadi pendataran foot process sehingga lapisan luar menjadi
suatu lapisan yang dibentuk oleh sel skuamosa. Hilangnya muatan negatif dan pendataran
foot process menyebabkan terjadinya kebocoran protein yang diketahui dengan adanya
proteinuria. Pada umumnya, semakin tinggi proteinuria maka semakin rendah kadar albumin
dalam darah. Hipoalbuminemia juga diperparah dengan keadaan meningkatnya katabolisme
renal dan tidak cukupnya sintesis albumin oleh hepar (walaupun biasanya meningkat).
Kenapa terjadi edema pada nephrotic syndrome masih belum diketahui. Underfilling
hypothesis mempostulasi bahwa hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan
onkotik intravaskular, menyebabkan bocornya cairan darah ke interstitium, sehingga volume
intravaskular berkurang, sehingga menstimulasi aktivasi RAAS dan saraf simpatetik dan
pelepasan vasopressin (ADH), dan penekanan pelepasan atrial natiruretic peptide. Respon
neural dan hormonal ini menyebabkan adanya retensi air dan garam, mengembalikan volume
intravaskuler, sehingga terus-menerus memicu kebocoran cairan lebih lanjut ke interstitium.
Hyperlipidemia diyakini merupakan konsekuensi dari meningkatnya sintesis
lipoprotein yang dipicu oleh menurunnya tekanan onkotik, dan bisa diperburuk oleh
meningkatnya kehilangan protein yang meregulasi homeostasis lipid. LDL dan kolesterol
biasanya meningkat, VLDL dan trigliserida juga cenderung meningkat pada pasien dengan
severe disease. Hiperlipidemia dapat mempercepat aterosklerosis dan progresi penyakit renal.
Hypercoagulability, kemungkinan multifaktorial. Bisa disebabkan oleh banyaknya
kehilangan antithrombin III, level dan/ atau aktivitas yang berubah dari protein C dan S,
hiperfibrinogenemia karena meningkatnya sintesis di hepar, impaired fibrinolisis, dan
meningkatnya agregabilitas platelet. Pasien bisa mengalami spontaneous peripheral arterial
atau venous thrombosis, renal vein thrombosis, dan pulmonary embolism. Akut renal vein
thrombosis ditandai dengan flank atau abdominal pain, gross hematuria, left sided varicocele
(left testicular vein mengalir ke renal vein), increased proteinuria, dan penurunan akut GFR.
Chronic renal vein thrombosis biasanya asimtomatis. Renal vein thrombosis biasanya sering
(>40%) pada pasien dengan sindroma nefrotik disebabkan membranous glomerulopathy,
MPGN, dan amyloidosis.
Komplikasi metabolis lain: malnutrisi protein, dan iron-resistant microcytic hypochromic
anemia disebabkan kehilangan transferrin. Hipocalcemia dan secondaary hipoparathyroidism
dapat muncul sebagai konsekuensi kekurangan vitamin D karena ekskresi cholecalciferol-
binding protein, dan hilangnya thyroxin binding globulin menyebabkan thyroxine level turun.
Meningkatnya kemungkinan terkena infeksi kemungkinan karena rendahnya IgG.
Pasien juga diperkirakan dapat mengalami perubahan pada farmakokinetik pada obat-obatan
yang berikatan dengan protein plasma.
Tipe-tipe dari sindroma nefrotik primer:
1. Minimal Change Disease (Nil disease/ Lipoid nephrosis/ Foot process disease)
MCD terhitung sekitar 80% dari nephrotic syndrome pada anak-anak <16 tahun dan 20%
dewasa. Insidensi puncak antara 6-8 tahun. Pasien muncul dengan sindroma nefrotik dan
benign urinary sediment. 20-30% terdapat mikroskopik hematuria. Hipertensi dan renal
insufficiency jarang. Dalam mikroskopik cahaya, ukuran glomerulus dan arsitekturnya
tampak normal. Immunofluorescence studies biasanya negatif untuk Ig dan C3. Mikroskop
elektron menunjukkan adanya karakteristik diffuse effacement of the foot processes of
visceral epithelial cells.

Etiologi MCD masih belum diketahui dan kebanyakan kasus idiopathic. MCD
biasanya terjadi setelah URT infection, imunisasi, dan serangan atopik. Pasien dengan atopi
dan MCD memiliki insidensi HLA-B12 yang meningkat, mengarah kepada predisposisi
genetik. Pada anak, urin mengandung albumin, dan jumlah minimum dari higher molecular
weight protein seperti IgG dan 2-makroglobulin. Selektif proteinuria ini dengan foot process
effacement cenderung pada injury terhadap podocytes dan loss of fixed negative charge di
GBM.
2. Non Minimal Change Disease
Pada sindrom nefrotik dengan kelainan non minimal, sering didapatkan kadar lemak
darah yang normal, berdasarkan gambaran histopatologis sindrom nefrotik dengan kelainan
non minimal terdiri dari :
a. Focal Segemental Glomerulo Sclerosis
Berkisar antara 10-15% kasus, dan lebih sering pada dewasa. Pathognomic
morphologic lesion in FSGS adalah sklerosis dengan hyalinosis yang melibatkan
portions (segmental) lebih sedikit dari 50% (focal) glomerulus pada tissue section.
b. Membranoproliferative glomerulonephritis
Lebih sering terjadi pada sindroma nefritik yang melibatkan deposisi kompleks imun.
c. Membranous glomerulonephritis
Berkisar antara 2-4% pada anak-anak, tetapi tipe yang paling sering pada dewasa.
Pada tipe ini dapat terlihat penebalan basement membrane dan granular pattern pada
immunofluoroscence.
3. Tipe- tipe dari sindroma nefrotik sekunder:
Biasanya sindroma nefrotik sekunder diakibatkan karena adanya infeksi (Hepatitis B dan
C,HIV,malaria, syphilis), obat-obatan (NSAID, lithium), keganasan (limfoma, leukemia),
autoimun(SLE), dan kelainan sistem endokrin (DM).
4. Tipe-tipe dari sindroma nefrotik kongenital:
Finnish type (CNF)
Kasus yang paling sering terjadi. Diakibatkan karena mutasi gen NPHS1 yang mengkode
protein nephrin atau NPHS2 yang mengkode protein podocin.
Mutasi gen lain seperti CD2AP, TRPC6, WT1, ACTIN4, tRNA(leu), COQ2 yang dapat
mengakibatkan FSGS.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:
1. Urinalisis
Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada
infeksi saluran kemih
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, 1.1 trombosit,
hematokrit, LED)
Albumin dan kolesterol serum
Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwartz
Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA

BATASAN
Remisi. : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/ jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
Relaps. : proteinuria 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu
Relaps jarang. : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal
atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
Relaps sering. (frequent relaps): relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau 4 x dalam periode 1 tahun
Dependen steroid. : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan
Resisten steroid. : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
Sensitif steroid. : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu

PENATALAKSANAAN
A. Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein
akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.
B. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian
diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila
pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin
20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara
pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang.
C. Kortikosteroid
I. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid
Sebagian besar ahli menganjurkan induksi remisi sesuai protokol ISKDC, yaitu
pengobatan dilakukan dengan pemberian prednison 60 mg/mLPB/hr (setara dengan 2
mg/kgBB/hr), dalam dosis terbagi (maks. 80 mg/hr). Pemberian ini dilakukan sampai
remisi terjadiyangditandai dengan proteinuria () 3 hr berturut-turut. Selanjutnya
prednison 40 mg/mLPB selang sehari (alternate) dalam dosis tunggal untuk 4 mgg
berikutnya. Bila remisi tidak terjadi pada 4 mgg pertama, maka penderita tersebut
didiagnosis sebagai sindrom nefrotik resisten steroid
Pengobatan inisial kortikosteroid
Prednison dosis penuh (full dose/FD) 60 mg/mLPB/hr (2 mg/kgBB/hr) dibagi 3 dosis
diberikan setiap hr selama 4 mgg, dilanjutkan dengan prednison 40 mg/mLPB/hr (
dosis penuh), dapat diberikan secara alternating 40 mg/mLPB/hr selama 4 mgg. Bila
remisi tidak terjadi pada 4 mgg pertama, maka penderita tersebut didiagnosis sebagai
sindrom nefrotik resisten steroid
Pengobatan kambuh
Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg), dilanjutkan dengan
prednison alternating 40 mg/m2LPB/hr selama 4 mgg. Bila pengobatan dosis penuh
selama 4 mgg tidak juga terjadi remisi, maka penderita didiagnosis sebagai SN
resisten steroid dan harus diberikan terapi imunosupresif lain
II. Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
1. Siklofosfamid
Sebagai alkylating agent, siklofosfamid bersifat sitotoksik dan imunosupresif.
Siklofosfamid menunjukkan kemampuan memperpanjang masa remisi dan mencegah
kambuh sering. Indikasi penggunaan siklofosfamid yaitu bila terjadi kegagalan
mempertahankan remisi dengan menggunakan terapi prednison tanpa menyebabkan
keracunan steroid. Siklofosfamid diberikan 3 mg/kgBB/hr sebagai dosis tunggal
selama 12 mgg. Terapi prednison selang sehari tetap diberikan selama penggunaan
siklofosfamid ini Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek samping
yang mungkin terjadi antara lain: leukopenia, gangguan gastrointestinal, infeksi
varicella disseminata, sistitis hemoragik, alopesia, keganasan, azoospermia, dan
infertilitas. Selama terapi dengan siklofosfamid, kadar leukosit perlu diperiksa setiap
mgg, dan pengobatan perlu dihentikan dahulu bila kadar leukosit menjadi5.000/mm
Pengobatan SN kambuh sering
Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg), dilanjutkan dengan
prednison alternating 40 mg/mLPB/hr dan imunosupresan/sitostatik oral
(siklofosfamid 23 mg/kgBB/ hr)dosis tunggal selama 8 mgg
Pengobatan ketergantungan steroid
Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg), dilanjutkan
dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500750 mg/mLPB diberikan
melalui infus 1x sebulan selama 6 bl berturut-turut dan prednison alternating
40 mg/mLPB/hr selama 12 mgg. Kemudian prednison di-tapering-off dengan
dosis 1 mg/kgBB/hr selama 1 bl, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hr selama 1
bl (lamatapering-off2 bl)
Prednison dosis penuh setiap hr sampai remisi (maks. 4 mgg), dilanjutkan
dengan siklofosfamid oral 23 mg/kgBB/hr dosis tunggal selama 12 mgg dan
prednison alternating 40 mg/m2LPB/hr selama 12 mgg. Kemudian prednison
di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hr selama 1 bl dilanjutkan dengan 0,5
mg/kgBB/hr selama 1 bl (lama tapering-off2 bl)
2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid dalam menginduksi
remisi pada penderita ketergantungan steroid dan kambuh sering. Dosis yang
umumnya digunakan 0,2 mg/kgBB/hr selama 812 mgg
3. Levamisol
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmintik. Obat ini juga memengaruhi
fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya, tetapi sifatnya memberikan stimulasi
terhadap sel T. Dosis levamisol 2,5 mg/kgBB diberikan selang sehari selama 412
bulan.
4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai dengan steroid.
Umumnya terapi ini digunakan bila siklofosfamid kurang efektif. Dosis awal yang
digunakan yaitu 5 mg/kgBB/hr Dalam penggunaannya, kadarnya dalam darah perlu
dikontrol karena memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat menyebabkan
kelainan histologis bahkan pada penderita yang ginjalnya normal sekalipun. Efek
samping lain yang sering ditemukan yaitu hipertrikosis, hiperplasia gusi, gejala
gastrointestinal, dan hipertensi
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat
diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau 25-30
mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek
samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

Anda mungkin juga menyukai