Anda di halaman 1dari 13

Nama : Agung Bayu Saputra

NIM : F1D014048

Jurusan : Ilmu Politik

ANALISIS DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sentralisasi pengelolaan pendidikan nasional selama Indonesia merdeka,


ternyata telah menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh
tertinggal dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Isu-isu sentral yang
dihadapi bangsa Indonesia pada era dan pasca era reformasi mencakup pula
globalisasi yang makin merasuk dan menerpa dengan keras terhadap seluruh
aspek kehidupan, harus segera dijawab oleh bangsa Indonesia dengan
mempersiapkan tenaga pembangunan yang tangguh dan berwawasan global.
Globalisasi sebagai akibat berkembangnya teknologi informasi merupakan salah
satu karakteristik Abad 21 yang sangat signifikan. Isu ke dua terkait dengan
tantangan situasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sendiri untuk
melakukan reformasi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Isu ke tiga
berkaitan dengan otonomi daerah yang telah menciptakan kondisi baru untuk
melakukan pembaharuan di berbagai sektor pembangunan nasional, termasuk
sektor pendidikan. Perubahan di sektor pendidikan tidak saja berkait dengan
sistem kelembagaan dan program pendidikan, tetapi juga berkait dengan visi,
misi, dan peranannya dalam merespon tuntutan baru dewasa ini dengan wawasan
global, nasional, regional, dan lokal.
Untuk mengubah sistem pendidikan secara radikal tentu mengundang
problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan
yang tidak tepat. Pada era otonomi saat ini, hendaknya dapat menjadi harapan
baru bagi kita yang terlibat dalam pengembangan pendidikan agama. Hal penting
yang perlu diperhatikan dalam hal otonomi pendidikan adalah mewujudkan
organisasi pendidikan di seluruh kabupaten/kota yang lebih demokratis,
transparan, efisien, accountable, serta mendorong partisipasi masyarakat.
Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di
lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada
posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemeran utama
pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid
atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang
sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dari otonomni pendidikan di Indonesia?
2. Apa saja yang menjadi urgensi otonomi pendidikan di Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi masalah dalam menajalankan otonomi
pendidikan di Indonesia?

PEMBAHASAN
A. Konsep Otonomi Pendidikan
Reformasi 1998 menjadi babak baru dalam segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia, tak terkecuali dalam bidang pendidikan.
Era ini mendatangkan hawa perubahan pada arah kebijakan pendidikan nasional.
Kebijakan otonomi daerah telah menghasilkan kebijakan desentralisasi
pendidikan dan manajemen berbasis sekolah dimana masing-masing sekolah
diberikan keleluasaan untuk mengembangkan program yang relevan dengan
kebutuhan masyarakat.

Otonomi pendidikan memiliki pengertian luas, mencakup filosofi, tujuan,


format dan isi pendidikan maupun manajemen pendidikan itu sendiri. Pengertian
otonomi pendidikan bersifat filosofis, karena untuk mendapatkan landasan yang
kokoh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis dan universal
tentang hakikat otonomi.

Dalam konteks otonomi pendidikan, secara alamiah (nature) pendidikan


adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan
seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah, sehingga otonomi pendidikan
mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam mewujudkan fungsi
manajemen pendidikan kelembagaan. Sebagai sebuah bangsa yang plural, sudah
saatnya setiap daerah di negara ini melaksanakan program pendidikan yang
terbaik untuk daerahnya, sementara tugas pemerintah pusat hanya membuat
regulasi dan memberikan pengawasan serta bertanggung jawab sepenuhnya bagi
terlaksananya pendidikan nasional sebaik mungkin.

Sejarah perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa


yang demokratis kalau tidak dapat disebut liberal ketika pada saat ini
otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai dari UU No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, privatisasi perguruan tinggi
negeri dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui
PP No. 25 tahun 2000, sampai UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan
pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan
yang digariskan bagi pusat maupun daerah. Dalam konteks ini pula, pendidikan
berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual
yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis.

Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan, menurut


Tilar (dalam Marihot Manurung) mencakup enam aspek, yakni: Pengaturan
perimbangan kewenangan pusat dan daerah, Manajemen partisipasi masyarakat
dalam pendidikan, Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah,
Pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, Hubungan kemitraan
stakeholders pendidikan, Pengembangan infrastruktur sosial. 1

Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan


Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bab IV tentang Hak dan
Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah. Pada bagian
ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa Masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan, pasal 9: Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan
sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Begitu juga pada bagian

1 Marihot Manulang, Otonomi Pendidikan, http://pakguruonline.pendidikan.net/


keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat
(2): Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
lima belas tahun.2

Kebijakan pemerintah tentang desentralisasi (otonomi) sudah barang tentu


akan berimplikasi terhadap kebijakan daerah. Dalam perumusan kebijakan daerah
tidak hanya melibatkan tokoh-tokoh kunci saja, akan tetapi melibatkan semua
unsur, seperti pejabat struktural dan non-struktural, resmi dan tidak resmi,
langsung maupun tidak langsung mempunyai andil terhadap kebijakan tersebut.
Implikasi yang muncul dari kebijakan pemerintah tersebut juga akan melibatkan
banyak faktor. Tim Teknis Bappenas yang bekerja sama dengan Bank Dunia
mengemukakan bahwa konsep desentralisasi dan implikasinya sebagai berikut:

(1) implikasi administrasi, yakni pemberian kewenangan yang lebih besar


kepada daerah untuk ikut melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan
potensi dan kebutuhan setempat, (2) impilkasi kelembagaan, yakni kebutuhan
anak untuk meningkatkan kapasitas perencaan dan pelaksanaan unit-unit kerja
daerah, (3) implikasi keuangan, yakni kebutuhan dana yang lebih besar bagi
daerah untuk dapat melaksanakan fungsinya di bidang pembangunan, dan (4)
implikasi pendekatan perencanaan pendidikan, yakni kebutuhan untuk
memperkenalkan model pendekatan kewilayahan yang bermula dari bawah,
dengan melibatkan peran serta masyarakat semaksimal mungkin.3

B. Urgensi Otonomi Pendidikan


Dengan semangat demokratisasi, desentralisasi dan globalisasi, maka
dalam Undang-Undang Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, terdapat
paling kurang sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah dan

2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


Nasional

3 Sufyarma M., Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, Cet. ke-2,


(Bandung: Alfabeta CV, 2004). pp. 81-82
pemerintah daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam
pembangunan pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional
dan kepentingan lokal (daerah), sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan
dapat meningkatkan daya saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan
efektif. Mulai dari hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk
menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, sampai kepada hak
regulasi dalam mengatur sistem pendidikan nasional.
Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang
Sisdiknas Pasal 10 disebutkan: Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan: Pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pada Pasal 44 ayat (1) disebutkan:
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah. Ayat (3) pasal tersebut berbunyi: Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada
satuan pendidikan yang diselenggarkan oleh masyarakat. Selanjutnya pada Pasal
49 ayat (1) disebutkan: Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor
pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Ayat (4) berbunyi: Dana
pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan
dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.4
Sebenarnya masih banyak pasal yang menjelaskan peranan pemerintah dan
pemerintah daerah, namun dari beberapa pasal yang dijelaskan di atas, kiranya
cukup menggambarkan hak dan kewajiban pemerintah maupun pemerintah daerah
dalam sistem pendidikan nasional.
Otonomi pendidikan merupakan suatu keharusan. Hamijoyo (dalam
Sufyarma M.) mengemukakan perlunya otonomi pendidikan dilaksanan dengan
alasan-alasan berikut: (1) wilayah Indonesia yang secara geografis sangat luas dan

4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang


Sistem Pendidikan Nasional
beraneka ragam, (2) aneka ragam golongan dan lingkungan sosial, budya, agama,
ras dan etnik serta bahasa, disebabkan antara lain oleh perbedaan sejarah
perkembangan penduduk dengan segala aspek kehidupannya, (3) besarnya jumlah
dan banyaknya jenis populasi pendidikan yang tumbuh sesuai dengan
perkembangan ekonomi, iptek, perdagangan, dan sosial budaya, (4) perbedaan
lingkungan suasana yang mungkin saja menimbulkan asspirasi dan gaya hidup
yang berbeda antara wilayah satu dan lainnya, dan (5) perkembangan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya yang cepat dan dinamis menuntut penanganan
segala persoalan secara cepat dan dinamis pula.5
Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-undang
Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan
lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok
masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah,
berbeda satu sama lain.
Jika setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat
dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat laun kemelut-kemelut yang
mengitari dunia pendidikan kita selama ini dapat diatasi dan diantisipasi. Oleh
karena itu, untuk merealisasikan semua itu memerlukan dukungan dan kerjasama
dari semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak.
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan
nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai
dasar pendidikan mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi. Salah
satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai
diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah di beberapa
provinsi di Indonesia. Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi
daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004)
dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu
dan mendesak.

C. Permasalahan dalam Pelaksanaan Otonomi Pendidikan

5 Sufyarma M., op. cit. p. 70


Sejak digulirkannya otonomi pendidikan, ternyata pelaksanaannya belum
berjalan sebagaimana diharapkan, bahkan pemberlakuan otonomi justru membuat
banyak masalah. Menurut Marihot, ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan
pelaksanaan otonomi pendidikan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan,
yaitu: (1). Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat
kabupaten dan kota. (2).Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan
pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang
terbatas serta fasilitas yang tidak memadai. (3).Dana pendidikan dan APBD belum
memadai. (4).Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk
lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. (5).Otoritas
pimpinan, dalam hal ini Bupati dan Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah
kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya
sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama. (6).Kondisi setiap
daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan
disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki.6

Pelaksanaan otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai


dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik
dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum,
efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.
Dari penjabaran masalah diatas, kita dapat menganalisis bahwa pengertian
otonomi pendidikan sesungguhnya terkandung makna demokrasi dan keadilan
sosial, artinya pendidikan dilakukan secara demokrasi sehingga tujuan yang
diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan
masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.

Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa


(nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation
dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan
karena menyangkut sistem nilai-nilai (sistems of values) yang memberi warna dan
menjadi "semangat zaman" yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota-

6 Marihot Manulang, Loc. Cit.


anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan
negara. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah,
khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.

Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi suatu


bangsa yang dianutnya. Pancasila adalah dasar dan ideologi bangsa Indonesia
yang mempunyai fungsi dalam hidup dan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Pancasila menjadi pandangan hidup bangsa yang menjiwai segala aspek dalam
kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Karenanya sistem
pendidikan nasional Indonesia wajar apabila dijiwai, didasari dan mencerminkan
identitas Pancasila. Cita dan karsa bangsa Indonesia diusahakan secara
melembaga dalam sistem pendidikan nasioanal yang bertumpu dan dijiwai oleh
suatu keyakinan, pandangan hidup dan folosofi tertentu. Inilah dasar pikiran
mengapa filsafat pendidikan Pancasila merupakan tuntutan nasioanl dan sistem
filsafat pendidikan Pancasila adalah sub sistem dari sistem negara Pancasila.
Dengan memperhatikan fungsi pendidikan dalam membangun potensi bangsa,
khususnya dalam melestarikan kebudayaan dan kepribadian bangsa yang ada pada
akhirnya menentukan eksistensi dan martabat bangsa. maka sistem pendidikan
nasional dan filsafat pendidikan pancasila seyogyanya terbina secara optimal
supaya terjamin tegaknya martabat dan kepribadian bangsa. Filsafat pendidikan
Pancasila merupakan aspek rohaniah atau spiritual sistem pendidikan nasional,
tiada sistem pendidikan nasioanal tanpa filsafat pendidikan.

Dalam kaitan dengan reformasi pendidikan, maka apa yang menjadi


landasan filsafat dalam pendidikan adalah UUD 1945 pasal 31 ayat (1), yang
menyebutkan bahwa setiap anak Indonesia berhak untuk belajar. Dengan
demikian, maka berdasarkan landasan bahwa setiap anak itu adalah individu yang
berbeda satu dengan lainnya dengan beragam bakat dan watak, pengalaman
belajar harus menjadi pengaruh yang bersifat personal, bermakna dan beragam.
Konsekuensinya adalah bahwa paradigma pendidikan menuju sistem
desentralisasi dalam otonom daerah mengacu pada keharusan pendidikan
multikultur. Paradigma pendidikan multikultur mengisyaratkan bahwa individu
siswa belajar bersama dengan individu lain dalam suasana saling menghormati,
saling toleransi dan saling memahami.

Reformasi pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan


majemuk, sehingga memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dalam
tempo yang panjang. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi
pendidikan harus memberikan peluang bagi siapapun pelaku yang aktif dalam
pendidikan, untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan
peningkatan kualitas pendidikan. Reformasi pendidikan pada dasarnya
mempunyai tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih efektif dan efisien dalam
mencapai tujuan pendidikan nasional.

Dalam menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang harus


diperhatikan. Hummel (dalam Uyoh Sadulloh) mensyaratkan tiga nilai yang harus
dipertimbangkan dalam menentukan tujuan pendidikan, yaitu: autonomy, equity,
survival. Pertama, autonomy, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan
kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok, untuk dapat
hidup mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua
equity, berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan
kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan
berbudaya dan kehidupan ekonomi, dengan memberikan pendidikan dasar yang
sama. Ketiga, survival, yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin
pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.7

Desentralisasi pendidikan merupakan bagian dari kerangka otonomi


daerah yang berimplikasi pada perimbangan keuangan pusat-daerah, baik dari sisi
pendapatan maupun pengeluaran. Sesuai dengan arah otonomi, sumber
pembiayaan rutin dan pembangunan pendidikan harus bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota. Akan tetapi, minimnya
alokasi anggaran pendidikan di daerah merupakan salah satu bukti lemahnya
keberpihakan pemerintah kabupaten/kota dalam bidang pendidikan. Dari sekitar
370 kabupaten/kota di Indonesia, rata-rata memberi porsi anggaran sebesar 73
7 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Cet. keempat,
(Bandung: Alfabeta CV, 2007). p. 59
persen untuk belanja rutin pegawai, pejabat, dan DPRD. Hanya 27 persen untuk
pembangunan. Dari total anggaran pembangunan, bidang pendidikan rata-rata
hanya kebagian tiga persen. Keberpihakan ini perlu digarisbawahi karena untuk
mengejar ketertinggalan dari negara lain, Indonesia harus membenahi bidang
pendidikan. Laporan UNDP tahun 2002 menyebutkan, Human Development
Index (HDI, index pembangunan manusia) Indonesia berada pada peringkat 109
dari 174 negara yang diteliti.

Hal lain yang juga harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan otonomi
pendidikan adalah bahwa pelaksanaan otonomi pendidikan harus bersifat
accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu
dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan
institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi
tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang
sewenang-wenang. Ada kecenderungan para bupati/wali kota begitu bersemangat
untuk mengurusi semua bidang, termasuk bidang pendidikan. Namun, semangat
mereka tidak diimbangi dengan kesadaran akan konsekuensi dan tanggung
jawabnya. Yang dikejar adalah kucuran dana dari pusat, tanpa sadar bahwa hal itu
punya konsekuensi yang besar. Kewenangan mengelola pendidikan, misalnya,
harus diikuti upaya menciptakan iklim kondusif untuk pendidikan dasar-
menengah.

Prof. Dr. Sadu Wasistiono, Ketua Komisi Otonomi Daerah pada Asosiasi
Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, dalam sebuah kesempatan menilai bahwa
ada kecenderungan pemerintah kabupaten/kota mengintervensi pengangkatan
kepala sekolah. Sungguh sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan
manajemen berbasis sekolah (MBS). Padahal, konsep MBS pada awalnya dibuat
untuk menyeleraskan otonomi daerah dengan otonomi bidang pendidikan. Dalam
hal ini, para guru dan perwakilan masyarakat di setiap sekolah secara otonom
berhak memilih dan mengangkat dan memberhentikan kepala sekolah berdasarkan
kinerjanya. "Konsep MBS memang ideal, tetapi praktiknya terkacaukan oleh
paradigma sempit para birokrasi soal otonomi daerah," ujar Sadu.8

Staf ahli Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Ace Suryadi, Ph.D.


dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa di sebuah provinsi di luar Jawa,
kecenderungan bupati/wali kota berperilaku sebagai "raja-raja kecil" telah
mengangkangi otonomi sekolah. Rentang kendali birokrasi bukannya makin
sederhana, tetapi malah tambah rumit. Pembayaran gaji dan honor kelebihan jam
mengajar sering terlambat dari jadwal karena anggarannya tersangkut pada meja-
meja birokrasi di daerah. Bahkan, untuk kebijakan internal sekalipun, tidak jarang
perangkat bupati dan DPRD ikut campur tangan. Misalnya, untuk memecat siswa
yang nakal kepala sekolah harus berembuk dengan perangkat dinas pendidikan
dan DPRD. Kalau tidak ada koordinasi, kepala sekolah bisa dipersalahkan jika
muncul gejolak sosial sebagai buntut pemecatan itu.9 Melihat kenyataan itu,
pantaslah kita jika menggugat komitmen semua kalangan yang tadinya
menggebu-gebu menuntut desentralisasi. Semua pihak, terutama pemerintah
kabupaten/kota selaku ujung tombak otonomi daerah, perlu mencermati keadaan
riil di lapangan. Jangan sampai eforia otonomi justru melahirkan ketidakberaturan
pada bidang pendidikan.

8 Jalan Terjal Menuju Otonomi Pendidikan, http://www.polarhome.com/pipermail/ nasional-


m/2002-December/000518.html

9 Ibid.
A. Kesimpulan

Desentralisasi pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis terdepan dalam


berperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi
terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya.
Reformasi pendidikan merupakan realitas yang harus dilaksanakan, sehingga diharapkan
para pelaku maupun penyelenggara pendidikan harus proaktif, kritis dan mau berubah.
Belajar dari pengalaman sebelumnya yang sentralistik dan kurang demokratis membuat
bangsa ini menjadi terpuruk. Penyelenggaraan otonomi pendidikan sepenuh hati dan
konsisten dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa dan masyarakat yang berbudaya
dan berdaya saing tinggi sehingga bangsa ini duduk sejajar dengan bangsa-bangsa maju di
dunia. Pelaksanaan otonomi daerah yag berimplilkasi pada otonomi pendidikan
membawa dampak pada terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu
membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan
memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.

B. Saran

Berangkat dari ide otonomi pendidikan, muncul beberapa konsep sebagai solusi
dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaannya, yaitu :

1. Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah


2. Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
3. Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
4. Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
5. Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah

DAFTAR PUSTAKA

Ismail Eka Wijaya, Studi Komparatif Pendidikan di Kawasan Asia, EDUCARE: Jurnal
Pendidikan dan Budaya, http://educare.e-fkipunla.net

Jalan Terjal Menuju Otonomi Pendidikan, http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-


m/2002-December/000518.html

Marihot,Manulang.OtonomiPendidikan,http://pakguruonline.pendidikan.net/otonomi_pendidi
kan.html
Sufyarma M. Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, Cet. ke-2. Bandung: Alfabeta CV, 2004

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


Nasional

Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Cet. keempat, Bandung: Alfabeta CV, 2007

Anda mungkin juga menyukai