10 /05)
Musim dingin telah tiba, pohon-pohon yang biasa kulihat penuh dengan rerimbunan
daun di sepanjang jalan telah mengering dan penuh dengan salju dimana-mana. Aku
berencana untuk pergi bersama Carin, teman dekatku sejak di SMA, yang selalu menemaniku
di saat apapun aku merasa bosan. Kami hendak pergi ke arena ski yang
baru dibuka beberapa hari yang lalu di dekat penginapan kami, katanya
di sana fasilitas yang disediakan sangat bagus, selain itu di sana sedang
diadakan bazaar yang banyak menjual berbagai macam makanan hangat
mulai dari yang dibakar sampai dengan yang berkuah. Akupun tertarik
untuk dapat merasakannya sendiri. Sebenarnya Carin bukanlah orang
yang suka dengan permainan es seperti itu, tubuhnya yang mungil
membuatnya tidak dapat terlalu lama berada di cuaca sedingin di arena
ski itu. Tapi dengan keras kepala, ia berulang kali menolak laranganku
dan berkata bahwa dia tidak akan apa-apa.
Sesampainya kami di sana, kami melihat begitu banyak pengunjung yang sedang
mengantri di depan loket yang berjejer mulai dari loket nomor satu sampai loket paling
samping. Sambil menunggu barisan, aku melihat ke setiap sudut ruangan tunggu itu. Ternyata
peminat olahraga ski ini sangatlah banyak dan tidak mengenal usia. Kebanyakan pengunjung
terlihat gembira di saat sedang menunggu bahkan dengan nikmatnya ada yang mampu
menghabiskan waktunya berdiri di sepanjang barisan ini . Berbeda dengan itu, aku bukanlah
tipe orang yang sabar menunggu sesuatu dalam waktu lama apalagi hal itu sebenarnya tidak
penting bagiku.
Sampai kapan kita harus menunggu giliran kita ?! gerutu ku dengan sedikit
berteriak.
Sabar, sebentar lagi giliran kita kok. Lagipula kan mereka yang di depan sana hanya
membeli tiket, paling tidak itu tidak akan memakan waktu lama. jawabnya lembut dengan
maksud untuk membuatku lebih tenang.
Apa, Rin?! Apanya yang tidak lama? Coba kamu pikir, kita sudah berdiri di sini 10
menit dan parahnya barisan ini tidak berkurang sama sekali
Halah, itu sih hanya perasaanmu. Lihat ! 1 ... 2 orang.. 3.., jawab Carin santai
sambil menghitung jumlah orang yang masih mengantri di depannya.
Sudah,sudah! aku mau pergi sebentar ke bazzar sebelah. Paling tidak sedikit udara
segar di luar bisa membuat mood ku membaik. Kamu tunggu di sini sebentar ya. bentak ku
kesal.
Kemudian aku pun segera berlari ke luar ruangan itu menuju ke tempat bazaar
diadakan. Saat aku hendak membeli roti bakar di salah satu stand di sana, tak sengaja aku
melihat seorang anak laki-laki kecil sedang meminta-minta makanan kepada si penjaga stand
untuk ibunya yang sedang sakit di rumah. Berulang kali ia meminta dan meminta, tapi tak
ada satu katapun yang ditanggapi olehnya. Banyak
orang yang sedang berlalu lalang di situ tapi tak ada
seorangpun yang tergerak untuk menolongnya.
Akupun merasa tergerak untuk menolongnya. Tapi
tiba-tiba seorang pemuda berbaju hitam
menghampirinya dan memberikan sekantung penuh
berisi roti bakar yang diinginkan anak itu dari tadi. Tak sengaja kulihat bahwa uang satu-
satunya yang ia punya ternyata ia pakai untuk membelikan anak itu roti bakar. Padahal aku
tahu pemuda itu juga terlihat kelaparan.
Saat itu aku mulai berpikir arti peduli yang sesungguhnya. Aku tidak menyangka
bahwa di zaman yang seperti ini masih ada orang yang memiliki hati sebaik pemuda tadi.
Karena penasaran terhadap pemuda itu, akhirnya akupun mengikutinya.
Setelah melalui beberapa tempat, ternyata ia berhenti di suatu rumah kecil yang
berada di kawasan pedesaan yang cukup dalam. Kulihat tempat itu sebenarnya tidak layak
dihuni lagi. Atapnya sudah hampir rubuh sedangkan dindingnyapun banyak terdapat lubang
di tiap sisinya. Sungguh memprihatinkan. Tapi di tengah kehidupan yang serba sederhana itu,
ia mampu menjadi pribadi yang pekerja keras, selain itu pekerjaan yang digelutinya
semuanya halal. Lelaki impianku selama ini.
Oleh karena itu, aku berniat untuk sedikit membantunya dengan memberikan uang
seadanya kepada pemuda itu tapi di saat yang sama aku kehilangan ponsel dan dompet di
saku ku. Kelihatannya aku telah menjatuhkannya di suatu tempat sebelum sampai di tempat
ini.
Kemudian pemuda itu keluar dari pintu rumahnya dan memergoki ku telah
mengikutinya.
Apa yang sedang kamu lakukan di sini? Bukankah kamu gadis yang tadi hendak
membeli roti bakar?
Emm.. sebelumnya aku ingin minta maaf. Sebenarnya dari tadi aku mengikutimu
dari belakang karena merasa penasaran dengan kamu. Aku sempat melihat kamu menolong
anak kecik yang meminta-minta makanan tadi, aku takut tindakan yang kamu lakukan tadi
hanya sekedar sandiwara atau bahkan maksud buruk. Sekali lagi aku minta maaf atas
ketidaksopanan aku ini.
Sudahlah, tidak apa-apa. Aku juga tahu itu. Memang banyak orang yang mengira aku
adalah orang semacam itu, tapi sebenarnya aku orang baik kok, jelasnya sambil tersenyum
manis.
Omong-omong kelihatannya kamu sedang kehilangan sesuatu, aku bisa membantumu jika
kamu mau.
Iya, ponselku hilang. Dan buruknya aku tidak bisa kembali ke tempat bazaar tadi.
Temanku sedang menungguku di sana, aku khwawatir terjadi sesuatu padanya.
Sebenarnya dalam hatiku aku menyesal sekali atas kecerobohanku ini tapi aku tidak
bisa merepotkan kamu yang tidak ada kaitannya dengan ini. Tapi terima kasih atas
tawaranmu , kataku membalas senyumnya tadi sambil menahan air mata yang hendak
mengalir dari ujung kelopak mataku.
Kumerenungi tiap kata yang diucapkannya tadi. Tiba-tiba gejolak semangat yang ada
di dalam dirikupun muncul kembali.
Keesokan harinya, aku mengajak Carin pergi mengunjungi rumah si pemuda itu untuk
mengucapakan rasa terima kasih atas bantuannya kemarin. Tapi tanpa sepengetahuan kami,
rumah itu sudah dikepung oleh polisi. Usut punya usut ternyata pemuda itu dituduh mencuri
mobil milik atasan yang telah dipercayakan kepadanya. Dan saksi matanya adalah ketua
manajer di perusahaan itu. Selain itu di tempat kejadian menunjukkan bahwa semua bukti
mengarah kepada pemuda itu sebagai pelakunya. Tapi aku tidak semudah itu percaya,
kamipun mencoba mencari bukti untuk dapat membebaskannya.
Setelah lewat beberapa hari tanpa hasil, membuat kami sempat menyerah. Tapi setiap
kali kuteringat akan kebaikkan pemuda itu, akupun kembali berkobar-kobar. Carin juga
banyak membantuku, setiap malam ia berdoa meminta tuntunan Tuhan Yesus untuk dapat
menyelesaikan masalah ini. Yang bisa kulakukan juga berdoa dan percaya.
Pak Polisi bercerita kepadaku bahwa selama ini Carinlah yang banyak membantu
pihak polisi. Setiap hari ia menghabiskan waktu melakukan penyelidikan. Bahkan ia
seringkali terjatuh pingsan karena kekurangan istirahat. Aku terdiam sesaat merenungi bahwa
selama ini aku sudah terlalu egois dan tidak mempedulikan orang lain
Ada banyak orang yang peduli dengan aku tapi aku sendiri malah sibuk
dengan hidupku sndiri. Aku tahu penyesalan bukanlah jalan yang tepat.
Aku tidak akan pernah ingin kehilangan teman sebaik kamu,Rin. Terima kasih atas
semua pengorbananmu
Sama-sama Adelaide. Semoga hadiah ini bisa menjadi hadiah pertemanan terindah
kita di hidupmu. Dan ingat untuk tetap tersenyum, katanya santai seperti biasa.
Malam itu kami menangis dan tertawa bersama menghabiskan hari dengan bahagia
hanya berdua.