Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan

Dalam suatu lingkungan hidup yang baik, terjalin suatu interaksi yang

harmonis dan seimbang antar komponen-komponen lingkungan hidup. Stabilitas

keseimbangan dan keserasian interaksi antar komponen lingkungan hidup tersebut

tergantung pada usaha manusia. Karena manusia adalah komponen lingkungan

hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi lingkungan. Sebaliknya

lingkungan pun mempengaruhi manusia. Sehingga terdapat hubungan yang saling

mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidupnya. Hal demikian,

merupakan interaksi antara manusia dan lingkungan.

Hubungan yang sedemikian erat dan ketergantungan manusia terhadap

lingkungannya, seyogyanya menimbulkan kesadaran akan pentingnya

keberlanjutan lingkungan hidup yang lestari dan seimbang sehingga hal tersebut

perlu di atur dengan jelas, apalagi sebagian besar negara di dunia ini menganut

sistem atau mengklaim negaranya sebagai negara hukum. Sebagai negara hukum,

maka usaha penegakan hukum harus berdasar pada prinsip bahwa hukum harus

tetap dipegang teguh, karena tegaknya hukum dalam suatu negara hukum

merupakan jaminan pengakuan akan hak-hak masyarakat.

Untuk pelestarian terhadap masalah lingkungan hidup sangat kompleks dan

pemecahan masalahnya memerlukan perhatian yang bersifat komperehensif dan

menjadi tanggung jawab pemerintah didukung pertisipasi masyarakat. Di

Indonesia, pengelolaan lingkungan hidup harus berdasarkan pada dasar hukum

yang jelas dan menyeluruh sehingga diperoleh suatu kepastian hukum.


UU No. 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPPLH)

Keluarnya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPPLH) No. 32 Tahun 2009 menggantikan Undang Undang

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) tahun 1997 yang dianggap belum bisa

menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan banyak mendapat apresiasi dan

sebagai upaya yang serius dari pemerintah dalam menangani masalah-masalah

pengelolaan lingkungan.

UU No 32 Tahun 2009, juga memasukkan landasan filosofi tentang konsep

pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka

pembangunan ekonomi. Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena

persoalan lingkungan kedepan semakin kompleks dan syarat dengan kepentingan

investasi. Karenannya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik

pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya.

Tetapi bila dicermati lebih jauh, masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi

dalam UUPPLH tersebut, seperti dalam pasal 26 ayat (2) bahwa pelibatan

masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang

transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.

Dalam pasal ini, tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimana bentuk

informasi secara lengkap tersebut dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan bila

hal tersebut tidak dilakukan, begitupula dalam ayat (4) masyarakat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal
juga tidak diikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan dalam hal

yang seperti apa masyarakat menolak dokumen tersebut, sehingga justru

mereduksi hak-hak masyarakat dalam proses awal pembangunan. Padahal tingkat

pengetahuan masyarakat dalam memahami undang-undang sangat kurang.

Dalam pasal 46, berbunyi Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya

telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini

ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran

untuk pemulihan lingkungan hidup. Ketentuan ini akan sangat merugikan karena

pencemarnya tidak diungkit sama sekali, dan anehnya di penjelasannya juga

tertulis cukup jelas, padahal ketentuan dalam pasal ini bisa melepaskan

pencemarnya begitu saja dan pemulihan justru dibebankan kepada pemerintah.

Pasal 66 dari UUPPLH yang perlu untuk dicermati dan kritis adalah pasal

66. Selengkapnya pasal ini berbunyi: Setiap orang yang memperjuangkan hak

atas linkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana

maupun digugat secara perdata. Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada

yang salah dari pasal ini. Namun dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa

ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan / atau pelapor yang

menempuh cara hukum akibat pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup

dan perlindungan dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari

terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan tetap memperhatikan

kemandirian peradilan.
UU NO. 5 TAHUN 1960 Tentang Peraturan Dasar Agraria

Dalam hubungan ini, UUPA memang tidak secara tegas membahas

mengenai keutuhan dan hubungan antara sumber daya alam. Pasal 4 ayat 2

menyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk

mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnya sekedar

diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan

tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.

UU ini lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumber daya

alam. Hanya ada satu pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan

sumber daya alam. Pasal 14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian

dan pemanfaatan sumber daya alam (agraria) menyatakan bahwa perencanaan

pemanfataan sumber daya alam (agraria) dilakukan untuk keperluan negara,

peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat,

pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta pengembangan

industri, transmigrasi dan pertambangan. Sementara itu, berkaitan dengan

kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya menyebutkan di pasal 15

bahwa "memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah

kerusakannya adalah kewajiban tiap-liap orang, badan hukum, atau instansi yang

mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak

yang ekonominya lemah".

Namun demikian, selama tiga dekade terakhir ini kebijakan pertanahan

selama pemerintahan orde baru yang bercorak sentralistik telah menimbulkan


dampak bagi sumber-sumber agraria, terutama degradasi kualitas tanah pertanian

yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan mewah (real astate),

kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk investasi dan spekulasi

para pemilik modal yang mengakibatkan tanah diterlantarkan dalam jangka waktu

yang tidak tertentu. Implikasi sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya

berbagai konflik vertikal maupun horisontal di daerah antara masyarakat dengan

pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar, karena terjadi penggusuran

atau pengabaian atas hak-hak masyarakat adat/Iokal dalam penguasaan dan

pemanfaatan sumber-sumber agraria.

UUPA yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat,

memberikan batasan pada hukum adat. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa hukum

agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat,

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang

berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan

peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan

perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-

unsur yang bersandarkan pada hukum agama.

Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional

dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang

bersumber dan kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian

terbesar dan rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun, UUPA

memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam

perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan


masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui

penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara moderen dan

hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia.

Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas. kepentingan bangsa dan

negara seringkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok orang

yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan mengatasnamakan

kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya agraria

yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam

bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam

konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara

yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan

perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru mengingkari hak-hak

masyarakat adat.

Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat

adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang

untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA memberikan

berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik, hak

guna bangunan. hak guna usaha. hak pakai, hak sewa, dan sebagainya.

UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalah

urusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur secara ricni tentang kewenangan

dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemenntah daerah adalah pelaksanaan

dan" tugas pembantuan.


Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran

srrategis dalam UUPA. Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik

tidak mendapat ruang dalam undang-undang ini.

Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggaran

kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran

tanah pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh

pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah. UUPA tidak

memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal

tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam prosedur

pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah

yang ditetapkan dalam UUPA.

Keppres no 32 tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

Pasal-pasal dalam Keppres No. 32 ini yang tidak konsisten satu sama lain.

Pasal 6 merinci KSA dan cagar budaya, kemudian Pasal 22 merinci KSA lagi

dengan rincian berbeda. Pasal 22 menyebutkan bahwa "Kawasan suaka alam

terdiri dari dari cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, daerah perlindungan

plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa.


Undang-undang No 5 Tahun 1990

Dalam UU ini menjelaskan tentang konservasi sumber daya alam, namun

tidak ada kejelasan mengenai konservasi itu sendiri. Menurut Pasal 1, Undang-

Undang No. 5 Tahun 1990 disebutkan bahwa "Konservasi sumber daya alam

hayati (SDAH) adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang

pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan

persediaanya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas

keanekaragaman dan nilainya". Dari pernyataan tersebut tidak menjelaskan

bagaimana sifat atau cara pengelolaan SDAH (Sumber Daya Alam Hayati) tetapi

menjelaskan pemanfaatan SDAH. Pemanfaatan hanyalah sebagian kecil dari

pengelolaan. Jadi definisi di atas tidak memberikan penjelasan istilah konservasi.

Kesimpulan

1. Implementasi undang-undang maupun peraturan tentang sumber daya

alam belum dilaksanakan secara masif dan menyeluruh

2. Belum adanya pembagian peran strategis antara pemerintah dan

masyarakat.

3. Di Indonesia, tingkat pengetahuan masyarakat dalam memahami undang-

undang sangat kurang.


Pustaka

Nurjaya. I Nyoman (Ed) (1993), Politik Hukum Pengusahaan Hutan di

Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta

http://www.duniaesai.com/index.php/uu-no-32-tahun-2009-tentang-perlindungan-

dan-pengelolaan-lingkungan-hidup.html (Diakses tanggal 7 November 2011).


TUGAS KONSERVASI
SUMBER DAYA ALAM

UNDANG-UNDANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM

Oleh:
Rahmat Budi Nugroho
11/322528/PBI/993

PASCASARJANA BIOLOGI
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011

Anda mungkin juga menyukai