Bab 5
Bab 5
Di sudut alun-alun Denpasar, Bali ada pura tempat permujaan yang dibuat
monumental dari batu putih yang diberi sebutan pusering jagat, artinya
pusar dunia. Dalam salah satu upacara suku-suku kuakiutl, seorang tua
berseru Aku Pusat Dunia. Untuk para muslimin dan muslimat, pusar dunia
adalah Kabah di Mekkah, untuk orang Kristen gunung Golgotha di
Yerusalem. Penghayatan dan suatu pusat dunia, atau potor sentrum,
merupakan penghayatan manusia berjiwa religius yang sangat dalam,lagi
sangat wajar. Manusia tidak dapat hidup dalam angkasa kosong atau ruang
homogen, seolah- olah segala titik dan arah itu sama saja. Orientasi datang
dari kata Orient atau timur, dan berarti mencari mana ufuk timur (dan
lawannya barat). Itu datang dari pengalaman sehari-hari pengalaman
matahari terbit dan terbenam.
Namun bila ada timur dan barat, ada juga utara dan selatan demikianlah
spotan dirasakan setiap manusia. Tetapi langsung juga terasa, bahwa
keempat kiblat itu menimbulkan suatu titik atau imajinasi tugu potor, pusat
yang terjadi oleh persilangan garis garis timur-barat dan utara-selatan. Dan
titik atau tugu tengah itu pusering jagat poros pusat cakrawala.
Dunia ini tidak homogen, tidak semua tempat sama nilainya. Tetapi hirarkis.
Artinya, ada yang paling penting, vital nilainya (pusar), ada yang kurang
yang tidak ada nilainya sama sekali.
Gambar 1 ( Denah kota Beijing kuno dari zaman dinasti Ming dan Ch'ing.
Bagian disebut "Kota terlarang",).
Oleh karena itu dalam wujud bangunan dimana mana pun kita menjumpai
berupa cita dasar yang selalu saja kembali dalam berbagai macam bentuk.
Misalnya citra dasar GUNUNG. Gunung dalam sekian banyak bentuk
kebudayaan selalu dihayati selaku Tanah Tinggi, tempat yang paling dekat
dengan dunia atas. Dalam berarsitektur orang secara spontan merasakan
penghayatan dasar yang tinggi. Dengan lawannya yang rendah. Yang
tinggi dihubungkan dengan segala yang mulia, yang ningrat, yang aman,
yang menguasai sekitar. Sedangkan yang rendah, lazim sekali, dihubungkan
dengan realita realita yang kurang baik, yang berbahaya, yang membawa
penyakit, tempat kaum budak atau (perhatikan istilahnya) kaum bawahan.
Maka spontan dua citra-dasar lalu muncul yakni, gunung tadi dan sila, atau
tugu, tiang. Banyak monument peringatan dibuat dalam bentuk tugu (Tugu
Pal Putih di Yogya, Tugu Proklamasi, Tugu Monas, Tugu Pahlawan, Tugu
Pemuda, dan sebagainya). Juga bentuk stupa atau pagoda adalah perpaduan
citra gunung dan tugu poros. Tugu menjulang tinggi keangkasa sangat jelas
melambangkan poros, khususnya pusering jagat. (Menara menara minaret
masjid masjid dibangun dengan tujuan lain, tempat saudara memanggil
kaum muslimin dan muslimat untuk bersholat). Lihatlah konstruksi meru
jepang ini, yang juga sama dengan system meru di Cina. Tampaklah dari
seluruh konstruksi dan pencitraan segalanya, bahwa di sinilah tiang tengah
sebagai poros atau sila adalah satu satunya unsur yang paling pokok.
Citra dasar gunung, stupa, pagoda, atau poros, pokok, selaku pusat dunia
masih mendapat pengungkapannya dalam bentuk bait-bait, kuil-kuil,
Keramat ataupun istana dan kota-kota suci. Bait-bait dan kuil-kuil pemujaan
merupakan peniruan atau lebih tepat penghadiran semesta raya, sumber
sumber daya gaib untuk wilayah keliling.