Aku
melihat wajahmu yang terpampang pada layar ponselku. Aku menggeleng. Perjalananku masih
lama sepertinya. Tanpa hujan, jalur ini hampir selalu padat. Ditambah kali ini banjir. Aku
meringkuk, memeluk ransel hitamku. Aku lelah.
Terkejut bangun ketika mobil angkutan berguncang hebat. Jalan yang sedang diperbaiki
menambah panjang daftar penyebab kemacetan. Dan aku sadari kini aku sendiri. Tidak ada
siapapun di kabin penumpang ini. Selain aku dan kamu. Aku menggigil.
Sulit melupakanmu. Walau harus. Aku takut. Sulit meluapkannya. Walau ingin. Hujan adalah
saksi. Bagaimana aku mengigil menahan dingin. Membopong tubuh lemasmu ke dalam mobil.
Mendudukkanmu di kursi, di sebelahku. Lalu menyetir cepat. Aku takut.
Dalam raungan mesin mobil, aku menembus kelam. Penerangan lampu mobil ke jalan di
depanku tidak terlalu membantu. Di dalam kabut, dalam kalut, aku mengebut. Seketika tersadar
beberapa detik sebelum mobil menghantam beton pembatas jalan. Aku tercekat.
Ternyata kaca jendela di sebelahku pecah. Dan hujan yang turun tanpa rasa malu itu terus
mencolekku bangun. Mataku perih, terasa darah di lidah. Rasa sakit tak tertahan di punggungku.
Belum lagi sentakkan kejang tubuh saat hidungku tersentuh. Patah. Aku bertahan.
***
Aku menghapus terbit keringat di kening. Kabin penumpang ini serasa memanas. Berbanding
terbalik dengan temperatur udara di luar. Tapi sejajar dengan panasnya hati tiba-tiba saat itu.
Teringat semua kenangan kala hujan itu. Seolah proyektor dalam kamar gelap tampilkan
potongan-potongan kejadian masa lalu. Sementara kamu menatapku kosong. Aku bergidik.
***
Sepasang tangan menarikku keluar dari mobil. Aku hanya diam. Punggungku tercabik pecahan
kaca ketika diseret keluar. Bantuan tepat waktu. Karena beberapa saat kemudian mobil terbakar.
Aku selamat.
***
Saat itu hujan gerimis perlahan, aku memelukmu erat. Kamu mencium lengan bagian dalamku.
Telapak tangan kananku di atas kepalamu. Mengelus rambut. Mengelus lembut. Pipimu bergerak
naik, pertanda kamu tersenyum. Aku tersenyum. Dan pelukanku mengerat. Menutup jalur udara
masuk paru-parumu. Mukamu merah, padam. Kuku tertancap dalam. Darah tampil malu-malu.
Hingga semua melemas. Aku mematung.
***
Peluhmu tak lagi bisa tertahan. Jatuh satu tertetes terjun. Padahal udara semakin dingin. Padahal
udara selalu dingin buatku. Perlahan aku dekati kamu, kukecup keningmu. Rinduku memuncak.
Merindukan saat terakhir kamu memelukku. Merindukan saat kekar lenganmu tekan paksa
batang nafasku. Merindukan hangat nafas menderumu di leherku. Rindukan tetes air matamu.
Hangat terakhir yang kurasa sebelum semuanya dingin seperti ini. Aku menangis tanpa
kesedihan.
Aku memelukmu, menembus raga duniawimu yang lalu bergidik gigil. Dalam gigilmu, kamu
terdiam. Dalam gigilmu, aku tersenyum. Dalam gigilmu, aku bertanya,
jika nanti aku mati, tak masalah hari apa jam berapa,
mungkinkah saat itu aku sedang berada di depan jendela?
sedang memikirkan semua yang kucintai, termasuk engkau,
dan apakah mata jendela akan menatap mataku tanpa bersedih?