Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH KIMIA FARMASI

EKSTRAKSI METODE REFLUKS

Oleh:
Ino Tiara Putri Apsin 151650052
Arika Handayani 151650048

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)


KHARISMA PERSADA
D.III FARMASI SEMESTER 3A
Jalan Padjajaran, Pamulang Barat, Tangerang Selatan

Tangerang Selatan
2016
KATA PENGANTAR

1
Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Ekstraksi metode refluks
ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Kimia farmasi
analis.
Pada penyusunan makalah ini, penyusun banyak mendapatkan bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak, untuk itu dengan segala kerendahan hati penyusun
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing yang
senantiasa memberikan petunjuk penyusunan serta teman-teman satu angkatan
yang memberikan dorongan dan motivasi sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas ini dengan baik.
Disadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
kelemahan, karena itu dibutuhkan saran dan kritik yang membangun agar menjadi
lebih baik kedepannya.

Tangerang Selatan, 2016

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

2
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. v
DAFTAR TABEL ...................................................................................... vi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 3
1.3. Tujuan ........................................................................................ 3
1.4. Manfaat ..................................................................................... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Definisi Refluks ....................................................................... 4
2.2. Tujuan Ekstraksi Refluks .......................................................... 5
2.3. Metode Ekstraksi Refluks.......................................................... 6
2.4. Tanaman yang Akan digunakan dalam Ekstraksi Refluks ........ 8
2.5. Macam-macam Toksisitas.......................................................... 10

BAB III. ISI


3.1. Metode Penelitian ..................................................................... 12
3.2. Skema Singkat Percobaan (Cara Kerja) .................................... 12

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Hasil ......................................................................................... 23
4.2. Pembahasan .............................................................................. 29

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan .............................................................................. 35
5.2. Saran ......................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR

3
Gambar 1. Alat refluks
Gambar 2. Kondensor
Gambar 3. Labu alas bundar
Gambar 4. Metode refluks
Gambar 5. Rotari evaporator
Gambar 6. Buah mengkudu
Gambar 7. Jahe gajah

DAFTAR TABEL

4
Tabel 1. Hasil penetapan karakteristik ekstrak etanol buah mengkudu dan
rimpang jahe
Tabel 2. Hasil penapisan fitokimia simplisia dari ekstrak
Tabel 3. Peningkatan bobot badan tikus setelah pemberian sediaan uji
Tabel 4. Pengamatan bobot jenis dan pH urin
Tabel 5. Kadar SGPT dan SGOT tikus jantan
Tabel 6. Kadar SGPT dan SGOT tikus betina
Tabel 7. Kadar kreatinin darah tikus jantan dan betina

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

5
Sejak zaman dahulu, tanaman sering digunakan sebagai obat. Pada waktu itu
orang belum mengelolanya secara sempurna seperti pada zaman sekarang ini. Saat
itu orang hanya tahu suatu khasiat tanaman berdasarkan dari cerita orang yang
lebih tua seperti dari ibu ke anaknya (empiris) (Agoes, 2007).
Pada zaman sekarang ini orang kembali lagi menggeluti bahan alam sebagai
bahan penting dalam membuat obat, untuk mengetahui khasiat yang lebih
mendalam dari tanaman tersebut. Di daerah-daerah pedalaman, banyak
masyarakat yang masih menggunakan tumbuh-tumbuhan yang mereka anggap
mempunyai khasiat untuk pengobatan beberapa penyakit tertentu tanpa
pengetahuan dasar. Ada beberapa kasus, dimana masyarakat menggunakan suatu
obat, yang ternyata setelah diketahui zat aktifnya melalui ekstraksi dan
identifikasi komponen kimia, ternyata memberikan efek yang berlawanan, hal ini
tentunya membahayakan bagi manusia (Agoes, 2007).
Ektraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut. Sehingga ekstrak ialah sediaan yang diperoleh dengan cara
mengekstraksi tanaman yang berkhasiat sebagai obat dengan ukuran partikel
tertentu dan menggunakan medium pengekstraksi (Agoes, 2007).
Simplisia yang lunak seperti rimpang, daun, akar, dan yang keras seperti biji,
kulit kayu, kulit akar. Simplisia lunak mudah ditembus oleh cairan penyari, karena
itu pada penyarian tidak perlu diserbuk sampai halus, sebaliknya pada simplisia
yang keras, perlu dihaluskan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyarian
(Agoes, 2007).
Pengobatan tradisional di Indonesia, menggunakan bahan-bahan yang
terdapat di alam sekitar, merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang
turun temurun. Secara tradisional masyarakat Asia percaya mengkudu dan
jahe mampu mengobati berbagai penyakit. Seluruh bagian tanaman
mengkudu mempunyai khasiat obat. Akar mengkudu dimanfaatkan untuk
mengobati kejang-kejang, tetanus, obat demam, dan sebagai tonikum. Kulit
batang mengkudu digunakan sebagai tonikum, antiseptik pada
pembengkakan kulit, borok, dan luka. Daun mengkudu dimanfaatkan untuk
mengobati disentri, kejang usus, pusing, muntah, dan demam. Bunga

6
mengkudu digunakan untuk mengobati kudis, bisul, dan sakit kerongkongan.
Buah mengkudu untuk obat asma, menormalkan tekanan darah, gangguan
pernafasan, TBC, dan radang. Jahe digunakan antara lain sebagai obat batuk
dan penghangat badan, juga untuk obat sakit kepala, rematik, dan lainnya
(Harborne, 1996).
Penggunaan dalam jangka waktu yang lama mendorong perlunya
penentuan toksisitas subkronis, karena meskipun dianggap aman, tetapi
belum diketahui adanya kemungkinan efek yang tidak diharapkan pada tubuh
akibat pemakaian lama. Sehingga makalah ini akan membahas mengenai uji
toksisitas subkronis yang merupakan uji ketoksikan suatu senyawa dalam hal
ini senyawa yang ada dalam kombinasi mengkudu dan jahe gajah dengan
pemberian dosis berulang pada hewan uji selama kurang lebih 3 bulan,
dimana uji ini menunjukkan spektrum efek toksik senyawa uji serta untuk
mengetahui apakah efek toksiknya itu berkaitan dengan dosis, dengn
mengekstraksi senyawa yang ada di dalam buah mengkudu dan rimpang jahe
gajah dengan metode refluks (Donatus, 2001).
1.2. Perumusan Masalah
1. Apakah buah mengkudu dan rimpang jahe gajah menyebabkan toksik?
2. Apakah yang dimaksud dengan ekstraksi metode refluks?
1.3. Tujuan
1. Untuk menambah pengetahuan mengenai ekstraksi dengan metode
refluks.
2. Untuk meningkatkan pengetahuan mengenai tujuan dan cara melakukan
ekstraksi dengan metode refluks serta untuk menambah wawasan
mengenai pengujian ekstrak pada hewan uji.
1.2. Manfaat
1. Meningkatkan pengetahuan akan ekstraksi dengan metode refluks.
2. Memperoleh pengetahuan mengenai cara melakukan ekstraksi refluks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

7
2.1. Definisi Refluks
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan
kelarutannya terhadap dua cairan, sehingga terpisah dari bahan yang tidak
dapat larut dengan pelarut cair. Ekstraksi terbagi atas dua metode, yaitu
metode dingin atau tanpa pemanasan (maserasi dan perkolasi) dan metode
panas yang membutuhkan suhu tinggi (refluks) (Harborne, 1996).
Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, metode refluks
merupakan metode ekstraksi cara panas (membutuhkan pemanasan pada
prosesnya), secara umum pengertian refluks sendiri adalah ekstraksi dengan
pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah
pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendinginan balik. Ekstraksi
dengan cara ini dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan (Harborne,
1996).
Reaksi kimia kadang dapat berlangsung sempurna pada suhu kamar atau
pada titik didih pelarut yang digunakan pada sistem reaksi. Salah satu alat
yang digunakan untuk reaksi-rekasi yang berlangsung pada suhu tinggi
adalah seperangkat alat refluks. Refluks adalah salah satu metode dalam ilmu
kimia untuk memisahkan suatu senyawa, baik organik maupun anorganik.
Metode ini umumnya digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang
mudah menguap atau volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan pemanasan
biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai,
sehingga dengan ekstraksi refluks ini pelarut yang menguap akan masuk ke
dalam kondensor lalu pelarut akan kembali ke dalam labu alas bundar dan
kembali memisahkan dan mengikat senyawa yang ada di dalam simplisia
tersebut (Harborne, 1996).

8
Gambar 1. Alat refluks
Peralatan yang digunakan sebagai komponen refluks yaitu, timbangan
digital, statif, hot plate, labu dasar bulat, kondensor, rotari evaporator, dan
lainnya.
Keuntungan dan kerugian dari metode refluks:
1. Keuntungan dari metode refluks: digunakan untuk mengekstraksi
sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan
langsung, serta proses ekstraksi berlangsung cepat.
2. Kerugian dari metode refluks yaitu dapat terjadi penjenuhan pelarut,
pelarut harus diganti, sehingga membutuhkan banyak pelarut.
2.2. Tujuan Ekstraksi Refluks
Tujuan dari ekstraksi refluks ini ialah untuk mempercepat reaksi
pemisahan dengan jalan pemanasan tetapi tidak mengurangi jumlah zat yang
ada. Contohnya ialah dimana umumnya pemisahan senyawa organik adalah
lambat maka perlu di tambah pemanasan, namun jika dipanaskan senyawa
maupun pelarutnya akan menguap, sehingga digunakanlah alat refluks ini.
Selain itu refluks juga digunakan untuk penarikan atau menarik, memisahkan
semua komponen kimia yang terdapat di dalam tumbuhan senyawa organik
maupun senyawa nonorganik dan untuk senyawa-senyawa yang mudah
menguap atau volatil agar senyawa volatil tersebut tidak berkurang. Dimana
ekstraksi didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam
pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian

9
berdifusi masuk ke dalam pelarut, dengan menggunakan suhu yang tinggi
pelarut akan menguap dan mengembun lalu pelarut tersebut kembali masuk
ke dalam labu alas bundar untuk mengekstraksi simplisia lagi, hal ini
berlangsung secara berkesinambungan selama waktu tertentu (dapat
dilakukan dengan cepat) hingga diperoleh hasil ekstraksi berupa cairan, lalu
dipisahkan dari residunya dengan cara disaring, kemudian di rotari
evaporator untuk memisahkan senyawa dengan pelarutnya dimana pelarut
tersebut diuapkan, lalu ditempatkan di wadah terpisah, sehingga diperoleh
senyawa yang diinginkan (Harborne, 1996).
2.3. Metode Ekstraksi Refluks
Metode refluks adalah simplisia dan pelarut atau penyari dimasukkan ke
dalam labu alas bundar, kemudian dimasukkan batang magnet stirer (alat ini
akan berputar, sehingga campuran sampel dengan pelarut akan teraduk) ke
dalam labu alat bundar. Pengaturan suhu dilakukan pada hot plate and
magnetic stirrer, ataupun menggunakan pemanas bunsen. Proses ektraksi
akan berlangsung dengan suhu tinggi, pelarut akan menguap sebagai senyawa
murni dan kemudian terdinginkan dalam kondensor, akan terjadi perbedaan
suhu antara kondensor dalam berisi uap panas dengan kondensor luar yang
berisikan air dingin, hal ini menyebabkan penurunan suhu dan perubahan
fase dari sistem tersebut dan pelarut menjadi cair kembali, lalu pelarut akan
turun lagi ke wadah (labu alas bundar), dan pelarut kembali menyari atau
mengikat senyawa pada simplisia. Demikian seterusnya berlangsung secara
berkesinambungan. Penggantian pelarut dilakukan sebanyak kurang lebih 3
kali setiap 2-4 jam sehingga setiap hasil ekstraksi dipisahkan (disaring),
filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan (Harborne, 1996).

Gambar 2. kondensor

10
Prinsip kerja pada rangkaian refluks ini terjadi empat proses, yaitu proses
heating, evaporating, kondensasi dan cooling. Heating terjadi pada saat
sampel dan pelarut dipanaskan di labu alas bundar dengan hot plate atau
pemanas lainnya pada suhu tinggi (kurang lebih 50oC).

Gambar 3. Labu alas bundar


Evaporating (penguapan) terjadi ketika pelarut mencapai titik didih dan
berubah fase menjadi uap yang kemudian uap tersebut masuk ke kondensor
dalam. Cooling terjadi di dalam wadah, di dalam wadah yang berisikan es
batu dan air, sehingga ketika kita menghidupkan pompa, air dingin akan
mengalir dari bawah menuju kondensor luar, air harus dialirkan dari bawah
kondensor bukan dari atas agar tidak ada turbulensi udara yang menghalangi
dan agar air terisi penuh. Proses yang terakhir adalah kondensasi
(pengembunan), proses ini terjadi di kondensor, akan terjadi perbedaan suhu
antara kondensor dalam berisi uap panas dengan kondensor luar yang
berisikan air dingin, hal ini menyebabkan penurunan suhu dan perubahan
fase dari sistem tersebut menjadi cairan kembali. Lalu lakukan penyaringan
dengan kertas saring untuk memisahkan simplisia (residu) dengan hasil
ekstraksi. Proses selanjutnya adalah pemisahan ekstrak dengan pelarutnya,
dengan menggunakan alat rotari evaporator dengan pemanasan serta
dipercepat oleh putaran labu, kemudian pelarut akan menguap 5-10 oC di
bawah titik didihnya karena adanya penurunan tekanan (Harborne, 1996).

11
Gambar 4. Metode refluks
Bantuan pompa vakum pada rotari evaporator, uap larutan penyari akan
menguap naik ke kondensor dan mengalami kondensasi menjadi molekul-
molekul pelarut murni yang ditampung dalam labu penampung. Prinsip rotari
evaporator ini akan memisahkan pelarut dengan senyawa yang terlarut tanpa
pemanasan tinggi lalu senyawa dipekatkan. Memekatkan dapat dilakukan
secara manual dengan pemanas Bunsen atau dengan penangas air pada suhu
50oC (Harborne, 1996).

Gambar 5. Rotari evaporator


2.4. Tanaman yang Akan Digunakan dalam Ekstraksi Refluks
1. Tanaman Mengkudu (Morindae citrifolia Linn.) untuk obat hipertensi.
Mengkudu merupakan tumbuhan tropis. Jenis mengkudu yang banyak
ditemukan di Indonesia yaitu Morinda citrifolia yang berdaun lonjong
besar berwarna hijau mengkilap dan Morinda elliptica yang berdaun
jorong meruncing. Spesies mengkudu lain misalnya M. braceata, M.
speciosa, M elliptica, M. tinctoria, dan M.oleifera. Secara umum
mengkudu memiliki ciri-ciri berupa pohon dengan tinggi 1-6 m, bunga
berwarna putih, daun berbentuk lonjong lebar mengkilat. Buah
mengkudu berbentuk bulat lonjong, panjangnya 5-8 cm, permukaan
seperti terbagi dalam sel-sel poligonal (bersegi banyak) yang berbintik-
bintik dan berkutil.

12
Gambar 6. Buah mengkudu
Kandungan buah mengkudu antara lain skopoletin, morindin,
morindon, asam oktanoat, kalium, terpenoid, alkaloid, antrakuinon,
-sitosterol, karoten, glikosida flavon, asam linoleat, alizarin, asam
amino, akubin, L-asperulosid, asam kaproat, asam kaprilat, asam ursolat
glukosa, dan eugenol. Penggunaan buah mengkudu antara lain sebagai
anthelmintik, pelembut kulit, ekspektoran, antipiretik, antiseptik,
antituberkulosis, dan antihipertensi.
2. Tanaman Jahe Gajah (Zingiber officinal Rosc.) untuk obat sakit kepala.
Tanaman jahe dikenal dalam tiga varietas yaitu jahe gajah (Zingiber
officinale Rosc.), jahe merah (Zingiber officinale Rosc. Var sunti val),
dan jahe emprit (Zingiber officinale var. Amarum). Ketiganya dapat
dibedakan berdasarkan karakteristik morfologinya. Jahe gajah berupa
terna berbatang semu, tinggi 0,31 m, rimpang bila dipotong berwarna
kuning. Daun semprit, panjang 15-23 mm, lebar 8-15 mm, berbentuk
lidah dan memanjang. Rimpang jahe gajah lebih besar dan
mengembung dari pada varietas lainnya, aromanya kurang tajam dan
rasanya kurang pedas. Kandungan utama dari jahe adalah gingerol,
zingiberol, zingiberen, zingeron, terpen, felandren, dekstrokamfen,
seskuiterpen zingiberen, resin, dan amilum. Jahe banyak digunakan
oleh masyarakat Indonesia karena khasiatnya yang banyak antara lain
sebagai obat sakit kepala, rematik, masuk angin, antiemetik, keseleo,
bengkak, demam, antituberkulosis, nyeri dada, batuk, dan diare.

Gambar 7. Jahe gajah

13
2.5. Macam-macam Toksisitas
Salah satu tujuan terpenting toksikologi ialah memberikan keterangan
sehingga kerugian kesehatan manusia dan lingkungan akibat senyawa
beracun dapat dicegah atau dibatasi. Pada umumnya metode uji toksisitas
dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu, uji toksisitas yang dirancang untuk
mengevaluasi seluruh efek umum suatu senyawa dan uji yang dirancang
untuk mengevaluasi secara rinci tipe toksisitas spesifik (Donatus, 2001).
Uji toksisitas umum meliputi:
a) Uji toksisitas subkronis
Uji toksisitas subkronis dilakukan untuk mengevaluasi efek senyawa,
apabila diberikan kepada hewan uji secara berulang-ulang. Biasanya
diberikan senyawa uji setiap hari selama kurang lebih 10% dari masa
hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1-2 tahun untuk anjing.
Uji toksisitas sub kronis menyangkut evaluasi seluruh hewan untuk
mengetahui efek patologi kasar dan efek histologi. Uji ini dapat
menghasilkan informasi toksisitas zat uji yang berkaitan dengan organ
sasaran, efek pada organ itu, dan hubungan dosis efek dan dosis
respons. Informasi tersebut dapat memberi petunjuk jenis penelitian
khusus lainnya yang perlu dilakukan (Donatus, 2001).
b) Uji toksisitas akut.
Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberi senyawa yang sedang
diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24
jam, kemudian diamati selama 14 hari. Penelitian ini dirancang untuk
menentukan dosis letal median (LD50), selain juga dapat menunjukkan
organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya,
serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan
dalam pengujian yang lebih lama. Senyawa yang mempunyai
toksisitas akut yang rendah, tidak diperlukan penentuan (LD 50) secara
tepat, cukup informasi bahwa dosis yang cukup besar menyebabkan
hanya sedikit kematian, atau bahkan tidak menyebabkan kematian
(Donatus, 2001).

14
c) Uji toksisitas kronis
Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji
berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar
masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk
tikus, dan 7-10 tahun untuk monyet. Pada uji toksisitas kronis ini
dilakukan evaluasi patologi lengkap (Donatus, 2001).
Uji toksisitas selektif antara lain:
a) Uji teratogenitas
Uji teratogenitas adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi
adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian suatu zat
dalam masa perkembangan embrio. Informasi tersebut termasuk
abnormalitas bagian luar, jaringan lunak, dan kerangka fetus. Pada
pengujian ini senyawa uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan
kepada beberapa kelompok hewan percobaan selama paling sedikit
masa organogenesis dari kehamilan, satu dosis untuk satu kelompok.
Sesaat sebelum waktu melahirkan, uterus diambil, dan dilakukan
evaluasi terhadap fetus (Donatus, 2001).
b) Uji mutagenitas
Uji mutagenitas adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh
informasi mengenai kemungkinan terjadinya efek mutagenik suatu
senyawa. Efek mutagenik merupakan efek yang menyebabkan
terjadinya perubahan pada sifat genetika sel tubuh makhluk hidup
(Donatus, 2001).
c) Uji karsinogenitas
Uji karsinogenitas dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai
efek korsinogenik suatu senyawa pada hewan percobaan. Suatu
senyawa bersifat karsinogenik jika senyawa tersebut dapat
menginduksi karsinoma (pembentukan tumor). Uji ini memerlukan
biaya yang banyak dan waktu yang lama (Donatus, 2001).

15
BAB III
ISI

3.1. Metode Penelitian


Di dalam penelitian ini dilakukan pengujian toksisitas subkronis ekstrak
etanol buah mengkudu dan rimpang jahe gajah dosis tunggal serta
kombinasinya. Pada tahap penelitian dilakukan penyiapan ekstrak tumbuhan
obat dimulai dengan pengumpulan bahan segar berupa buah mengkudu yang
matang dan rimpang jahe gajah, kemudian di determinasi. Buah mengkudu
dan rimpang jahe gajah dicuci dan diiris kemudian dijemur di bawah sinar
matahari langsung sampai kering. Simplisia yang telah kering dihaluskan dan
diayak. Setelah itu diekstraksi menggunakan pelarut etanol 96% (metode
refluks) kemudian diuapkan sampai kental, dilakukan penetapan karakteristik
ekstrak. Sediaan obat dibuat dengan melarutkan ekstrak dalam air
menggunakan tragakan 1%. Uji toksisitas sub kronis dilakukan menggunakan
hewan tikus putih jantan dan betina galur Wistar. Diuji dengan dosis
bertingkat 50, 400, 1000 mg/kg bb untuk kombinasi ekstrak etanol buah
mengkudu dengan rimpang jahe gajah (1:1) dan ekstrak etanol buah
mengkudu tunggal 50 mg/kg bb juga ekstrak etanol rimpang jahe gajah
tunggal 50 mg/kg bb. Pemberian sediaan dilakukan secara oral setiap hari
selama 90 hari. Kelompok satelit tetap dipelihara sampai 120 hari tanpa
pemberian zat uji lagi setelah pemberian sediaan selama 90 hari (Hendriani,
2007).
3.2. Skema Singkat Percobaan (Cara Kerja)

PERSIAPAN
ALAT, BAHAN, DAN HEWAN UJI

16
BAHAN: ALAT: Alat refluks, alat HEWAN UJI:
Buah mengkudu penguap vakum putar,
Tikus putih jantan dan
(Morinda citrifolia Linn.) cawan penguap, penangas
betina galur Wistar usia 2-
yang matang, rimpang air, timbangan analitik,
3 bulan dengan bobot 100-
jahe gajah (Zingiber timbangan tikus, mortir
200 gram. Hewan
officinale Rosc.), dan stampler, jarum oral
diperoleh dari
tragakan, etanol 96%, air tikus, spuit 3 cc, kandang
Laboratorium hewan
destilasi, larutan Turk metabolisme, alat uji
Farmakologi dan
0,1%, larutan natrium perilaku, tabung
Toksikologi Sekolah
sitrat 2%, larutan asam eppendorf, alat sentrifuga
Farmasi Institut Teknologi
hidroklorida 0,1N, eppendorf, tabung kapiler
Bandung dan Pusat Antar
larutan dapar formalin, hematokrit,
Universitas ITB.
pereaksi biokimia darah, mikrosentrifuga,
etanol absolut, xylol, mikropipet,
paraffin padat, dan hemositometer, mikroskop,
pewarna Hematoksilin alat penghitung, tabung
Eosin (HE). sahli, alat bedah,
spektrofotometer ultra
violet visible (Fotometer
4020 Hitachi), kaca

N PENGOLAHAN BAHAN:
Buah mengkudu (buah yang matang) dan rimpang jahe gajah
segar dicuci dan dibersihkan (di sortasi), kemudian diiris atau
dirajang dengan ketebalan kurang lebih 0,5 cm dan dijemur
atau dikeringkan dibawah sinar matahari langsung sampai
kering. Simplisia yang telah kering dihaluskan menggunakan
alat penghancur atau blander, kemudian diayak, sehingga
diperoleh serbuk simplisia siap digunakan untuk proses
selanjutnya.

PEMBUATAN EKSTRAK TANAMAN DENGAN METODE PANAS (REFLUKS):


Ekstrak dibuat dengan menggunakan alat refluks dengan pelarut etanol 96%.
Serbuk simplisia ditimbang 100 gram, dimasukkan ke dalam labu alas bundar
dan diekstraksi menggunakan 500 ml etanol 96%, direfluks selama 2 jam pada
suhu tinggi (kurang lebih 50oC), kemudian disaring panas-panas menggunakan
kain flanel, dan disaring lagi menggunakan kertas saring sehingga didapatkan
filtrat yang bening tanpa endapan. Residu diekstraksi lagi 2 kali masing-masing
menggunakan 500 ml etanol 96%, dan filtratnya disatukan. Seluruh filtrat yang
diperoleh diuapkan menggunakan alat penguap vakum berputar (rotari
evaporator) sampai volumenya lebih kurang 100 ml, kemudian ekstrak diuapkan

17
PEMERIKSAAN KARAKTERISTIK EKSTRAK:
Pengujian ekstrak kental meliputi parameter non spesifik yaitu susut pengeringan,
bobot jenis, kadar air, kadar abu, kadar abu yang tidak larut dalam asam. Pengujian
parameter spesifik meliputi organoleptik ekstrak, senyawa terlarut dalam pelarut
tertentu dan kandungan kimia ekstrak termasuk flavonoid, saponin, kuinon, tanin,
alkaloid, steroid atau triterpenoid.

Diuraikan dibawah

PEMBUATAN SEDIAAN UJI

Diuraikan dibawah
PENYIAPAN HEWAN UJI

Diuraikan dibawah

DOSIS DAN CARA PEMBERIAN SEDIAAN UJI

Diuraikan dibawah

MELAKUKAN PENGAMATAN: pengamatan


perilaku dan aktivitas motorik, bobot badan,
parameter urin, parameter darah, pengamatan fungsi
hati dan ginjal, pengamatan makroskopik organ, dan
pengamatan mikroskopik organ.

Penjelasan dibawah

HASIL DICATAT DAN DI EVALUASI

Penguraian Skema:
1. Pemeriksaan karakteristik ekstrak
Pengujian ekstrak kental meliputi parameter non spesifik yaitu susut
pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar abu, kadar abu yang tidak larut
dalam asam. Pengujian parameter spesifik meliputi organoleptik ekstrak,
senyawa terlarut dalam pelarut tertentu dan kandungan kimia ekstrak

18
termasuk flavonoid, saponin, kuinon, tanin, alkaloid, steroid atau
triterpenoid (Hendriani, 2007).
a) Parameter susut pengeringan
Ekstrak ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam botol
timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada
suhu 105oC selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang,
ekstrak diratakan dalam botol timbang, dengan menggoyangkan
botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5-10 mm,
kemudian masukkan ke dalam ruang pengering, buka tutupnya,
keringkan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Sebelum
pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam
eksikator hingga suhu kamar (Hendriani, 2007).
b) Parameter bobot jenis
Digunakan piknometer bersih, kering, dan telah dikalibrasi dengan
menetapkan bobot piknometer pada suhu 25oC dan bobot air yang
baru dididihkan. Atur hingga suhu ekstrak cair lebih kurang 20 oC,
kemudian masukkan ke dalam piknometer. Atur suhu piknometer
yang telah diisi hingga suhu 25oC, buang kelebihan ekstrak cair dan
ditimbang. Kurangkan bobot piknometer kosong dari bobot
piknometer yang telah diisi. Bobot jenis ekstrak cair adalah hasil
yang diperoleh dengan membagi bobot ekstrak dengan bobot air,
dalam piknometer pada suhu 25oC (Hendriani, 2007).
c) Parameter kadar air
Penetapan kadar air menggunakan cara destilasi, menggunakan
toluen yang telah dikocok dengan sedikit air, biarkan memisah, dan
buang lapisan air suling. Ke dalam labu kering dimasukkan 5 gram
ekstrak kemudian dimasukkan 200 ml toluen ke dalam labu, lalu
dihubungkan dengan alat destilasi. Dituangkan toluen ke dalam
tabung penerima melalui alat pendingin, kemudian labu dipanaskan
dengan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mulai mendidih,
dilakukan penyulingan dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes tiap

19
detik, hingga sebagian air tersuling, kemudian kecepatan
penyulingan dinaikkan 4 tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling,
bagian dalam pendingin dicuci dengan toluen, sambil dibersihkan
dengan sikat tabung yang disambungkan pada sebuah kawat tembaga
yang telah dibasahi dengan toluen. Selanjutnya penyulingan
dilakukan selama 5 menit dengan tabung penerima pendingin
dibiarkan dingin pada suhu kamar. Jika ada tetes air yang melekat
pada tabung pendingin pertama, dilakukan penggosokkan dengan
karet yang diikatkan pada sebuah kawat tembaga dan dibasahi
dengan toluen sampai tetesan turun. Setelah air dan toluen memisah
sempurna dilakukan pembacaan volume air. Kemudian dilakukan
penghitungan kadar air dalam persen (Hendriani, 2007).
d) Parameter kadar abu
Pada penetapan kadar abu, 2 gram ekstrak ditimbang saksama,
dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara,
ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan, dan
timbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air
panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Masukkan filtrat ke
dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung
kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Pada
penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam, abu yang
diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam
sulfat encer p selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut
dalam asam, saring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas
abu, cuci dengan air panas, pijarkan hingga bobot tetap, timbang.
Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang
telah dikeringkan di udara (Hendriani, 2007).
e) Parameter organoleptik ekstrak
Pemeriksaan parameter organoleptik ekstrak merupakan pengenalan
awal yang sederhana dilakukan seobyektif mungkin meliputi bentuk,
warna, rasa, dan bau. Ekstrak etanol buah mengkudu berbentuk

20
cairan kental, warna coklat, rasa pahit dan agak asam serta berbau
aromatik. Ekstrak etanol rimpang jahe gajah berbentuk cairan kental,
warna coklat, rasa pedas dan berbau aromatik khas (Hendriani,
2007).
f) Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Pada penentuan kadar senyawa yang larut dalam air, maserasi 5 gram
ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml air kloroform menggunakan
labu bersumbat sambil sekali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan
kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat
hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara,
panaskan residu pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Hitung kadar
dalam persen senyawa yang larut dalam air, dihitung terhadap
ekstrak awal. Pada penetapan senyawa yang larut dalam etanol,
maserasi sejumlah 5 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml
etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil sekali-kali
dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18
jam. Saring cepat dengan menghindarkan penguapan etanol,
kemudian uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal
berdasar rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 105 oC
hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut
dalam etanol (95%), dihitung terhadap ekstrak awal (Hendriani,
2007).
2. Parameter Golongan Kandungan Fitokimia
Pada pemeriksaan kandungan fitokimia, sebanyak 1 gram ekstrak
ditambah 100 ml air panas, kemudian dididihkan selama 5 menit dan di
saring. Filtrat yang diperoleh digunakan untuk pemeriksaan flavonoid,
saponin, kuinon, dan tanin.
a) Pemeriksaan flavonoid
Sebanyak 5 ml filtrat ditambah serbuk magnesium dan 1 ml klorida
pekat, dikocok kuat-kuat dengan 5 ml amil alkohol, kemudian di

21
biarkan memisah. Warna merah atau jingga yang terbentuk pada
lapisan amil alkohol menunujukkan adanya senyawa flavonoid.
b) Pemeriksaan saponin
Sebanyak 10 ml filtrat dikocok tegak selama 10 detik kemudian
didiamkan dan diamati busa yang terbentuk. Adanya saponin
ditunjukkan dengan timbulnya busa yang stabil setelah penambahan
satu tetes asam klorida 2N.
c) Pemeriksaan kuinon
Sebanyak 5 ml filtrat dari pemeriksaan flavonoid ditambah dengan
beberapa tetes natrium hidroksida 1N. Adanya kuinon ditunjukkan
dengan terbentuknya warna merah.
d) Pemeriksaan tanin
Sebagian filtrat dari pemeriksaan flavonoid direaksikan dengan
larutan besi(iii)klorida 1%. Adanya tanin ditunjukkan dengan
terbentuknya warna hijau atau biru. Pada sebagian filtrat dari
pemeriksaan flavonoid ditambah 15 ml pereaksi steasni (campuran 2
bagian formalin 30% v/v dengan 1 bagian asam klorida pekat),
dipanaskan pada tangas air suhu 90oC. Adanya tanin katekat
ditunjukkan dengan terbentuknya endapan merah muda. Hasil
pemeriksaan tanin katekat disaring kemudian filtrat dijenuhkan
dengan penambahan natrium asetat dan beberapa tetes
besi(iii)klorida 1%. Terbentuknya warna biru atau hitam
menunjukkan adanya tannin galat.
e) Pemeriksaan alkaloid
Sebanyak 1 gram ekstrak dilembabkan dengan 5 ml amonia 50% dan
digerus dalam mortar, ditambah 20 ml kloroform, digerus kuat dan
disaring. Filtrat yang terdiri dari larutan senyawa organik digunakan
untuk percobaan selanjutnya (larutan a diekstraksi dengan asam
klorida 2N (larutan b)). Larutan a diteteskan pada kertas saring
kemudian ditetesi pereaksi dragendorff. Adanya alkaloid ditunjukkan
dengan terbentuknya warna merah atau kuning pada kertas saring.

22
Ke dalam masing-masing 5 ml larutan b dalam tabung reaksi
ditambahkan beberapa tetes pereaksi dragendorff atau mayer. Reaksi
positif terjadi jika terbentuknya endapan warna merah bata atau
endapan warna putih pada penambahan pereaksi mayer.
f) Pemeriksaan steroid atau triterpenoid sejumlah ekstrak dimaserasi
dengan 20 ml eter selama 2 jam kemudian disaring. Filtrat diuapkan
dalam cawan penguap kemudian residu direaksikan dengan pereaksi
Lieberman-Bouchard. Terbentuk warna merah, biru atau violet
menunjukkan adanya senyawa terpenoid atau steroid.
3. Pembuatan sediaan uji
Senyawa uji berupa ekstrak kental etanol buah mengkudu dan jahe gajah
tunggal dan kombinasi (1:1) sesuai dosis. Sediaan dibuat dengan
melarutkannya dalam air menggunakan tragakan 1% dan untuk kontrol,
dibuat tragakan 1% tanpa senyawa uji. Sediaan diberikan secara oral setiap
hari selama 90 hari (Hendriani, 2007).
4. Penyiapan hewan uji
Sebelum pengujian dimulai, hewan diadaptasikan di dalam ruangan
percobaan selama lebih kurang tujuh hari. Hewan diamati kesehatan dan
tingkah lakunya. Hewan yang digunakan dalam percobaan adalah hewan
yang sehat, tidak terjadi penurunan bobot badan melebihi 10% dan tidak
menunjukkan kelainan tingkah laku dan penyimpangan dari keadaan
normal. Hewan yang digunakan adalah tikus putih jantan dan betina galur
Wistar (Hendriani, 2007).
5. Dosis dan cara pemberian sediaan uji secara oral
Hewan dikelompokkan secara acak sedemikian rupa sehingga penyebaran
bobot badan merata pada semua kelompok. Hewan dikelompokkan dalam
8 kelompok tikus jantan dan 8 kelompok tikus betina, masing-masing
kelompok terdiri dari 10 ekor, sehingga masing-masing dosis terdiri dari
10 ekor jantan dan 10 ekor betina (Hendriani, 2007). Kelompok tersebut
terdiri dari:

23
a) Kelompok I: Dosis 50 mg/kg berat badan ekstrak etanol jahe gajah
(Dosis rendah tunggal).
b) Kelompok II: Dosis 50 mg/kg berat badan ekstrak etanol mengkudu
(Dosis rendah tunggal).
c) Kelompok III: Dosis 50 mg/kg berat badan ekstrak etanol
mengkudu-jahe gajah (1:1) (Dosis rendah kombinasi).
d) Kelompok IV: Dosis 400 mg/kg berat badan ekstrak etanol
mengkudu-jahe gajah (1:1) (Dosis tengah kombinasi).
e) Kelompok V: Dosis 1000 mg/kg berat badan ekstrak etanol
mengkudu-jahe gajah (1:1), (Dosis atas kombinasi).
f) Kelompok VI: Kontrol (diberi tragakan 1%).
g) Kelompok VII: Satelit kontrol (diberi tragakan 1%).
h) Kelompok VIII: Satelit dosis 1000 mg/kg berat badan ekstrak etanol
mengkudu-jahe gajah (1:1), (Satelit dosis atas kombinasi).
6. Pengamatan perilaku dan aktivitas motorik
Perilaku dan aktivitas motorik diamati sebelum dan sesudah pemberian
pertama, sesudah pemberian 90 hari (pada hari ke 91) dan kelompok satelit
setelah 30 hari sediaan uji berhenti diberikan (hari ke 121). Untuk melihat
pengaruh pemberian sediaan uji dilakukan pengamatan rasa ingin tahu
(jumlah jengukan pada platform), aktivitas motorik, straub, piloereksi,
ptosis, refleks pineal, refleks kornea, lakrimasi, midriasis, katalepsi, sikap
tubuh, menggelantung, retablismen, fleksi, respons tertutup induksi sakit
(uji Hafner), kolik, mortalitas, grooming, defekasi, urinasi, pernapasan,
salivasi, vokalisasi, tremor, writing (menggeliat) (Hendriani, 2007).
7. Pengamatan bobot badan
Penimbangan bobot badan tikus dilakukan setiap hari selama 91 hari untuk
kelompok uji dan 121 hari untuk kelompok satelit. Pertambahan bobot
badan kelompok uji selama 90 hari dan pertambahan bobot badan selama
120 hari untuk kelompok satelit dibandingkan terhadap kelompok control
(Hendriani, 2007).
8. Pemeriksaan parameter urin

24
Pemeriksaan parameter urin pada akhir pengujian yaitu hari ke 91 bagi
kelompok uji sedangkan kelompok satelit dilakukan pada hari ke 121.
Urin ditampung sepanjang lebih kurang 16 jam, hewan dipuasakan dan
ditempatkan dalam kandang metabolisme. Dilakukan pemeriksaan urin
yang meliputi warna dan kekeruhan, berat jenis, dan pH (Hendriani, 2007).
9. Pengamatan parameter darah
Darah diambil dari ekor tikus pada hari ke 91 sedangkan untuk kelompok
satelit pada hari ke 121. Darah tikus yang ditampung dan dicegah
pembekuannya dengan penambahan antikoagulan akan memisah bila
disentrifuga membentuk lapisan-lapisan. Hematokrit adalah perkiraan
volume eritrosit padat per satuan volume darah. Penetapan kadar
hemoglobin dapat dilakukan dengan metoda Sahli. Metoda ini
menggunakan cara kolorimetrik visual. Hemoglobin dalam hemometer
diubah menjadi hematin asam dengan penambahan HCl 0,1N, kemudian
warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standard yang ada
pada alat tersebut. Jumlah sel darah merah dihitung menggunakan
hemositometer dan mikroskop. Darah diencerkan dengan natrium sitrat
0,1M, kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung. Jumlah eritrosit
dihitung dalam volume tertentu, dengan menggunakan faktor konversi
jumlah eritrosit dapat diperhitungkan. Jumlah leukosit dihitung
menggunakan hemositometer dan mikroskop. Darah diencerkan
menggunakan larutan Turk yang mengandung asam asetat dan gentian
violet membentuk warna ungu muda. Gentian violet berguna untuk
memberikan warna pada inti dan granula leukosit. Jumlah trombosit
dihitung menggunakan hemositometer dan mikroskop. Darah diencerkan
dengan larutan ammonium oksalat 1% (Hendriani, 2007).
10. Pengamatan fungsi hati dan ginjal
Pengamatan fungsi hati dan fungsi ginjal dilakukan terhadap hewan uji
menggunakan plasma darah dan urin yang telah ditampung sebelum
dikorbankan pada hari ke 91 sedangkan kelompok satelit dilakukan pada
hari ke 121. Penentuan secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung

25
kadar biokimia darah menggunakan alat spektrofotometer Clinicon dengan
pereaksi dari Rajawali Nusindo. Pengamatan fungsi ginjal meliputi
kreatinin, sedangkan fungsi hati meliputi SGOT dan SGPT (Hendriani,
2007).
11. Pengamatan makroskopik organ
Pada penelitian ini organ yang diamati secara makroskopik dan bobotnya
ditimbang meliputi hati, limpa, ginjal, kelenjar adrenal, jantung, paru-paru,
pankreas, otak, testes, dan vesika seminalis (jantan), uterus, dan ovarium
(betina). Perbandingan bobot organ dengan bobot badan dihitung sehingga
diperoleh indeks organ dalam persen. Indeks organ kelompok yang diberi
sediaan uji dan kelompok satelit dibandingkan terhadap indeks organ
kelompok kontrol. Kondisi mukosa lambung diperiksa secara makroskopis
dan diamati dibawah kaca pembesar untuk melihat bila ada tukak, jumlah
dan lebar tukak (Hendriani, 2007)
12. Pengamatan mikroskopik organ
Pada pemeriksaan setelah kematian hewan uji, dilakukan pemeriksaan
histologi organ untuk mengetahui hubungan antara gejala yang terjadi
dengan struktur organ yang mengalami paparan senyawa uji. Pada
penelitian ini organ yang diperiksa secara histologis yaitu hati, ginjal,
kelenjar adrenal, jantung, limpa, paru-paru, otak, testes dan vesika
seminalis (jantan), uterus dan ovarium (betina). Preparat histologi dibuat
dengan mengiris organ menggunakan mesin pemotong khusus (mikrotom)
kemudian diletakan diatas kaca objek, setelah itu dilakukan prosedur
pewarnaan menggunakan Hematoksilin-Eosin (HE), kemudian ditutup
dengan kaca penutup objek dan dilem menggunakan entellan. Preparat
diamati di bawah mikroskop dan dilakukan pemotretan (Hendriani, 2007).

26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 1. Hasil penetapan karakteristik ekstrak etanol buah mengkudu dan rimpang
jahe
Nama Organoleptik Kadar Kadar Kadar Susut Bobot Kadar Kadar Kadar Kadar abu
sari sari minyak pengeringan jenis air abu abu tidak larrut
larut larut atsiri larut asam
air etanol air
Ekstrak Bentuk: 36,35 66,20 Tidak 10,39 1,3 10* 5,02 3,96 0,45
etanol cairan ditentuka
Buah kental n
Mengkud Warna:
u coklat
Rasa: pahit-
asam
Bau:
Aromatik
Ekstrak Bentuk:
etanol cairan
Jahe kental
Gajah Warna:
coklat
Rasa: Pedas
Bau:
Aromatik
Keterangan: * dihitung dalam % v/b
Pemeriksaan pendahuluan simplisia perlu dilakukan untuk menjamin
kebenaran dan kualitasnya. Setelah buah mengkudu dan rimpang jahe gajah
dikumpulkan, kemudian dilakukan determinasi untuk memastikan jenis tanaman
tersebut. Dari hasil determinasi di Herbarium Bandungense, Departemen Biologi

27
ITB diperoleh data mengkudu tersebut termasuk spesies Morinda citrifolia Linn.
dan jahe gajah spesies Zingiber officinale Rosc.
Tabel 2. Hasil penapisan fitokimia simplisia dari ekstrak
Golongan Ekstrak Etanol Ekstrak Etanol
Senyawa Buah Mengkudu Jahe Gajah
Simplisia Ekstrak Simplisia Ekstrak
Flavonoid - - + +
Saponin - - - -
Tanin katekat - - + +
Tanin galat - - - -
Kuinon - - - -
Alkaloid + + + +
Steroid/titerpenoi + + + +
d
Keterangan : (+) menunjukkan adanya golongan senyawa
(-) menunjukkan tidak adanya golongan senyawa
Tabel 3. Peningkatan bobot badan tikus setelah pemberian sediaan uji
Kelompok Jenis Kelamin Peningkatan P
Bobot
Badan (g)
Kontrol Jantan -
47,4 28,9

Betina -
45,0 19,7

Jahe Gajah 50 mg/kg bb Jantan 0,680


47,6 13,4

Betina 0,425
43,6 21,5

Mengkudu 50 mg/kg bb Jantan 0,054


66,6 27,1

Betina 0,918
47,4 17,0

28
Jahe Gajah - Mengkudu 50 Jantan 0,923
44,9 29,6
mg/kg bb
Betina 0,471
43,2 22,2

Jahe Gajah Mengkudu 400 Jantan 0,468


57,3 24,3
mg/kg bb
Betina 0,520
42,5 15,6

Jahe Gajah Mengkudu Jantan 0,055


53,0 28,1
1000 mg/kg bb
Betina 0,553
40,9 16,9

Satelit Kontrol Jantan 0.329


75,0 24,1

Betina 0,712
47,4 26,5

Satelit Jahe Gajah Jantan 0,350*


81,2 29,1
Mengkudu 1000 mg/kg
bb Betina 0,825*
42,4 19,5

Keterangan : n = 10, n satelit = 5, p : probabilitas, p < 0,05 dinyatakan bermakna,*:


dibandingkan terhadap jahe gajah mengkudu 1000 mg/kg bb.
Tabel 4. Pengamatan bobot jenis dan pH urin
Urin
Kelompok Jenis
Bobot Jenis (g/ml) P pH P
Kela
min
Kontrol Jantan - -
1,0812 7,22 0,93

0,0415
Betina - -
1,1153 0,0518 7,35 0,96

29
Jahe Gajah 50 mg/kg Jantan 0,160 0,730
1,1617 7,06 0,89
bb
0,2316
Betina 0,547 0,767
1,1360 7,20 1,17

0,1384
Mengkudu 50 mg/kg Jantan 0,774 0,437
1,0975 7,57 1,00
bb
0,1016
Betina 0,390 0,962
1,0864 7,33 1,31

0,0314
Jahe Gajah - Jantan 0,684 0,637
1,1043 7,00 1,07
Mengkudu 50
mg/kg bb 0,0519
Betina 0,472 0,706
1,0912 7,16 1,01

0,0244
Jahe Gajah Jantan 0,579 0,827
1,1127 0,0582 7,32 1,13
Mengkudu 400
mg/kg bb Betina 0,705 0,976
1,1026 7,37 0,95

0,0834
Jahe Gajah Jantan 0,498 0,641
1,1198 0,0565 7,00 0,47
Mengkudu 1000
mg/kg bb Betina 0,726 0,760
1,1271 7,20 0,92

0,0293
Satelit Kontrol Jantan 0,630 0,732
1,1133 0,0355 7,40 0,55

Betina 0,813 0,872


1,1502 7,25 0,50

0,0236

30
Satelit Jantan 0,473 0,685
1,1200 7,20 0,45
Jahe Gajah
Mengkudu 1000 0,0710
mg/kg bb Betina 0,972 0,827
1,0924 7,20 0,45

0,0378
Keterangan : n = 10, n satelit = 5, p : probabilitas, p < 0,05 dinyatakan bermakna,*:
dibandingkan terhadap jahe gajah mengkudu 1000 mg/kg bb.
Tabel 5. Kadar SGPT dan SGOT tikus jantan
Kadar SGPT Kadar SGOT
Kelompok N (U/L) P (U/L) P

Kontrol 10 - -
29,10 82,70

14,55 25,82
Jahe Gajah 10 0,102 0,419
22,30 74,90
50
mg/kg 8,30 21,39
bb
Mengkudu 10 0,884 1,000
29,70 82,70
50
mg/kg 9,38 15,59
bb
Jahe Gajah - 10 0,015 0,708
18,90 79,10
Mengku
du 50 8,24 24,44
mg/kg
bb
Jahe Gajah 10 0,042 0,413
20,60 90,60
Mengku
du 400 7,09 26,52
mg/kg
bb

31
Jahe Gajah 10 0,052 0,173
21,00 69,50
Mengku
du 1000 8,42 17,84
mg/kg
bb
Satelit 5 0,057 0,779
19,40 79,40
Kontrol
2,51 15,71
Satelit 5 0,476* 0,766
24,60 73,00
Jahe Gajah
Mengku 6,07 12,19
du 1000
mg/kg
bb

Tabel 6. Kadar SGPT dan kadar SGOT tikus betina


Kadar SGPT Kadar SGOT
Kelompok N (U/L) p (U/L) p

Kontrol 10 - -
16,20 4,64 84,90

12,10
Jahe Gajah 50 mg/kg bb 10 0,705 0,452
17,00 5,87 89,80

15,20
Mengkudu 50 mg/kg bb 10 0,020 0,963
22,20 8,16 85,20

16,16
Jahe Gajah - Mengkudu 10 0,525 0,701
17,80 3,68 82,40
50 mg/kg bb
14,38
Jahe Gajah Mengkudu 10 0,500 0,609
17,90 5,74 82,30
400 mg/kg bb

32
15,27
Kelompok N Kadar SGPT Kadar SGOT
(U/L) P (U/L) P
Jahe Gajah Mengkudu 10 0,251 0,104
19,10 5,36 74,20
1000 mg/kg bb
14,54
Satelit Kontrol 5 0,509 0,871
14,00 3,16 83,50

16,26
Satelit 5 0,186* 0,136*
15,00 5,05 62,20
Jahe GajahMengkudu
1000 mg/kg bb 9,98

Tabel 7. Kadar kreatinin darah tikus jantan dan betina


Jantan Betina
Kelompok N Kreatinin p Kreatinin p
(mg/dl) (mg/dl)
Kontrol 10 - -
0,43 0,36

0,18 0,99
Jahe Gajah 10 0,655 0,746
0,51 0,54 0,29
50
mg/kg 0,22
bb
Mengkudu 10 0,250 0,670
0,22 0,25 0,49 0,30
50
mg/kg
bb
Jahe Gajah - 10 0,079 0,634
0,73 0,70 0,22
Mengku
du 50 0,16
mg/kg
bb

33
Jahe Gajah 10 0,619 0,064
0,54 0,32 0,86 0,99
Mengku
du 400
mg/kg
bb
Jahe Gajah 10 0,606 0,898
0,52 0,28 0,30 0,25
Mengku
du 1000
mg/kg
bb
Satelit 5 0,679 0,847
0,34 0,28 0,32 0,01
Kontrol
Satelit 5 0,960* 0,373
0,51 0,35 0,52 0,38
Jahe Gajah
Mengku
du 1000
mg/kg
bb
Keterangan : n = Jumlah hewan, p= probabilitas, p< 0,05 dinyatakan bermakna, * :
dibandingkan dengan kelompok jahe gajah-mengkudu 1000 mg/kg bb.
4.2. Pembahasan
Suatu bahan yang akan digunakan oleh manusia baik sintetis maupun
bahan alam yang berasal dari tanaman, selain diperlukan data efek
farmakologi juga diperlukan data toksisitas, maka dilakukan penelitian ini
untuk mengetahui toksisitas subkronis kombinasi ekstrak etanol buah
mengkudu dan rimpang jahe gajah pada tikus Wistar (Hendriani, 2007).
Pelarut untuk ekstraksi disesuaikan dengan sifat kandungan yang
terdapat pada tanaman uji. Pada penelitian ini digunakan etanol 96% untuk
ekstraksi menggunakan refluks sebanyak tiga kali agar dapat mengekstraksi
sebanyak mungkin zat aktif. Hasil percobaan diperoleh ekstrak etanol
mengkudu dan jahe gajah dengan rendemen masing-masing 16,14% dan
97%. Dilakukan pemeriksaan karakteristik ekstrak yang berupa sediaan

34
kental diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia
menggunakan pelarut etanol 96%, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa yang tersisa diperlukan sedemikian hingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan. Susut pengeringan ditentukan untuk
memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang
hilang pada proses pengeringan. Bobot jenis memberikan batasan massa per
satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak
pekat (kental) yang masih dapat dituang. Nilai yang diperoleh terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi. Penentuan kadar air untuk memberikan batasan
minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan.
Penentuan kadar abu memberikan gambaran kandungan mineral internal dan
eksternal yang berasal dari proses awal sampai akhir terbentuknya ekstrak.
Parameter organoleptik ekstrak berguna sebagai pengenalan awal yang
sederhana seobyektif mungkin, meliputi bentuk, warna, rasa, dan bau.
Penentuan parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu dengan
melarutkan ekstrak dalam air atau alkohol untuk ditentukan jumlah solut
yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri, bertujuan
memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungannya. Penentuan
parameter golongan kandungan fitokimia bertujuan memberikan informasi
adanya kandungan golongan kimia tertentu sebagai parameter mutu ekstrak
dalam kaitannya dengan efek farmakologi. Pengujian toksisitas dilakukan
pada hewan uji yang sehat, hewan control termasuk dalam penelitian dan
mendapat perlakuan yang sama tetapi diberikan sediaan blanko. Bentuk
sediaan uji, tingkatan dosis, dan lama pemberian sebanding dengan
pemberian pada manusia. Faktor penting yang mempengaruhi keamanan
suatu senyawa antara lain jumlah dosisnya. Pada penelitian ini digunakan
dosis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelum ini dan hasil uji
tokisitas akut pada dosis bertingkat 5, 50, 500, 2000, dan 5000 mg/kg berat
badan kombinasi ekstrak buah mengkudu dengan jahe gajah (1:1). Pengujian
menggunakan hewan tikus putih jantan dan betina galur Swiss Wistar, dan
pemberian sediaan uji dilakukan secara oral. Pengamatan dilakukan dalam

35
beberapa hari dan tidak ditemukan adanya kematian. Pada uji toksisitas
subkronis ini digunakan dosis 50 mg/kg bb dan dua dosis yang lebih tinggi
yaitu 400 mg/kg bb dan 1 gram/kg bb. Dilakukan pengamatan perilaku dan
aktivitas motorik terhadap semua kelompok hewan uji. Pada hari pertama,
satu jam setelah pemberian sediaan uji, umumnya dapat diamati apabila
adanya penurunan aktivitas motorik baik pada tikus jantan maupun pada tikus
betina, juga pada kelompok kontrol yang diberi sediaan blanko. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian sediaan uji tidak mempengaruhi uji aktivitas
motorik pada hari pertama pemberian. Setelah pemberian sediaan uji 90 hari
berturut-turut, profil aktivitas motorik tidak menunjukkan perbedaan dengan
kelompok kontrol, demikian juga pada kelompok satelit baik pada tikus
jantan ataupun betina. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sediaan uji
selama 90 hari berturut-turut dan penghentian pemberian sediaan uji selama
30 hari setelah pemberian selama 90 hari berturut-turut, tidak menunjukkan
perubahan terhadap aktivitas motorik. Pada pengamatan terhadap defekasi
dan urinasi pada hari pertama sebelum dan setelah pemberian, setelah
pemberian sediaan uji selama 90 hari berturut-turut, serta pengamatan pada
hari ke 121, tidak menunjukkan perbedaan variasi jumlah defekasi dan
urinasi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan
uji tidak mempengaruhi defekasi dan urinasi hewan uji. Dilakukan juga
pengamatan terhadap sikap tubuh dan pernafasan, dan kemampuan kerja otot
dengan menggelantung dan rentablismen, indentifikasi adanya straub,
piloereksi, ptosis, refleks pineal, dan korneal, midriasis, katalepsi, fleksi,
respon tertutup induksi rasa sakit (uji hafner), kolik, mortalitas, grooming,
tremor dan writhing (menggeliat), juga aktifitas kelenjar salivasi dan
lakrimasi tidak menunjukkan profil yang berbeda dengan kelompok kontrol.
Hasil pengamatan bobot badan tikus menunjukkan profil perkembangan dan
peningkatan bobot badan dengan profil yang hampir sama dengan semua
kelompok dosis hewan uji. Peningkatan yang paling tinggi terjadi pada
kelompok hewan yang diberi sediaan uji mengkudu dosis 50 mg/kg berat
badan (Hendriani, 2007).

36
Urin merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar senyawa toksikan,
sehingga ginjal yang mempunyai volume aliran darah tinggi mengkonsentrasi
toksikan pada filtrat dan membawa toksikan melalui sel tubulus, karena itu
ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik. Pemeriksaan urin
dilakukan secara organoleptik yang meliputi warna dan kekeruhan, berat
jenis, dan pH. Profil urin tikus jantan dan betina yang diberi sediaan uji tidak
menunjukkan profil urin yang berbeda bermakna secara statistik jika
disbanding dengan kelompok control (Hendriani, 2007).
Pada pengamatan parameter darah yang meliputi hematokrit,
hemoglobin, sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit menunjukkan
profil yang hampir sama dengan kelompok kontrol. Perbedaan yang
bermakna terjadi pada jumlah sel darah putih tikus jantan pada pemberian
senyawa uji dosis 400 mg/kg bb. Hal tersebut belum tentu akibat pemberian
sediaan uji, karena hanya terjadi pada sebagian dari satu kelompok dosis dan
sel darah putih atau leukosit berperan dalam pertahanan tubuh terutama
terhadap infeksi, dalam keadaan radang leukosit dapat terbentuk lebih
banyak. Fungsi hati dan ginjal dapat dilihat dari pengujian biokimia darah.
Pada pengujian serum trasaminase asam glutamat oksaloasetat (SGOT) dan
transaminase asam glutamat piruvat (SGPT), aktifitas enzim SGPT dan
SGOT tikus jantan pada dosis 50 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan 1000 mg/kg
bb menunjukkan aktifitas yang menurun dibandingkan kelompok kontrol.
Pada pemberian ekstrak kombinasi jahe gajah dan mengkudu dosis 50 dan
400 mg/kg bb, aktifitas enzim SGPT lebih rendah dari kontrol dan
menunjukkan perbedaan yang bermakna. Aktifitas SGPT dan SGOT
berkaitan erat dengan kondisi patologi hati, penurunan aktifitas enzim
tersebut menunjukkan adanya perbaikan fungsi hati. Aktifitas enzim SGPT
pada kelompok satelit dosis 1000 mg/kg bb kembali menunjukkan aktifitas
yang meningkat mendekati kelompok kontrol. Sedangkan aktifitas enzim
SGPT dan SGOT tikus betina pada umumnya tidak menunjukkan aktifitas
yang berbeda secara statistik dibanding kelompok kontrol, hanya pada

37
kelompok pemberian mengkudu 50 mg/kg bb aktifitas SGPT meningkat
(Hendriani, 2007).
Kadar kreatinin darah tikus jantan dan betina pada semua kelompok
hewan uji menunjukkan kadar yang sebanding dengan kelompok kontrol.
Kreatinin merupakan suatu metabolit kreatin dan diekskresikan dalam urin
melalui glomerulus ginjal. Kadar kreatinin kelompok hewan uji menunjukkan
profil yang tidak berbeda bermakna secara statistik dibandingkan dengan
kelompok kontrol, merupakan indikasi fungsi ginjal masih baik.
Pada pengamatan makroskopik organ, setelah hewan uji dibedah,
diisolasi beberapa organ yaitu hati, limpa, ginjal, kelenjar adrenal, jantung,
paru-paru, pankreas, otak, testes dan vesika seminalis (jantan), uterus dan
ovarium (betina), serta lambung. Masing-masing organ diamati keadaannya
dan ditimbang, organ yang berpasangan ditimbang bersama. Pada hasil
pengamatan tidak menunjukkan adanya kelainan organ secara makroskopik,
juga tidak ditemukan terjadinya tukak dilambung hewan uji. Pengamatan
secara mikroskopik dengan histologi organ tertentu dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara gejala yang terjadi dengan struktur organ yang
mengalami paparan senyawa uji. Dilakukan pemeriksaan histologi terhadap
organ hati, limpa, ginjal, kelenjar adrenal, jantung, paru-paru, otak, testes dan
vesika seminalis (jantan), uterus, dan ovarium (betina). Pada pemeriksaaan
histologi hati kelompok hewan uji kombinasi dosis 1000 mg/kg bb paling
banyak mengalami degenerasi sel hati hal ini menunjukkan pemberian
sediaan uji dosis tinggi dapat merusak sel hati lebih banyak. Pada kelompok
dosis kombinasi 50 mg/kg bb ditemukan adanya peningkatan yang cukup
tinggi jumlah sel kupffer dibanding kontrol. Sel kupffer merupakan sel
makrofag fagositik bentuk fagosit mononukleus, peningkatan jumlah sel ini
kemungkinan karena adanya sifat imunostimulan. Pada pemeriksaan histologi
limpa, ditemukan adanya pelebaran pulpa putih pada semua kelompok hewan
uji dibanding kontrol. Pelebaran pulpa putih paling besar terdapat pada
kelompok uji kombinasi dosis 50 mg/kg bb juga ditemukan jumlah sel
megakariosit paling banyak. Pulpa putih merupakan jaringan limfoid yang

38
menyelubungi arteri sentralis terutama adalah limfosit T dan membentuk
selubung limfatik periarteri. Megakariosit berhubungan dengan
kemampuannya dalam regenerasi sel-sel darah (ekstramedulari
hematopoiesis). Pemeriksaan histologi paru-paru, jantung, kelenjar adrenal,
otak, testes dan vesika seminalis (jantan), uterus dan ovarium (betina) tidak
ditemukan perbedaan mencolok pada hewan kelompok uji dan kelompok
kontrol (Hendriani, 2007).

39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa, ekstrak
etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) dan rimpang jahe gajah
(Zingiber officinale Rosc.) tunggal pada dosis masing-masing 50 mg/kgbb
serta kombinasinya dengan perbandingan (1:1) dengan dosis 50, 400, dan
1000 mg/kg bb pada tikus putih jantan dan betina galur Wistar tidak
menyebabkan toksisitas subkronis yang berarti dan tidak mempengaruhi
organ tubuh setelah penggunaan buah mengkudu, rimpang jahe gajah, atau
kombinasi keduanya sehingga aman digunakan, terlihat dengan tidak adanya
perbedaan bermakna kelompok hewan yang diberi sediaan uji dibanding
kelompok kontrol pada perilaku, perkembangan bobot badan, parameter
darah, indeks, dan makroskopik organ (Hendriani, 2007).
Pada organ hati dan ginjal tidak ditemukan toksisitas berarti terlihat
pada pemeriksaan kadar biokimia darah yang meliputi SGOT, SGPT, serta
kreatinin. Pada pengamatan histologi organ hati ditemukan adanya
peningkatan yang cukup tinggi jumlah sel kupffer pada kelompok uji
kombinasi dosis 50 mg/kg bb. Pada limpa ditemukan adanya pelebaran pulpa
putih pada semua kelompok dosis disbanding kontrol dan pelebaran yang
paling besar terdapat pada kelompok uji kombinasi dosis 50 mg/kg bb. Hal
ini terjadi kemungkinan karena ada efek imunostimulan.
Ekstraksi refluks merupakan metode ekstraksi cara panas
(membutuhkan pemanasan pada prosesnya), dengan pelarut pada temperatur

40
titik didihnya akan menguap dan terkondensasi, dan jumlah pelarut yang
relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.
5.2. Saran
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dengan
mengetahui cara ekstraksi dengan metode refluks, dari mulai penyiapan
bahan sampai dengan diperolehnya hasil ekstraksi, lalu dipekatkan hingga
ekstrak dapat digunakan sebagai bahan uji.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Agoes. 2007. Teknologi Bahan Alam. Bandung: ITB Press.


2. Donatus. 2001. Toksikologi Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
3. Harborne. 1996. Metode Fitokimia Edisi II. Bandung: ITB Press.
4. Hendriani, Rini. 2007. Uji Toksisitas Subkronis Kombinasi Ekstrak Etanol
Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia Linn.) dan Rimpang Jahe Gajah
(Zingiber Officinale Rosc.) pada Tikus Wistar. Bandung: Padjajaran
University Press.

42

Anda mungkin juga menyukai