TINJAUAN PUSTAKA
CHRONES DISEASE
Definisi
Etiologi
3
(intestin) dan merangsang terjadinya inflamasi kronis dengan akibat terjadinya
ulserasi, perlukaan usus, dan scar formation (pembentukan jejas) pada jaringan
usus. Namun belum dapat dipastikan abnormalitas fungsi sistem imun pada
Chrones disease merupakan penyebab (cause) atau akibat (result) dari penyakit
ini. 1,3
Epidemiologi
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia terutama pada kelompok
usia 20 dan 30-an tahun. Perbandingan rasio laki-laki dan perempuan umumnya
seimbang dan terlihat paling sering antar saudara laki-laki dan perempuan dan
terkadang antara orang tua dan anak-anaknya. Data mengenai Chrones Disease di
Indonesia masih sangat minim, namun diperkirakan kasusnya semakin meningkat
dari tahun ke tahun karena erat kaitannya dengan pola gaya hidup modern. Pada
tahun 2008, prevalensi Chrone Disease berdasarkan hasil endoskopi di seluruh
Indonesia berkisar antara 1,0-3,3%.1
Patogenesis
4
tampak infiltrasi limfosit dan sel plasma, disrupsi cripta dan adanya granuloma
nonkaseosa.1,3,4
Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang paling umum adalah nyeri perut bawah kanan,
diare, penurunan berat badan dan kelelahan. Hal ini sering diikuti oleh perdarahan
rektum, dan gejala ekstraintestinal lain seperti perdarahan mungkin serius dan
persisten sampai terjadi anemia. Umumnya gejala sebagian besar ditentukan oleh
lokasi dan ada tidaknya striktur dan fistula. Sistem montreal (Tabel 1) digunakan
untuk mengklasifikasikan penyakit, dan penting untuk menentukan prognosis dan
terapi yang optimal.1,3
Diagnosa
5
Kulit : Ulkus mulut, eritema nodosum, pioderma gangrenosum, ruam kulit
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
Blood test (Seri pemeriksaan darah)
Dapat memastikan anemia dan jenisnya, juga dapat mengetahui
indikasi perdarahan dalam intestine (usus). Anemia dan trombositosis
adalah temuan umum. Anemia mungkin karena kekurangan zat besi,
asam folat atau vitamin B12. Tes darah tidak dapat menerangkan
mengapa sel darah putih (leukosit) meningkat dalam darah yang
merupakan tanda inflamasi dimana saja dalam tubuh. Tetapi
leukositosis yang disertai meningkatnya faktor-faktor imunologi TNF-
, IL-1 dan IL6 dapat menerangkan adanya Chrones Disease. Melalui
sampel feses (feses occult bleeding tes- FOBT), dapat diketahui bahwa
ini adalah perdarahan usus (FOBT positif) atau infeksi (FOBT negatif)
dalam usus. Umumnya pada Chrones Disease FOBT positif. Sehingga
dikatakan pemeriksaan kultur tinja dapat membantu penentuan apakah
peradangan disebabkan oleh infeksi atau non-infeksi. Umumnya yang
digunakan adalah parameter penanda inflamasi secara umum seperti
laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP). Pada Chrones
Disease, kadar CRP serum berkorelasi positif dengan aktivitas
6
penyakit dan dengan penanda inflamasi lainnya sesuai dengan indeks
aktivitas Chrones Disease. Peningkatan kadar CRP > 45 mg/L pada
dapat membantu klinisi untuk mengambil keputusan perlunya
dilakukan kolektomi.1,2,3
Imaging Test
Pada tes ini, pasien diminta meminum barium (chalky solution)
yang akan menutupi mukosa usus halus, kemudian dilakukan
pemeriksaan x-ray. Pada film x-ray, barium terlihat putih dan mengisi
inflamasi atau abnormalitas lainnya di dalam usus halus. Pemeriksaan
ini dapat memperlihatkan seberapa banyak usus halus yang dikenai
Chrones Disease, yang sering memperlihatkan gambaran khas
Chrones Disease. Namun pemeriksaan ini telah diganti oleh CT dan
MR enterografi (CTE dan MRE). CTE dan MRE memiliki nilai
diagnostik yang sama antara satu dengan yang lain. Keuntungan utama
dari MRE adalah kurangnya radiasi pengion. Kedua modalitas, CTE
dan MRE, dapat mendeteksi peradangan mukosa, striktur, dilatasi usus,
fistula, dan abses. Radiografi standar abdominal digunakan untuk
keadaan darurat yang cepat, murah, dan mudah untuk menilai dilatasi
usus halus dan peradangan kolon.1,3
Endoskopi
7
biopsi jaringan untuk dilihat dengan mikroskop (histopatologi).
Gambaran makroskopik per endoskopi yang dapat mengarah ke
Chrones Disease adalah adanya cobble-stone appearence (CSA-
gambaran batu bulat) secara dominan pada mukosa. Gastroskopi
dianjurkan pada anak-anak, atau orang dewasa dengan gejala
pencernaan bagian atas.1,3
- Edukasi
8
yang residif (remisi-eksaserbasi) berulang-ulang sepanjang hidup.
Sehingga diperlukan kerjasama antara dokter-penderita-keluarga harus
benar-benar berjalan dengan baik. Disamping itu juga perhatikan beberapa
faktor yang dapat menjadi predisposisi dan alat kontrol Chrone Disease,
diantaranya seperti faktor-faktor stress, diet dan vitamin, kehamilan, dan
penyakit-penyakit metabolik lainnya. Sebagai contoh, Penghentian
merokok merupakan intervensi yang efektif dalam pengobatan Chrones
disease. Merokok predisposisi untuk penyakit yang lebih agresif.1,3
- Suplemen Nutrisi
- Obat-obatan
9
disebabkan oleh bakteri intraluminal. Sebagian besar bakteri intraluminal
bersifat komensal dan tidak menginduksi reaksi inflamasi namun mereka
masih mampu memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel
intestinal untuk menekan kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin
proinflamasi dan meningkatkan produksi interleukin 10.1,2
Kortikosteroid
Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid masih merupakan
obat pilihan untuk IBD derajat sedang dan berat dalam fase peradangan
aktif. Pemilihan obat steroid konvensional, seperti prednison,
metilprednisolon ataupun steroid enema, masih menjadi primadona karena
harga yang murah dan ketersediaan yang luas. Dosis umumnya adalah
setara 40-60 mg prednison. Namun, jangan dilupakan efek sistemik obat-
obatan ini. Idealnya, dicapai kadar steroid yang tinggi pada dinding usus
namun dengan efek sistemik yang rendah. Umumnya, preparat yang
digunakan dewasa ini adalah budesonid. Remisi biasanya tercapai dalam
waktu 8 12 minggu yang kemudian diikuti dengan penurunan dosis
(tapering down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga tercapai dosis 40
mg atau 5 mg per minggu hingga tercapai 20 mg. Kemudian dosis
ditapering off 2.5 mg per minggu.2
Asam Aminosalisilat
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini
lebih disukai dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil
meski efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia, sulfasalazin dipasarkan
dalam bentuk sediaan tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL, serta
supositoria 500 mg. Dosis rerata untuk mencapai remisi adalah 2 4 gram
per hari meski ada kepustakaan yang menyebutkan penggunaan 5-ASA ini
minimal 3 gram per hari. Umumnya remisi tercapai dalam 16 24 minggu
yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5
3 gram per hari. Sulfasalazin dapat digunakan untuk penyakit kolon
ringan dan dapat digunakan pada pasien dengan gejala sendi. Untuk kasus-
10
kasus usus bagian kiri atau distal, dapat diberikan mesalazin supositoria
atau enema. Kemungkinan ada peran untuk mesalazin dalam pencegahan
kekambuhan pasca operasi Chrones disease. Sedangkan untuk kasus
berat, biasanya tidak cukup hanya dengan menggunakan preparat 5-ASA.
Untuk mencegah peradangan berulang, dilakukan upaya mempertahankan
masa remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang
bersifat individual atau mengganti obat steroid pada fase peradangan akut
dengan obat-obatan golongan imunosupresif, anti-tumor necrosis
antibody, dan probiotik.1,2,3
Imunomodulator
Azatioprin dan 6-merkaptopurin (6-MP), siklosporin, dan
metotreksat merupakan beberapa jenis obat kelompok imunomodulator.
Dosis inisial azatrioprin 50 mg diberikan hingga tercapai efek substitusi
lalu dinaikkan bertahap 2.5 mg/kgBB. Onset aksi lambat, umumnya, efek
terapeutik baru tercapai dalam 2 3 bulan, oleh karena itu
imunomodulator sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi agen tunggal,
tetapi harus digunakan berdampingan dengan obat yang memiliki remisi
cepat (miskortikosteroid atau terapi biologi). Efek samping yang sering
dilaporkan adalah nausea, dispepsia, leukopeni, limfoma, hepatitis hingga
pankreatitis. Siklosporin intravena diketahui dapat bermanfaat untuk kasus
akut KU refrakter steroid dengan angka keberhasilan 50 80%. Efek
samping yang sering dilaporkan meliputi gangguan ginjal dan infeksi
oportunistik. Sedangkan metotreksat dikenal sebagai preparat yang efektif
untuk kasus PC steroid dependent sekaligus untuk mempertahankan remisi
pada KU. Dosis induksi 25 mg intramuskular atau subkutan per minggu
hingga selesai tapering off steroid.2,3
- Agen Baru
Dewasa ini beberapa obat anti-tumor yang dikenal juga sebagai agen
biologik banyak dicoba pada IBD, misalnya infliksimab yang memiliki
11
anti-tumor necrosing factor (anti- TNF). Umumnya digunakan untuk
kasuskasus PC fistulated sedang dan berat (refrakter steroid). Studi
ACCENT I dan ACCENT II adalah studi yang meneliti dosis infliksimab
sebagai pemeliharaan. Dalam studi tersebut diajukan dosis infliksimab 5
10 mg/kgBB selama 8 minggu. 2 Agen lain adalah obat yang bekerja pada
interleukin 6 (IL-6) sebagai salah satu sitokin proinflamasi. Penggunaan
tocolizumab, suatu anti IL-6, menunjukkan respons kilnis sebesar 70%
setelah 6 minggu.2
- Tindakan Bedah
12
menghilangkan penyakit dan tidak umum untuk penderita mengalami dua
kali atau lebih operasi akibat inflamasi yang cenderung muncul kembali di
atas area usus yang sudah dibuang.1
- Obat Kombinasi
KOLITIS ULSERATIF
Definisi
13
Merupakan penyakit kronik dengan karakteristik inflamasi menyeluruh
pada mukosa yang terbatas pada kolon. Proses peradangan dimulai dari rektum
dan meluas ke proksimal secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan
seluruh bagian kolon. Peradangan kolon bersifat nonspesifik yang umumnya
berlangsung lama disertai masa remisi dan eksaserbasi yang berganti-ganti. Lesi
biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus. Inflamasi
hampir tidak pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis
juga terdapat peradangan. Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada Kolitis
ulseratif, tidak adanya skip area yakni area normal di antara daerah lesi menjadi
penanda khas Kolitis Ulseratif sehingga dapat dijadikan pembeda dengan
Chrones Disease.1,6
Etiologi
Walaupun penyebab kolitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran
tertentu penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini
meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikolgik.7
1. Faktor familial atau genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada
orang kulit hitam dan orang Cina, dan insidennya meningkat sampai 6
kali lipat pada orang Yahudi dibandingkan dengan orang non Yahudi. Hal
ini menunjukkan bahwa predisposisi genetik terhadap perkembangan
penyakit ini.7
2. Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian
terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping usaha
untuk menemukan agen bakteri, jamur dan virus, belum ada yang sebagian
jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel pseudomonas atau
agen yang dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur
jaringan masih harus dikonfirmasi.7
3. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada
konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan
ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun
14
dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin,
dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresi.7
4. Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah
ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya atau
berkembang, sehubungan dengan adanya stress psikologis mayor misalnya
kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien
penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat lebih
rentan terhadap stres emosi yang sebalinya dapat merangsang atau
mengeksaserbasi gejalanya.7
Epidemiologi
Epidemiologi KU berbasis endoskopi di rumah sakit seluruh Indonesia
berdasarkan angka prevalensi yang terkumpul di awal tahun 2008 oleh Tim
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD berkisar antara 2,5-23%.1
Patogenesis
Patofisiologi yang mendasari KU adalah konsep imunologik yang disebut
GALT (gut-associated lumphoid tissue) atau sistem imun mukosa usus besar
(SIMUB) yang terpicu oleh intervensi antigen berasal dari komponen nutrisi atau
agen infeksi seperti bakteri maupun virus dimana kaskade patogenik peradangan
dimulai dengan eksposisi/penempatan antigen di kolon dan akan muncul di
dinding mukosa usus besar (DMUB) menghasilkan aktivasi substans pembawa
pesan khusus di usus besar (T helper 2) disebut sitokin dan oleh faktor pemicu
peradangan sekunder seperti IgG-antibodies yang terbentuk karena stimulasi
primer sel-sel SIMUB menimbulkan ketidakseimbangan antara sitokin
peradangan dan sitokin peradangan. Sitokin yang dilepaskan oleh makrofag
sebagai respons terhadap berbagai stimulus antigenik akan berikatan dengan
beragam reseptor dan menghasilkan efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin
mengubah limfosit menjadi sel T dimana sel T-helper 2 (Th-2) berperan dalam
Kolitis Ulseratif. Respons imun ini akhirnya akan merusak mukosa saluran cerna
dan memicu terjadinya kaskade proses inflamasi kronik. Predisposisi genetik
15
dengan kondisi flora lumen usus serta agen lingkungan seperti obat-obatan
tertentu, infeksi berat, merokok dan faktor stres merupakan pemicu utama
SIMUB. Disregulasi reaksi imun pada SIMUB menyebabkan aktivasi luar biasa
sel-sel peradangan sitokin khusus usus besar (sel limfoid T helper 2).1,2
Gejala klinik
16
Diagnosis
a.
Anamnesa dan gejala klinis
Gejala utama dari kolitis adalah diare, perdarahan pada rektum,
tenesmus, adanya mukus, dan nyeri abdomen. Berat atau tidaknya gejala
penyakit berjalan seiring dengan luasnya proses penyakit. Meskipun KU
dapat bersifat akut, rata-rata gejala klins bermanifestasi dalam jangka
waktu berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Seringkali diare dan
perdarahan saluran cerna bersifat sangat ringan jadi pasien tidak
memeriksakan dirinya ke dokter. Pada kasus berat, berat badan cepat
sekali menurun karena proses pencernaan yang terganggu. Didapatkan
gejala-tanda berupa kelemahan umum, cepat lelah, hilangnya nafsu makan,
demam, nyeri perut, diare berat dengan mukus dan atau darah, gangguan
sendi-sendi, kulit, mata, ikterus dan nyeri abdomen kanan atas karena
radang sistem PHB (pankreo-hepato-bilier), gangguan jantung akibat
trombosis vena dan anemia kronis.6,8
b.
Pemeriksaan Fisik
Rangkaian pemeriksaan fisik dan tes tambahan mungkin dapat
menegakkan diagnosis kolitis ulseratif. Secara fisik keadaan umum dan
status gizi penderita kolitis ulseratif masih cukup baik, karena proses
penyakit dimulai dari rektum sehingga proses penyerapan makanan masih
berlangsung baik. Pemeriksaan colok dubur merupakan pemeriksaan
penting untuk kolitis ulseratif dengan nilai positif jika didapatkan adanya
sedikit darah pada jari.1,2
c.
Pemeriksaan Laboratorium
Seri pemeriksaan darah (Blood Test) sebagai tes tambahan pertama,
dapat memastikan anemia dan jenisnya, juga dapat mengetahui indikasi
perdarahan dalam instestin (usus). Tes darah tidak dapat menerangkan
leukositosis dalam darah, tetapi peningkatan faktor-faktor imunologik IL-
3.4.10 (basofil), IL-5 (limfosit B) atau IL-1.3.4 (eusinofil) dapat
menerangkan adanya kolitis ulseratif. Umumnya pada kolitis ulseratif
terjadi hematokezia, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan tes darah
samar feses (FOBT- fecal occult bleeding test) kandungan protein dalam
17
darah seperti CRP (C-reactive protein), protein electrophoresis,
albumin/globulin dan test khusus zat besi, elektrolit, vitamin B12, asam
folat dan trace element secara bersama-sama dapat menolong
mengarahkan tanda umum peradangan.1,8
d.
Pemeriksaan Radiologi 1
a. Colon in Loop Test
Untuk melihat dinding mukosa usus besar. Pemeriksaan ini
dapat menilai kondisi anatomi kolon, tetapi kurang disukai karena zat
kontras yang melapisi mukosa yang meradang sering memicu
peradangan baru.
b. USG Abdomen
Oleh tangan yang berpengalaman dapat memberikan penilaian
tentang keadaan dinding mukosa usus besar, dimana terjadi penebalan
dinding dan stenosis lumen di daerah yang sedang meradang, di
samping mungkin menemukan beberapa kelainan ekstraluminal /
diluar usus besar pada kolitis ulseratif.
e.
Kolonoskopi
Secara definitif memperlihatkan pemeriksaan visual langsung usus
besar mulai dari anus dan dapat berakhir pada caecum, bahkan sampai ke
sepertiga bawah ileum terminalis. Pemeriksaan ini lebih menguntungkan
karena dapat melihat keseluruhan permukaan dalam dinding mukosa usus
besar (gambaran patologi anatomi) dan dapat mengambil contoh jaringan
mukosa usus melalui biopsi jaringan untuk dilihat dengan mikroskop
(histopatologi). Gambaran khas pada kolitis ulseratif adalah lesi ulseratif
difus pada mukosa yang sembab tanpa skip area.1,8
f.
Pemeriksaan pANCA (perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody)
Untuk pasien KU dan anti-saccharomyces cerevisiae antibody
(ASCA) untuk pasien PC. p-ANCA ditemukan pada 50-67% kasus KU
meski juga dapat ditemukan pada 6 sampai 15% kasus PC. ASCA lebih
sering dijumpai pada PC, yakni sekitar 40 sampai 60%, dan hanya sekitar
4 sampai 14% dijumpai pada KU. Sayangnya, pemeriksaan ini tidak
terlalu sensitif mendiagnosis IBD sehingga tidak tepat sebagai modalitas
diagnostik tunggal.1,2
18
Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan adalah memperbaiki dan menghilangkan gejala-
tanda yang muncul seperti diare, rasa nyeri dan kehilangan darah dengan langkah
pertama adalah pemberian obat-obatan, diikuti oleh tindakan bedah, diet dan
terapi suportif.1
1. Obat-obatan
19
Gambar 3 Ulasan ringkas regimen terapi pada Kolitis Ulseratif
2. Tindakan Bedah
20
Gambar 4 Algoritma rencana terapeutik KU di Pelayanan Lini Kesehatan
Primer2
KOLITIS INFEKSI
Definisi
21
Epidemiologi
Patofisiologi
Entamoba Histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu ; kista dan trofozoit
yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam.
Di dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengelurakam trofozoit yang
akan menjadi dewasa dalam lumen kolon. Akibat klinis yang ditimbulkan
bervariasi, sebagian besar asimptomatik atau menimbulkan sakit yang sifatnya
ringan sampai berat.10
Berdasarkan pola isoenzimnya, E. Hystolitica dibagi menjadi golongan
zymodeme patogenik dan zymodeme non patogenik, walaupun mekanismenya
belum sepenuhnya jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan
cara mengelurkan enzim proteolik. Pasien dalam keadaan imonusupresan seperti
pemakai steroid memudahkan invasi parasat ini. Pengelepasan bahan toksik
menyebabkan reaksi inflamasi yang mengakibatkan destruksi mukosa. Bila proses
berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undermined, kedalaman
ulkus mencapai submukosa atau lapisan muskularis. Tepi ulkus menebal dengan
sedikit reaksi radang. Mukosa diantara ulkus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi
disemua bagian kolon, yang tersering yaitu di sekum, kemudian kolon asenden
dan kolon sigmoid, kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis.10
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag lymphokine-activeed serta
limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon
dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut
ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden.10
Gejala Klinis
22
Gejala klinis pasien amoebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimptomatik
sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif, gejala yang timbul
berupa nyeri perut (12-80%), diare (94-100%), buang air besar bercampur darah
(94-100%), demam (8-38%), perforasi dan peritonitis sekitar 0,5% dengan
mortalitas lebih dari 40%.10
- Carrier : amoeba tidak invasi dinding usus, tanpa gejala atau keluhan
ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. 90%
sembuh sendiri dalam waktu satu tahun, 10% berkembang menjadi kolitis
amoeba.
- Disentri amoeba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan,
diare ringan dengan tinja berbau busuk disertai darah dan lendir, keadaan
umum baik.
- Disentri amoeba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali
dengan nyeri spontan.
- Disentri amoeba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual,
anemia.
- Disentri amoeba kronik : seperti disentri amoeba ringan, diselingi periode
normal berlangsung hingga bertahun-tahun, neurasthenia, serangan diare
timbul karena kelelahan, demam atau makan yang sukar dicerna.
Diagnosa
Diagnosis pada pasien yang dicurigai mengidap amoebiasis kolon,
pertama kali diperiksa adanya eritrosit dalam tinja, bila positif, pemeriksaan
dilanjutkan. Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis,
dilakukan minimal pada 3 spesimen tinja yang terpisah, untuk mencari adanya
bentuk trofozoit. Untuk identifikasi kista dilakukan pemeriksaan tinja dengan
pengecetan trichrome, bila perlu dengan teknik konsentrasi tinja. Pemeriksaan
serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap amoeba, positif pada 85-95%
pasien dengan infeksi amoeba yang invasif. Biakan tinja lebih sensitif
dibandingkan pemeriksaan mikroskopik, namun memerlukan waktu sampai 1
minggu.10
PCR dapat mendeteksi DNA spesifik E. Histolytica pada tinja segar secara
cepat, sensitive, dan spesifik, namun tidak terdapat secara merata di seluruh dunia.
Pemeriksaan kolonoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien
23
amoebiasis akut. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum dilakukan terapi.
Ulkus yang terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas, dengan
dasar yang melebar (undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan.
Mukosa di sekitar ulkus biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat
ditemukan pada dasar ulkus dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian
diperiksa dengan mikroskop setelah diberi larutan garam fisiologis. Pemeriksaan
radiologi tidak banyak membantu, karena gambarannya sangat bervariasi dan
tidak spesifik. Bila terbentuk amoeba tampak sebagai filling defect.10
Tatalaksana
1. Karier asimptomatik
Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain:
lodoquinol (diidohidroxyquin) 650 mg tiga kali perhari selama 20 hari atau
Paromomycine 500 mg tiga kali sehari selama 10 hari.
Beberapa obat yang juga dapat digunakan untuk amoebiasis ekstraintestinal antara
lain:
24
Emetin merupakan obat yang efektif untuk membunuh trofozoit di
jaringan yang berada di dinding usus, tetapi tidak bermanfaat untuk
amoeba yang berada di lumen usus. Beberapa dasawarsa yang lalu,
emetin sangat popular namun saat ini telah ditinggalkan karena efek
toksiknya, yaitu dapat menimbulkan mual, muntah, diare, kram perut,
nyeri otot, takikardia, hipotensi, nyeri perikardial, dan kelainan EKG
berupa inverse gelombang T dan interval QT memanjang, sedangkan
aritmia dan QRS yang melebar jarang ditemukan. Disarankan pasien
yang mendapatkan obat ini dalam keadaan tirah baring dengan
pemantauan EKG. Hindari penggunaan emetin pada kelainan jantung,
ginjal, otot, sedang hamil, atau pada anak-anak, kecuali bila obat yang
lain gagal.2
Disentri basiler merupakan infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang
disebabkan oleh bakteri genus Shigella. Setelah kuman melewati lambung dan
usus halus akan menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak
didalamnya.10
Epidemiologi
25
menimbulkan penyakit relatif sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh
karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal-oral, baik secara kontak
maupun akibat makanan dan minuman yang terkontaminasi.10
Patogenesis
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang
ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja lunak (tidak cair), disertai eksudat
infalamasi yang mengandung leukosit polymorphonuclearn (PMN) dan darah.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis
dapat juga terserang. Pada kasus yang sangat berat dan mematikan kuman dapat
ditemukan juga pada lambung serta usus halus.
Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel
mukosa kolon dan berkembang biak di dalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel
disekitarnya melalui mekanisme cell to cell transfer. Walaupun lesi awal terjadi di
lapisan epitel respon inflamasi lokal cukup berat, melibatkan leukosit PMN dan
makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet,
kerusakan arsitektur jaringan dan ukserasi mukosa. Bila penyakit berlanjut, maka
terjadi penumpukan sel inflamasi pada lamina propria, dengan abses pada kripta
merupakan gambaran yang utama.10
Kuman Shigella jarang melakukan penetrasi ke jaringan di bawah mukosa
sehingga jarang menyebabkan bakteremia. Walaupun demikian pada keadaan
malnutrisi dan pasien imuno-compromised dapat terjadi bakteremia.10
Gejala Klinis
Masa tunas antara 7 jam sampai 7 hari. Gejala klinis sangat bervariasi. Lama
gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat berlangsung selama 4
minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama
gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri
perut bawah, rasa panas rektal, diare disertai demam yang dapat mencapai 40 0 C.
Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir,
tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak mungkin didapatkan
demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk, dan
letargi.10,11
26
Pengidap pasca infeksi umumnya berlasngsung kurang dari 4 minggu.
Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang
mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun.10
Diagnosis
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan
nyeri abdomen bawah, rasa panas rektal, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik
tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan
diagnosis dilakukan kultur dan bahan tinja segar atau hapus rektal. Sigmoidoskopi
dapat memastikan diagnosis adanya kolitis, namun pemeriksaan tersebut pada
umumnya tidak diperlukan, karena menyebabkan pasien merasa sangat tidak
nyaman. Indikasi untuk melakukan sigmoidoskopi adalah bila segera diperlukan
kepastikan diagnosis apakah gejala yang terjadi merupakan disentri atau
manifestasi akut kolitis ulserosa idiopatik dan biopsi harus dikerjakan dalam
waktu 4 hari dari saat gejala. Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan
kolitis ulseratif. Demikian pula pemeriksaan barium enema, sigmoidoskopi, dan
histopatologi juga tidak dapat membedakannya. Perbedaan utama adalah kultur
yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan
antibiotik yang adekuat.10
Tatalaksana10,11
27
Pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah banyak yang
resisten dengan antibiotik tersebut, sehingga diperlukan antibiotik lain
seperti golongan kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama pada
pasien dengan gejala klinik yang berat.
Epidemiologi
Patogenesis
28
Mekanisme terjadinya diare dan sindrom hemolitik uremik (SHU) pada
pasien yang terinfeksi E Coli patogen masih belum jelas. Diduga E.Coli patogen
melekat pada mukosa dan memproduksi toksin (Shigelike toxins) yang bekerja
secara lokal dan sistemik. Kerusakan pembuluh darah kolon akibat toksin tersebut
menyebabkan lipopolisakarida dan mediator inflamasi dapat beredar dalam tubuh
dan memicu terjadinya SHU. Anak di bawah lima tahun dan manula lebih sering
mengalami SHU dari pada orang dewasa. Tidak didapatkan kekebalan protektif
terhadap infeksi E. Coli patogen.10
Gejala Klinis
Gejala membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU yang
ditandai dengan anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal
dan gejala saraf sentral.10
Diagnosa
29
gambaran mukosa yang edematous dan hiperemia, kadang-kadang ditemukan
ulserasi superfisial. Dapat dijumpai pula pseudomembran sehingga menyerupai
infeksi C. Difficile. Pemeriksaan patologi menunjukkan gambaran infeksi atau
iskemik dengan pola patchy kadang-kadang dijumpai mikrotrombi fibrin.10
Tatalaksana
Kolitis Tuberkulosa
Epidemiologi
30
menonjol menyerupai karsinoma; 3) ulserohipertropik pada 30% kasus, terdapat
ulserasi dengan fibrosis yang merupakan bentuk penyembuhan. Semua bagian
saluran cerna dapat terinfeksi, namun lokasi yang tersering (85-90% kasus) adalah
daerah ileosekal.10
Gejala Klinis
Keluhan tersering (80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak
khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi,
anoreksia, demam ringan, penurunan berat badan, atau teraba massa abdomen
kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada
pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungkin hanya
berasal dari kuman yang tertelan bersama sputum.10
Diagnosis
Tatalaksana
31
obatnya. Kadang-kadnag perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi.
Beberapa obat anti tuberkulosis yang sering dipakai adalah:10
Kolitis Pesudomembran
Epidemiologi
Patogenesis
C. Difficile menimbulkan kolitis dengan cara toxin mediated. Kuman
mengeluarkan dua toksin utama, toksin A dan toksin B. Toksin A merupakan
enterotoksin yang sangat berpengaruh terhadap semua kelainan yang terjadi,
sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan tidak melekat pada mukosa yang masih
utuh. Kuman yang tidak menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis maupun
32
diare. Pemeriksaan toksin A dan toksin B diambil dari sediaan tinja, dengan
metode ELISA masing-masing spesifitasnya 98,6% dari 100%.10
Gejala Klinis
Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari setelah antibiotik digunakan,
tetapi mungkin pula baru muncul setelah 6 minggu antibiotik dihentikan. Gejala
yang paling sering dikeluhkan adalah diare cair disertai kram perut. Diare dapat
ringan, tetapi biasanya banyak, sampai 10-20 kali sehari. Mual muntah jarang
ditemukan. Sebagian pasien mengalami demam umumnya tidak melampaui 38 0 C.
Terdapat leukositosis, sering sampai 50.000/mm, dan pada beberapa pasien
mungkin hanya diawali demam dan leukositosis, sedangkan diare baru muncul
beberapa hari kemudian. Keluhan lain adalah nyeri tekan abdomen bawah, edema,
dan hipoalbuminemia. Kasus berat dapat terjadi komplikasi dehidrasi, edema
anasarka, gangguan elektrolit, megakolon toksik, atau perforasi kolon.10
Diagnosis
33
pseudomembran bervariasi tergantung beratnya penyakit dan saat kapan biopsi
dikerjakan. Price dan Davies (1977) membagi lesi menjadi 3 tipe :10
Tatalaksana
34
pengobatan diusahakan kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman
laktobasilus atau ragi (Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu.10
35