Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

CHRONES DISEASE

Definisi

Chrones disease merupakan gangguan peradangan terus-menerus dan


melibatkan seluruh mukosa saluran cerna dan traktus digestivus (traktus
gastrointestinal) dari mulut sampai anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas
yakni adanya peradangan, striktur, dan fistula. Chrones disease juga merupakan
penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran cerna dengan etiologi yang
tidak diketahui. Tetapi umumnya mengenai bagian akhir usus halus, yakni ileum
sehingga sering disebut sebagai ileitis atau enteritis. Peradangan dapat meluas dan
melibatkan semua lapisan dinding usus mulai dari mukosa, submukosa sampai
serosa. Hal ini menjadi penanda patologis yang khas untuk Penyakit Chrone.
Akibat hal tersebut, maka akan memberikan nyeri dan membuat usus sering
memberikan reaksi pengosongan berupa diare dan pada kolonoskopi dapat
ditemukan usus yang sehat-normal diantara peradangan yang terjadi yang disebut
skip area. 1,2

Etiologi

Etiologi Chrones disease sepenuhnya tidak diketahui, hal ini diketahui


bahwa imunologi, mikrobiologi, gaya hidup dan faktor genetik saling terlibat.
Beberapa opini saat ini mengatakan bahwa dalam genetik individu yang rentan,
terdapat disregulasi imun terhadap faktor lingkungan, dan mikrobiota usus
memainkan peran sentral. Teori popular menerangkan bahwa sistem imunitas
tubuh pada penderita Chrones disease (sel limfoid T helper 1) bereaksi abnormal
terhadap bakteri, makanan, dan substansi lain yang dianggap sebagai benda asing
yang akan dikenal dan di presentasikan oleh Antigen Presenting Cells (APC).
Selama proses ini, sel-sel leukosit berakumulasi disepanjang lapisan dalam usus

3
(intestin) dan merangsang terjadinya inflamasi kronis dengan akibat terjadinya
ulserasi, perlukaan usus, dan scar formation (pembentukan jejas) pada jaringan
usus. Namun belum dapat dipastikan abnormalitas fungsi sistem imun pada
Chrones disease merupakan penyebab (cause) atau akibat (result) dari penyakit
ini. 1,3

Epidemiologi

Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia terutama pada kelompok
usia 20 dan 30-an tahun. Perbandingan rasio laki-laki dan perempuan umumnya
seimbang dan terlihat paling sering antar saudara laki-laki dan perempuan dan
terkadang antara orang tua dan anak-anaknya. Data mengenai Chrones Disease di
Indonesia masih sangat minim, namun diperkirakan kasusnya semakin meningkat
dari tahun ke tahun karena erat kaitannya dengan pola gaya hidup modern. Pada
tahun 2008, prevalensi Chrone Disease berdasarkan hasil endoskopi di seluruh
Indonesia berkisar antara 1,0-3,3%.1

Patogenesis

Setelah sistem imunitas tubuh berekasi abnormal terhadap makanan,


bakteria, dan substansi lain yang dianggap sebagai benda asing akan di
presentasikan oleh Antigen Presenting Cells (APC). Selama proses ini, sel-sel
darah putih (leukosit) berakumulasi disepanjang lapisan dalam usus (instestin) dan
merangsang terjadinya inflamasi kronis dengan akibat terjadinya ulserasi,
perlukaan usus dan scar formation (pembentukan jejas) pada jaringan usus.
Setelah proses tersebut terjadi, maka terjadi peradangan dan biasanya Crohnes
disease ditandai dengan peradangan transmural pada setiap bagian dari saluran
gastrointestinal (GI). Selain peradangan, terbentuk juga lesi pada mukosa berupa
ulkus linear longitudinal dan transversal. Dasar ulkus ini bisa penetrasi lebih
dalam membentuk fisura pada lapisan muskularis. Lokasi penyakit yang paling
umum adalah ileum distal, kolon, dan perineum. Oleh karena itu, Chrones disease
dapat mengenai banyak bagian saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus.
Histologis penyakit ini akan dikenali berdasarkan peradangan transmural, dengan

4
tampak infiltrasi limfosit dan sel plasma, disrupsi cripta dan adanya granuloma
nonkaseosa.1,3,4

Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang paling umum adalah nyeri perut bawah kanan,
diare, penurunan berat badan dan kelelahan. Hal ini sering diikuti oleh perdarahan
rektum, dan gejala ekstraintestinal lain seperti perdarahan mungkin serius dan
persisten sampai terjadi anemia. Umumnya gejala sebagian besar ditentukan oleh
lokasi dan ada tidaknya striktur dan fistula. Sistem montreal (Tabel 1) digunakan
untuk mengklasifikasikan penyakit, dan penting untuk menentukan prognosis dan
terapi yang optimal.1,3

Age at Diagnosis Location Behavior


A1 : < 16 years L1 : Ileal B1 : Inflammatory
A2 : 17-40 years L2 : Colonic B2 : Stricturing
A3 : >40 years L3 : Ileocolic B3 : Penetrating
L4 : Upper GI disease P : Perianal disease
Tabel 1. Klasifikasi Montreal pada Crohns disease.

Diagnosa

Chrones Disease dapat mempengaruhi bagian manapun dari saluran cerna


dan dapat timbul gejala-gejala pada usus halus, misalnya diare cair tanpa darah
yang disertai oleh nyeri perut dan penurunan berat badan. Melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik dan serangkaian tes dapat ditegakkan diagnosis Chrone Disease.
Hal ini juga sering terkait dengan sejumlah gambaran ekstraintestinal,
diantaranya:1,5

Umum : Demam, malaise, penurunan berat badan

Mata : Konjungtivitis, episkleritis, iritis

Sendi : Artralgia sendi-sendi besar, sakroilitis/spondilitis ankilosa

5
Kulit : Ulkus mulut, eritema nodosum, pioderma gangrenosum, ruam kulit

Hati : Perlemakan hati/fatty liver, batu empedu, kolangitis sklerosis

a. Anamnesis

Keluhan secara umum pada Chrones disease adalah demam, nyeri


abdomen, diare dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen
merupakan gejala utama keterlibatan kolon. Perdarahan per rektal lebih
jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang menetap
dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen.1,5

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik umumnya didapatkan nyeri abdomen,


peningkatan suhu tubuh, tampak anemis.1,5

c. Pemeriksaan Penunjang
Blood test (Seri pemeriksaan darah)
Dapat memastikan anemia dan jenisnya, juga dapat mengetahui
indikasi perdarahan dalam intestine (usus). Anemia dan trombositosis
adalah temuan umum. Anemia mungkin karena kekurangan zat besi,
asam folat atau vitamin B12. Tes darah tidak dapat menerangkan
mengapa sel darah putih (leukosit) meningkat dalam darah yang
merupakan tanda inflamasi dimana saja dalam tubuh. Tetapi
leukositosis yang disertai meningkatnya faktor-faktor imunologi TNF-
, IL-1 dan IL6 dapat menerangkan adanya Chrones Disease. Melalui
sampel feses (feses occult bleeding tes- FOBT), dapat diketahui bahwa
ini adalah perdarahan usus (FOBT positif) atau infeksi (FOBT negatif)
dalam usus. Umumnya pada Chrones Disease FOBT positif. Sehingga
dikatakan pemeriksaan kultur tinja dapat membantu penentuan apakah
peradangan disebabkan oleh infeksi atau non-infeksi. Umumnya yang
digunakan adalah parameter penanda inflamasi secara umum seperti
laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP). Pada Chrones
Disease, kadar CRP serum berkorelasi positif dengan aktivitas

6
penyakit dan dengan penanda inflamasi lainnya sesuai dengan indeks
aktivitas Chrones Disease. Peningkatan kadar CRP > 45 mg/L pada
dapat membantu klinisi untuk mengambil keputusan perlunya
dilakukan kolektomi.1,2,3
Imaging Test
Pada tes ini, pasien diminta meminum barium (chalky solution)
yang akan menutupi mukosa usus halus, kemudian dilakukan
pemeriksaan x-ray. Pada film x-ray, barium terlihat putih dan mengisi
inflamasi atau abnormalitas lainnya di dalam usus halus. Pemeriksaan
ini dapat memperlihatkan seberapa banyak usus halus yang dikenai
Chrones Disease, yang sering memperlihatkan gambaran khas
Chrones Disease. Namun pemeriksaan ini telah diganti oleh CT dan
MR enterografi (CTE dan MRE). CTE dan MRE memiliki nilai
diagnostik yang sama antara satu dengan yang lain. Keuntungan utama
dari MRE adalah kurangnya radiasi pengion. Kedua modalitas, CTE
dan MRE, dapat mendeteksi peradangan mukosa, striktur, dilatasi usus,
fistula, dan abses. Radiografi standar abdominal digunakan untuk
keadaan darurat yang cepat, murah, dan mudah untuk menilai dilatasi
usus halus dan peradangan kolon.1,3
Endoskopi

Ileocolonoscopy dengan biopsi adalah gold standar untuk


mendiagnosis Chrones disease, untuk penilaian aktivitas penyakit dan
untuk displasia dan kanker. Khas pada endoskopik meliputi terisolasi
ulcer aphthous, cobblestoning, dan ulserasi dalam. Adanya ulserasi
yang dalam mengindikasikan penyakit yang parah sementara pasca-
inflamasi polip (pseudo-polip) menandakan peradangan yang parah
sebelumnya. Kolonoskopi akan memperlihatkan pemeriksaan visual
langsung usus besar mulai dari anus dan dapat berakhir pada sepertiga
bawah ileum terminalis. Pemeriksaan terakhir ini lebih
menguntungkan karena dapat melihat keseluruhan usus besar secara
langsung dan dapat mengambil contoh jaringan mukosa usus melalui

7
biopsi jaringan untuk dilihat dengan mikroskop (histopatologi).
Gambaran makroskopik per endoskopi yang dapat mengarah ke
Chrones Disease adalah adanya cobble-stone appearence (CSA-
gambaran batu bulat) secara dominan pada mukosa. Gastroskopi
dianjurkan pada anak-anak, atau orang dewasa dengan gejala
pencernaan bagian atas.1,3

Pemeriksaan anti-saccharomyces cerevisiae antibody (ASCA)


Pemeriksaan anti-saccharomyces cerevisiae antibody (ASCA)
untuk pasien Chrones Disease. ASCA sering dijumpai pada Chrones
Disease, yakni sekitar 40 sampai 60%, dan hanya sekitar 4 sampai
14% dijumpai pada Kolitis Ulseratif. Namun, pemeriksaan ini tidak
terlalu sensitif mendiagnosis sehingga tidak tepat sebagai modalitas
diagnostik tunggal.2
Tatalaksana

Tujuan terapi adalah untuk mengontrol peradangan, memperbaiki gejala-


tanda seperti nyeri abdomen, diare dan perdarahan rektum, pemeliharaan gizi
yang cukup atau mengoreksi defisiensi nutrisi, pengawasan rutin komplikasi,
pemantauan untuk dan menghindari efek induksi obat yang merugikan, dan
mengoptimalkan kualitas hidup. Pengobatan tergantung pada lokasi dan berat-
ringannya penyakit, komplikasi dan respons penderita terhadap terapi untuk gejala
yang mucul sebelumnya. Kebanyakan penderita mengalami remisi yang panjang,
sampai beberapa tahun bebas dari gejala. Namun penyakit ini biasanya akan
relaps beberapa waktu kemudian dalam setengah waktu kehidupan penderita.
Umunya penderita Chrones Disease membutuhkan pengobatan jangka panjang
dengan kontrol rutin ke dokter.1,3

- Edukasi

Dalam penatalaksanaan Chrones Disease, sangat dituntut


kesabaran dan pengalaman dokter yang merawat karena sifat penyakitnya

8
yang residif (remisi-eksaserbasi) berulang-ulang sepanjang hidup.
Sehingga diperlukan kerjasama antara dokter-penderita-keluarga harus
benar-benar berjalan dengan baik. Disamping itu juga perhatikan beberapa
faktor yang dapat menjadi predisposisi dan alat kontrol Chrone Disease,
diantaranya seperti faktor-faktor stress, diet dan vitamin, kehamilan, dan
penyakit-penyakit metabolik lainnya. Sebagai contoh, Penghentian
merokok merupakan intervensi yang efektif dalam pengobatan Chrones
disease. Merokok predisposisi untuk penyakit yang lebih agresif.1,3

- Suplemen Nutrisi

Formula cairan tinggi kalori umumnya diberikan pada penderita,


sebagian kecil penderita diperlukan suplemen nutrisi per infus. Cara ini
dapat membantu penderita yang membutuhkan nutrisi ekstra secara
temporer, karena ususnya perlu istirahat atau karena ususnya tidak mampu
menyerap nutrisi yang diperlukan secara optimal dari makanan yang
masuk. Makanan pada umumnya tidak diketahui sebagai penyebab
Chrones Disease, namun jika penderita sedang mengalami serangan
(suffering a flare in disease), maka jenis makanan seperti biji-bijian,
rempah-rempah, alkohol dan produk susu (yoghurt, keju, es krim, biskuit)
dapat memicu dan atau meningkatkan diare serta kram perut. Meskipun
diet tidak seutuhnya mengobati Chrones disease, penilaian gizi dan
suplemen sangatlah penting.1,3

- Obat-obatan

Jenis obat-obatan yang umum dipakai terdiri dari : obat anti


inflamasi, kortison atau steroid (corticosteroids), penekan sistem imun
(immunosupressive agents), anti tumor necrosing factor (TNF substance),
antibiotik, anti-diare dan pengganti cairan-elektrolit. Pemberian antibiotik
misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 3000 mg per hari dikatakan
cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit. Antibiotik
diberikan dengan latar belakang bahwa salah satu agen proinflamasi

9
disebabkan oleh bakteri intraluminal. Sebagian besar bakteri intraluminal
bersifat komensal dan tidak menginduksi reaksi inflamasi namun mereka
masih mampu memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel
intestinal untuk menekan kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin
proinflamasi dan meningkatkan produksi interleukin 10.1,2

Kortikosteroid
Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid masih merupakan
obat pilihan untuk IBD derajat sedang dan berat dalam fase peradangan
aktif. Pemilihan obat steroid konvensional, seperti prednison,
metilprednisolon ataupun steroid enema, masih menjadi primadona karena
harga yang murah dan ketersediaan yang luas. Dosis umumnya adalah
setara 40-60 mg prednison. Namun, jangan dilupakan efek sistemik obat-
obatan ini. Idealnya, dicapai kadar steroid yang tinggi pada dinding usus
namun dengan efek sistemik yang rendah. Umumnya, preparat yang
digunakan dewasa ini adalah budesonid. Remisi biasanya tercapai dalam
waktu 8 12 minggu yang kemudian diikuti dengan penurunan dosis
(tapering down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga tercapai dosis 40
mg atau 5 mg per minggu hingga tercapai 20 mg. Kemudian dosis
ditapering off 2.5 mg per minggu.2
Asam Aminosalisilat
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini
lebih disukai dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil
meski efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia, sulfasalazin dipasarkan
dalam bentuk sediaan tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL, serta
supositoria 500 mg. Dosis rerata untuk mencapai remisi adalah 2 4 gram
per hari meski ada kepustakaan yang menyebutkan penggunaan 5-ASA ini
minimal 3 gram per hari. Umumnya remisi tercapai dalam 16 24 minggu
yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5
3 gram per hari. Sulfasalazin dapat digunakan untuk penyakit kolon
ringan dan dapat digunakan pada pasien dengan gejala sendi. Untuk kasus-

10
kasus usus bagian kiri atau distal, dapat diberikan mesalazin supositoria
atau enema. Kemungkinan ada peran untuk mesalazin dalam pencegahan
kekambuhan pasca operasi Chrones disease. Sedangkan untuk kasus
berat, biasanya tidak cukup hanya dengan menggunakan preparat 5-ASA.
Untuk mencegah peradangan berulang, dilakukan upaya mempertahankan
masa remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang
bersifat individual atau mengganti obat steroid pada fase peradangan akut
dengan obat-obatan golongan imunosupresif, anti-tumor necrosis
antibody, dan probiotik.1,2,3

Imunomodulator
Azatioprin dan 6-merkaptopurin (6-MP), siklosporin, dan
metotreksat merupakan beberapa jenis obat kelompok imunomodulator.
Dosis inisial azatrioprin 50 mg diberikan hingga tercapai efek substitusi
lalu dinaikkan bertahap 2.5 mg/kgBB. Onset aksi lambat, umumnya, efek
terapeutik baru tercapai dalam 2 3 bulan, oleh karena itu
imunomodulator sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi agen tunggal,
tetapi harus digunakan berdampingan dengan obat yang memiliki remisi
cepat (miskortikosteroid atau terapi biologi). Efek samping yang sering
dilaporkan adalah nausea, dispepsia, leukopeni, limfoma, hepatitis hingga
pankreatitis. Siklosporin intravena diketahui dapat bermanfaat untuk kasus
akut KU refrakter steroid dengan angka keberhasilan 50 80%. Efek
samping yang sering dilaporkan meliputi gangguan ginjal dan infeksi
oportunistik. Sedangkan metotreksat dikenal sebagai preparat yang efektif
untuk kasus PC steroid dependent sekaligus untuk mempertahankan remisi
pada KU. Dosis induksi 25 mg intramuskular atau subkutan per minggu
hingga selesai tapering off steroid.2,3

- Agen Baru
Dewasa ini beberapa obat anti-tumor yang dikenal juga sebagai agen
biologik banyak dicoba pada IBD, misalnya infliksimab yang memiliki

11
anti-tumor necrosing factor (anti- TNF). Umumnya digunakan untuk
kasuskasus PC fistulated sedang dan berat (refrakter steroid). Studi
ACCENT I dan ACCENT II adalah studi yang meneliti dosis infliksimab
sebagai pemeliharaan. Dalam studi tersebut diajukan dosis infliksimab 5
10 mg/kgBB selama 8 minggu. 2 Agen lain adalah obat yang bekerja pada
interleukin 6 (IL-6) sebagai salah satu sitokin proinflamasi. Penggunaan
tocolizumab, suatu anti IL-6, menunjukkan respons kilnis sebesar 70%
setelah 6 minggu.2

Gambar 1 Ulasan ringkas regimen terapi Chrone Disease2

- Tindakan Bedah

Tindakan bedah diperlukan jika medikasi (obat-obatan) tidak dapat


mengendalikan Chrones disease dalam waktu panjang (tidak respons
dengan obat) karena dapat dengan segera menghilangkan gejala, selain itu
juga diperlukan untuk kondisi Chrones disease dengan komplikasi seperti
usus tersumbat, perforasi, abses, fistula-fisura atau perdarahan usus.
Tindakan bedah untuk membuang sebagian usus yang terpapar radang
dapat menolong penderita tetapi tidak menyelesaikan masalah karena tidak

12
menghilangkan penyakit dan tidak umum untuk penderita mengalami dua
kali atau lebih operasi akibat inflamasi yang cenderung muncul kembali di
atas area usus yang sudah dibuang.1

- Obat Kombinasi

Pola pengobatan ini tidak ada aturan baku, hanya perlu


diperhatikan waktu-waktu yang tepat cara dapat diberikan dan itu sangat
individual, sehingga kerjasama penderita dan dokter sangat penting.1

Gambar 2 Algoritma rencana terapeutik Chrone Disease di Pelayanan


Kesehatan Lini Pertama2

KOLITIS ULSERATIF

Definisi

13
Merupakan penyakit kronik dengan karakteristik inflamasi menyeluruh
pada mukosa yang terbatas pada kolon. Proses peradangan dimulai dari rektum
dan meluas ke proksimal secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan
seluruh bagian kolon. Peradangan kolon bersifat nonspesifik yang umumnya
berlangsung lama disertai masa remisi dan eksaserbasi yang berganti-ganti. Lesi
biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus. Inflamasi
hampir tidak pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis
juga terdapat peradangan. Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada Kolitis
ulseratif, tidak adanya skip area yakni area normal di antara daerah lesi menjadi
penanda khas Kolitis Ulseratif sehingga dapat dijadikan pembeda dengan
Chrones Disease.1,6

Etiologi
Walaupun penyebab kolitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran
tertentu penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini
meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikolgik.7
1. Faktor familial atau genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada
orang kulit hitam dan orang Cina, dan insidennya meningkat sampai 6
kali lipat pada orang Yahudi dibandingkan dengan orang non Yahudi. Hal
ini menunjukkan bahwa predisposisi genetik terhadap perkembangan
penyakit ini.7
2. Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian
terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping usaha
untuk menemukan agen bakteri, jamur dan virus, belum ada yang sebagian
jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel pseudomonas atau
agen yang dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur
jaringan masih harus dikonfirmasi.7
3. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada
konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan
ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun

14
dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin,
dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresi.7
4. Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah
ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya atau
berkembang, sehubungan dengan adanya stress psikologis mayor misalnya
kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien
penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat lebih
rentan terhadap stres emosi yang sebalinya dapat merangsang atau
mengeksaserbasi gejalanya.7

Epidemiologi
Epidemiologi KU berbasis endoskopi di rumah sakit seluruh Indonesia
berdasarkan angka prevalensi yang terkumpul di awal tahun 2008 oleh Tim
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD berkisar antara 2,5-23%.1

Patogenesis
Patofisiologi yang mendasari KU adalah konsep imunologik yang disebut
GALT (gut-associated lumphoid tissue) atau sistem imun mukosa usus besar
(SIMUB) yang terpicu oleh intervensi antigen berasal dari komponen nutrisi atau
agen infeksi seperti bakteri maupun virus dimana kaskade patogenik peradangan
dimulai dengan eksposisi/penempatan antigen di kolon dan akan muncul di
dinding mukosa usus besar (DMUB) menghasilkan aktivasi substans pembawa
pesan khusus di usus besar (T helper 2) disebut sitokin dan oleh faktor pemicu
peradangan sekunder seperti IgG-antibodies yang terbentuk karena stimulasi
primer sel-sel SIMUB menimbulkan ketidakseimbangan antara sitokin
peradangan dan sitokin peradangan. Sitokin yang dilepaskan oleh makrofag
sebagai respons terhadap berbagai stimulus antigenik akan berikatan dengan
beragam reseptor dan menghasilkan efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin
mengubah limfosit menjadi sel T dimana sel T-helper 2 (Th-2) berperan dalam
Kolitis Ulseratif. Respons imun ini akhirnya akan merusak mukosa saluran cerna
dan memicu terjadinya kaskade proses inflamasi kronik. Predisposisi genetik

15
dengan kondisi flora lumen usus serta agen lingkungan seperti obat-obatan
tertentu, infeksi berat, merokok dan faktor stres merupakan pemicu utama
SIMUB. Disregulasi reaksi imun pada SIMUB menyebabkan aktivasi luar biasa
sel-sel peradangan sitokin khusus usus besar (sel limfoid T helper 2).1,2

Gejala klinik

Terdapat tiga jenis klinis KU yang sering terjadi, dikaitkan dengan


frekuensi timbulnya gejala.6

a. Kolitis ulseratif fulminan akut


Ditandai dengan awitan yang mendadak disertai diare (10-20 kali/hari)
parah, berdarah, nausea, muntah dan demam yang menyebabkan
berkurangnya cairan dan elektrolit dengan cepat. Seluruh kolon dapat
terserang disertai dengan pembentukan terowongan dan pengelupasan
mukosa, yang menyebabkan hilangnya darah dan mukus dalam jumlah
banyak. Jenis kolitis ini terjadi pada sekitar 10% penderita. Prognosisnya
buruk dan sering terjadi penyulit berupa megakolon toksik.
b. Kolitis kronis intermitten (rekurren)
Awitan cenderung perlahan selama berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun dan berlangsung selama 1-3 bulan. Mungkin terjadi sedikit
atau tidak terjadi demam serta gejala konstitusional, dan biasanya hanya
mengenai kolon bagian distal. Demam dan gejala sistemik dapat timbul
pada bentuk penyakit yang lebih berat dan serangan dapat berlangsung
selama 3 atau 4 bulan, kadang digolongkan sebagai tipe kronis kontinu.
Pada tipe kronis kontinu, pasien terus menerus mengalami diare setelah
serangan permulaan. Dibandingkan dengan tipe intermitten, kolon yang
terserang cenderung lebih luas dan lebih sering terjadi komplikasi.
c. Kolitis ulseratif bentuk ringan
Terjadi diare ringan disertai dengan perdarahan ringan dan
intermitten. Pada penyakit yang berat, defekasi terjadi lebih dari enam kali
sehari disertai banyak darah dan mukus. Kehilangan darah dan mukus
yang berlangsung kronis dapat menyebabkan anemia dan hipoproteinemia.

16
Diagnosis

a.
Anamnesa dan gejala klinis
Gejala utama dari kolitis adalah diare, perdarahan pada rektum,
tenesmus, adanya mukus, dan nyeri abdomen. Berat atau tidaknya gejala
penyakit berjalan seiring dengan luasnya proses penyakit. Meskipun KU
dapat bersifat akut, rata-rata gejala klins bermanifestasi dalam jangka
waktu berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Seringkali diare dan
perdarahan saluran cerna bersifat sangat ringan jadi pasien tidak
memeriksakan dirinya ke dokter. Pada kasus berat, berat badan cepat
sekali menurun karena proses pencernaan yang terganggu. Didapatkan
gejala-tanda berupa kelemahan umum, cepat lelah, hilangnya nafsu makan,
demam, nyeri perut, diare berat dengan mukus dan atau darah, gangguan
sendi-sendi, kulit, mata, ikterus dan nyeri abdomen kanan atas karena
radang sistem PHB (pankreo-hepato-bilier), gangguan jantung akibat
trombosis vena dan anemia kronis.6,8
b.
Pemeriksaan Fisik
Rangkaian pemeriksaan fisik dan tes tambahan mungkin dapat
menegakkan diagnosis kolitis ulseratif. Secara fisik keadaan umum dan
status gizi penderita kolitis ulseratif masih cukup baik, karena proses
penyakit dimulai dari rektum sehingga proses penyerapan makanan masih
berlangsung baik. Pemeriksaan colok dubur merupakan pemeriksaan
penting untuk kolitis ulseratif dengan nilai positif jika didapatkan adanya
sedikit darah pada jari.1,2
c.
Pemeriksaan Laboratorium
Seri pemeriksaan darah (Blood Test) sebagai tes tambahan pertama,
dapat memastikan anemia dan jenisnya, juga dapat mengetahui indikasi
perdarahan dalam instestin (usus). Tes darah tidak dapat menerangkan
leukositosis dalam darah, tetapi peningkatan faktor-faktor imunologik IL-
3.4.10 (basofil), IL-5 (limfosit B) atau IL-1.3.4 (eusinofil) dapat
menerangkan adanya kolitis ulseratif. Umumnya pada kolitis ulseratif
terjadi hematokezia, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan tes darah
samar feses (FOBT- fecal occult bleeding test) kandungan protein dalam

17
darah seperti CRP (C-reactive protein), protein electrophoresis,
albumin/globulin dan test khusus zat besi, elektrolit, vitamin B12, asam
folat dan trace element secara bersama-sama dapat menolong
mengarahkan tanda umum peradangan.1,8
d.
Pemeriksaan Radiologi 1
a. Colon in Loop Test
Untuk melihat dinding mukosa usus besar. Pemeriksaan ini
dapat menilai kondisi anatomi kolon, tetapi kurang disukai karena zat
kontras yang melapisi mukosa yang meradang sering memicu
peradangan baru.
b. USG Abdomen
Oleh tangan yang berpengalaman dapat memberikan penilaian
tentang keadaan dinding mukosa usus besar, dimana terjadi penebalan
dinding dan stenosis lumen di daerah yang sedang meradang, di
samping mungkin menemukan beberapa kelainan ekstraluminal /
diluar usus besar pada kolitis ulseratif.
e.
Kolonoskopi
Secara definitif memperlihatkan pemeriksaan visual langsung usus
besar mulai dari anus dan dapat berakhir pada caecum, bahkan sampai ke
sepertiga bawah ileum terminalis. Pemeriksaan ini lebih menguntungkan
karena dapat melihat keseluruhan permukaan dalam dinding mukosa usus
besar (gambaran patologi anatomi) dan dapat mengambil contoh jaringan
mukosa usus melalui biopsi jaringan untuk dilihat dengan mikroskop
(histopatologi). Gambaran khas pada kolitis ulseratif adalah lesi ulseratif
difus pada mukosa yang sembab tanpa skip area.1,8
f.
Pemeriksaan pANCA (perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody)
Untuk pasien KU dan anti-saccharomyces cerevisiae antibody
(ASCA) untuk pasien PC. p-ANCA ditemukan pada 50-67% kasus KU
meski juga dapat ditemukan pada 6 sampai 15% kasus PC. ASCA lebih
sering dijumpai pada PC, yakni sekitar 40 sampai 60%, dan hanya sekitar
4 sampai 14% dijumpai pada KU. Sayangnya, pemeriksaan ini tidak
terlalu sensitif mendiagnosis IBD sehingga tidak tepat sebagai modalitas
diagnostik tunggal.1,2

18
Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan adalah memperbaiki dan menghilangkan gejala-
tanda yang muncul seperti diare, rasa nyeri dan kehilangan darah dengan langkah
pertama adalah pemberian obat-obatan, diikuti oleh tindakan bedah, diet dan
terapi suportif.1

1. Obat-obatan

Pilihan obat tergantung dari berat-ringannya gejala-tanda yang ada.


Pada kasus ringan sampai sedang dapat diberikan 5-ASA (asam
aminosalisilat, dikenal juga dengan nama mesalazine), sedangkan pada
kasus dengan komplikasi sendi (artritis), dapat diberikan sulfasalazin per
oral dengan dosis bertahap meningkat (step up dose). Pada kasus dominan
rektum / kolon bagian kiri, dapat diberikan 5-ASA suppositoria, enema
atau rectal foam atau preparat cortison, terutama budesonide. Pada kasus
dengan low response 5-ASA + Budesonide, dapat ditambahkan atau
mengganti preparat cortison dengan obat imunosupresan (menurunkan
reaksi imun tubuh). Obat imunosupresan yang utama untuk keperluan ini
adalah azathioprine atau 6-mercaptopurine, yang memberikan efek
optimum setelah pemberian 10-12 minggu, namun memiliki efek samping
yang tidak disukai seperti hepatitis akut terpicu obat (DIH- drug induced
hepatitis), pankreatitis akut serta gangguan pembentukan sel-sel darah.
Pada kasus rawat inap dapat diberikan siklosporin i.v. drip/24 jam sebagai
pengganti budesonide. Pada kasus gagal siklosporin, pilihan berikutnya
adalah tindakan bedah. Pada kasus dengan komplikasi ekstraluminal atau
manifestasi di luar usus dapat juga diobati dengan pemberian obat-obat
yang mengandung kortison. Tindakan bedah maupun diet justru tidak
bermanfaat. Untuk keterlibatan traktus biliaris dapat diberikan UDCA
(ursodeoxycholic acid), yakni suatu asam empedu.1,9

19
Gambar 3 Ulasan ringkas regimen terapi pada Kolitis Ulseratif

2. Tindakan Bedah

Indikasi bedah diperlukan jika ditemukan kasus tidak respon obat


(siklosporin) atau kasus dengan komplikasi yang mengancam jiwa, seperti
megakolon toksika (ABB- acute balloning of the bowel), divertikulasi atau
perforasi, ileus obstruktif / paralisis persistent serta adanya perdarahan
intestinal ekstensif. Surgical removal of the entire colon dapat mengobati
kolitis ulseratif. Operator dapat secara kreatif membuat pouch dari usus
halus langsung ke rektum, sehingga tidak perlu ada ileostomy atau
colostomy (outlet artifisial di dinding perut).1,9

3. Diet dan Terapi Suportif

Diet khusus tidak diperlukan, mungkin perlu menghindari sayur


kubis/kol (cabbage), bawang/bakung (onions) karena banyak gas atau
bahan-bahan makanan jenis tinggi lemak. Berhenti merokok merupakan
terapi suportif utama yang harus dilakukan.1,9

20
Gambar 4 Algoritma rencana terapeutik KU di Pelayanan Lini Kesehatan
Primer2

KOLITIS INFEKSI

Kolon merupakan organ target infeksi tersering pada sistem


gastrointestinal. Gejala kolitis infeksi bervariasi, dari asimptomatik, ringan, diare
yang sembuh sendiri, sampai kolitis toksik fulminan. Diagnosis dan terapi yang
dini sangat penting dalam mencegah perburukan penyakit. Banyak organisme
yang berkaitan sebagai penyebab kolitis infeksi ini, yaitu mulai dari bakteri,
parasit, jamur dan virus. Berikut adalah kolitis infeksi yang sering ditemukan;10

Kolitis Amoeba (Amoebiasis Kolon)

Definisi

Kolitis amoeba merupakan peradangan pada kolon yang disebabkan oleh


protozoa Entamoeba Histolytica yang terdapat dalam bentuk kista dan trofozoit.
Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan asam, dan di dalam lumen usus
halus dinding kista pecah dan mengeluarkan trofozoit yang akan dewasa di lumen
kolon yang akan menginvasi dinding usus dengan mengeluarkan enzim
proteolitik.10

21
Epidemiologi

Prevalensi Amoebiasis sangat bervariasi di berbagai tempat, diperkirakan


10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-8-%). Penularan
lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak,
kontak interpesonal.10

Patofisiologi

Entamoba Histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu ; kista dan trofozoit
yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam.
Di dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengelurakam trofozoit yang
akan menjadi dewasa dalam lumen kolon. Akibat klinis yang ditimbulkan
bervariasi, sebagian besar asimptomatik atau menimbulkan sakit yang sifatnya
ringan sampai berat.10
Berdasarkan pola isoenzimnya, E. Hystolitica dibagi menjadi golongan
zymodeme patogenik dan zymodeme non patogenik, walaupun mekanismenya
belum sepenuhnya jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan
cara mengelurkan enzim proteolik. Pasien dalam keadaan imonusupresan seperti
pemakai steroid memudahkan invasi parasat ini. Pengelepasan bahan toksik
menyebabkan reaksi inflamasi yang mengakibatkan destruksi mukosa. Bila proses
berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undermined, kedalaman
ulkus mencapai submukosa atau lapisan muskularis. Tepi ulkus menebal dengan
sedikit reaksi radang. Mukosa diantara ulkus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi
disemua bagian kolon, yang tersering yaitu di sekum, kemudian kolon asenden
dan kolon sigmoid, kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis.10
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag lymphokine-activeed serta
limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon
dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut
ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden.10

Gejala Klinis

22
Gejala klinis pasien amoebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimptomatik
sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif, gejala yang timbul
berupa nyeri perut (12-80%), diare (94-100%), buang air besar bercampur darah
(94-100%), demam (8-38%), perforasi dan peritonitis sekitar 0,5% dengan
mortalitas lebih dari 40%.10

- Carrier : amoeba tidak invasi dinding usus, tanpa gejala atau keluhan
ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. 90%
sembuh sendiri dalam waktu satu tahun, 10% berkembang menjadi kolitis
amoeba.
- Disentri amoeba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan,
diare ringan dengan tinja berbau busuk disertai darah dan lendir, keadaan
umum baik.
- Disentri amoeba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali
dengan nyeri spontan.
- Disentri amoeba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual,
anemia.
- Disentri amoeba kronik : seperti disentri amoeba ringan, diselingi periode
normal berlangsung hingga bertahun-tahun, neurasthenia, serangan diare
timbul karena kelelahan, demam atau makan yang sukar dicerna.
Diagnosa
Diagnosis pada pasien yang dicurigai mengidap amoebiasis kolon,
pertama kali diperiksa adanya eritrosit dalam tinja, bila positif, pemeriksaan
dilanjutkan. Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis,
dilakukan minimal pada 3 spesimen tinja yang terpisah, untuk mencari adanya
bentuk trofozoit. Untuk identifikasi kista dilakukan pemeriksaan tinja dengan
pengecetan trichrome, bila perlu dengan teknik konsentrasi tinja. Pemeriksaan
serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap amoeba, positif pada 85-95%
pasien dengan infeksi amoeba yang invasif. Biakan tinja lebih sensitif
dibandingkan pemeriksaan mikroskopik, namun memerlukan waktu sampai 1
minggu.10
PCR dapat mendeteksi DNA spesifik E. Histolytica pada tinja segar secara
cepat, sensitive, dan spesifik, namun tidak terdapat secara merata di seluruh dunia.
Pemeriksaan kolonoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien

23
amoebiasis akut. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum dilakukan terapi.
Ulkus yang terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas, dengan
dasar yang melebar (undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan.
Mukosa di sekitar ulkus biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat
ditemukan pada dasar ulkus dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian
diperiksa dengan mikroskop setelah diberi larutan garam fisiologis. Pemeriksaan
radiologi tidak banyak membantu, karena gambarannya sangat bervariasi dan
tidak spesifik. Bila terbentuk amoeba tampak sebagai filling defect.10
Tatalaksana
1. Karier asimptomatik

Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain:
lodoquinol (diidohidroxyquin) 650 mg tiga kali perhari selama 20 hari atau
Paromomycine 500 mg tiga kali sehari selama 10 hari.

2. Kolitis amoeba akut

Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, ditambah


dengan obat luminal tersebut diatas : lodoquinol (diidohidroxyquin) 650
mg tiga kali perhari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg tiga kali
sehari selama 10 hari.

3. Amoebiasis ekstraintestinal (misal : abes hati amoeba)

Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, ditambah


dengan obat luminal tersebut diatas : lodoquinol (diidohidroxyquin) 650
mg tiga kali perhari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg tiga kali
sehari selama 10 hari. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal
ekstraintestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu macam obat.

Beberapa obat yang juga dapat digunakan untuk amoebiasis ekstraintestinal antara
lain:

1. Kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari dilanjutkan 500 mg


perhari selama 19 hari.
2. Emetin 1 mg/kgBB/hari IM (maksimal 60 mg) selama 10 hari.

24
Emetin merupakan obat yang efektif untuk membunuh trofozoit di
jaringan yang berada di dinding usus, tetapi tidak bermanfaat untuk
amoeba yang berada di lumen usus. Beberapa dasawarsa yang lalu,
emetin sangat popular namun saat ini telah ditinggalkan karena efek
toksiknya, yaitu dapat menimbulkan mual, muntah, diare, kram perut,
nyeri otot, takikardia, hipotensi, nyeri perikardial, dan kelainan EKG
berupa inverse gelombang T dan interval QT memanjang, sedangkan
aritmia dan QRS yang melebar jarang ditemukan. Disarankan pasien
yang mendapatkan obat ini dalam keadaan tirah baring dengan
pemantauan EKG. Hindari penggunaan emetin pada kelainan jantung,
ginjal, otot, sedang hamil, atau pada anak-anak, kecuali bila obat yang
lain gagal.2

Disentri Basiler (Shigellosis)

Definisi dan Etiologi

Disentri basiler merupakan infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang
disebabkan oleh bakteri genus Shigella. Setelah kuman melewati lambung dan
usus halus akan menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak
didalamnya.10

Epidemiologi

Infeksi shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat, sanitasi jelek,


kurang air, dan tingkat kebersihan yang rendah. Di daerah endemik infeksi
shigella merupakan 10-15% penyebab diare pada anak. Jumlah kuman untuk

25
menimbulkan penyakit relatif sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh
karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal-oral, baik secara kontak
maupun akibat makanan dan minuman yang terkontaminasi.10
Patogenesis
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang
ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja lunak (tidak cair), disertai eksudat
infalamasi yang mengandung leukosit polymorphonuclearn (PMN) dan darah.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis
dapat juga terserang. Pada kasus yang sangat berat dan mematikan kuman dapat
ditemukan juga pada lambung serta usus halus.
Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel
mukosa kolon dan berkembang biak di dalamnya. Perluasan invasi kuman ke sel
disekitarnya melalui mekanisme cell to cell transfer. Walaupun lesi awal terjadi di
lapisan epitel respon inflamasi lokal cukup berat, melibatkan leukosit PMN dan
makrofag. Hal tersebut menyebabkan edema, mikroabses, hilangnya sel goblet,
kerusakan arsitektur jaringan dan ukserasi mukosa. Bila penyakit berlanjut, maka
terjadi penumpukan sel inflamasi pada lamina propria, dengan abses pada kripta
merupakan gambaran yang utama.10
Kuman Shigella jarang melakukan penetrasi ke jaringan di bawah mukosa
sehingga jarang menyebabkan bakteremia. Walaupun demikian pada keadaan
malnutrisi dan pasien imuno-compromised dapat terjadi bakteremia.10

Gejala Klinis

Masa tunas antara 7 jam sampai 7 hari. Gejala klinis sangat bervariasi. Lama
gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat berlangsung selama 4
minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama
gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri
perut bawah, rasa panas rektal, diare disertai demam yang dapat mencapai 40 0 C.
Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir,
tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak mungkin didapatkan
demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk, dan
letargi.10,11

26
Pengidap pasca infeksi umumnya berlasngsung kurang dari 4 minggu.
Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang
mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun.10

Diagnosis

Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan
nyeri abdomen bawah, rasa panas rektal, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik
tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan
diagnosis dilakukan kultur dan bahan tinja segar atau hapus rektal. Sigmoidoskopi
dapat memastikan diagnosis adanya kolitis, namun pemeriksaan tersebut pada
umumnya tidak diperlukan, karena menyebabkan pasien merasa sangat tidak
nyaman. Indikasi untuk melakukan sigmoidoskopi adalah bila segera diperlukan
kepastikan diagnosis apakah gejala yang terjadi merupakan disentri atau
manifestasi akut kolitis ulserosa idiopatik dan biopsi harus dikerjakan dalam
waktu 4 hari dari saat gejala. Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan
kolitis ulseratif. Demikian pula pemeriksaan barium enema, sigmoidoskopi, dan
histopatologi juga tidak dapat membedakannya. Perbedaan utama adalah kultur
yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan
antibiotik yang adekuat.10

Tatalaksana10,11

1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian


besar dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare
berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga
tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan rehidrasi
intravena.
2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik berdasarkan beratnya
penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat, diare
persisten serta perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman didaerah
tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah :
o Ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau
o Kotrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau
o Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari

27
Pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah banyak yang
resisten dengan antibiotik tersebut, sehingga diperlukan antibiotik lain
seperti golongan kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama pada
pasien dengan gejala klinik yang berat.

3. Pengobatan simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat


motilitas usus seperti narkotika dan derivatnya, karena dapat
mengurangi eliminasi bakteri, dan memprovokasi terjadinya
megakolon toksik. Obat simptomatik yang lain diberikan sesuai
dengan keadaan pasien antara lain analgetik-antipiretik dan
antikonvulsi.

Escherchia Coli (PATOGEN)

Definisi dan Etiologi

Infeksi kolon oleh Escherchia Coli tertentu (O157:H7) yang menyebabkan


diare berdarah atau tidak.10

Epidemiologi

Diperkirakan di Amerika Serikat sekitar 21.000 orang terinfeksi setiap


tahunnya. E. Coli didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan ke
manusia lewat daging yang terkontaminasi saat penyembelihan, daging tersebut
kemudian digiling dan kurang baik dalam proses pemanasannya. Cara penularan
lain lewat air minum yang tercemar, tempat berenang yang tercemar dan antar
manusia. Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi anatara 1-8 hari, E.
Coli dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh.10

Patogenesis

28
Mekanisme terjadinya diare dan sindrom hemolitik uremik (SHU) pada
pasien yang terinfeksi E Coli patogen masih belum jelas. Diduga E.Coli patogen
melekat pada mukosa dan memproduksi toksin (Shigelike toxins) yang bekerja
secara lokal dan sistemik. Kerusakan pembuluh darah kolon akibat toksin tersebut
menyebabkan lipopolisakarida dan mediator inflamasi dapat beredar dalam tubuh
dan memicu terjadinya SHU. Anak di bawah lima tahun dan manula lebih sering
mengalami SHU dari pada orang dewasa. Tidak didapatkan kekebalan protektif
terhadap infeksi E. Coli patogen.10

Gejala Klinis

Manifestasi klinis infeksi E. Coli bervariasi, dapat berupa infeksi


asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis), SHU,
pupura trmbositopenik, sampai kematian. Gejala klasik adalah nyeri abdomen
yang sangat (severe abdominal cramp), diare yang kemudian diikuti diare
berdarah dan sebagian dari pasien disertai nausea dan vomiting. Pada umumnya
suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau normal, sehingga dapat dikelirukan
sebagai kolitis non infeksi.10

Gejala membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU yang
ditandai dengan anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal
dan gejala saraf sentral.10

Diagnosa

Setiap pasien dengan diare berdarah seyogyanya dicurigai sebagai infeksi


E. Coli patogen. Demikian pula dengan pasien dengan kemungkinan tertular E.
Coli patogen walaupun mengalami diare tanpa darah juga patut dicurigai. Kultur
dengan agar sorbito-MacConkey dan aglutinasi dengan O157 anti serum
merupakan sarana yang murah untuk memastikan diagnosa infeksi E. Coli
patogen. Pemeriksaan tinja biasanya penuh dengan darah, namun sebagian pasien
tidak mengandung darah. Pada pemeriksaan barium enema dapat terlihat
gambaran thumbprinting pattern pada colon ascenden dan atau transversum akibat
adanya edema atau perdarahan submukosa. Pemeriksaan kolonoskopi didapatkan

29
gambaran mukosa yang edematous dan hiperemia, kadang-kadang ditemukan
ulserasi superfisial. Dapat dijumpai pula pseudomembran sehingga menyerupai
infeksi C. Difficile. Pemeriksaan patologi menunjukkan gambaran infeksi atau
iskemik dengan pola patchy kadang-kadang dijumpai mikrotrombi fibrin.10

Tatalaksana

Pengobatan infeksi E. Coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan


suportif dan simptomatik. Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada
pasien yang mendapat antibiotik dan obat yang menghambat motilitas. Pemberian
kotrimoksazol dilaporkan tidak memberikan efek yang signifikan terhadap
perjalan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme dan komplikasi SHU.10

Kolitis Tuberkulosa

Definisi dan Etiologi

Merupakan infeksi kolon yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium


tuberculosae yang biasanya masuk lewat tertelannya sputum yang mengandung
kuman.10

Epidemiologi

Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit


tuberkulosis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.10
Patogenesis
Penyebab terbanyak mycobacterium tuberculosae, biasnaya lewat tertelan
sputum yang mengandung kuman. Kadang-kadang akibat minum susu yang
tercemar Mycobacterium bovis. Terdapat hubungan tingginya frekuensi
tubekulosis saluran cerna dengan beratnya tuberkulosis paru. Timbul tiga bentuk
kelainan yaitu: 1) ulseratif pada 60% kasus, lesi aktif berupa tukak superfisial; 2)
hipertropik pada 10% kasus, bentuk lesinya berupa parut fibrosis, dan massa yang

30
menonjol menyerupai karsinoma; 3) ulserohipertropik pada 30% kasus, terdapat
ulserasi dengan fibrosis yang merupakan bentuk penyembuhan. Semua bagian
saluran cerna dapat terinfeksi, namun lokasi yang tersering (85-90% kasus) adalah
daerah ileosekal.10

Gejala Klinis

Keluhan tersering (80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak
khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi,
anoreksia, demam ringan, penurunan berat badan, atau teraba massa abdomen
kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada
pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungkin hanya
berasal dari kuman yang tertelan bersama sputum.10

Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman tuberkulosis di


jaringan, baik dengan pemeriksaan mikroskopik langsung atau atas dasar hasil
kultur biopsi jaringan. Sedangkan diagnosis dugaan adanya kolitis tuberkolusa
adalah bila didapatkan tuberkulosis paru aktif dengan penyakit ileosekal. Pada
pemeriksaan barium enema ditemukan penebalan dinding, distorsi lekuk mukosa,
ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip keganasan di sekum. Mungkin
pula terbentuk fistula di usus halus. Kolonoskopi merupakan pemeriksaan yang
penting untuk membantu mengakkan diagnosis kolitis tuberkulosa. Dengan
kolonoskopi didapatkan visualisasi lesi secara langsung, sekaligus melakukan
biopsi untuk pemeriksaan kultur dan histopatologi. Pada tuberkulosis kolon
biasanya ditemukan penyempitan lumen, dinding kolon kaku, ulserasi dengan tepi
yang ireguler dan edematous.10

Tatalaksana

Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberkulosis seperti


pada pengobatan tuberkulosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis

31
obatnya. Kadang-kadnag perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi.
Beberapa obat anti tuberkulosis yang sering dipakai adalah:10

- INH 5-10 mg/kgBBatau 400 mg sekali sehari


- Etambutol 15-25 mg/kgBB atau 900-1200 mg sekali sehari
- Rifampisin 10 mg/kgBB atau 450-600 mg sekali sehari
- Pirazinamid 25-35 mg/kgBB atau 1,5-2 g sekali sehari

Kolitis Pesudomembran

Definisi dan Etiologi

Merupakan peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan


terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaan
mukosa. Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik sebab umumnya timbul
setelah menggunakan antibiotik. Yang dianggap kuman penyebab adalah
Clostridium difficile, toksin yang dikeluarkan mengakibatkan kolitis dengan cara
toxin-mediated.

Epidemiologi

C. Difficile ditemukan di tinja 3-5% orang dewasa tanpa kelainan apapun


di kolonnya. Bisa mengenai semua umur. Penularan bisa secara kontak langsung
lewat tangan atau perantara makanan dan minuman yang tercemar. Semua jenis
antibiotik, kecuali aminoglikosida intravena, potensial menimbulkan kolitis
pseudomembran, namun yang paling sering adalah ampisilin, klindamisin dan
sefalosporin.10

Patogenesis
C. Difficile menimbulkan kolitis dengan cara toxin mediated. Kuman
mengeluarkan dua toksin utama, toksin A dan toksin B. Toksin A merupakan
enterotoksin yang sangat berpengaruh terhadap semua kelainan yang terjadi,
sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan tidak melekat pada mukosa yang masih
utuh. Kuman yang tidak menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis maupun

32
diare. Pemeriksaan toksin A dan toksin B diambil dari sediaan tinja, dengan
metode ELISA masing-masing spesifitasnya 98,6% dari 100%.10
Gejala Klinis
Kolitis mungkin sudah timbul sejak sehari setelah antibiotik digunakan,
tetapi mungkin pula baru muncul setelah 6 minggu antibiotik dihentikan. Gejala
yang paling sering dikeluhkan adalah diare cair disertai kram perut. Diare dapat
ringan, tetapi biasanya banyak, sampai 10-20 kali sehari. Mual muntah jarang
ditemukan. Sebagian pasien mengalami demam umumnya tidak melampaui 38 0 C.
Terdapat leukositosis, sering sampai 50.000/mm, dan pada beberapa pasien
mungkin hanya diawali demam dan leukositosis, sedangkan diare baru muncul
beberapa hari kemudian. Keluhan lain adalah nyeri tekan abdomen bawah, edema,
dan hipoalbuminemia. Kasus berat dapat terjadi komplikasi dehidrasi, edema
anasarka, gangguan elektrolit, megakolon toksik, atau perforasi kolon.10

Diagnosis

Jika ditemukan diare selama atau setelah menggunakan antibiotik perlu


dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. Diagnosis dapat cepat ditegakkan
dan akurat dengan melakukan pemeriksaan kolonoskopi. Sensitivitasnya tinggi
dan merupakan alat diagnostik definitif. Jika ditemukan lesi khas kolitis
pseudomembran, tetap dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Secara
tipikal diawali dengan lesi kecil (2-5 mm) putih atau kekuningan, diskret, timbul,
mukosa diantaranya seringkali terlihat normal atau mungkin menunjukkan
berbagai derajat eritema, granularitas, dan kerapuhan. Jika lesi membesar,
terbentuk pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu-abuan dan jika
diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa di bawahnya mengalami ulserasi.10

C. difficile tumbuh pada 95% biakan tinja pasien kolitis pseudomembran


yang terdiagnosis secara kolonoskopi. Sebagai standar baku ditemukannya toksin
B di tinja, sehubungan dengan efek sitopatik toksin B pada kultur jaringan.
Karena pemeriksaan ini memakan waktu dan mahal, biasanya cukup memeriksa
terdapatnya toksin A dengan metode ELISA. Gambaran histopatologi kolitis

33
pseudomembran bervariasi tergantung beratnya penyakit dan saat kapan biopsi
dikerjakan. Price dan Davies (1977) membagi lesi menjadi 3 tipe :10

Lesi Klasifikasi Histopatologi


Vulkano Tipe 1 Nekrosis epitelial fokal dengan PMN
dan fibrin tersebar di dalam lumen
Glandular Tipe 2 Pelebaran kelenjar dengan PMN dan
musin, dilapisi pseudomembran.
Mukosa sekitarnya tidak kena
Nekrosis Tipe 3 Nekrosis mukosa total dengan mukosa
dilapisi psudomembran yang tebal
Tabel 2. Klasifikasi Histopatologi Kolitis Pseudomembran

Tatalaksana

Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga


menjadi penyebab, juga obat yang mengganggu peristaltik, dan mencegah
penyebaran nosokomial. Pada kasus yang ringan sudah bisa teratasi dengan
penghentian antibiotik disertai pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus dengan
gejala-gejala yang lebih berat seyogyanya dilakukan pemeriksaan deteksi toksin
C. Difficile dan terapi spesifik per oral menggunakan metronidazol dan
vankomisin.10

Pada kolitis ringan sampai sedang digunakan metronidazol dengan dosis


peroral 250-500 mg empat kali sehari selama 7-10 hari. Pada kasus dengan kolitis
yang berat menggunakan vankomisin per oral dengan dosis 125-500 mg empat
kali sehari selama 7-14 hari. Alternatif pengobatan lainnya menggunakan
kolestiramin untuk mengikat toksin yang dihasilkan C. Difficile, tetapi obat ini
juga mengikat vankomisin, diberikan peroral dengan dosis 4 gram tiga kali sehari
selama 5-10 hari. Pada kasus yang berhasil diesmbuhkan, ternyata dalam beberapa
minggu atau bulan kemudian sebanyak 15-35% kambuh. Dianjurkan setelah

34
pengobatan diusahakan kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman
laktobasilus atau ragi (Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu.10

35

Anda mungkin juga menyukai