Anda di halaman 1dari 49

Patogenesis

Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput lendir, luka-luka lecet
maupun melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena air. Kemudian, kuman akan dibawa
ke berbagai bagian tubuh dan memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar
mamae dan selaput otak. Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel
jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan fase leptospiremia,
yang biasanya terjadi pada minggu pertama setelah infeksi. Beberapa servoar menghasilkan
endotoksin, sedangkan servoar lainnya menghasilkan hemolisin, yang mampu merusak
dinding kapiler pembuluh darah. Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik
yang timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah. Berbeda
dengan infeksi oleh kuman-kuman lain, pada leptospirosis tidak dibebaskan eksotoksin oleh
kuman leptospira.

Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan kuman
tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama, meskipun kadar
antibodi penderita cukup tinggi dan banyak sel-sel penghasil zat kebal dapat ditemukan di
tempat-tempat yang mengalamai infeksi. Sampai sekarang tidak ada uraian yang dapat
menjelaskan kejadian tersbut. Kematian terjadi karena septimia, anemia hemolitika,
kerusakan hati karena terjadinya uremia. keparahan penderita bervariasi tergantung pada
umur serta servoar leptospira penyebab infeksi.

Gejala Klinis

Stadium pertama

1. Demam, menggigik
2. Sakit kepala
3. Malaise
4. Muntah
5. Konjungtivis
6. Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala tersebut akan
tampak antara 4-9 hari
Gejala-gejala karakteristik sebagai berikut :
1. Konjungtivis tanpa disertai eksudat serous/purulent
2. Kemerahan pada mata
3. Rasa nyeri pada otot-otot. Gejala ini biasanya terjadi pada hari ketiga sampai
keempat setelah penyakit tersebut muncul.
Stadium kedua
1. Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita
2. Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding pada
stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)
3. Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan
terjadi meningitis
4. Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat

Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala klinis
pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi leptospirosis dapat
menimbulkan gejala-gejala berikut :
1. Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian
2. Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang
erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic
3. Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan
keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
4. Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd apat
menyebabkan kematian mendadak
5. Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada,
respiratory distress dan cyanosis
6. Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage)
dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia
7. Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan
kecacatan pada bayi

Pengobatan
Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik seperti Penisilin, Streptomycin, Tetracycline atau
Erythromycin. Dari bermacam-macam antibiotik yang tersebut diatas,
menurut Turner, pemberian penisilin atau tetracycline dosis tinggi dapat
memberikan hasil yang sangat baik.
Cara mengobati penderita leptospirosis yang dianjurkan adalah sebagai
berikut :

* Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara


dini pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice
dengan dosis 6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap selama 5-
7 hari
*Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin dengan
jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit
secara i.m, separuh dosis dapat diberikan selama 5-6 hari. Procaine
penicillin 1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara kontinue selama 2 hari
setelah terjadi albuminuria
*Untuk penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan
antibiotik lain yaitu Tetracycline atau Erythromycine. Tetapi kedua
antibiotik tersebut kurang efektif dibanding Penicilline. Tetracycline tidak
dapat diberikan jika penderita mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat
diberikan secepatnya dengan dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama
24 jam, kemudian 250-500 mg setiap 6 jam secara oral selama 6 ahri.
Erythromycine diberikan dengan dosis 250 mg setiap 6 jam selama 5 hari

Angka kematian akibat penyakit Leptospirosis termasuk tinggi, bisa


mencapai 2,5-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia lebih dari 50th malah
kematian bisa sampai 56%. penderita Leptospirosis yang disertai selaput
mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati), resiko kematian akan
lebih tinggi.

Pencegahan leptospirosis

* Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit, berperan dalam upaya
pencegahan penyakit leptospirosis

*Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh
lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah

*Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu dalam usaha
mencegah penyakit leptospirosis

*Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko yang tinggi


terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan
* Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan vaskin strain lokal
* Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-rumah penduduk
serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan tersebut
*Pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk, terutama di desa dengan
melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap kuman Leptospirosis
*Kewaspadaan terhadap leptospirosis pada keadaan banjir

*Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain

Untuk memperkecil angka kematian sebaiknya semua suspect (tersangka) penderita


Leptospirosis segera dibawa ke Puskesmas/rumah sakit yang terdekat untuk segera mendapati
pengobatan.
Sub Dit Zoonosis, Dit Jen PPM & PL, Depkes RI

Sumber : Majalah Kesehatan Depkes RI/Nty

PENYIDIKAN EPIDEMIOLOGI

Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan kasus dari rumah sakit atau
laporan puskesmas. Penyelidikan kasus Leptospirosis lain di sekitar tempat tinggal penderita,
tempat kerja, tempat jajan atau daerah banjir. Penyelidikan Epidemiologi dilakukan terhadap :

Terhadap manusianya :
Penemuan penderita dengan melaksanakan pengamatan aktif. Di desa/ kelurahan yang ada
kasus Leptospirosis pencarian penderita baru berdasarkan gejala/tanda klinis setiap hari dari
rumah ke rumah.Bila ditemukan suspek dapat dilakukan pengambilan darah sebanyak 3-5 ml,
kemudian darah tersebut diproses untuk mendapatkan serumnya guna pemeriksaan serologis
di laboratorium. Serum dibawa dari lapangan dengan menggunakan termos berisi es, setelah
sampai di sarana kesehatan disimpan di freezer 4 C sebelum dikirim ke Bagian
Laboratorium Mikrobiologi RSU Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Undip Semarang untuk
dilakukan pemeriksaan uji MAT (Microscopic Agglutination Test) untuk mengetahui jenis
strainya.

Rodent dan hewan lainnya.


Di desa/kelurahan yang ada kasus, secara bersamaan waktunya dengan pencarian penderita
baru dilakukan penangkapan tikus hidup (trapping). Spesimen serum tikus yang terkumpul di
kirim ke BBvet Bogor untuk diperiksa secara serologis. Pemasangan perangkap dilakukan di
dalam rumah maupun di luar rumah selama minimal 5 hari berturut-turut. Setiap perangkap
(metal live traps) harus diberi label/nomor. Pemasangan perangkap dengan umpan dipasang
pada sore hari dan pengumpulan perangkap tikus keesokan harinya pagi-pagi sekali. Tikus
dibawa ke laboratorium lapangan dan pengambilan darah/ serum dan organ dengan member
label dan nomer untuk diidentifikasi kemudian dikirim ke Balai Besar Veteriner (BBvet) di
Bogor untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Laporan penyelidikan epidemiologi sebaiknya dapat menjelaskan :

1. diagnosis KLB leptospirosis


2. penyebaran kasus menurut waktu (minggu), wilayah geografi (RT/RW, desa dan
Kecamatan), umur dan faktor lainnya yang diperlukan, misalnya sekolah, tempat kerja,
dan sebagainya.
3. Peta wilayah berdasarkan faktor risiko antara lain, daerah banjir, pasar, sanitasi
lingkungan, dan sebagainya.
4. Status KLB pada saat penyelidikan epidemiologi dilaksanakan serta perkiraan
peningkatan dan penyebaran KLB. Serta rencana upaya penanggulangannya
Penegakan diagnosis kasus dapati dilakukan dengan Rapid Test Diagnostic Test (RDT)
dengan mengambil serum darah penderita untuk pemeriksaan serologi, jenis RDT diantaranya
:

1. Lepto Dipstick Assay : RDT ini dapat mendeteksi Imunoglobulin M spesifik kuman
Leptospira dalam serum. Hasil evaluasi multi sentrum pemeriksaan Leptodipstick di 22
negara termasuk Indonesia, menunjukkan sensitifitas Dipstick mencapai 92,1%. Metode
relatif praktis dan cepat karena hanya memerlukan waktu 2,5 3 jam.
2. Leptotek Dridot: Berdasarkan aglutinasi partikel lateks, lebih cepat karena hasilnya
bisa dilihat dalam waktu 30 detik. Test ini untuk mendeteksi antibodi aglutinasi seperti
pada MAT. Pemeriksaan dilakukan dengan meneteskan 10 mL serum (dengan pipet
semiotomatik) pada kartu aglutinasi dan dicampur dengan reagen. Hasil dibaca setelah 30
detik dan dinyatakan positif bila ada aglutinasi. Metode ini mempunyai sensitifitas 72,3%
dan spesifitas 93,9% pada serum yang dikumpulkan dalam waktu 10 hari pertama mulai
sakit.
3. Leptotek Lateral Flow : Pemeriksaan dilakukan dengan dengan memasukan 5 mL
serum atau10 mL darah, dan 130 mL larutan dapar, hasil dibaca setelah 10 menit.
Leptotek Lateral Flow cukup cepat, mendeteksi IgM yang menandakan infeksi baru,
relatif mudah, tidak memerlukan almari pendingin untuk menyimpan reagen, namun
memerlukan pipet semiotomatik, dan pemusing bila memakai serum. Alat ini mempunyai
sensitifitas 85,8% dan spesifitas 93,6%.
KLB Leptospirosis ditetapkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :

1. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut di suatu wilayah desa.
2. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu di wilayah desa c. Jumlah
penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya di suatu
wilayah desa.
3. Munculnya kesakitan leptospirosis di suatu wilayah kecamatan yang selama 1 tahun
terakhir tidak ada kasus.
PENANGGULANGAN
Penyediaan logistik di sarana kesehatan, koordinasi dengan pemangku kepentingan dan
sektor terkait, penemuan dini penderita dan pelayanan pengobatan yang tepat di puskesmas
dan rumah sakit melalui penyuluhan masyarakat tentang tanda-tanda penyakit, resiko
kematian serta tatacara pencarian pertolongan.

Upaya pencegahan terhadap penyakit Leptospirosis dengan cara sebagai berikut :

1. Melakukan kebersihan individu dan sanitasi lingkungan antara lain mencuci kaki,
tangan dan bagian tubuh lainnya setelah bekerja di sawah.
2. Pembersihan tem pat penyimpanan air dan kolam renang.
3. Pendidikan kesehatan tentang bahaya, cara penularan penyakit dengan melindungi
pekerja beresiko tinggi dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan, vaksinasi
terhadap hewan peliharaan dan hewan ternak.
4. Pemeliharaan hewan yang baik untuk menghindari urine hewan-hewan tersebut
terhadap masyarakat.
5. Sanitasi lingkungan dengan membersihkan tempat-tempat habitat sarang tikus.
6. Pemberantasan rodent bila kondisi memungkinkan.
Surveilans Ketat Pada KLB
1. Pengamatan perkembangan jumlah kasus dan kematian leptospirosis menurut lokasi
geografis dengan melakukan surveillans aktif berupa data kunjungan berobat, baik
register rawat jalan dan rawat inap dari unit pelayanan termasuk laporan masyarakat yang
kemudian disajikan dalam bentuk grafik untuk melihat kecenderungan KLB.
2. Memantau perubahan faktor risiko lingkungan yang menyebabkan terjadinya
perubahan habitat rodent (banjir, kebakaran, tempat penampungan pengungsi, daerah
rawa dan gambut).
Sistem Kewaspadaan Dini KLB
1. Pemantauan terhadap kesakitan dan kematian leptospirosis.
2. Pemantauan terhadap distribusi rodent serta perubahan habitatnya, banjir
3. Pemantauan kolompok risiko lainnya, seperti petani, pekerja perkebunan, pekerja
pertambangan dan selokan, pekerja rumah potong hewan, dan militer
Kepustakaan
1. Bres, P.,Tindakan Darurat Kesehatan Masyarakat Pada Kejadian Luar Biasa Petunjuk
Praktis, Gajah Mada University Press, Cetakan pertama, 1995, Yogjakarta.
2. Informal Expert Consultation on Surveillans, Diagnosis and Risk Reduction of
Leptospirosis, Chennai,17- 18 September 2009
3. Chin, James, Control of Communicable Diseases Manual , American Public Health
Association, 17th Editions, 2000, Washington
4. Ditjen PPM-PL, Depkes RI, Petunjuk Teknis Pelaksanaan SKD-KLB Penyakit
Menular dan Keracunan, 1995, Jakarta.
5. Ditjen PPM-PL Depkes RI, Pedoman Tatalaksana Leptospirosis, Jakarta 2003.
6. RSPI Sulianti Saroso Ditjen PP dan PL, Pedoman Tatalaksana Kasus dan pemeriksaan
Laboratorium
Sumber: Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit
Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit) Edisi Revisi Tahun 2011,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.

KLB

DEFINISI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1501/MENKES/PER/X/2010,
Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau
kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu
dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.

Selain itu, Mentri Kesehatan RI (2010) membatasi pengertian wabah sebagai berikut:
Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah
tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.

Istilah wabah dan KLB memiliki persamaan, yaitu peningkatan kasus yang melebihi situasi
yang lazim atau normal, namun wabah memiliki konotasi keadaan yang sudah kritis, gawat
atau berbahaya, melibatkan populasi yang banyak pada wilayah yang lebih luas.

B. KRITERIA KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1501/MENKES/PER/X/2010,


suatu derah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:

1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
pada suatu daerah.

2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.

3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.

4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali
atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.

5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan
angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun
waktu yang sama.

C. PENYAKIT-PENYAKIT YANG BERPOTENSI MENJADI KEJADIAN LUAR BIASA


(KLB)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


1501/MENKES/PER/X/2010, penyakit menular tertentu yang menimbulkan wabah adalah:

1. Kholera

2. Pes

3. Demam berdarah

4. Campak

5. Polio

6. Difteri

7. Pertusis

8. Rabies

9. Malaria

10. Avian Influenza H5N1

11. Antraks

12. Leptospirosis

13. Hepatitis

14. Influenza H1N1

15. Meningitis
16. Yellow Fever

17. Chikungunya

Penyakit-penyakit berpotensi Wabah/KLB:

1. Penyakit karantina/penyakit wabah penting: kholera, pes, yellow fever.

2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/ mempunyai memerlukan
tindakan segera: DHF, campak, rabies, tetanus neonatorum, diare, pertusis, poliomyelitis.

3. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting: malaria, frambosia,
influenza, anthrax, hepatitis, typhus abdominalis, meningitis, keracunan, encephalitis, tetanus.

4. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi masuk
program: kecacingan, kusta, tuberkulosa, syphilis, gonorrhoe, filariasis, dan lain-lain.

D. KLASIFIKASI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

Menurut Bustan (2002), Klasifikasi Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebab dan
sumbernya, yakni sebagai berikut:

1. Berdasarkan Penyebab

a. Toxin

1) Entero toxin, misal yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus, Vibrio,


Kholera, Eschorichia, Shigella

2) Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum, Clostridium


perfringens

3) Endotoxin

b. Infeksi

1) Virus

2) Bakteri
3) Protozoa

4) Cacing

c. Toxin Biologis

1) Racun jamur

2) Alfatoxin

3) Plankton

4) Racun ikan

5) Racun tumbuh-tumbuhan

d. Toxin Kimia

1) Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-logam lain
cyanida, nitrit, pestisida.

2) Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN, dan sebagainya.

2. Berdasarkan sumber

a. Sumber dari manusia

Misalnya: jalan napas, tangan, tinja, air seni, muntahan seperti:Salmonella, Shigella,
hepatitis.

b. Bersumber dari kegiatan manusia

Misalnya: toxin dari pembuatan tempe bongkrek, penyemprotan pencemaran lingkungan.

c. Bersumber dari binatang

Misalnya: binatang peliharaan, rabies dan binatang mengerat.

d. Bersumber pada serangga (lalat, kecoak)

Misalnya: Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus


e. Bersumber dari udara

Misalnya: Staphylococcus, Streptococcus virus

f. Bersumber dari permukaan benda-benda atau alat-alat

Misalnya: Salmonella

g. Bersumber dari makanan dan minuman

Misalnya: keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng.

E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TIMBULNYA KEJADIAN LUAR BIASA


(KLB)

Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang mempengaruhi timbulnya Kejadian Luar Biasa
adalah:

1. Herd Immunity yang rendah

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/ wabah adalah herd immunity.
Secara umum dapat dikatakan bahwa herd immunity ialah kekebalan yang dimiliki oleh
sebagian penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat disamakan dengan
tingkat kekebalan individu. Makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin sulit terkena
penyakit tersebut.

2. Patogenesitas

Patogenesitas merupakan kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu
sehingga timbul sakit.

3. Lingkungan Yang Buruk

Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organism, tetapi mempengaruhi kehidupan ataupun
perkembangan organisme tersebut.

F. LANGKAH-LANGKAH PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)


Penyelidikan KLB mempunyai tujuan utama yaitu mencegah meluasnya (penanggulangan)
dan terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian).

Langkah-langkah yang harus dilalui pada penyelidikan KLB, sebagai berikut:

1. Mempersiapkan penelitian lapangan

2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB

3. Memastikan diagnosa etiologis

4. Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan

5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat

6. Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan)

7. Mengidentifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB

8. Merencanakan penelitian lain yang sistematis

9. Menetapkan saran cara pengendalian dan penanggulangan

10. Melaporkan hasil penyelidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepada
sistim pelayanan kesehatan yang lebih tinggi

(CDC, 1979; Barker, 1979; Greg, 1985; Mausner and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986;
Goodman et al., 1990 dalam Maulani, 2010)

Pada pelaksanaan penyelidikan KLB, langkah-langkah tersebut tidak harus dikerjakan secara
berurutan, kadang-kadang beberapa langkah dapat dikerjakan secara serentak. Pemastian
diagnosa dan penetapan KLB merupakan langkah awal yang harus dikerjakan (Mausner and
Kramer, 1985; Vaughan and Marrow, 1989 dalam Maulani, 2010).

1. Persiapan Penelitian Lapangan


Persiapan lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin, dalam 24 jam pertama sesudah
adanya informasi. Kelsey., (1986), Greg (1985) dan Bres (1986) dalam Maulani (2010)
mengatakan bahwa persiapan penelitian lapangan meliputi:

a. Pemantapan (konfirmasi) informasi.

b. Pembuatan rencana kerja

c. Pertemuan dengan pejabat setempat.

2. Pemastian Diagnosis Penyakit

Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan gejala/tanda
penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya.

3. Penetapan KLB

Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah berjalan
dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik) pada populasi yang dianggap
berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Adanya KLB juga ditetapkan apabila memenuhi
salah satu dari kriteria KLB. Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa
menyusun dengan grafik pola maksimum-minimum 5 tahunan atau 3 tahunan.

4. Identifikasi kasus atau paparan

Identifikasi kasus penting dilakukan untuk membuat perhitungan kasus dengan teliti. Hasil
perhitungan kasus ini digunakan selanjutnya untuk mendeskripsikan KLB. Dasar yang
dipakai pada identifikasi kasus adalah hasil pemastian diagnosis penyakit.
Identifikasi paparan perlu dilakukan sebagai arahan untuk indentifikasi sumber penularan.
Pada tahap ini cara penentuan paparan dapat dilakukan dengan mempelajari teori cara
penularan penyakit tersebut. Ini penting dilakukan terutama pada penyakit yang cara
penularannya tidak jelas (bervariasi). Pada KLB keracunan makanan identifikasi paparan ini
secara awal perlu dilakukan untuk penanggulangan sementara dengan segera (CDC, 1979
dalam Maulani, 2010).

5. Deskripsi KLB

a. Deskripsi Kasus Berdasarkan Waktu.

Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB berlangsung)
digambarkan dalam suatu kurva epidemik. Kurva epidemik adalah suatu grafik yang
menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat mulai sakit (onset of illness) selama
periode wabah. Penggunaan kurva epidemik untuk menentukan cara penularan penyakit.
Salah satu cara untuk menentukan cara penularan penyakit pada suatu KLB yaitu dengan
melihat tipe kurva epidemik, sebagai berikut:

1) Kurva epidemik dengan tipe point common source (penularan berasal dari satu
sumber). Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan kasus-kasus yang terpapar dalam waktu
yang sama dan singkat. Biasanya ditemui pada penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air
dan makanan (misalnya: kolera, typoid).

2) Kurva epidemik dengan tipe propagated. Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan
cara penularan kontak dari orang ke orang. Terlihat adanya beberapa puncak. Jarak antara
puncak sistematis, kurang lebih sebesar masa inkubasi rata rata penyakit tersebut.

3) Tipe kurva epidemik campuran antara common source danpropagated. Tipe kurva
ini terjadi pda KLB yang pada awalnya kasus-kasus memperoleh paparan suatu sumber
secara bersama, kemudian terjadi karena penyebaran dari orang ke orang (kasus sekunder).

b. Deskripsi kasus berdasarkan tempat

Tujuan menyusun distribusi kasus berdasarkan tempat adalah untuk mendapatkan petunjuk
populasi yang rentan kaitannya dengan tempat (tempat tinggal, tempat pekerjaan). Hasil
analisis ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber penularan. Agar tujuan tercapai,
maka kasus dapat dikelompokan menurut daerah variabel geografi (tempat tinggal, blok
sensus), tempat pekerjaan, tempat (lingkungan) pembuangan limbah, tempat rekreasi,
sekolah, kesamaan hubungan (kesamaan distribusi air, makanan), kemungkinan kontak dari
orang ke orang atau melalui vektor (CDC, 1979; Friedman, 1980 dalam Maulani, 2010).

c. Deskripsi kasus berdasarkan orang

Teknik ini digunakan untuk membantu merumuskan hipotesis sumber penularan atau etiologi
penyakit.
Orang dideskripsikan menurut variabel umur, jenis kelamin, ras, status kekebalan, status
perkawinan, tingkah laku, atau kebudayaan setempat. Pada tahap dini kadang hubungan kasus
dengan variabel orang ini tampak jelas. Keadaan ini memungkinkan memusatkan perhatian
pada satu atau beberapa variabel di atas. Analisis kasus berdasarkan umur harus selalu
dikerjakan, karena dari age spscific rate dengan frekuensi dan beratnya penyakit. Analisis ini
akan berguna untuk membantu pengujian hipotesis mengenai penyebab penyakit atau sebagai
kunci yang digunakan untuk menentukan sumber penyakit (MacMahon and Pugh, 1970;
Mausner and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986 dalam Maulani, 2010).

6. Penanggulangan sementara

Kadang-kadang cara penanggulangan sementara sudah dapat dilakukan atau diperlukan,


sebelum semua tahap penyelidikan dilampaui. Cara penanggulangan ini dapat lebih spesifik
atau berubah sesudah semua langkah penyelidikan KLB dilaksanakan.
Menurut Goodman et al. (1990) dalam Maulani (2010), kecepatan keputusan cara
penanggulangan sangat tergantung dari diketahuinya etiologi penyakit, sumber dan cara
penularannya, sebagai berikut:

a. Jika etiologi telah diketahui, sumber dan cara penularannya dapat dipastikan maka
penanggulangan dapat dilakukan tanpa penyelidikan yang luas.

Sebagai contoh adanya kasus Hepatitis A di rumah sakit, segera dapat dilakukan
penanggulangannya yaitu memberikan imunisasi pada penderita yang diduga kontak,
sehingga penyelidikan hanya dilakukan untuk mencari orang yang kontak dengan penderita
(MMWR, 1985 dalam Maulani, 2010).
b. Jika etiologi diketahui tetapi sumber dan cara penularan belum dapat dipastikan, maka
belum dapat dilakukan penanggulangan. Masih diperlukan penyelidikan yang lebih luas
untuk mencari sumber dan cara penularannya.

Sebagai contoh: KLB Salmonella Muenchen tahun 1971. Pada penyelidikan telah diketahui
etiologinya (Salmonella). Walaupun demikian cara penanggulangan tidap segera ditetapkan
sebelum hasil penyelidikan mengenai sumber dan cara penularan ditemukan. Cara
penanggulangan baru dapat ditetapkan sesudah diketahui sumber penularan dengan suatu
penelitian kasus pembanding (Taylor et al., 1982 dalam Maulani, 2010).

c. Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan sudah diketahui maka
penanggulangan segera dapat dilakukan, walaupun masih memerlukan penyelidikan yang
luas tentang etiologinya.

Sebagai contoh: suatu KLB Organophosphate pada tahun 1986. Diketahui bahwa sumber
penularan adalah roti, sehingga cara penanggulangan segera dapat dilakukan dengan
mengamankan roti tersebut. Penyelidikan KLB masih diperlukan untuk mengetahui
etiologinya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium, yang ditemukan parathion sebagai
penyebabnya (Etzel et al., 1987 dalam Maulani, 2010).

d. Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka penanggulangan
tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini cara penanggulangan baru dapat dilakukan sesudah
penyelidikan.

Sebagai contoh: Pada KLB Legionare pada tahun 1976, cara penanggulangan baru dapat
dikerjakan sesudah suatu penyelidikan yang luas mengenai etiologi dan cara penularan
penyakit tersebut (Frase et al., 1977 dalam Maulani, 2010).

7. Identifikasi sumber penularan dan keadaan penyebab KLB

a. Identifikasi sumber penularan

Untuk mengetahui sumber dan cara penularan dilakukan dengan membuktikan adanya agent
pada sumber penularan.

b. Identifikasi keadaan penyebab KLB


Secara umum keadaan penyebab KLB adalah adanya perubahan keseimbangan dari agent,
penjamu, dan lingkungan.

8. Perencanaan penelitian lain yang sistematis

Goodman et al (1990) dalam Maulani, 2010 mengatakan bahwa KLB merupakan kejadian
yang alami (natural), oleh karenanya selain untuk mencapai tujuan utamanya penyelidikan
epidemiologi KLB merupakan kesempatan baik untuk melakukan penelitian.

Mengingat hal ini sebaiknya pada penyelidikan epidemiologi KLB selalu dilakukan:

a. Pengkajian terhadap sistem surveilans yang ada, untuk mengetahui kemampuannya


yang ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi dan pemenuhan
kewajiban pelaksanaan sistem surveilans.

b. Penelitian faktor risiko kejadian penyakit KLB yang sedang berlangsung.

c. Evaluasi terhadap program kesehatan.

9. Penyusunan Rekomendasi

a. Program Pengendalian

Program pengendalian dilakukan oleh institusi kesehatan dalam upaya menurunkan angka
kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular.

Tahapan tahapan program, yaitu:

1) Perencanaan

Dalam tahap perencanaan dilakukan analisis situasi masalah, penetapan masalah prioritas,
inventarisasi alternatif pemecahan masalah, penyusunan dokumen perencanaan. Dokumen
perencaan harus detail terhadap target/tujuan yang ingin dicapai, uraian kegiatan dimana,
kapan, satuan setiap kegiatan, volume, rincian kebutuhan biaya, adanya petugas
penanggungjawab setiap kegiatan, metode pengukuran keberhasilan.

2) Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan dilakukan implemantasi dokumen perencanaan, menggerakan dan
mengkoordinasikn seluruh komponen dan semua pihak yang terkait.

3) Pengendalian (Monitoring/Supervisi)

Supervisi dilakukan untuk memastikan seluruh kegiatan benar-benar dilaksanakan sesuai


dengan dokumen perencanaan.

(Pickett dan John, 2009).

b. Penanggulangan KLB

Penanggulanagn dilakukan melalui kegiatan yang secara terpadu oleh pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat, meliputi:

1) Penyelidikan epidemilogis

Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah untuk mengetahui keadaan
penyebab KLB dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian
tersebut, termasuk aspek sosial dan perilaku sehingga dapat diketahui cara penanggulangan
dan pengendaian yang efektif dan efisien (Anonim, 2004 dalam Wuryanto, 2009).

2) Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina.

Tujuannya adalah:

a) Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar
mereka tidak menjadi sumber penularan.

b) Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi mengandung


penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat menularkan penyakit (carrier).

3) Pencegahan dan pengendalian

Merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang
belum sakit, tetapi mempunyai resiko terkena penyakit agar jangan sampai terjangkit
penyakit.
4) Pemusnahan penyebab penyakit

Pemusnahan penyebab penyakit terutama pemusnahan terhadap bibit penyakit/kuman dan


hewan tumbuh-tumbuhan atau benda yang mengandung bibit penyakit.

5) Penanganan jenazah akibat wabah

Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan secara khusus menurut jenis
penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada orang lain.

6) Penyuluhan kepada masyarakat

Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang bersifat persuasif edukatif
tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar mereka mengerti sifat-sifat penyakit,
sehingga dapat melindungi diri dari penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak
menularkannya kepada orang lain. Penyuluhan juga dilakukan agar masyarakat dapat
berperan serta aktif dalam menanggulangi wabah.

7) Upaya penanggulangan lainnya

Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan khusus masing-masing penyakit


yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah.

(Menteri Kesehatan RI, 2010)

10. Penyusunan laporan KLB

Hasil penyelidikan epidemiologi hendaknya dilaporkan kepada pihak yang berwenang baik
secara lisan maupun secara tertulis. Laporan secara lisan kepada instansi kesehatan setempat
berguna agar tindakan penanggulangan dan pengendalian KLB yang disarankan dapat
dilaksanakan. Laporan tertulis diperlukan agar pengalaman dan hasil penyelidikan
epidemiologi dapat dipergunakan untuk merancang dan menerapkan teknik-teknik sistim
surveilans yang lebih baik atau dipergunakan untuk memperbaiki program kesehatan serta
dapat dipergunakan untuk penanggulangan atau pengendalian KLB.

Bustan, 2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Effendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta: Salemba Medika.

Maulani, Novie Sri. 2010. Kejadian Luar Biasa, Catatan Kuliah. Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat STIKES HAKLI Semarang.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No. 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang
Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. Jakarta: (tidak diterbitkan).

Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip Prinsip Dasar. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.

Pickett, George., dan John J Hanlon. 2009. Kesehatan Masyarakat : Administrasi dan Praktik,
Edisi 9. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Reingold , Arthur L. 1998. Outbreak InvestigationsA Perspective. Emerging Infectious


Diseases.Vol. 4, No. 1 : 21-27.

Timmreck, Thomas C. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar, Edisi 2. Jakarta: Buku


Kedokteran EGC.

Wuryanto, M.Arie. Aspek Sosial Dan Lingkungan Pada Kejadian Luar Biasa (KLB)
Chikungunya (Studi Kasus KLB Chikungunya di Kelurahan Bulusan Kecamatan Tembalang
Kota Semarang). Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 4 No. 1: 68-54.

Definisi

Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola
(bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama
masern,dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles
dalam bahasa Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular
yang disebabkan oleh virus,dengan gejala-gejala eksantem akut, demam,
kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala mata,
kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri dengan
deskuamasi dari kulit

Campak (Measles) merupakan penyakit infeksi yang sangat menular


disebabkan oleh virus campak dengan gejala awal berupa demam, konjungtivitis,
pilek, batuk dan bintik-bintik kecil dengan bagian tengah berwarna putih atau
putih kebiru-biruan dengan dasar kemerahan di daerah mukosa pipi (bercak
koplik), gejala khas bercak kemerahan di kulit timbul pada hari ketiga sampai
ketujuh, dimulai di daerah muka, kemudian menyeluruh, berlangsung selama 4
7 hari, kadang-kadang berakhir dengan pengelupasan kulit berwarna kecoklatan
(Chin,2000). Di dunia, kematian akibat campak yang dilaporkan pada tahun 2002
sebanyak 777.000 dan 202.000 di antaranya di negara ASEAN serta 15%
kematian campak tersebut di Indonesia (Depkes, 2006).

B. Etiologi

Virus campak berasal dari genus Morbilivirus dan family Paramyxoviridae.


Virus campak liar hanya patogen untuk primata. Kera dapat pula terinfeksi
campak lewat darah atau sekret nasofaring dari manusia.Hopkins, Koplan dan
Hinman menyatakan bahws campak tidak mempunyai reservoir pada hewan dan
tidak menyebabkan karier pada manusia.

Virion campak berbentuk spheris, pleomorphic, dan mempunyai sampu!


(envelope) dengan diameter 100-250 nm. Virion terdiri dari nukleocapsid yaitu
helix dari protein RNA dan sampul yang mempunyai tonjolan pendeK pada
permukaannya. Tonjoian pendek ini disebut pepfomer, dan terdiri dari
hemaglutinin (H) pepiomer yang berbentuk buiat dan fusion (F) peplomer yang
berbentuk seperti bel (dumbbell-shape).Berat molekul dari single stranded
RNA adalah 4,5 X 106 (3,l2).

Virus campak terdiri dari 6 protein struktural, 3 tergabung dalam RNA


yaitu nukleoprotein (N), polymerase protein (P), dan large protein (L); 3 protein
lainnya berhubungan dengan sampul virus1'3'12. Membran sampul terdiri dari M
protein{glycosylated protein) yang berhubungan dengan bagian dalam lipid
bilayer dan 2 glikoprotein H dan F3'12. Giikoprotein H menyebabkan adsorbsi
virus pada resptor host. CD46 yang merupakan complement regulatory
protein dan tersebar !uas pada jaringan primata bertindak sebagai resptor
glikoprotein H. Glikoprotein F menyebabkan fusj virus pada sel host, penetrasi
virus dan hemolisis3. Dalam kultur set virus campak mengakibatkan cytopathic
elect yang tcrdiri dari stellate cell dan mult/nucleated gisntcells.Virus campak ini
sangat sensitif pada panas dan dingin, cepat inaktivasi pada suhu 37C dan
20"C. Selain itu virus juga menjadi :iiaktif dengan sinar ultraviolet, ether, trypsin
dan p-propiolactone1. Virus tetap infektif pada bentuk droplet di udara selama
beberapa jam terutarna pada keadaan dengan tingkat kelembaban yang rendah.

C. Manifestasi Klinis

Setelah masa tunas selama 10-11 hari penyakit dsawali dengan demam
dan malaise. Dalam waktu 24 jam terjadi korisa, konjungtivltis dan batuk.
Keluhan tersebut semakin menghebat hingga mencapai puncaknya pada hari ke
empat dengan muncuinya erupsi kulit. Kira-kira dua hari sebelum timbul ruam
tampak bercak koplik pada selaput mukosa pipi yang berhadapan dengan molar.
Dalam tiga hari lesi semakin bertarnbah dan mengenai seluruh mukosa. Demam
menurun dan bercak koplik menghiiang pada akhir hari kedua setelah tirnbul
ruam. Ruam berupa eupsi makulopapular yang kemerahan menjalar dari kepala
(muka, dahi, garis batas rambut, telinga dan leher bagian stas) menuju ke
ekstrimitas dalam 3 sampai 4 hari. Dalam 3 sampai 4 hari berikutnya ruam
rnemudar sesuai urutan terjadinya.

Komplikasi yang terjadi pada penderita campak dapat disebabkan oleh


perluasan infeksi virus, infeksi sekunder oleh bskteri atau keduanya Kompiikasi
yang dapat terjadi antara lain otitis media, mastoiditis, pneumonia
obstruktif laringitis dan laryngotrakeobaronkitis. Selain itu dap&t pula terjad
komplikasi pada sistem syaraf pusat seperti en&efalomyelitis akut dar subacute
sclerosing panencephaliiis (SSPE). Penderita campak dicurigai adc komplikasi
terutama jika panas beriangsung lebih lama.

Manifestasi klinis campak yang lain adatah campak at'pikal dan modified
measles. Campak atipikai adalah campak yang terjadi pada seseorang yang
mendapat vaksinasi virus campak mat!. Sesudah masa prodromal panas dar
nyeri selama 1 atau 2 hari, muncul ruam yang dimulai dari extremitas dar dapat
berupa urtikaria, makulopapular, hernoragik, vesikular ataupur kombinasi dari
beberapa bentuk. Didapatkan juga panas yang tinggi, edema extremitas,
hepatitis dan kadang-kadang efusi pleura. Pada pemeriksaar serologi campak
didapatkan liter antibodi HI yang tinggi. Penyakit in canderung lebih parah
daripada campak biasa.

Patogenesis campak atipika ini adalah vaksin dari virus campak yang mati
tidak dapat menginduks antibodi terhadap protein F yang bertanggung jawab
menyebarnya virus dar ssl yang satu ke se! yang lain. Vaksin virus campak mati
ini digunakan pada tahun 1963 sampai 1967, maka konsekuensinya adalah
bahwa penyakit in kini hanya dapat dijumpai pada orang dewasa. Modified
measles adalah campak yang ringan karena penderita masih punya kekebalan
terhadap virus, Hal ini dapat terjadi pada bayi yang masih mempunyai antibodi
campak dari ibunya atau seseorang yang mendapatkan gamma globulin setelah
kontal< pada penderita campak. Gejala klinis dapat bervariasi dan beberapa
gejala klinis tertentu seperti percde prodromal, konjungtivitis, bercak Koplik dar
ruam mungkin tidak di dapatkan.

Campak yang terjadi pada penderita dengan defisiensi imunitas selulei


seperti AIDS, penderita dengan terapi keganasan, ataupun segala bentuk
imunodefisiensi kongenital, cenderung lebih parah. Setelah pasien-pasien ini
kontak dengan penderita campak, gejala klinis yang tampak adalah
pneumonia giant cell tanpa didahului oleh timbulnya ruam. Pada kondisi seperti
ini diagnose carnpak klinis sulit ditegakkan. Karena penderita
dengan jmmunocompromised kemL-ngkinan jug& mempunyai respon antibodi
yang buruk, maka isolasi virus merupakan satu-satunya alat diagnosa. Di negara
berkembang, dilaporkan banyak campak berat yang kemungkinan berhubungan
dengan respon imunitas seluler yang buruk pada anak dengan malnutrisi.
Campak juga tampak lebih parah apabila terjadi pada orang dewasa3. Laporan
CDC pcda tahun 1991 batwa insiden komplikasi terhadap campak lebih banyak
terjadi pada pendeita dengan ussa iebih dari 20 tahun daripada anak-anak.

D. Diagnosis

Diagnosa klinis pada campak klasik dengsn gejala batuk, korisa, bercak
Koplik dan ruam makulopapular yang dimulai dsri wajah, mudah dilakukan.
Sering pula didapatkan ieukopenia yang kemungkinan berhubungan dengan
infeksi virus dan leukosit yang mati.

Diagnosa laboratoris berguna jika klinisi jarang melihat kasus campak atau
adanya kemungkinan campak atipikal atau pneumonia dan ensefalitis yang tidak
jelas pada penderita dengan immunocornpromised. Campak dapat didiagnosa
secara laboratoris dengan isolasi virus, identifikasi virus antigen pada jaringan
yang terinfeksi atau dengan respon serologis terhadap virus campak.
Pemeriksaan antigen dapat dilakukan dengan pemeriksaan smunofluoresen dari
sel yang berasal eksudat nasal ataupun dari sedimen urine. Selain itu dapat pula
dilakukan pemeriksaan dengan RT-PCR. Isolasi virus secara teknis sutit dilakukan
dan fasilitas untuk isolas' virus ini tidak selalu tersedsa. Pada kultur virus, virus
campak ini memperlihatkar, efek sitopatik yang terdili dari sel-sel yang
berbentuk bintang, multinucleated syncytial giant cell yang berisi inklusi
intranuklea' Pemeriksaan laboratoris yang sering digunakan adalah respons
serologis. terhadap virus campak Pemeriksaan respon ini digunakar. cara
ne^.rslisaF.i, fiksas' komplemen, ELISA (enzyme-linked immunoosorbent
assay) dan HI (Hemaglutination-inhibition). Tes netrafisasi membutuhkan
propsgasi virus in vitro yang secara teknis sulit dilakukan, sehingga meskipun
cukup sensitif tes ini jarang dilakdkan. Tes HI kurang sensitif dibandingkan
dengan netralisasi tetapi cukup bagus apabila dibandingkan antara dua kaii
pengetesan. Diagnosa campak apabila terdapat peningkatan titer antibodi 4 kali
atau lebih. ELISA lebih sensitif dan lebih mudah dilakukan, serta dapat pula
mendeteksi Ig M spesifik terhadap virus campak pada fase akut. ACIP (Advisry
Committee on Immunization Practice) merekomendasikan bahwa kriteria
laboratoris untuk campak adalah serologi tes yang posilif untuk Ig M campak
atau peningkatan titer antibodi yang signifikan atau didapatkan isolasi virus
campak. Akhir-akhir ini dikembangkan pula pemeriksaan serologis dengan
menggunctkan saliva.

E. Insidence Prevalence/Epidemiologi Campak

1. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Campak

a. Menurut Orang

Campak adalah penyakit yang sangat menular yang dapat menginfeksi anak-
anak pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah atau remaja dan kadang
kala orang dewasa. Campak endemis di masyarakat metropolitan dan mencapai
proporsi untuk menjadi epidemi setiap 2-4 tahun ketika terdapat 30-40% anak
yang rentan atau belum mendapat vaksinasi. Pada kelompok dan masyarakat
yang lebih kecil, epidemi cenderung terjadi lebih luas dan lebih berat. Setiap
orang yang telah terkena campak akan memiliki imunitas seumur hidup.
b. Menurut Tempat

Penyakit campak dapat terjadi dimana saja kecuali di daerah yang sangat
terpencil. Vaksinasi telah menurunkan insiden morbili tetapi upaya eradikasi
belum dapat direalisasikan. Di Amerika Serikat pernah ada peningkatan insidensi
campak pada tahun 1989-1991. Kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak yang
tidak mendapatkan imunisasi, termasuk anak-anak di bawah umur 15 bulan. Di
Afrika dan Asia, campak masih dapat menginfeksi sekitar 30 juta orang setiap
tahunnya dengan tingkat kefatalan 900.000 kematian.Berdasarkan data yang
dilaporkan ke WHO, terdapat sekitar 1.141 kasus campak di Afganistan pada
tahun 2007. Di Myanmar tercatat sebanyak 735 kasus campak pada tahun 2006.

c. Menurut Waktu

Virus penyebab campak mengalami keadaan yang paling stabil pada


kelembaban dibawah 40%. Udara yang kering menimbulkan efek yang positif
pada virus dan meningkatkan penyebaran di rumah yang memiliki alat
penghangat ruangan seperti pada musim dingin di daerah utara. Sama halnya
dengan udara pada musim kemarau di Persia atau Afrika yang memiliki insiden
kejadian campak yang relatif tinggi pada musim-musim tersebut. Bagaimanapun,
kejadian campak akan meningkat karena kecenderungan manusia untuk
berkumpul pada musim-musim yang kurang baik tersebut sehingga efek dari
iklim menjadi tidak langsung dikarenakan kebiasaan manusia.Kebanyakan kasus
campak terjadi pada akhir musim dingin dan awal musim semi di negara dengan
empat musim dengan puncak kasus terjadi pada bulan Maret dan April. Lain
halnya dengan di negara tropis dimana kebanyakan kasus terjadi pada musim
panas. Ketika virus menginfeksi populasi yang belum mendapatkan kekebalan
atau vaksinasi maka 90-100% akan menjadi sakit dan menunjukkan gejala klinis.

2. Determinan Penyakit Campak

a. Host (Penjamu)

Beberapa faktor Host yang meningkatkan risiko terjadinya campak antara


lain:

a.1. Umur

Pada sebagian besar masyarakat, maternal antibodi akan melindungi bayi


terhadap campak selama 6 bulan dan penyakit tersebut akan dimodifikasi oleh
tingkat maternal antibodi yang tersisa sampai bagian pertama dari tahun kedua
kehidupan. Tetapi, di beberapa populasi, khususnya Afrika, jumlah kasus terjadi
secara signifikan pada usia dibawah 1 tahun, dan angka kematian mencapai
42% pada kelompok usia kurang dari 4 tahun. Di luar periode ini, semua umur
sepertinya memiliki kerentanan yang sama terhadap infeksi. Umur terkena
campak lebih tergantung oleh kebiasaan individu daripada sifat alamiah virus. Di
Amerika Utara, Eropa Barat, dan Australia, anak-anak menghabiskan lebih
banyak waktu di rumah, tetapi ketika memasuki sekolah jumlah anak yang
menderita menjadi meningkat.Sebelum imunisasi disosialisasiksan secara luas,
kebanyakan kasus campak di negara industri terjadi pada anak usia 4-6 tahun
ataupun usia sekolah dasar dan pada anak dengan usia yang lebih muda di
negara berkembang. Cakupan imunisasi yang intensif menghasilkan perubahan
dalam distribusi umur dimana kasus lebih banyak pada anak dengan usia yang
lebih tua, remaja, dan dewasa muda.Penelitian Casaeri dengan desain kasus
kontrol di Kabupaten Kendal menyebutkan bahwa anak dengan usia rentan yakni
kurang dari 15 tahun memiliki kemungkinan risiko 4,9 kali lebih besar untuk
terinfeksi campak dibanding pada anak umur kurang rentan.

a.2. Jenis Kelamin

Tidak ada perbedaan insiden dan tingkat kefatalan penyakit campak pada
wanita ataupun pria. Bagaimanapun, titer antibodi wanita secara garis besar lebih
tinggi daripada pria. Kejadian campak pada masa kehamilan berhubungan
dengan tingginya angka aborsi spontan.Berdasarkan penelitian Suwono di Kediri
dengan desain penelitian kasus kontrol mendapatkan hasil bahwa berdasarkan
jenis kelamin, penderita campak lebih banyak pada anak laki-laki yakni 62%.

a.3. Umur Pemberian Imunisasi

Sisa antibodi yang diterima dari ibu melalui plasenta merupakan faktor yang
penting untuk menentukan umur imunisasi campak dapat diberikan pada balita.
Maternal antibodi tersebut dapat mempengaruhi respon imun terhadap vaksin
campak hidup dan pemberian imunisasi yang terlalu awal tidak selalu
menghasilkan imunitas atau kekebalan yang adekuat. Pada umur 9 bulan, sekitar
10% bayi di beberapa negara masih mempunyai antibodi dari ibu yang dapat
mengganggu respons terhadap imunisasi. Menunda imunisasi dapat
meningkatkan angka serokonversi. Secara umum di negara berkembang akan
didapatkan angka serokenversi lebih dari 85% bila vaksin diberikan pada umur 9
bulan. Sedangkan di negara maju, anak akan kehilangan antibodi maternal saat
berumur 12-15 bulan sehingga pada umur tersebut direkomendasikan pemberian
vaksin campak. Namun, penundaan imunisasi dapat mengakibatkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas akibat campak yang cukup tinggi di kebanyakan negara
berkembang.Penelitian kohort di Arkansas menyebutkan bahwa jika
dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksinasi pada usia >15 bulan,
anak yang mendapatkan vaksinasi campak pada usia <12 bulan memiliki risiko 6
kali untuk terkena campak. Sedangkan anak yang mendapatkan vaksinasi
campak pada usia 12-14 bulan memiliki risiko 3 kali untuk terkena campak
dibanding dengan anak yang mendapat vaksinasi pada usia 15 bulan.

Sedangkan sebuah studi kasus kontrol yang juga dilakukan di Arkansas


menyebutkan bahwa anak yang mendapatkan vaksinasi campak pada usia 12-14
bulan memiliki kemungkinan risiko terkena campak 5,6 kali lebih besar dibanding
anak yang mendapatkan vaksin pada usia 15 bulan atau lebih.

a.4. Pekerjaan

Dalam lingkungan sosioekonomis yang buruk, anak-anak lebih mudah


mengalami infeksi silang. Kemiskinan bertanggungjawab terhadap penyakit yang
ditemukan pada anak. Hal ini karena kemiskinan mengurangi kapasitas orang tua
untuk mendukung perawatan kesehatan yang memadai pada anak, cenderung
memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Frekuensi relatif
anak dari orang tua yang berpenghasilan rendah 3 kali lebih besar memiliki risiko
imunisasi terlambat dan 4 kali lebih tinggi menyebabkan kematian anak
dibanding anak yang orang tuanya berpenghasilan cukup.

a.5. Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk


bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang yang
berpendidikan lebih tinggi biasanya akan bertindak lebih rasional. Oleh karena itu
orang yang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru.
Pendidikan juga mempengaruhi pola berpikir pragmatis dan rasional terhadap
adat kebiasaan, dengan pendidikan lebih tinggi orang dapat lebih mudah untuk
menerima ide atau masalah baru.Penelitian Agunawan di desa Saung Naga
Kecamatan Baturaja Barat dengan desain cross sectional menyebutkan bahwa
ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian penyakit campak pada
balita (p=0,000).

a.6. Imunisasi
Vaksin campak adalah preparat virus yang dilemahkan dan berasal dari
berbagai strain campak yang diisolasi. Vaksin dapat melindungi tubuh dari infeksi
dan memiliki efek penting dalam epidemiologis penyakit yaitu mengubah
distribusi relatif umur kasus dan terjadi pergeseran ke umur yang lebih tua.
Pemberian imunisasi pada masa bayi akan menurunkan penularan agen infeksi
dan mengurangi peluang seseorang yang rentan untuk terpajan pada agen
tersebut. Anak yang belum diimunisasi akan tumbuh menjadi besar atau dewasa
tanpa pernah terpajan dengan agen infeksi tersebut. Pada campak, manifestasi
penyakit yang paling berat biasanya terjadi pada anak berumur kurang dari 3
tahun. Pemberian imunisasi pada umur 8-9 bulan diprediksi dapat menimbulkan
serokonversi pada sekurang-kurangnya 85% bayi dan dapat mencegah sebagian
besar kasus dan kematian. Dengan pemberian satu dosis vaksin campak,
insidens campak dapat diturunkan lebih dari 90%. Namun karena campak
merupakan penyakit yang sangat menular, masih dapat terjadi wabah pada anak
usia sekolah meskipun 85-90% anak sudah mempunyai imunitas.Sebuah
penelitian kohort yang dilakukan terhadap 627 siswa di Arkansas mendapatkan
bahwa anak yang tidak mendapatkan vaksinasi berisiko 20 kali untuk terkena
campak daripada anak yang memiliki riwayat vaksinasi pada usia 15 bulan atau
lebih.Berdasarkan penelitian I Made Suardiyasa di kabupaten Tolitoli Sulawesi
Tengah menyebutkan bahwa anak yang tidak diimunisasi berisiko 29 kali untuk
terkena campak dibanding anak yang mendapat imunisasi.

a.7. Status Gizi

Kejadian kematian karena campak lebih tinggi pada kondisi malnutrisi, tetapi
belum dapat dibedakan antara efek malnutrisi terhadap kegawatan penyakit
campak dan efek yang ditimbulkan penyakit campak terhadap nutrisi yang
dikarenakan penurunan selera makan dan kemampuan untuk mencerna
makanan. Scrimshaw mencatat bahwa kematian karena campak pada anak-anak
yang ada di desa Guatemala menurun dari 1% menjadi 0,3% tiap tahunnya
ketika anak-anak tersebut diberikan suplemen makanan dengan kandungan
protein tinggi. Sedangkan pada desa yang menjadi kontrol dimana anak-anak
tersebut tidak diberikan suplemen protein, angka kematian menunjukkan angka
0,7%. Tetapi karena hanya 27% saja dari anak-anak tersebut yang secara teratur
mengkonsumsi protein ekstra, dapat disimpulkan bahwa perubahan rate yang
didapatkan pada kasus observasi tidak seluruhnya disebabkan oleh suplemen
makanan.
Dari sebuah studi dinyatakan bahwa elemen nutrisi utama yang
menyebabkan kegawatan campak bukanlah protein dan kalori tetapi vitamin A.
Ketika terjadi defisiensi vitamin A, kematian atau kebutaan menyertai penyakit
campak. Apapun urutan kejadiannya, kematian yang berhubungan dengan
penyakit campak mencapai tingkat yang tinggi, biasanya lebih dari 10% terjadi
pada keadaan malnutrisi.

Penelitian I Made Suardiyasa di kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah


menyebutkan bahwa risiko anak yang memiliki status gizi kurang untuk terkena
campak adalah 5,4 kali dibanding anak dengan status gizi baik.

Sedangkan penelitian Sulung di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara


Kabupaten Sumba Barat dengan desain cross sectional terhadap anak berumur 6
bulan -15 tahun mendapatkan hasil bahwa kejadian campak ada hubungannya
dengan status gizi dimana anak dengan status gizi kurang mempunyai
kemungkinan risiko 2,9 kali lebih besar untuk terkena campak.

b. Agent

Penyebab infeksi adalah virus campak, anggota genus Morbilivirus dari


famili Paramyxoviridae.

c. Lingkungan

Epidemi campak dapat terjadi setiap 2 tahun di negara berkembang dengan


cakupan vaksinasi yang rendah. Kecenderungan waktu tersebut akan hilang
pada populasi yang terisolasi dan dengan jumlah penduduk yang sangat kecil
yakni < 400.000 orang.

Status imunitas populasi merupakan faktor penentu. Penyakit akan meledak jika
terdapat akumulasi anak-anak yang suseptibel. Ketika penyakit ini masuk ke
dalam komunitas tertutup yang belum pernah mengalami endemi, suatu epidemi
akan terjadi dengan cepat dan angka serangan mendekati 100%. Pada tempat
dimana jarang terjangkit penyakit, angka kematian bisa setinggi 25%.

F. Faktor Yang Mempengaruhi

Penyakit campak adalah suatu penyakit virus yang sangan menular yang
mempunuai angkatan kesakitan dan kematian yang cukup tinggi dikalangan
anak-anak. Program Imunisasi yang dijalankan dewasa ini adalah menurunan
angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh enam penyakit yang salah
satunya diantaranya adalah penyakit campak.

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah dalam rangka untuk mengetahui


faktor-faktor yang berpengaruh serta kuatnya hubungan antara status imunisasi
dengan timbulnya penyakit campak.

penelitian yang dijalankan adalah "kasus kelola" yang bersifak retrospektif


yang akan mewawancarai 71 ibu yang anaknya pernah sakit campak sebagai
"kasus" dan 71 lainnya yang tidak pernah menderita sakit campak sebagai
"kelola". Hail penelitian yang didapat dari sejumlah 142 anggota sampel
sebanyak 62 anak sudah diimunisasi (48,5%), sedangkan dari 71 kasus ternyata
27 anak sudah diimunisasi (38%).

Dari hasil penelitian didapatkan adanya hubungan antara imunisasi


dengan timbulnya penyakit campak (OR=0,42) dan setelah diuji dengan statistik
X2 test ternyata perbedaan tersebut bermakna untuk p=0,05. Demikian pula
status nutrisi juga ada hubungan dengan timbulnya penyakit campak (OR=0,22).
Setelah diuji dengan statistik (X2 test) ternyata perbedaan tersebut bermakna
untuk p=0,05. Dengan demikian makan faktor imunisasi dan status nutrisi
merupakan faktor pengaruh kepada timbulnya penyakit campak. Sedangkan
faktor-faktor lainnya seperti, umur pemberian, umur, jenis kelamin, saudara
rentan, saudara sakit, serta kepadatan penghunian ternyata bukan merupakan
faktor pengaruh kepada timbulnya penyakit campak (p<0,05).

Dengan demikian program Imunisasi haarus terus diperluas jangkauan


cakupannya serta mutu pelayanannya dalam upaya melindungi anak dari sakit
campak.

G. Problem / Masalah

Penyakit campak adalah salah satu penyakit yang menyebabkan kematian


anak anak di dunia termasuk di Indonesia. Setiap negara diajak secara bertahap
mereduksi dan mengeliminasi penyakit campak dengan memberikan imunisasi
rutin kepada bayi. Selain itu, juga dilakukan imunisasi campak tambahan untuk
menjangkau anakanak yang belum pernah divaksinasi atau belum pernah
menderita penyakit campak, serta kesempatan kedua untuk kasus kegagalan
vaksinasi campak.
Di Indonesia telah dilakukan kempanye imunisasi campak di seluruh
provinsi di Indonesia dari bulan Januari 2005 sampai dengan Agustus 2007,
tetapi hingga saat ini belum ada informasi tentang dampaknya. Perlu diketahui
korelasi cakupan imunisasi kampanye campak dengan insiden penyakit campak
di seluruh provinsi di Indonesia tahun 2004 2008.

H. Tujuan

a. Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran epidemiologi penyakit campak dan imunisasi


campak, serta korelasi cakupan imunisasi kampanye campak dengan insiden
penyakit campak satu tahun sesudah kampanye campak di Indonesia.

b. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya cakupan imunisasi kampanye campak seluruh propinsi di


Indonesia.

2. Diketahuinya insiden campak satu tahun sesudah kampanye campak seluruh


propinsi di Indonesia..

3. Diketahuinya korelasi antara cakupan imunisasi kampanye campak dengan


insiden campak satu tahun sesudah kampanye campak.

I. Manfaat

1. Menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan meneliti penulis


dalam bidang kesehatan masyarakat khususnya yang berhubungan dengan
penyakit campak.

2. Menambah perbendaharaan penelitian bagi Program Studi Ilmu Keperawatan


Stikes Wira Husada Yogyakarta khususnya yang berhubungan dengan penyakit
campak.

3. Menambah informasi bagi Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Wira


Husada Yogyakarta mengenai kondisi kesehatan masyarakat yang berhubungan
dengan penyakit campak di Indonesia.

4. Menambah informasi bagi Departemen Kesehatan Republik Indonesia


mengenai kondisi kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan penyakit
campak di Indonesia.
5. Memberikan informasi bagi Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang
bisa digunakan sebagai masukan dalam program yang berhubungan dengan
penyakit campak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Penyakit

1) Penyakit Campak

Penyakit campak adalah suatu penyakit virus akut yang sangat menular
dengan gejala awal berupa demam, konjungtivitis, pilek, batuk, dan bintik-bintik
kecil dengan bagian tengah berwarna putih atau putih kebiru-biruan dengan
dasar kemerahan di daerah mukosa pipi (bercak Koplik). Penyebab infeksi adalah
virus campak, anggota genus Morbilivirus dari famili Paramyxoviridae. Tanda
khas bercak kemerahan dikulit timbul pada hari ketiga sampai ketujuh, dimulai di
daerah muka, kemudian menyeluruh, berlangsung selama 4-7 hari, dan kadang-
kadang berakhir dengan pengelupasan kulit berwarna kecoklatan. Sering timbul
lekopenia.

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat replikasi virus atau karena


superinfeksi bakteri antara lain berupa otitis media, pneumonia,
laryngotracheobronchitis (croup), diare, dan ensefalitis.

Diagnosa biasanya dibuat berdasarkan gejala klinis dan epidemiologis


walaupun konfirmasi laboratorium dianjurkan untuk dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium dilakukan untuk mendeteksi antibodi IgM spesifik campak yang
timbul pada hari ke 3-4 setelah timbul ruam atau untuk mendeteksi peningkatan
yang signifikan titer antibodi antara serum akut dan konvalesens untuk
memastikan diagnosis campak.

Teknik yang jarang digunakan antara lain identifikasi antigen virus dengan
usap mukosa nasofaring menggunakan teknik FA atau dengan isolasi virus
dengan kultur sel dari sample darah atau usap nasofaring yang diambil sebelum
hari keempat timbulnya ruam atau dari spesimen air seni yang diambil sebelum
hari kedelapan timbulnya ruam.

2) Distribusi Penyakit Campak

Campak lebih berat diderita oleh anak-anak usia dini dan yang kekurangan
gizi, pada penderita golongan ini biasanya ditemukan ruam dengan perdarahan,
kehilangan protein karena enteropathy, otitis media, sariawan, dehidrasi, diare,
kebutaan dan infeksi kulit yang berat. Anak-anak dengan defisiensi vitamin A
subklinis atau klinis beresiko tinggi menderita kelainan di atas. CFR di Negara
berkembang diperkirakan sebesar 3-5% tetapi seringkali di beberapa lokasi
berkisar antara 10%-30%. Pada anak-anak dalam kondisi garis batas kekurangan
gizi, campak seringkali sebagai pencetus terjadinya kwasiorkor akut dan
eksaserbasi defisiensi vitamin A yang dapat menyebabkan kebutaan.

Campak endemis di masyarakat metropolitan dan mencapai proporsi


untuk terjadi KLB setiap 2-3 tahun. Pada kelompok masyarakat dan daerah yang
lebih kecil, KLB cenderung terjadi lebih luas dan lebih berat. Dengan interval
antar KLB (honeymoon periode) yang lebih panjang seperti yang terjadi di
daerah Kutub Utara dan di beberapa pulau tertentu, KLB campak sering
menyerang sebagian penduduk dengan angka kematian yang tinggi. Dengan
program imunisasi yang efektif untuk bayi dan anak, kasus-kasus campak di
Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara lainnya (seperti Finlandia, Republik
Czech) turun sebesar 99% dan pada umumnya campak hanya menyerang anak-
anak yang tidak diimunisasi atau anak-anak yang lebih besar, remaja atau
dewasa muda yang hanya menerima vaksin satu dosis.

Di Amerika Serikat pada tahun 1989-1991, KLB yang berkepanjangan


timbul pada populasi anak sekolah diantara 2-5% dari mereka yang gagal
membentuk antibodi, tidak terjadi serokonversi setelah mendapat vaksinasi 1
dosis. Di daerah iklim sedang campak timbul terutama pada akhir musim dingin
dan pada awal musim semi. Di daerah tropis campak timbul biasanya pada
musim panas.

3) Penularan Penyakit Campak

Reservoir dari penyakit campak adalah manusia. Campak merupakan


salah satu penyakit infeksi yang sangat menular. Cara penularan dari penyakit
ini adalah melalui udara dengan penyebaran droplet, kontak langsung, melalui
sekret hidung atau tenggorokan dari orang-orang yang terinfeksi dan jarang
melalui benda-benda yang terkena sekret hidung atau sekret tenggorokan. Masa
inkubasi dari penyakit ini berlangsung sekitar 10 hari, tapi bisa berkisar antara 7-
18 hari dari saat terpajan sampai timbul gejala umum, biasanya 14 hari sampai
timbul ruam. Jarang sekali lebih lama dari 19-21 hari. IgG untuk perlindungan
pasif yang diberikan setelah hari ketiga masa inkubasi dapat memperpanjang
masa inkubasi. Masa penularan penyakit campak berlangsung mulai dari hari
pertama sebelum munculnya gejala prodromal (biasanya sekitar 4 hari sebelum
timbulnya ruam) sampai 4 hari setelah timbul ruam; minimal setelah hari kedua
timbulnya ruam.

Semua orang yang belum pernah terserang penyakit ini dan mereka yang
belum pernah diimunisasi serta nonresponders rentan terhadap penyakit ini.
Imunitas yang didapat setelah sakit bertahan seumur hidup. Bayi yang baru lahir
dari ibu yang pernah menderita campak akan terlindungi kira-kira selama 6-9
bulan pertama atau lebih lama tergantung dari titer antibodi maternal yang
tersisa pada saat kehamilan dan tergantung pada kecepatan degradasi antibodi
tersebut. Antibodi maternal mengganggu respons terhadap vaksin. antibodi,
tidak terjadi serokonversi setelah mendapat vaksinasi 1 dosis. Di daerah iklim
sedang campak timbul terutama pada akhir musim dingin dan pada awal musim
semi. Di daerah tropis campak timbul biasanya pada musim panas.

4) Penularan Penyakit Campak

Reservoir dari penyakit campak adalah manusia. Campak merupakan


salah satu penyakit infeksi yang sangat menular. Cara penularan dari penyakit
ini adalah melalui udara dengan penyebaran droplet, kontak langsung, melalui
sekret hidung atau tenggorokan dari orang-orang yang terinfeksi dan jarang
melalui benda-benda yang terkena sekret hidung atau sekret tenggorokan. Masa
inkubasi dari penyakit ini berlangsung sekitar 10 hari, tapi bisa berkisar antara 7-
18 hari dari saat terpajan sampai timbul gejala umum, biasanya 14 hari sampai
timbul ruam. Jarang sekali lebih lama dari 19-21 hari. IgG untuk perlindungan
pasif yang diberikan setelah hari ketiga masa inkubasi dapat memperpanjang
masa inkubasi. Masa penularan penyakit campak berlangsung mulai dari hari
pertama sebelum munculnya gejala prodromal (biasanya sekitar 4 hari sebelum
timbulnya ruam) sampai 4 hari setelah timbul ruam; minimal setelah hari kedua
timbulnya ruam.

Semua orang yang belum pernah terserang penyakit ini dan mereka yang
belum pernah diimunisasi serta nonresponders rentan terhadap penyakit ini.
Imunitas yang didapat setelah sakit bertahan seumur hidup. Bayi yang baru lahir
dari ibu yang pernah menderita campak akan terlindungi kira-kira selama 6-9
bulan pertama atau lebih lama tergantung dari titer antibodi maternal yang
tersisa pada saat kehamilan dan tergantung pada kecepatan degradasi antibodi
tersebut. Antibodi maternal mengganggu respons terhadap vaksin.

B. Faktor Resiko

Beberapa faktor host yang dapat meningkatkan resiko penyakit campak


antara lain :

a) Umur

Kasus campak di Negara industry terjadi pada anak usia 4-6 tahun
ataupun usia sekolah dasar dan pada anak dengan usia yang lebih muda di
Negara berkembang. Cakupan imunisasi yang intensif menghasilkan perubahan
dalam distribusi umur dimana kasus lebih banyak pada anak dengan usia yang
lebih tua, remaja, dan dewasa muda.

b) Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk


bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang yang
berpendidikan lebih tinggi biasanya akan bertindak lebih rasional. Oleh karena
itu orang yang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru.
Pendidikan juga mempengaruhi pola berpikir pragmatis dan rasional terhadap
adat kebiasaan, dengan pendidikan lebih tinggi orang dapat lebih mudah untuk
menerima ide atau masalah baru.

c) Status Gizi

Kejadian kematian karena campak lebih tinggi pada kondisi malnutrisi,


tetapi belum dapat dibedakan antara efek malnutrisi terhadap kegawatan
penyakit campak dan efek yang ditimbulkan penyakit campak terhadap nutrisi
yang dikarenakan penurunan selera makan dan kemampuan untuk mencerna
makanan.

d) Environment (Lingkungan)
Epidemi campak dapat terjadi setiap 2 tahun di negara berkembang
dengan cakupan vaksinasi yang rendah. Kecenderungan waktu tersebut akan
hilang pada populasi yang terisolasi dan dengan jumlah penduduk yang sangat
kecil yakni < 400.000 orang. Pada lingkungan yang jarang terjangkit penyakit,
angka kematian bisa setinggi 25%.

C. Pencegahan

a. Pencegahan Primordial

Pencegahan tingkat awal berhubung an dengan keadaan penyakit yang


masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang dapat
dilakukan dengan memantapkan status kesehatan balita dengan memberikan
makanan bergizi sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh.

c. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah


seseorang terkena penyakit campak, yaitu :

1.Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya pelaksanaan


imunisasi campak untuk semua bayi.

2.Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang diberikan pada
semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan karena dapat melindungi sampai
jangka waktu 4-5 tahun.

c. Pencegahan Sekunder

Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit sedini


mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian
pencegahan ini sekurang - kurangnya dapat menghambat atau memperlambat
progrefisitas penyakit, mencegah komplikasi, dan membatasi kemungkinan
kecatatan, yaitu :

1.Menentukan diagnosis campak dengan benar baik melalui pemeriksaan fisik


atau darah.
2.Mencegah perluasan infeksi. Anak yang menderita campak jangan masuk
sekolah selama empat hari setelah timbulnya rash. Menempatkan anak pada
ruang khusus atau mempertahankan isolasi di rumah sakit dengan melakukan
pemisahan penderita pada stadium kataral.

3.Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan penderita yakni


antipiretik untuk menurunkan panas dan juga obat batuk. Antibiotika hanya
diberikan bila terjadi infeksi sekunder untuk mencegah komplikasi.

d. Pencegahan Tersier

Pencegahan tingkat ketiga bertujuan untuk mencegah terjadinya


komplikasi dan kematian. Adapun tindakan - tindakan yang dilakukan pada
pencegahan tertier yaitu : 1.Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak.

2.Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A akan turun secara
cepat Terutama pada anak kurang gizi yang akan menurunkan imunitas mereka.

D. Penanggulangan

Pada sidang CDC/ PAHO / WHO, tahun 1996 menyimpulkan bahwa


penyakit Campak dapat dieradikasi, karena satu-satunya
pejamu/ reservoir campak hanya pada manusia serta tersedia vaksin dengan
potensi yang cukup tinggi yaitu effikasi vaksin 85% dan dirperkirakan
eradikasi dapat dicapai 10 15 tahun setelah eliminasi.World Health
Organisation (WHO) mencanangkan beberapa tahapan dalam upaya eradikasi
(pemberantasan) penyakit Campak dengan tekanan strategi yang berbeda-
beda pada setiap tahap yaitu :

a. Tahap Reduksi

Tahap ini dibagi dalam 2 tahap :

1. Tahap Pengendalian Campak

Pada tahap ini ditandai dengan upaya peningkatan cakupan imunisasi


campak rutin dan upaya imunisasi tambahan di daerah dengan morbitas
campak yang tinggi. Daerah ini masih merupakan daerah endemis campak,
tetapi telah terjadi penurunan insiden dan kematian, dengan pola epidemiologi
kasus Campak menunjukkan 2 puncak setiap tahun.

2. Tahap Pencegahan KLB

Cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi 80% dan merata,terjadi


penurunan tajam kasus dan kematian, insidens campak telah bergeser kepada
umur yang lebih tua, dengan interval KLB antara 4-8 tahun.

b. Tahap Eliminasi

Cakupan imunisasi sangat tinggi 95% dan daerah-daerah dengan


cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya, kasus campak
sudah sangat jarang dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang
dicurigai rentan (tidak terlindung) harus diselidiki dan diberikan imunisasi
campak.

c. Tahap Eradikasi

Cakupan imunisasi sangat tinggi dan merata, serta kasus Campak sudah
tidak ditemukan.Pada siding The World Health Assambley (WHA) tahun 1998,
menetapkan kesepakatan Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Tetanus
Noenatorum (ETN) dan Reduksi Campak (RECAM). Kemudian pada Technical
Consultative Groups (TGC) Meeting di Dakka Bangladesh tahun 1999,
menetapkan bahwa reduksi campak di Indonesia berada pada tahap reduksi
dengan pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB).

Strategi operasional yang dilakukan ditingkat Puskesmas untuk mencapai


reduksi Campak tersebut adalah :

a. Imunisasi rutin pada bayi 9 11 bulan (UCI Desa 80)

b. Imunisasi tambahan (suplemen)

a. Catch up compaign : memberikan imunisasi Campak sekali saja pada anak SD


kelas 1 s/d 6 tanpa memandang status imunisasi.

b. Selanjutnya untuk tahun berikutnya secara rutin diberikan imunisasi campak


pada murid kelas 1 SD (bersama dengan pemberian DT) pelaksanaan secara
rutin dikenal dengan istilah BIAS (bulan imunisasi anak sekolah) Campak.
Tujuannya adalah mencegah KLB pada anak sekolah dan memutuskan rantai
penularan dari anak sekolah kepada balita.
c. Crash program Campak : memberikan imunisasi Campak pada anak umur
6 bulan - > 5 tahun tanpa melihat status imunisasi di daerah risiko tinggi
campak.

d. Ring vaksinasi : Imunisasi Campak diberikan dilokasi pemukiman di sekitar


lokasi KLB dengan umur sasaran 6 bulan (umur kasus campak termuda)
tanpa melihat status imunisasi.

c. Surveilans (surveilan rutin, system kewaspadaan dini dan respon kejadian luar
biasa).

d. Penyelidikan dan penanggulangan kejadian luar biasa Setiap kejadian luar


biasa harus diselidiki dan dilakukan penanggulangan secepatnya yang meliputi
pengobatan simtomatis pada kasus, pengobatan dengan antibiotika bila terjadi
komplikasi, pemberian vitamin A dosis tinggi, perbaikan gizi dan meningkatkan
cakupan imunisasi campak/ring vaksinasi (program cepat, sweeping) pada desa-
desa risiko tinggi.

e. Pemeriksaan laboratorium

Pada tahap reduksi Campak dengan pencegahan kejadian luar biasa :

Pemeriksaan laboratorium dilakukan terhadap 10 15 kasus baru pada setiap


kejadian luar biasa.

Pemantauan kegiatan reduksi Campak pada tingkat Puskesmas dilakukan


dengan cara kenaikan sebagai berikut :

1. Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) Imunisasi untuk mengetahui pencapaian


cakupan imunisasi.

2. Pemetaan kasus Campak untuk mengetahui penyebaran lokasi kasus Campak.

3. Pemantauan data kasus campak untuk melihat kecenderungan kenaikan kasus


campak menurut waktu dan tempat.

4. Pemantauan kecenderungan jumlah kasus campak yang ada untuk melihat


dampak imunisasi campak.
BAB III

METODE STUDI

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian Epidemiologi


Deskriptif yang bersifat studi observasional yang mempelajari distribusi dan
frekuensi penyakit di populasi, dengan menggunakan desain penelitian Korelasi
(correlation study or ecology study) dimana penelitian Epidemiologi berdasarkan
unit pengamatan atau unit analisis agregat.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk mengetahui gambaran


epidemiologi kasus campak di Cirebon tahun 2004-2011. Populasi penelitian
adalah semua data kasus campak yang dilaporkan dari 22 puskesmas se-Kota
Cirebon pada tahun 2004-2011 ke sub bagian Pengendalian Masalah Kesehatan
(PMK) di Kota Cirebon.11. Variabel terikat adalah jumlah kejadian campak.
Variabel bebasnya terdiri dari umur, jenis kelamin, status vitamin A, status
imunisasi, cakupan imunisasi, tempat, dan waktu (bulan). Instrumen penelitian
yang digunakan adalah Form C1 yang digunakan untuk menganalisis data kasus
campak. Metode pelaksanaannya yaitu dengan mengolah dan menganalisis data
sekunder yang terkumpul di sub bagian Pengendalian Masalah Kesehatan. Data-
data yang diperoleh kemudian diolah melalui tahap-tahap pengolahan data
sebagai berikut: 1. Pembuatan Struktur Data 2. Entri Data 3. Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, Analisis univariat pada
variabel orang digunakan untuk melihat dan mendeskripsikan besarnya distribusi
frekuensi dan insiden kasus campak pada umur, jenis kelamin, status imunisasi
dan status vitamin A. Analisis univariat pada variabel waktu digunakan untuk
melihat trend pada bulan kasus. Analisis univariat pada variabel tempat
digunakan untuk melihat kasus campak dengan pengaruh kondisi geografisnya
serta cakupan imunisasi campak di tempat tersebut.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Berdasarkan Variabel Tempat.

Insiden campak berdasarkan kecamatan per 10.000 penduduk, diketahui


bahwa pada tahun 2004 - 2011 Insiden kasus tertinggi sering terjadi di dua
kecamatan yaitu kecamatan Kesambi dan kecamatan Harjamukti.

Tingginya insiden campak di kecamatan Kesambi pada tahun 2004, 2005,


2007 dan 2009 diperkirakan karena kepadatan penduduk yang tinggi. yaitu
sebesar 8.827,30 penduduk per km2. Dikatakan tinggi karena kepadatan
penduduk kecamatan lebih tinggi dari pada kepadatan penduduk kota. Diketahui
bahwa penularan penyakit campak (transmisi virus campak) lebih mudah terjadi
pada perumahan rakyat yang padat, daerah yang kumuh dan miskin, serta
daerah yang populasinya padat.8 Menurut teori kepadatan penduduk merupakan
persemaian subur bagi virus, sekaligus sarana eksperimen rekayasa genetika
secara ilmiah. Pemukiman yang padat dapat mempermudah penularan penyakit
yang menular melalui udara, terutama penyakit campak yang proses
penularannya terjadi saat percikan ludah atau cairan yang keluar ketika
penderita bersin.12 Sedangkan untuk kecamatan Harjamukti insiden campak
yang tinggi disebabkan cakupan imunisasi rutin campak yang belum mencapai
target UCI pada salah satu kelurahannya. UCI merupakan keadaan tercapainya
cakupan imunisasi dasar lengkap 80% sebelum anak usia satu
tahun.Pencapaian imunisasi ini akan memberikan dampak jika cakupan 80%
dan merata di seluruh kelurahan. Cakupan imunisasi yang rendah salah satunya
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan para orang tua yang berpengaruh
terhadap perilaku mereka, termasuk perilaku mengimunisasi anak. Alasan
sebagian masyarakat menolak anaknya diimunisasi karena khawatir pemberian
imunisasi akan menimbulkan efek samping. Hal ini sesuai dengan teori Lawrence
Green bahwa perilaku dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang. Penelitian Irham
(2010) juga yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu tentang campak
mempengaruhi perilaku Imunisasi campak.

Dari peta Insiden Kumulatif penyakit campak yang ada pada bab hasil
penelitian dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi perubahan warna
pada tiap kecamatan, hal ini menunjukan perioditas penyakit campak.
Kadang penyakit campak pada suatu wilayah pada tahun tertentu tinggi
namun pada tahun berikutnya penyakit campak tersebut tiba-tiba hilang dan
bukan menjadi masalah kesehatan, hal ini disebabkan oleh kekebalan kelompok
pada suatu daerah tersebut. Perubahan warna juga disebakan adanya Kejadian
Luar Biasa pada tahun tertentu. Kemudian Insiden campak tertinggi diperkirakan
juga oleh penguatan surveilans campak di kecamatan tersebut, dimana
peningkatan insiden campak yang cukup besar dikarenakan sistem surveilansnya
sudah semakin baik sehingga kasus yang terlaporkan juga semakin banyak
terdeteksi.

2. Berdasarkan Variabel Orang

a. Berdasarkan Kelompok Umur

Insiden campak berdasarkan kelompok umur di Cirebon tahun 2004, 2007,


2008, dan 2010 insiden campak tertinggi terjadi pada kelompok umur < 1 tahun,
dan tahun 2005 dan 2006 insiden campak tertinggi pada kelompok umur 1-4
tahun. Sedangakan tahun 2009 dan 2011 insiden campak tertinggi pada
kelompok umur 5-9 tahun. Insiden kasus campak terendah tahun 2004 sampai
2011 pada kelompok > 15 tahun.

Secara umum, insiden campak tinggi pada kelompok umur di bawah 5


tahun setiap tahunnya. Tetapi pada beberapa daerah dengan cakupan imunisasi
tinggi dan merata cenderung bergeser kepada kelompok umur yang lebih tua (5-
9 tahun).17 Pada kelompok umur di bawah 5 tahun kebanyakan belum pernah
terserang penyakit campak sebelumnya sehingga belum ada antibodi yang
terbentuk. Pada kelompok umur itu juga balita belum terimunisasi.

b. Berdasarkan Jenis Kelamin

Proporsi kasus campak yang berjenis kelamin laki-laki (L) lebih banyak dari
pada yang berjenis kelamin perempuan (P) .

Sesuai dengan penelitian Suwono di Kediri dengan desain penelitian kasus


kontrol mendapatkan hasil bahwa berdasarkan jenis kelamin, penderita campak
lebih banyak pada anak laki-laki yakni 62%. Titer antibodi wanita secara garis
besar lebih tinggi dari pada pria. Tetapi secara keseluruhan tidak ada perbedaan
insiden dan tingkat kefatalan penyakit campak pada wanita ataupun pria.
c. Berdasarkan Status Imunisasi

Pada tahun 2010 proporsi kasus campak dengan status tidak imunisasi
lebih banyak dari pada yang diimunisasi. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa status imunisasi campak berpengaruh terhadap
perlindungan tubuh dari serangan penyakit campak.8 Pendidikan diduga
berhubungan dengan prosentase anak yang mendapatkan imunisasi dasar
termasuk juga campak. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga dan
ibu maka semakin tinggi pula cakupan imunisasi.

Sedangkan pada tahun 2011 proporsi kasus campak dengan status


imunisasi lebih banyak dari pada yang tidak diimunisasi. Hal itu bisa terjadi
karena kegagalan dalam imunisasi campak, hal ini dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Dari faktor host bisa disebabkan oleh karena umur bayi pada
waktu diberi imunisasi, masih adanyaantibodi maternal dari ibu. Umur bayi saat
imunisasi berpengaruh terhadap daya guna vaksin campak. Daya guna vaksin
akan menurun jika diberikan pada bayi yang lebih muda karena proporsi antibodi
maternal masih tinggi, umur saat bayi kehilangan antibodi maternal adalah
waktu yang optimal.14 Dari faktor agent bisa karena pengaruh virus vaksin
campak yang virulen, dan mengalami mutasi galur virus campak.8 Oleh karena
itu, pemberian imunisasi dosis ke dua menjadi penting untuk mengatasi
kegagalan pembentukan antibodi pada pemberian imunisasi pertama. Antibodi
akan bertahan lebih lama jika mendapat booster, adanya infeksi ulang oleh virus
atau oleh vaksin pada saat titer antibodi rendah, akan merangsang sel memori
menghasilkan antibodi secara cepat dan mencapai puncaknya selama 12 hari.8
Dari hasil penyelikan tim Ditjen PPM & PLP dan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia tentang KLB penyakit Campak di Desa Cinta Manis Kecamatan
Banyuasin Sumatera Selatan (1996) dengan desain cross sectional, ditemukan
balita yang tidak mendapat imunisasi Campak mempunyai risiko 5 kali lebih
besar untuk terkena campak di banding balita yang mendapat Imunisasi.

Sampai saat ini di Cirebon pencegahan penyakit campak dilakukan dengan


imunisasi campak secara rutin yang diberikan pada bayi berumur 9 15 bulan.
Status imunisasi campak setiap individu akan berpengaruh terhadap
perlindungan kelompok dari serangan penyakit campak di wilayah tersebut
karena vaksinasi campak dapat menekan angka kesakitan penyakit campak.8
Oleh karena itu, imunisasi campak rutin pada anak balita harus tetap dilakukan
dengan metode yang lebih optimal, selain itu perlu adanya program-program
tambahan seperti Catch Up Campaign Campak, Crash program Campak dan
imunisasi rutin tambahan pada anak kelas 1 SD yang dikenal dengan istilah BIAS
(bulan imunisasi anak sekolah) Campak.

d. Berdasarkan Status Vitamin A

Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia.


Anak - anak yang mendapatkan cukup vitamin A, bila terkena penyakit, penyakit
tersebut tidak mudah menjadi parah, sehingga tidak membahayakan jiwa anak.
sedangkan anak yang kekurangan vitamin A dapat menurunkan
respon antibody yang bergantung pada limfosit yang berperan sebagai
kekebalan pada tubuh seseorang.8 Program imunissasi campak menganjurkan
pemberian vitamin A, karena infeksi campak juga dikaitkan dengan penurunan
kadar vitamin A, dan rendahnya kadar vitamin A dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas anak. Anak yang kekurangan vitamin A akan mengalami gangguan
respon imun saat imunisasi, dan menunjukkan sel T yang abnormal yang
mengacu kelainan imunodefisiensi.

Dari data yang ada menunjukan proporsi kasus campak dengan status
diberivitamin A lebih banyak dari pada yang tidak diberi vitamin A. Hal ini
berbeda dengan teori yang menyatakan bahwa pemberian vitamin A dapat
meningkatkan responantibody yang berperan sebagai kekebalan pada tubuh
seseorang. Hal ini mungkin terjadi karena status vitamin A pada anak tidak
cukup mampu untuk melawan infeksi virus. Pertahanan tubuh terhadap infeksi
virus memerlukan pertahanan yang bersifat spesifik, sedangkan pemberian
vitamin A merupakan pertahan tubuh yang bersifat non spesifik.

e. Berdasarkan Variabel Waktu

Distribusi kasus campak hampir ada disetiap tahun dari tahun 2004 sampai
dengan tahun 2011 di Cirebon, dan cenderung mengalami penurunan, akan
tetapi setiap tahunnya kasus paling banyak pada bulan April dan Oktober. Hal ini
menunjukan bahwa telah terjadi KLB campak dimana transmisi tertinggi pada
bulan Maret - April dan September Oktober.

Campak merupakan penyakit yang mempunyai periodisitas tahunan (cyclic)


dimana campak bersifat endemis/berjangkit sepanjang tahun, bisa muncul kapan
saja sepanjang tahun dan tidak mengenal musim. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian retrospektif oleh Jusak di rumah sakit umum daerah Dr. Sutomo
Surabaya pada tahun 1989, ditemukan Campak di Indonesia sepanjang tahun.
Akan tetapi pada penelitian ini terdapat fenomena yang cukup menarik yaitu
kasus campak dari tahun 2004-2011 setiap tahunnya kasus tertinggi pada bulan
April dan Okrober.15 Faktor yang menyebabkan tingginya kasus campak pada
bulan tersebut misalnya karena pada bulan tersebut musim hujan dimana udara
menjadi lebih lembab dari pada musim kemarau. Kelembaban yang tinggi dapat
mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan
kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban di
cirebon berkisar antara 48-93% menyebabkan transmisi penyebaran virus
campak lebih tinggi. Prevalensi transmisi penyebaran virus campak lebih tinggi
pada tempat dengan kelembaban tinggi.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada akhir dari uraian ini, dapat kami simpulkan sebagai berikut :

1. Campak adalah penyakit akut dengan daya penuiaran yang tinggi ditandai
dengan demam, korisa, konjungtivitis, batuk, enenthem spesifik dan ruam
makulopapular.

2. Sebelum era vaksin setiap anak di dunia akan terkena campak

3. Campak adalah penyakit dengan komplikasi yang cukup serius.

4. Setelah era vaksin morbiditas dan mortalitas akibat campak dapat diturunkan.

5. Masih ada beberapa hal yang menghambat secara operasional dilakukannya


eradikasi campak

B. Saran

Kita harus menerapkan pola hidup sehat, utamanya untuk anak dan
balita perlu mendapatkan asupan gizi yang cukup sehingga status gizi anak pun
menjadi lebih baik. Selalu menjaga kebersihan dengan selalu mencuci tangan
anak sebelum makan.
Jika anak belum waktunya menerima imunisasi campak, atau karena hal
tertentu dokter menunda pemberian imunisasi campak (MMR), sebaiknya anak
tidak berdekatan dengan anak lain atau orang lain yang sedang demam dan jika
sudah terkena penyakit ini sebaiknya secepatnya berobat dan jika dalam kondisi
yang lebih akut sebaiknya perlu dirujuk ke rumah sakit.

Untuk para orangtua jangan mengabaikan vaksinasi untuk anak karena


anak atau balita yang tidak mendapat imunisasi campak memiliki resiko 5 kali
lebih besar untuk terkena penyakit campak dibanding dengan anak atau balita
yang mendapat imunisasi.

Daftar Pustaka

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012,


Halaman 293 - 304 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm.

Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfert CIV!, eds. Measles (Rubeola).

Infectious Disease of Children. St Louis: The Mosby Co, 1992; 223-45

Setiawan, I Made. Penyakit Campak. Jakarta : PT Sagung Seto; 2008.

Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2010.Jakarta: Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia, 2010.

WHO. World health Statistics 2011 (http://www.who.int/csr/don/2011_04_21/en/)


Diakses 10 Juli 2012.

Subagian Pengendalian Masalah Kesehatan. Rekapitulasi Campak 2004-


2011 Cirebon: Dinkes Kota Cirebon; 2011.

Regina. Korelasi Cakupan Imunisasi Kampanye Campak Dengan Insiden Penyakit


Campak di Indonesia tahun 2004 - 2008. Jakarta: FKM-UI ; 2008.
Suwoyo, dkk. Resiko Terjadinya Gejala Klinis Campak Pada Anak Usia 1-14 Tahun
Dengan Status Gizi Kurang Dan Sering Terjadi Infeksi Di Kota Kediri. Jurnal
Penelitian Kesehatan Suara Forikes. 2010; 1 (2); hal 88 95.

Cutts FT, Steinglas R. Should measles be eradicated? Br Med J 1998; 316:765-7

Susilaningsih, Tutik Inayah. Gambaran Epidemiologi Kasus Campak dan Indikator


Kinerja Surveilans Campak Rutin di Indonesia Tahun 2005-2008 (Studi Kasus
data sub-Direktorat Surveilans Epidemiologi Departemen Kesehatan Republik
Indonesia).Semarang: FKM-UNDIP ; 2008

Dinkes Kota Cirebon. Profil Kesehatan Kota Cirebon 2011. Cirebon: Dinkes Kota
Cirebon, 2011.

Dinkes Jateng. Surveilans Penyakit Yang Dapat DicegahDengan Imunisasi (Pd3i)


Provinsi Jawa Tengah.
(http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/Rakernis2011/surveilans_pd3i.pdf)
Diakses 6 Maret 2012.

Dewi, Elmerilia Farah. Hubungan Cakupan Imunisasi, status Gizi dan Kepadatan
Hunian dengan Penyakit Campak. Jakarta : FKM-UI ; 2008.

Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka


Cipta; 2007

Heriyanto, Bambang. Yuwono, Djoko. Zat Kebal Bawaan Campak dan


Pengaruhnya terhadap Imunisasi Campak di Daerah Endemik Campak. Jurnal
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Depatemen Kesehatan R.I. Cermin 2 Dunia Kedokteran 1989; 55; hal
44-47.

Muchlastriningsih, Enny. Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan


Imunisasi di Indonesi. Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan
Penyakit, Departemen Kesehatan RI. Cermin 2 Dunia Kedokteran 2005; 148.

Anda mungkin juga menyukai