Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput lendir, luka-luka lecet
maupun melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena air. Kemudian, kuman akan dibawa
ke berbagai bagian tubuh dan memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar
mamae dan selaput otak. Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel
jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan fase leptospiremia,
yang biasanya terjadi pada minggu pertama setelah infeksi. Beberapa servoar menghasilkan
endotoksin, sedangkan servoar lainnya menghasilkan hemolisin, yang mampu merusak
dinding kapiler pembuluh darah. Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik
yang timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah. Berbeda
dengan infeksi oleh kuman-kuman lain, pada leptospirosis tidak dibebaskan eksotoksin oleh
kuman leptospira.
Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan kuman
tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama, meskipun kadar
antibodi penderita cukup tinggi dan banyak sel-sel penghasil zat kebal dapat ditemukan di
tempat-tempat yang mengalamai infeksi. Sampai sekarang tidak ada uraian yang dapat
menjelaskan kejadian tersbut. Kematian terjadi karena septimia, anemia hemolitika,
kerusakan hati karena terjadinya uremia. keparahan penderita bervariasi tergantung pada
umur serta servoar leptospira penyebab infeksi.
Gejala Klinis
Stadium pertama
1. Demam, menggigik
2. Sakit kepala
3. Malaise
4. Muntah
5. Konjungtivis
6. Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala tersebut akan
tampak antara 4-9 hari
Gejala-gejala karakteristik sebagai berikut :
1. Konjungtivis tanpa disertai eksudat serous/purulent
2. Kemerahan pada mata
3. Rasa nyeri pada otot-otot. Gejala ini biasanya terjadi pada hari ketiga sampai
keempat setelah penyakit tersebut muncul.
Stadium kedua
1. Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita
2. Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding pada
stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)
3. Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan
terjadi meningitis
4. Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala klinis
pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi leptospirosis dapat
menimbulkan gejala-gejala berikut :
1. Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian
2. Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang
erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic
3. Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan
keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
4. Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd apat
menyebabkan kematian mendadak
5. Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada,
respiratory distress dan cyanosis
6. Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage)
dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia
7. Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan
kecacatan pada bayi
Pengobatan
Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik seperti Penisilin, Streptomycin, Tetracycline atau
Erythromycin. Dari bermacam-macam antibiotik yang tersebut diatas,
menurut Turner, pemberian penisilin atau tetracycline dosis tinggi dapat
memberikan hasil yang sangat baik.
Cara mengobati penderita leptospirosis yang dianjurkan adalah sebagai
berikut :
Pencegahan leptospirosis
* Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit, berperan dalam upaya
pencegahan penyakit leptospirosis
*Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh
lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah
*Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu dalam usaha
mencegah penyakit leptospirosis
PENYIDIKAN EPIDEMIOLOGI
Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan kasus dari rumah sakit atau
laporan puskesmas. Penyelidikan kasus Leptospirosis lain di sekitar tempat tinggal penderita,
tempat kerja, tempat jajan atau daerah banjir. Penyelidikan Epidemiologi dilakukan terhadap :
Terhadap manusianya :
Penemuan penderita dengan melaksanakan pengamatan aktif. Di desa/ kelurahan yang ada
kasus Leptospirosis pencarian penderita baru berdasarkan gejala/tanda klinis setiap hari dari
rumah ke rumah.Bila ditemukan suspek dapat dilakukan pengambilan darah sebanyak 3-5 ml,
kemudian darah tersebut diproses untuk mendapatkan serumnya guna pemeriksaan serologis
di laboratorium. Serum dibawa dari lapangan dengan menggunakan termos berisi es, setelah
sampai di sarana kesehatan disimpan di freezer 4 C sebelum dikirim ke Bagian
Laboratorium Mikrobiologi RSU Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Undip Semarang untuk
dilakukan pemeriksaan uji MAT (Microscopic Agglutination Test) untuk mengetahui jenis
strainya.
1. Lepto Dipstick Assay : RDT ini dapat mendeteksi Imunoglobulin M spesifik kuman
Leptospira dalam serum. Hasil evaluasi multi sentrum pemeriksaan Leptodipstick di 22
negara termasuk Indonesia, menunjukkan sensitifitas Dipstick mencapai 92,1%. Metode
relatif praktis dan cepat karena hanya memerlukan waktu 2,5 3 jam.
2. Leptotek Dridot: Berdasarkan aglutinasi partikel lateks, lebih cepat karena hasilnya
bisa dilihat dalam waktu 30 detik. Test ini untuk mendeteksi antibodi aglutinasi seperti
pada MAT. Pemeriksaan dilakukan dengan meneteskan 10 mL serum (dengan pipet
semiotomatik) pada kartu aglutinasi dan dicampur dengan reagen. Hasil dibaca setelah 30
detik dan dinyatakan positif bila ada aglutinasi. Metode ini mempunyai sensitifitas 72,3%
dan spesifitas 93,9% pada serum yang dikumpulkan dalam waktu 10 hari pertama mulai
sakit.
3. Leptotek Lateral Flow : Pemeriksaan dilakukan dengan dengan memasukan 5 mL
serum atau10 mL darah, dan 130 mL larutan dapar, hasil dibaca setelah 10 menit.
Leptotek Lateral Flow cukup cepat, mendeteksi IgM yang menandakan infeksi baru,
relatif mudah, tidak memerlukan almari pendingin untuk menyimpan reagen, namun
memerlukan pipet semiotomatik, dan pemusing bila memakai serum. Alat ini mempunyai
sensitifitas 85,8% dan spesifitas 93,6%.
KLB Leptospirosis ditetapkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
1. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut di suatu wilayah desa.
2. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu di wilayah desa c. Jumlah
penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya di suatu
wilayah desa.
3. Munculnya kesakitan leptospirosis di suatu wilayah kecamatan yang selama 1 tahun
terakhir tidak ada kasus.
PENANGGULANGAN
Penyediaan logistik di sarana kesehatan, koordinasi dengan pemangku kepentingan dan
sektor terkait, penemuan dini penderita dan pelayanan pengobatan yang tepat di puskesmas
dan rumah sakit melalui penyuluhan masyarakat tentang tanda-tanda penyakit, resiko
kematian serta tatacara pencarian pertolongan.
1. Melakukan kebersihan individu dan sanitasi lingkungan antara lain mencuci kaki,
tangan dan bagian tubuh lainnya setelah bekerja di sawah.
2. Pembersihan tem pat penyimpanan air dan kolam renang.
3. Pendidikan kesehatan tentang bahaya, cara penularan penyakit dengan melindungi
pekerja beresiko tinggi dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan, vaksinasi
terhadap hewan peliharaan dan hewan ternak.
4. Pemeliharaan hewan yang baik untuk menghindari urine hewan-hewan tersebut
terhadap masyarakat.
5. Sanitasi lingkungan dengan membersihkan tempat-tempat habitat sarang tikus.
6. Pemberantasan rodent bila kondisi memungkinkan.
Surveilans Ketat Pada KLB
1. Pengamatan perkembangan jumlah kasus dan kematian leptospirosis menurut lokasi
geografis dengan melakukan surveillans aktif berupa data kunjungan berobat, baik
register rawat jalan dan rawat inap dari unit pelayanan termasuk laporan masyarakat yang
kemudian disajikan dalam bentuk grafik untuk melihat kecenderungan KLB.
2. Memantau perubahan faktor risiko lingkungan yang menyebabkan terjadinya
perubahan habitat rodent (banjir, kebakaran, tempat penampungan pengungsi, daerah
rawa dan gambut).
Sistem Kewaspadaan Dini KLB
1. Pemantauan terhadap kesakitan dan kematian leptospirosis.
2. Pemantauan terhadap distribusi rodent serta perubahan habitatnya, banjir
3. Pemantauan kolompok risiko lainnya, seperti petani, pekerja perkebunan, pekerja
pertambangan dan selokan, pekerja rumah potong hewan, dan militer
Kepustakaan
1. Bres, P.,Tindakan Darurat Kesehatan Masyarakat Pada Kejadian Luar Biasa Petunjuk
Praktis, Gajah Mada University Press, Cetakan pertama, 1995, Yogjakarta.
2. Informal Expert Consultation on Surveillans, Diagnosis and Risk Reduction of
Leptospirosis, Chennai,17- 18 September 2009
3. Chin, James, Control of Communicable Diseases Manual , American Public Health
Association, 17th Editions, 2000, Washington
4. Ditjen PPM-PL, Depkes RI, Petunjuk Teknis Pelaksanaan SKD-KLB Penyakit
Menular dan Keracunan, 1995, Jakarta.
5. Ditjen PPM-PL Depkes RI, Pedoman Tatalaksana Leptospirosis, Jakarta 2003.
6. RSPI Sulianti Saroso Ditjen PP dan PL, Pedoman Tatalaksana Kasus dan pemeriksaan
Laboratorium
Sumber: Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit
Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit) Edisi Revisi Tahun 2011,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.
KLB
Selain itu, Mentri Kesehatan RI (2010) membatasi pengertian wabah sebagai berikut:
Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah
tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
Istilah wabah dan KLB memiliki persamaan, yaitu peningkatan kasus yang melebihi situasi
yang lazim atau normal, namun wabah memiliki konotasi keadaan yang sudah kritis, gawat
atau berbahaya, melibatkan populasi yang banyak pada wilayah yang lebih luas.
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali
atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan
angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun
waktu yang sama.
1. Kholera
2. Pes
3. Demam berdarah
4. Campak
5. Polio
6. Difteri
7. Pertusis
8. Rabies
9. Malaria
11. Antraks
12. Leptospirosis
13. Hepatitis
15. Meningitis
16. Yellow Fever
17. Chikungunya
2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/ mempunyai memerlukan
tindakan segera: DHF, campak, rabies, tetanus neonatorum, diare, pertusis, poliomyelitis.
3. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting: malaria, frambosia,
influenza, anthrax, hepatitis, typhus abdominalis, meningitis, keracunan, encephalitis, tetanus.
4. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi masuk
program: kecacingan, kusta, tuberkulosa, syphilis, gonorrhoe, filariasis, dan lain-lain.
Menurut Bustan (2002), Klasifikasi Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebab dan
sumbernya, yakni sebagai berikut:
1. Berdasarkan Penyebab
a. Toxin
3) Endotoxin
b. Infeksi
1) Virus
2) Bakteri
3) Protozoa
4) Cacing
c. Toxin Biologis
1) Racun jamur
2) Alfatoxin
3) Plankton
4) Racun ikan
5) Racun tumbuh-tumbuhan
d. Toxin Kimia
1) Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-logam lain
cyanida, nitrit, pestisida.
2. Berdasarkan sumber
Misalnya: jalan napas, tangan, tinja, air seni, muntahan seperti:Salmonella, Shigella,
hepatitis.
Misalnya: Salmonella
Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang mempengaruhi timbulnya Kejadian Luar Biasa
adalah:
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/ wabah adalah herd immunity.
Secara umum dapat dikatakan bahwa herd immunity ialah kekebalan yang dimiliki oleh
sebagian penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat disamakan dengan
tingkat kekebalan individu. Makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin sulit terkena
penyakit tersebut.
2. Patogenesitas
Patogenesitas merupakan kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu
sehingga timbul sakit.
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organism, tetapi mempengaruhi kehidupan ataupun
perkembangan organisme tersebut.
10. Melaporkan hasil penyelidikan kepada instansi kesehatan setempat dan kepada
sistim pelayanan kesehatan yang lebih tinggi
(CDC, 1979; Barker, 1979; Greg, 1985; Mausner and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986;
Goodman et al., 1990 dalam Maulani, 2010)
Pada pelaksanaan penyelidikan KLB, langkah-langkah tersebut tidak harus dikerjakan secara
berurutan, kadang-kadang beberapa langkah dapat dikerjakan secara serentak. Pemastian
diagnosa dan penetapan KLB merupakan langkah awal yang harus dikerjakan (Mausner and
Kramer, 1985; Vaughan and Marrow, 1989 dalam Maulani, 2010).
Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan mencocokan gejala/tanda
penyakit yang terjadi pada individu, kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya.
3. Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah berjalan
dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik) pada populasi yang dianggap
berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Adanya KLB juga ditetapkan apabila memenuhi
salah satu dari kriteria KLB. Pada penyakit yang endemis, maka cara menentukan KLB bisa
menyusun dengan grafik pola maksimum-minimum 5 tahunan atau 3 tahunan.
Identifikasi kasus penting dilakukan untuk membuat perhitungan kasus dengan teliti. Hasil
perhitungan kasus ini digunakan selanjutnya untuk mendeskripsikan KLB. Dasar yang
dipakai pada identifikasi kasus adalah hasil pemastian diagnosis penyakit.
Identifikasi paparan perlu dilakukan sebagai arahan untuk indentifikasi sumber penularan.
Pada tahap ini cara penentuan paparan dapat dilakukan dengan mempelajari teori cara
penularan penyakit tersebut. Ini penting dilakukan terutama pada penyakit yang cara
penularannya tidak jelas (bervariasi). Pada KLB keracunan makanan identifikasi paparan ini
secara awal perlu dilakukan untuk penanggulangan sementara dengan segera (CDC, 1979
dalam Maulani, 2010).
5. Deskripsi KLB
Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB berlangsung)
digambarkan dalam suatu kurva epidemik. Kurva epidemik adalah suatu grafik yang
menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat mulai sakit (onset of illness) selama
periode wabah. Penggunaan kurva epidemik untuk menentukan cara penularan penyakit.
Salah satu cara untuk menentukan cara penularan penyakit pada suatu KLB yaitu dengan
melihat tipe kurva epidemik, sebagai berikut:
1) Kurva epidemik dengan tipe point common source (penularan berasal dari satu
sumber). Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan kasus-kasus yang terpapar dalam waktu
yang sama dan singkat. Biasanya ditemui pada penyakit-penyakit yang ditularkan melalui air
dan makanan (misalnya: kolera, typoid).
2) Kurva epidemik dengan tipe propagated. Tipe kurva ini terjadi pada KLB dengan
cara penularan kontak dari orang ke orang. Terlihat adanya beberapa puncak. Jarak antara
puncak sistematis, kurang lebih sebesar masa inkubasi rata rata penyakit tersebut.
3) Tipe kurva epidemik campuran antara common source danpropagated. Tipe kurva
ini terjadi pda KLB yang pada awalnya kasus-kasus memperoleh paparan suatu sumber
secara bersama, kemudian terjadi karena penyebaran dari orang ke orang (kasus sekunder).
Tujuan menyusun distribusi kasus berdasarkan tempat adalah untuk mendapatkan petunjuk
populasi yang rentan kaitannya dengan tempat (tempat tinggal, tempat pekerjaan). Hasil
analisis ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber penularan. Agar tujuan tercapai,
maka kasus dapat dikelompokan menurut daerah variabel geografi (tempat tinggal, blok
sensus), tempat pekerjaan, tempat (lingkungan) pembuangan limbah, tempat rekreasi,
sekolah, kesamaan hubungan (kesamaan distribusi air, makanan), kemungkinan kontak dari
orang ke orang atau melalui vektor (CDC, 1979; Friedman, 1980 dalam Maulani, 2010).
Teknik ini digunakan untuk membantu merumuskan hipotesis sumber penularan atau etiologi
penyakit.
Orang dideskripsikan menurut variabel umur, jenis kelamin, ras, status kekebalan, status
perkawinan, tingkah laku, atau kebudayaan setempat. Pada tahap dini kadang hubungan kasus
dengan variabel orang ini tampak jelas. Keadaan ini memungkinkan memusatkan perhatian
pada satu atau beberapa variabel di atas. Analisis kasus berdasarkan umur harus selalu
dikerjakan, karena dari age spscific rate dengan frekuensi dan beratnya penyakit. Analisis ini
akan berguna untuk membantu pengujian hipotesis mengenai penyebab penyakit atau sebagai
kunci yang digunakan untuk menentukan sumber penyakit (MacMahon and Pugh, 1970;
Mausner and Kramer, 1985; Kelsey et al., 1986 dalam Maulani, 2010).
6. Penanggulangan sementara
a. Jika etiologi telah diketahui, sumber dan cara penularannya dapat dipastikan maka
penanggulangan dapat dilakukan tanpa penyelidikan yang luas.
Sebagai contoh adanya kasus Hepatitis A di rumah sakit, segera dapat dilakukan
penanggulangannya yaitu memberikan imunisasi pada penderita yang diduga kontak,
sehingga penyelidikan hanya dilakukan untuk mencari orang yang kontak dengan penderita
(MMWR, 1985 dalam Maulani, 2010).
b. Jika etiologi diketahui tetapi sumber dan cara penularan belum dapat dipastikan, maka
belum dapat dilakukan penanggulangan. Masih diperlukan penyelidikan yang lebih luas
untuk mencari sumber dan cara penularannya.
Sebagai contoh: KLB Salmonella Muenchen tahun 1971. Pada penyelidikan telah diketahui
etiologinya (Salmonella). Walaupun demikian cara penanggulangan tidap segera ditetapkan
sebelum hasil penyelidikan mengenai sumber dan cara penularan ditemukan. Cara
penanggulangan baru dapat ditetapkan sesudah diketahui sumber penularan dengan suatu
penelitian kasus pembanding (Taylor et al., 1982 dalam Maulani, 2010).
c. Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan sudah diketahui maka
penanggulangan segera dapat dilakukan, walaupun masih memerlukan penyelidikan yang
luas tentang etiologinya.
Sebagai contoh: suatu KLB Organophosphate pada tahun 1986. Diketahui bahwa sumber
penularan adalah roti, sehingga cara penanggulangan segera dapat dilakukan dengan
mengamankan roti tersebut. Penyelidikan KLB masih diperlukan untuk mengetahui
etiologinya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium, yang ditemukan parathion sebagai
penyebabnya (Etzel et al., 1987 dalam Maulani, 2010).
d. Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka penanggulangan
tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini cara penanggulangan baru dapat dilakukan sesudah
penyelidikan.
Sebagai contoh: Pada KLB Legionare pada tahun 1976, cara penanggulangan baru dapat
dikerjakan sesudah suatu penyelidikan yang luas mengenai etiologi dan cara penularan
penyakit tersebut (Frase et al., 1977 dalam Maulani, 2010).
Untuk mengetahui sumber dan cara penularan dilakukan dengan membuktikan adanya agent
pada sumber penularan.
Goodman et al (1990) dalam Maulani, 2010 mengatakan bahwa KLB merupakan kejadian
yang alami (natural), oleh karenanya selain untuk mencapai tujuan utamanya penyelidikan
epidemiologi KLB merupakan kesempatan baik untuk melakukan penelitian.
Mengingat hal ini sebaiknya pada penyelidikan epidemiologi KLB selalu dilakukan:
9. Penyusunan Rekomendasi
a. Program Pengendalian
Program pengendalian dilakukan oleh institusi kesehatan dalam upaya menurunkan angka
kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular.
1) Perencanaan
Dalam tahap perencanaan dilakukan analisis situasi masalah, penetapan masalah prioritas,
inventarisasi alternatif pemecahan masalah, penyusunan dokumen perencanaan. Dokumen
perencaan harus detail terhadap target/tujuan yang ingin dicapai, uraian kegiatan dimana,
kapan, satuan setiap kegiatan, volume, rincian kebutuhan biaya, adanya petugas
penanggungjawab setiap kegiatan, metode pengukuran keberhasilan.
2) Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan dilakukan implemantasi dokumen perencanaan, menggerakan dan
mengkoordinasikn seluruh komponen dan semua pihak yang terkait.
3) Pengendalian (Monitoring/Supervisi)
b. Penanggulangan KLB
Penanggulanagn dilakukan melalui kegiatan yang secara terpadu oleh pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat, meliputi:
1) Penyelidikan epidemilogis
Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah untuk mengetahui keadaan
penyebab KLB dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian
tersebut, termasuk aspek sosial dan perilaku sehingga dapat diketahui cara penanggulangan
dan pengendaian yang efektif dan efisien (Anonim, 2004 dalam Wuryanto, 2009).
Tujuannya adalah:
a) Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar
mereka tidak menjadi sumber penularan.
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang
belum sakit, tetapi mempunyai resiko terkena penyakit agar jangan sampai terjangkit
penyakit.
4) Pemusnahan penyebab penyakit
Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan secara khusus menurut jenis
penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada orang lain.
Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang bersifat persuasif edukatif
tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar mereka mengerti sifat-sifat penyakit,
sehingga dapat melindungi diri dari penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak
menularkannya kepada orang lain. Penyuluhan juga dilakukan agar masyarakat dapat
berperan serta aktif dalam menanggulangi wabah.
Hasil penyelidikan epidemiologi hendaknya dilaporkan kepada pihak yang berwenang baik
secara lisan maupun secara tertulis. Laporan secara lisan kepada instansi kesehatan setempat
berguna agar tindakan penanggulangan dan pengendalian KLB yang disarankan dapat
dilaksanakan. Laporan tertulis diperlukan agar pengalaman dan hasil penyelidikan
epidemiologi dapat dipergunakan untuk merancang dan menerapkan teknik-teknik sistim
surveilans yang lebih baik atau dipergunakan untuk memperbaiki program kesehatan serta
dapat dipergunakan untuk penanggulangan atau pengendalian KLB.
Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Maulani, Novie Sri. 2010. Kejadian Luar Biasa, Catatan Kuliah. Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat STIKES HAKLI Semarang.
Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip Prinsip Dasar. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Pickett, George., dan John J Hanlon. 2009. Kesehatan Masyarakat : Administrasi dan Praktik,
Edisi 9. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Wuryanto, M.Arie. Aspek Sosial Dan Lingkungan Pada Kejadian Luar Biasa (KLB)
Chikungunya (Studi Kasus KLB Chikungunya di Kelurahan Bulusan Kecamatan Tembalang
Kota Semarang). Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 4 No. 1: 68-54.
Definisi
Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola
(bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama
masern,dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles
dalam bahasa Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular
yang disebabkan oleh virus,dengan gejala-gejala eksantem akut, demam,
kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala mata,
kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri dengan
deskuamasi dari kulit
B. Etiologi
C. Manifestasi Klinis
Setelah masa tunas selama 10-11 hari penyakit dsawali dengan demam
dan malaise. Dalam waktu 24 jam terjadi korisa, konjungtivltis dan batuk.
Keluhan tersebut semakin menghebat hingga mencapai puncaknya pada hari ke
empat dengan muncuinya erupsi kulit. Kira-kira dua hari sebelum timbul ruam
tampak bercak koplik pada selaput mukosa pipi yang berhadapan dengan molar.
Dalam tiga hari lesi semakin bertarnbah dan mengenai seluruh mukosa. Demam
menurun dan bercak koplik menghiiang pada akhir hari kedua setelah tirnbul
ruam. Ruam berupa eupsi makulopapular yang kemerahan menjalar dari kepala
(muka, dahi, garis batas rambut, telinga dan leher bagian stas) menuju ke
ekstrimitas dalam 3 sampai 4 hari. Dalam 3 sampai 4 hari berikutnya ruam
rnemudar sesuai urutan terjadinya.
Manifestasi klinis campak yang lain adatah campak at'pikal dan modified
measles. Campak atipikai adalah campak yang terjadi pada seseorang yang
mendapat vaksinasi virus campak mat!. Sesudah masa prodromal panas dar
nyeri selama 1 atau 2 hari, muncul ruam yang dimulai dari extremitas dar dapat
berupa urtikaria, makulopapular, hernoragik, vesikular ataupur kombinasi dari
beberapa bentuk. Didapatkan juga panas yang tinggi, edema extremitas,
hepatitis dan kadang-kadang efusi pleura. Pada pemeriksaar serologi campak
didapatkan liter antibodi HI yang tinggi. Penyakit in canderung lebih parah
daripada campak biasa.
Patogenesis campak atipika ini adalah vaksin dari virus campak yang mati
tidak dapat menginduks antibodi terhadap protein F yang bertanggung jawab
menyebarnya virus dar ssl yang satu ke se! yang lain. Vaksin virus campak mati
ini digunakan pada tahun 1963 sampai 1967, maka konsekuensinya adalah
bahwa penyakit in kini hanya dapat dijumpai pada orang dewasa. Modified
measles adalah campak yang ringan karena penderita masih punya kekebalan
terhadap virus, Hal ini dapat terjadi pada bayi yang masih mempunyai antibodi
campak dari ibunya atau seseorang yang mendapatkan gamma globulin setelah
kontal< pada penderita campak. Gejala klinis dapat bervariasi dan beberapa
gejala klinis tertentu seperti percde prodromal, konjungtivitis, bercak Koplik dar
ruam mungkin tidak di dapatkan.
D. Diagnosis
Diagnosa klinis pada campak klasik dengsn gejala batuk, korisa, bercak
Koplik dan ruam makulopapular yang dimulai dsri wajah, mudah dilakukan.
Sering pula didapatkan ieukopenia yang kemungkinan berhubungan dengan
infeksi virus dan leukosit yang mati.
Diagnosa laboratoris berguna jika klinisi jarang melihat kasus campak atau
adanya kemungkinan campak atipikal atau pneumonia dan ensefalitis yang tidak
jelas pada penderita dengan immunocornpromised. Campak dapat didiagnosa
secara laboratoris dengan isolasi virus, identifikasi virus antigen pada jaringan
yang terinfeksi atau dengan respon serologis terhadap virus campak.
Pemeriksaan antigen dapat dilakukan dengan pemeriksaan smunofluoresen dari
sel yang berasal eksudat nasal ataupun dari sedimen urine. Selain itu dapat pula
dilakukan pemeriksaan dengan RT-PCR. Isolasi virus secara teknis sutit dilakukan
dan fasilitas untuk isolas' virus ini tidak selalu tersedsa. Pada kultur virus, virus
campak ini memperlihatkar, efek sitopatik yang terdili dari sel-sel yang
berbentuk bintang, multinucleated syncytial giant cell yang berisi inklusi
intranuklea' Pemeriksaan laboratoris yang sering digunakan adalah respons
serologis. terhadap virus campak Pemeriksaan respon ini digunakar. cara
ne^.rslisaF.i, fiksas' komplemen, ELISA (enzyme-linked immunoosorbent
assay) dan HI (Hemaglutination-inhibition). Tes netrafisasi membutuhkan
propsgasi virus in vitro yang secara teknis sulit dilakukan, sehingga meskipun
cukup sensitif tes ini jarang dilakdkan. Tes HI kurang sensitif dibandingkan
dengan netralisasi tetapi cukup bagus apabila dibandingkan antara dua kaii
pengetesan. Diagnosa campak apabila terdapat peningkatan titer antibodi 4 kali
atau lebih. ELISA lebih sensitif dan lebih mudah dilakukan, serta dapat pula
mendeteksi Ig M spesifik terhadap virus campak pada fase akut. ACIP (Advisry
Committee on Immunization Practice) merekomendasikan bahwa kriteria
laboratoris untuk campak adalah serologi tes yang posilif untuk Ig M campak
atau peningkatan titer antibodi yang signifikan atau didapatkan isolasi virus
campak. Akhir-akhir ini dikembangkan pula pemeriksaan serologis dengan
menggunctkan saliva.
a. Menurut Orang
Campak adalah penyakit yang sangat menular yang dapat menginfeksi anak-
anak pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah atau remaja dan kadang
kala orang dewasa. Campak endemis di masyarakat metropolitan dan mencapai
proporsi untuk menjadi epidemi setiap 2-4 tahun ketika terdapat 30-40% anak
yang rentan atau belum mendapat vaksinasi. Pada kelompok dan masyarakat
yang lebih kecil, epidemi cenderung terjadi lebih luas dan lebih berat. Setiap
orang yang telah terkena campak akan memiliki imunitas seumur hidup.
b. Menurut Tempat
Penyakit campak dapat terjadi dimana saja kecuali di daerah yang sangat
terpencil. Vaksinasi telah menurunkan insiden morbili tetapi upaya eradikasi
belum dapat direalisasikan. Di Amerika Serikat pernah ada peningkatan insidensi
campak pada tahun 1989-1991. Kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak yang
tidak mendapatkan imunisasi, termasuk anak-anak di bawah umur 15 bulan. Di
Afrika dan Asia, campak masih dapat menginfeksi sekitar 30 juta orang setiap
tahunnya dengan tingkat kefatalan 900.000 kematian.Berdasarkan data yang
dilaporkan ke WHO, terdapat sekitar 1.141 kasus campak di Afganistan pada
tahun 2007. Di Myanmar tercatat sebanyak 735 kasus campak pada tahun 2006.
c. Menurut Waktu
a. Host (Penjamu)
a.1. Umur
Tidak ada perbedaan insiden dan tingkat kefatalan penyakit campak pada
wanita ataupun pria. Bagaimanapun, titer antibodi wanita secara garis besar lebih
tinggi daripada pria. Kejadian campak pada masa kehamilan berhubungan
dengan tingginya angka aborsi spontan.Berdasarkan penelitian Suwono di Kediri
dengan desain penelitian kasus kontrol mendapatkan hasil bahwa berdasarkan
jenis kelamin, penderita campak lebih banyak pada anak laki-laki yakni 62%.
Sisa antibodi yang diterima dari ibu melalui plasenta merupakan faktor yang
penting untuk menentukan umur imunisasi campak dapat diberikan pada balita.
Maternal antibodi tersebut dapat mempengaruhi respon imun terhadap vaksin
campak hidup dan pemberian imunisasi yang terlalu awal tidak selalu
menghasilkan imunitas atau kekebalan yang adekuat. Pada umur 9 bulan, sekitar
10% bayi di beberapa negara masih mempunyai antibodi dari ibu yang dapat
mengganggu respons terhadap imunisasi. Menunda imunisasi dapat
meningkatkan angka serokonversi. Secara umum di negara berkembang akan
didapatkan angka serokenversi lebih dari 85% bila vaksin diberikan pada umur 9
bulan. Sedangkan di negara maju, anak akan kehilangan antibodi maternal saat
berumur 12-15 bulan sehingga pada umur tersebut direkomendasikan pemberian
vaksin campak. Namun, penundaan imunisasi dapat mengakibatkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas akibat campak yang cukup tinggi di kebanyakan negara
berkembang.Penelitian kohort di Arkansas menyebutkan bahwa jika
dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksinasi pada usia >15 bulan,
anak yang mendapatkan vaksinasi campak pada usia <12 bulan memiliki risiko 6
kali untuk terkena campak. Sedangkan anak yang mendapatkan vaksinasi
campak pada usia 12-14 bulan memiliki risiko 3 kali untuk terkena campak
dibanding dengan anak yang mendapat vaksinasi pada usia 15 bulan.
a.4. Pekerjaan
a.5. Pendidikan
a.6. Imunisasi
Vaksin campak adalah preparat virus yang dilemahkan dan berasal dari
berbagai strain campak yang diisolasi. Vaksin dapat melindungi tubuh dari infeksi
dan memiliki efek penting dalam epidemiologis penyakit yaitu mengubah
distribusi relatif umur kasus dan terjadi pergeseran ke umur yang lebih tua.
Pemberian imunisasi pada masa bayi akan menurunkan penularan agen infeksi
dan mengurangi peluang seseorang yang rentan untuk terpajan pada agen
tersebut. Anak yang belum diimunisasi akan tumbuh menjadi besar atau dewasa
tanpa pernah terpajan dengan agen infeksi tersebut. Pada campak, manifestasi
penyakit yang paling berat biasanya terjadi pada anak berumur kurang dari 3
tahun. Pemberian imunisasi pada umur 8-9 bulan diprediksi dapat menimbulkan
serokonversi pada sekurang-kurangnya 85% bayi dan dapat mencegah sebagian
besar kasus dan kematian. Dengan pemberian satu dosis vaksin campak,
insidens campak dapat diturunkan lebih dari 90%. Namun karena campak
merupakan penyakit yang sangat menular, masih dapat terjadi wabah pada anak
usia sekolah meskipun 85-90% anak sudah mempunyai imunitas.Sebuah
penelitian kohort yang dilakukan terhadap 627 siswa di Arkansas mendapatkan
bahwa anak yang tidak mendapatkan vaksinasi berisiko 20 kali untuk terkena
campak daripada anak yang memiliki riwayat vaksinasi pada usia 15 bulan atau
lebih.Berdasarkan penelitian I Made Suardiyasa di kabupaten Tolitoli Sulawesi
Tengah menyebutkan bahwa anak yang tidak diimunisasi berisiko 29 kali untuk
terkena campak dibanding anak yang mendapat imunisasi.
Kejadian kematian karena campak lebih tinggi pada kondisi malnutrisi, tetapi
belum dapat dibedakan antara efek malnutrisi terhadap kegawatan penyakit
campak dan efek yang ditimbulkan penyakit campak terhadap nutrisi yang
dikarenakan penurunan selera makan dan kemampuan untuk mencerna
makanan. Scrimshaw mencatat bahwa kematian karena campak pada anak-anak
yang ada di desa Guatemala menurun dari 1% menjadi 0,3% tiap tahunnya
ketika anak-anak tersebut diberikan suplemen makanan dengan kandungan
protein tinggi. Sedangkan pada desa yang menjadi kontrol dimana anak-anak
tersebut tidak diberikan suplemen protein, angka kematian menunjukkan angka
0,7%. Tetapi karena hanya 27% saja dari anak-anak tersebut yang secara teratur
mengkonsumsi protein ekstra, dapat disimpulkan bahwa perubahan rate yang
didapatkan pada kasus observasi tidak seluruhnya disebabkan oleh suplemen
makanan.
Dari sebuah studi dinyatakan bahwa elemen nutrisi utama yang
menyebabkan kegawatan campak bukanlah protein dan kalori tetapi vitamin A.
Ketika terjadi defisiensi vitamin A, kematian atau kebutaan menyertai penyakit
campak. Apapun urutan kejadiannya, kematian yang berhubungan dengan
penyakit campak mencapai tingkat yang tinggi, biasanya lebih dari 10% terjadi
pada keadaan malnutrisi.
b. Agent
c. Lingkungan
Status imunitas populasi merupakan faktor penentu. Penyakit akan meledak jika
terdapat akumulasi anak-anak yang suseptibel. Ketika penyakit ini masuk ke
dalam komunitas tertutup yang belum pernah mengalami endemi, suatu epidemi
akan terjadi dengan cepat dan angka serangan mendekati 100%. Pada tempat
dimana jarang terjangkit penyakit, angka kematian bisa setinggi 25%.
Penyakit campak adalah suatu penyakit virus yang sangan menular yang
mempunuai angkatan kesakitan dan kematian yang cukup tinggi dikalangan
anak-anak. Program Imunisasi yang dijalankan dewasa ini adalah menurunan
angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh enam penyakit yang salah
satunya diantaranya adalah penyakit campak.
G. Problem / Masalah
H. Tujuan
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
I. Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Penyakit
1) Penyakit Campak
Penyakit campak adalah suatu penyakit virus akut yang sangat menular
dengan gejala awal berupa demam, konjungtivitis, pilek, batuk, dan bintik-bintik
kecil dengan bagian tengah berwarna putih atau putih kebiru-biruan dengan
dasar kemerahan di daerah mukosa pipi (bercak Koplik). Penyebab infeksi adalah
virus campak, anggota genus Morbilivirus dari famili Paramyxoviridae. Tanda
khas bercak kemerahan dikulit timbul pada hari ketiga sampai ketujuh, dimulai di
daerah muka, kemudian menyeluruh, berlangsung selama 4-7 hari, dan kadang-
kadang berakhir dengan pengelupasan kulit berwarna kecoklatan. Sering timbul
lekopenia.
Teknik yang jarang digunakan antara lain identifikasi antigen virus dengan
usap mukosa nasofaring menggunakan teknik FA atau dengan isolasi virus
dengan kultur sel dari sample darah atau usap nasofaring yang diambil sebelum
hari keempat timbulnya ruam atau dari spesimen air seni yang diambil sebelum
hari kedelapan timbulnya ruam.
Campak lebih berat diderita oleh anak-anak usia dini dan yang kekurangan
gizi, pada penderita golongan ini biasanya ditemukan ruam dengan perdarahan,
kehilangan protein karena enteropathy, otitis media, sariawan, dehidrasi, diare,
kebutaan dan infeksi kulit yang berat. Anak-anak dengan defisiensi vitamin A
subklinis atau klinis beresiko tinggi menderita kelainan di atas. CFR di Negara
berkembang diperkirakan sebesar 3-5% tetapi seringkali di beberapa lokasi
berkisar antara 10%-30%. Pada anak-anak dalam kondisi garis batas kekurangan
gizi, campak seringkali sebagai pencetus terjadinya kwasiorkor akut dan
eksaserbasi defisiensi vitamin A yang dapat menyebabkan kebutaan.
Semua orang yang belum pernah terserang penyakit ini dan mereka yang
belum pernah diimunisasi serta nonresponders rentan terhadap penyakit ini.
Imunitas yang didapat setelah sakit bertahan seumur hidup. Bayi yang baru lahir
dari ibu yang pernah menderita campak akan terlindungi kira-kira selama 6-9
bulan pertama atau lebih lama tergantung dari titer antibodi maternal yang
tersisa pada saat kehamilan dan tergantung pada kecepatan degradasi antibodi
tersebut. Antibodi maternal mengganggu respons terhadap vaksin. antibodi,
tidak terjadi serokonversi setelah mendapat vaksinasi 1 dosis. Di daerah iklim
sedang campak timbul terutama pada akhir musim dingin dan pada awal musim
semi. Di daerah tropis campak timbul biasanya pada musim panas.
Semua orang yang belum pernah terserang penyakit ini dan mereka yang
belum pernah diimunisasi serta nonresponders rentan terhadap penyakit ini.
Imunitas yang didapat setelah sakit bertahan seumur hidup. Bayi yang baru lahir
dari ibu yang pernah menderita campak akan terlindungi kira-kira selama 6-9
bulan pertama atau lebih lama tergantung dari titer antibodi maternal yang
tersisa pada saat kehamilan dan tergantung pada kecepatan degradasi antibodi
tersebut. Antibodi maternal mengganggu respons terhadap vaksin.
B. Faktor Resiko
a) Umur
Kasus campak di Negara industry terjadi pada anak usia 4-6 tahun
ataupun usia sekolah dasar dan pada anak dengan usia yang lebih muda di
Negara berkembang. Cakupan imunisasi yang intensif menghasilkan perubahan
dalam distribusi umur dimana kasus lebih banyak pada anak dengan usia yang
lebih tua, remaja, dan dewasa muda.
b) Pendidikan
c) Status Gizi
d) Environment (Lingkungan)
Epidemi campak dapat terjadi setiap 2 tahun di negara berkembang
dengan cakupan vaksinasi yang rendah. Kecenderungan waktu tersebut akan
hilang pada populasi yang terisolasi dan dengan jumlah penduduk yang sangat
kecil yakni < 400.000 orang. Pada lingkungan yang jarang terjangkit penyakit,
angka kematian bisa setinggi 25%.
C. Pencegahan
a. Pencegahan Primordial
c. Pencegahan Primer
2.Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang diberikan pada
semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan karena dapat melindungi sampai
jangka waktu 4-5 tahun.
c. Pencegahan Sekunder
d. Pencegahan Tersier
2.Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A akan turun secara
cepat Terutama pada anak kurang gizi yang akan menurunkan imunitas mereka.
D. Penanggulangan
a. Tahap Reduksi
b. Tahap Eliminasi
c. Tahap Eradikasi
Cakupan imunisasi sangat tinggi dan merata, serta kasus Campak sudah
tidak ditemukan.Pada siding The World Health Assambley (WHA) tahun 1998,
menetapkan kesepakatan Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Tetanus
Noenatorum (ETN) dan Reduksi Campak (RECAM). Kemudian pada Technical
Consultative Groups (TGC) Meeting di Dakka Bangladesh tahun 1999,
menetapkan bahwa reduksi campak di Indonesia berada pada tahap reduksi
dengan pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB).
c. Surveilans (surveilan rutin, system kewaspadaan dini dan respon kejadian luar
biasa).
e. Pemeriksaan laboratorium
METODE STUDI
A. Desain Penelitian
Dari peta Insiden Kumulatif penyakit campak yang ada pada bab hasil
penelitian dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi perubahan warna
pada tiap kecamatan, hal ini menunjukan perioditas penyakit campak.
Kadang penyakit campak pada suatu wilayah pada tahun tertentu tinggi
namun pada tahun berikutnya penyakit campak tersebut tiba-tiba hilang dan
bukan menjadi masalah kesehatan, hal ini disebabkan oleh kekebalan kelompok
pada suatu daerah tersebut. Perubahan warna juga disebakan adanya Kejadian
Luar Biasa pada tahun tertentu. Kemudian Insiden campak tertinggi diperkirakan
juga oleh penguatan surveilans campak di kecamatan tersebut, dimana
peningkatan insiden campak yang cukup besar dikarenakan sistem surveilansnya
sudah semakin baik sehingga kasus yang terlaporkan juga semakin banyak
terdeteksi.
Proporsi kasus campak yang berjenis kelamin laki-laki (L) lebih banyak dari
pada yang berjenis kelamin perempuan (P) .
Pada tahun 2010 proporsi kasus campak dengan status tidak imunisasi
lebih banyak dari pada yang diimunisasi. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa status imunisasi campak berpengaruh terhadap
perlindungan tubuh dari serangan penyakit campak.8 Pendidikan diduga
berhubungan dengan prosentase anak yang mendapatkan imunisasi dasar
termasuk juga campak. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga dan
ibu maka semakin tinggi pula cakupan imunisasi.
Dari data yang ada menunjukan proporsi kasus campak dengan status
diberivitamin A lebih banyak dari pada yang tidak diberi vitamin A. Hal ini
berbeda dengan teori yang menyatakan bahwa pemberian vitamin A dapat
meningkatkan responantibody yang berperan sebagai kekebalan pada tubuh
seseorang. Hal ini mungkin terjadi karena status vitamin A pada anak tidak
cukup mampu untuk melawan infeksi virus. Pertahanan tubuh terhadap infeksi
virus memerlukan pertahanan yang bersifat spesifik, sedangkan pemberian
vitamin A merupakan pertahan tubuh yang bersifat non spesifik.
Distribusi kasus campak hampir ada disetiap tahun dari tahun 2004 sampai
dengan tahun 2011 di Cirebon, dan cenderung mengalami penurunan, akan
tetapi setiap tahunnya kasus paling banyak pada bulan April dan Oktober. Hal ini
menunjukan bahwa telah terjadi KLB campak dimana transmisi tertinggi pada
bulan Maret - April dan September Oktober.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada akhir dari uraian ini, dapat kami simpulkan sebagai berikut :
1. Campak adalah penyakit akut dengan daya penuiaran yang tinggi ditandai
dengan demam, korisa, konjungtivitis, batuk, enenthem spesifik dan ruam
makulopapular.
4. Setelah era vaksin morbiditas dan mortalitas akibat campak dapat diturunkan.
B. Saran
Kita harus menerapkan pola hidup sehat, utamanya untuk anak dan
balita perlu mendapatkan asupan gizi yang cukup sehingga status gizi anak pun
menjadi lebih baik. Selalu menjaga kebersihan dengan selalu mencuci tangan
anak sebelum makan.
Jika anak belum waktunya menerima imunisasi campak, atau karena hal
tertentu dokter menunda pemberian imunisasi campak (MMR), sebaiknya anak
tidak berdekatan dengan anak lain atau orang lain yang sedang demam dan jika
sudah terkena penyakit ini sebaiknya secepatnya berobat dan jika dalam kondisi
yang lebih akut sebaiknya perlu dirujuk ke rumah sakit.
Daftar Pustaka
Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfert CIV!, eds. Measles (Rubeola).
Dinkes Kota Cirebon. Profil Kesehatan Kota Cirebon 2011. Cirebon: Dinkes Kota
Cirebon, 2011.
Dewi, Elmerilia Farah. Hubungan Cakupan Imunisasi, status Gizi dan Kepadatan
Hunian dengan Penyakit Campak. Jakarta : FKM-UI ; 2008.