TEORI MIMETIK
Jika kita berbicara tentang teori Mimetik, kita tidak dapat terlepas dari
pengaruh dua orang filsuf besar dari Yunani, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato
menganggap bahwa karya seni berada di bawah kenyataan karena hanya berupa
tiruan dari tiruan yang ada dipikiran manusia yang meniru kenyataan. Sementara,
Aristoteles sebagai murid dari Plato berbeda pendapat. Aristoteles menganggap
karya seni adalah berada di atas kenyataan karena karya seni sebagai katalisator
untuk menyucikan jiwa manusia.
Menurut Abrams (1976), Pendekatan Mimetik merupakan pendekatan
estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato
dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman
yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya,
melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni
berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan
argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia,
sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya
sendiri (Ratna, 2011: 70).
Sumber : http://jafarudinbastra.blogspot.com/2012/06/teori-
mimetik.html
Rabu, 20 Juni 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses
pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan
pikiran masyarakat. Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang
sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk
(sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam
kehidupan masyarakat.
Salah satu jenis karya sastra adalah puisi. Puisi merupakan karya
sastra hasil perenungan seorang penyair atas suatu keadaan atau
peristiwa yang diamati, dihayati, atau dialaminya. Cetusan ide atau
hasil perenungan tersebut dikemas dalam bahasa yang padat dan
indah. Sebagai salah satu karya sastra, puisi mempunyai dunia
sendiri, yang dibangun oleh unsur-unsur yang memiliki perpaduan
seperti tema, irama dan rima, diksi atau pilihan kata, baris dan bait,
dan gaya bahasa, yang selanjutnya disebut dengan unsur intrinsik.
Karya sastra (puisi) selain menghibur dengan cara menyajikan
keindahan, juga memberikan suatu yang bermakna bagi kehidupan.
Puisi juga tidak pernah lepas dengan bahasa. Puisi menggunakan
bahasa dalam setiap sajak. Bahasa dalam sajak pada hakikatnya
adalah bunyi, yaitu bunyi yang dirangkai dengan menggunakan pola
tertentu. Jika sebuah sajak dibacakan maka pertama-tama yang
tertangkap oleh telinga kita sesungguhnya adalah rangkaian bunyi.
Hanya karena bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa,
maka bunyi itu sekaligus mengandung makna. Bunyi di dalam sajak
memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi
dan apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dapat
dibangun. Dengan demikian, bunyi di dalam sajak memiliki peran
ganda. Jika di dalam prosa fiksi bunyi berperan menentukan makna
maka di dalam sajak bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna
melainkan ikut menentukan nilai estetis sajak. Peran ganda unsur
bunyi di dalam sajak menempatkan bunyi pada kedudukan yang
penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan
sajak. Sebelum samapai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi
berperan lebih dahulu. Jika unsur bunyi di dalam sajak tidak
dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan
timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau
penikmat sajak ketika berhadapan dengan sajak yang diciptakannya.
Dengan demikian, sugesti dalam diri pembaca dan penikmat sajak juga
tidak akan muncul.
Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu
memberikan penekanan, dan dapat pula menimbulkan suasana
tertentu. Mendengar bunyi jangkerik malam hari akan menimbulkan
efek semakin terasa sepinya malam, suatu keheningan. Mendengar
suara kicau burung yang bersahut-sahutan di pagi hari, akan
membangkitkan suasana riang, sedangkan mendengar suara lolongan
anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam yang
membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal dari hewan
tersebut secara konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami
maknanya, tetapi dari suasana yang diciptakan dapat dirasakan
kesannya. Dengan demikian, bunyi di samping sebagai hiasan yang
dapat membangkitkan keindahan dan kepuitisan, juga ikut berperan
membentuk suasana yang mempertajam makna. Bunyi sekaligus
menimbulkan daya saran yang efektif dan memancing sugestif.
Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi vokal
dan konsonan jika dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan mampu
menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama. Bunyi berirama ini
menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya
bunyi musik dan melodi.
Raoul schrott adalah seorang penyair berpandangan luas di
jajaran penyair muda Austria. Ia menangani berbagai bidang
diantaranya sebagai penyair, ahli puisi, penterjemah, penyunting dan
penerbit, serta peneliti gerakan dadaisme. Karya-karyanya dianggap
mengagetkan, menguatkan kesadaran, penghayatan dan menuntun
kita ke derajat keakraban dari keberadaan benda-benda. Raoul
schrott membuat benda-benda mampu berbicara. Lebih dari itu, puisi
tak sanggup melakukannya.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran sastra di sekolah,
penelitian ini mengenai bunyi di dalam sajak puisi dengan standar
kompetensi menganalisis puisi. Dengan demikian, pembelajaran
diharapkan dapat memberikan siswa pengetahuan yang luas dan
memiliki sikap positif terhadap karya sastra pada umumnya dan puisi
pada khususnya. Serta dapat membantu siswa dalam memahami lebih
dalam tentang analisis bunyi di dalam sajak puisi.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah bunyi di dalam sajak dalam
kumpulan puisi karya Raoul Schrott ?
1.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bunyi di dalam
sajak dalam kumpulan puisi karya Raoul Schrott.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Sumbangan pemikiran dalam peningkatan pengajaran sastra pada
umumnya dan puisi pada khususnya.
2. Bahan acuan bagi peneliti selanjutnya yang bermaksud mengadakan
penelitian yang lebih luas dan mendalam tentang sastra pada
umumnya dan puisi pada khususnya.
3. Memberi gambaran bahwa analisis bunyi di dalam sajak puisi
merupakan sesuatu yang bermanfaat di mana kita dapat mengetahui
kelebihan dan kekurangan, serta kepuitisan sebuah puisi.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Sastra
Merumuskan pengertian sastra secara sempurna tidak semudah
merumuskan ilmu eksakta, namun demikian untuk mempelajari suatu
cabang ilmu pengetahuan secara teliti orang selalu berusaha
menemukan defenisi guna mengetahui pembahasan tentang
permasalahan ilmu yang bersangkutan (Lakota, 2003:9).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sastra atau kesusastraan
adalah hasil karya manusia berupa pengolahan bahasa yang indah,
berbentuk lisan atau tulisan. Jadi, karya seseorang dapat dianggap
sebagai hasil sastra jika memiliki bahasa yang indah dan menimbulkan
kesan yang mendalam.
Zulfahnur, dkk. (1996:2), mengemukakan bahwa sastra sebagai
cabang dari seni, yang keduanya mengandung unsur integral dan
kebudayaan, usianya sudah cukup tua. Kehadirannya hampir
bersamaan dengan adanya manusia, karena ia diciptakan dan
dinikmati manusia. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman
hidupnya maupun aspek penciptaannya, yang mengekspresikan
pengalaman batinnya ke dalam karya sastra.
Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial
atau masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, dan lain-lain,
yang diamanatkan lewat pencipta, dan tokoh cerita. Sastra
mempersoalkan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya,
sehingga karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan
dan zaman.
Pada zaman modern ini kedudukan sastra semakin penting.
Sastra tidak hanya diapresiasikan masyarakat untuk memperhalus budi
dan memperkaya spiritual serta hiburan, melainkan juga telah masuk
ke dalam kurikulum sekolah sebagai pengetahuan budaya.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra
adalah hasil karya seni manusia yang berupa pengolahan bahasa yang
indah dan berkaitan dengan unsur kebudayan yang bersifat integral.
2.3.1 Irama
Membicarakan masalah irama, pada hakikatnya membicarakan
permasalahan musik juga. Soalanya, meskipun irama erat
hubungannya dengan musik, irama tidak identik dengan bunyi itu
sendiri. Irama bukan hanya sekedar bunyi belaka, tetapi lebih dari itu
irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi
bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana (Samsuddin, 2012:28).
Menurut Semi (dalam Samsuddin, 2012:28), irama terbagi dua,
yaitu ritme danmetrum. Metrum adalah irama yang tetap, terpola
menurut pola tertentu, sedangkan ritme adalah irama yang disebabkan
pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah
secara teratur, tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan
hanya menjadi gema dendang penyair.
Manurut Teuw (dalam Samsuddin, 2012:28), masalah irama
belum ada yang tahan uji di dalam bahasa Indonesia. Hal ini
disebabkan karena bahasa Indonesia tidak mempunyai aturan dalam
persoalan tekanan kata. Berbeda dengan bahasa Inggris yang
mempunyai tekanan pada bagian-bagian suku katanya.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahawa irama
merupakan bunyi atau suara yang teratur dalam setia baris sajak yang
dibentuk oleh pergantian tekanan panjang pendek, kuat lemah dan
tinggi rendahnya suara.
2.3.2 Kakafoni
Menurut Samsuddin (2012: 34), Kakafoni adalah pemanfaatan
bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan di dalam
sajak menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu kesan
keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak dan tertangkap
dari keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya.
Secara teoritis, kesan buram timbul karena bunyi yang
dirangkaikan berasal dari konsonan tak bersuara seperti /k/, /p/, /t/, /s/.
Penggunaan bunyi konsonan tersebut menciptakan perasaan jiwa yang
tertekan, gelisah, bahkan yang memuakkan. Karena menggambarkan
perasaan yang demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan
suasana buram. Pemanfaatan unsur bunyi yang memunculkan efek
semacam hal ini disebut dengan istilah kakafoni (ca-caphony).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kakafoni adalah
bunyi yang muncul karena permainan bunyi konsonan tak bersuara,
erat hubungannya dengan suasana yang tidak menyenangkan dan
untuk menciptakan suasana yang buram.
2.3.3 Efoni
Pemanfaatan unsur bunyi mampu menghasilkan kesan
keburaman. Unsur bunyi juga dapat dipergunakan untuk memunculkan
kesan suasana sebaliknya. Kebalikan dari keburaman, yaitu kesan
suasana cerah. Kesan yang membangkitkan kegembiraan dan rasa
riang serta aman.
Kesan suasana cerah muncul karena bunyi-bunyi yang
dirangkaikan berasal dari bunyi vokal serta konsonan bersuara. Kesan
ini juga dapat dihadirkan dengan memanfaatakn bunyi sengau yang
dirangkai sedemikian rupa. Bunyi sengau tersebut ditata sehingga
menimbulkan kesan merdu dan enak didengar.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa efoni adalah
bunyi yang muncul karena permainan bunyi vokal dan konsonan
bersuara, erat hubungannya dengan suasana yang menyenangkan
dan berhubungan dengan kebahagiaan.
2.3.4 Onomatope
Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan di
dalam sajak adalah onomatope. Istilah onomatope menurut Kamus
Istilah Sastra (Sudjiman, 1984: 54) adalah penggunaan kata yang mirip
dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau
orang. Istilah lain dari onomatope ini adalah tiruan bunyi.
Terkadang tiruan bunyi di dalam sebuah sajak lebih mengena
dalam menggambarkan sesuatu dibanding kata itu sendiri. Bandingkan
kata ngeri dengan lolong anjing di malam buta. Terasa bentuk
kedua lebih mengundang imaji daripada bentuk pertama. Penggunaan
tiruan bunyi dimaksudkan untuk mengkonkretkan suasana menjadi
lebih lugas.
Seperti diungkapkan di atas, peniruan bunyi itu dapat dilakukan
atau dihasilkan oleh barang, maka klenenng genta, gemercik air
pancuran, desau angin, derap langkah kuda, atau auuumm,
ngiaau, kotek, kukuruyuk, cicit, adalah onomatope.
Penggunaan tiruan bunyi seperti hal di atas, sering ditemukan di dalam
sajak.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa onomatope adalah bunyi yang muncul karena tiruan suara.
2.3.5 Aliterasi
Pemanfaatan bunyi dengan cara lain dapat pula dilakukan, yaitu
dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu
berupa pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan
yang sama disebut aliterasi. Pengulangan bunyi yang dapat
dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara
dominan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aliterasi adalah
bunyi yang muncul karena pengulangan bunyi konsonan yang sama
dan dominan dalam satu baris sajak.
2.3.6 Asonansi
Asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi vokal secara
berulang-ulang dalam satu baris sajak. Halnya sama dengan aliterasi,
hanya pengulangan di sini merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal.
Efek yang diharapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara
berulang ini adalah kemerduan bunyi.
Sebagaimana pada aliterasi, pada asonansi pun tidak semua
pengulangan bunyi vokal dapat disebut juga asonansi. Hanya
pengulangan bunyi yang sama secara dominan (di dalam sajak) yang
dapat dikategorikan sebagai asonansi.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa asonansi adalah
bunyi yang muncul karena pengulangan bunyi vokal yang sama dan
dominan dalam satu baris sajak.
2.3.7 Anafora dan Epifora
Satu lagi cara memanfaatkan bunyi di dalam sajak guna
menimbulkan unsur kepuitisan disebut anafora dan epifora. Cara yang
dipergunakan untuk teknik anafora dan epifora ini adalah dengan
menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk kata
atau bentukan linguistik pada awal atau akhir tiap-tiap larik (baris)
sajak. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal
larik disebut anafora, sedangkan yang disebut epifora adalah
pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik
sajak. Karena ada persamaan bentukan yang diulang, maka sekaligus
pengulangan itu menyangkut pengulangan bunyi yang sama.
Pengulangan kata yang sama, sehingga menimbulkan perulangan
bunyi yang sama beberapa kali, dapat menimbulkan kesan sugestif
pada sebuah sajak. Kesan sugestif ini diharapkan dapat membujuk
pembaca untuk melebur dengan sajak yang sedang dinikmati.
Membawa apda suatu keadaan berkontemplasi.
Cara memanfaatkan bunyi di dalam sajak cukup bervariasi. Cara-
cara seperti telah diuraikan di atas dapat dipergunakan oleh penyair.
Penggunaan itu mungkin terpisah-pisah, mungkin pula dipergunakan
secara bersamaan pada sebuah sajak. Tidak tertutup kemungkinan
seorang penyair menggunakan semua sarana pemanfaatan unsur
bunyi itu sekaligus. Untuk memanfaatkan unsur bunyi ini diperlukan
kecermatan serta keahlian penyair, sehingga bunyi yang dihasilkan
serta merta menggoda telinga, karena bunyi yang menarik untuk
disimak lebih jauh. Hal yang dapat disimpulkan, unsur bunyi diramu
dan ditata oleh para penyair di dalam mengantarkan pembaca
menemukan sebuah dunia. Dunia sebuah sajak. Sebuah dunia yang
dapat memberikan kepuasan dan kenikmatan batin bagi para penikmat
sajak.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa anafora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang
sama pada awal larik, sedangkan yang disebut epifora adalah
pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik
sajak.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang
diteliti dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek
penelitian dalam hal ini bunyi di dalam sajak.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research), yakni sumber data dari
pustaka dengan jalan mengadakan studi lewat bahan bacaan yang
relevan serta mendukung penelitian ini.
3.4 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa puisi yang
berhubungan dengan bunyi di dalam sajak yang terdapat dalam
kumpulan puisi karya Raoul Schrott. Sumber data dalam penelitian ini
adalah kumpulan puisi karya Raoul Schrott.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik
baca dan catat. Data dikumpulkan dengan cara membaca keseluruhan
karya sastra (puisi) kemudian mencatat bagian-bagian yang perlu
diteliti.
3.6 Teknik Analisis Data
Data penelitian ini dianalisis berdasarkan pendekatan objektif.
Artinya karya sastra (puisi) dianalisis berdasarkan strukturnya yang
otonom. Adapun pendekatan karya sastra secara objektif yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mengacu dalam diri karya
sastra yaitu bunyi di dalam sajak.
Menurut wahid (dalam Saupa, 2012:28), pendekatan objektif
adalah pendekatan yang membatasi diri pada penelaahan karya sastra
itu sendiri, terlepas dari soal pembaca dan pengarang.
Setelah data terkumpul secara keseluruhan, kemudian data
diklasifikasikan, kemudian dianalisis berdasarkan masalah penelitian.
Secara rinci, tekknik anlisis data adalah sebagai berikut :
1. Data dikelompokan atau diklasifikasi berdasarkan masalah penelitian,
yaitu berdasarkan bunyi di dalam sajak (irama, kakafoni, efoni,
onomatope, aliterasi, asonansi, anafora dan epifora).
2. Mendeskripsikan bunyi di dalam sajak (irama, kakafoni, efoni,
onomatope, aliterasi, asonansi, anafora dan epifora).
3. Menganalisis bunyi di dalam sajak (irama, kakafoni, efoni, onomatope,
aliterasi, asonansi, anafora dan epifora).
4. Membuat kesimpulan tentang bunyi di dalam sajak (irama, kakafoni,
efoni, onomatope, aliterasi, asonansi, anafora dan epifora).
5. Menyusun hasil analisis atau hasil penelitian.
6. Menyusun laporan hasil penelitian.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Data hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Korollarien I
gerak spiral burung-burung Sperling dengan
tepi sayapnya, mereka menguliti langit menjadi
lapisan bagaikan apel
1996
Korollarien II
serigala adalah sepotong bara yang
dihembuskan sang angin melalui gandum
ke dalam musim kemarau
Korollarien III
bulan
legam
Puisi
di
dalam
* serak
bulbul
pada rak
kicaunya pengacau
Lahir Senja
batu pualam sang awan . dan kepalamu
terlahir dari kegelapan dipukul tangan mungil
perkasa . jurai rambut terkulai di tengkuk
mata bagai bayang dedaunan eucalyptus yang
luruh pada sebuah kursi di tembok sana dan
kening menyala di kedua tangan . di lantai
beranda malam membeku bagai serangga yang
bertopang pada kaki-kakinya hanya sungutnya
saja yang bergetar . empat jari terentang hingga
di cakrawala tergolek selapis senja . bersama
angin lengkung sayap biruhitam menutup dan
membuka cahaya bumi . dan tak lagi ada
yang menyentuhnya kini . bibirmu bikin
tegang aroma kayu lembab dan pada sunyi
itulah kemejaku terkulai di bahu kiri . sang
pagi seolah tiba melalui puncak bukit menjauh
dan tak bisa dicegah pada merah kesumba .
kita santap buah jeruk dalam kegelapan
Sebuah Cerita Tentang Tulisan III
di mana sungai mengalir melalui lempengan karang
menggumpalkan putih gelembung ke dalam busa
warna oker . hijau yang tertelan sepenuhnya
saat air berada tepat di pojok ladang menghalau
pepadian ke dalam asap yang berpindah
dan semak belukar yang terbakar
pada siang ahri datanglah sang prahara
melepuh pada pokok-pokok eucalyptus . panasanya
merambah wilayah mereka . memanggang padang
rumput berlempung menggumpal dari laterit api
memulasi akar rumput merah membata
membilas tepian pantai larut ke laut
hingga pecahan gerabah yang terbakar hujan
mencatat dengan bahasa sanskritnya
dan dalam ketakberaturan rima
sang angin membalas dengan satu baris saja
agar yang lain bangkit dari abu : longsoran tanah merah
bumi . lidah-lidah awan melengkung
pada langit-langit jurang dan menjilati bonggol-bonggol
pepohonan . biru sepotong mangga terkunyah
bunga-bunga api . langit melantunkan kehausannya
ia bersabda kalimat demi kalimat dan lading garapan
para petani mematuhi diktum ini : lapar
mengolah bahasanya sendiri agar panen pertama
bisa tuntas dituai hutan harus dibumihanguskan
api selangkah lagi dari jalan dan aliran anak-anak sungai
melubangi tanah garapan ke dalam kehitaman . dari ketinggian
mudah dikenali huruf-huruf kasar itu
bagaikan rajah pada telapak tangan.
4.2 Pembahasan
Korollarien I
gerak spiral burung-burung Sperling dengan
tepi sayapnya, mereka menguliti langit menjadi
lapisan bagaikan apel
Irama
Efoni
Korollarien II
serigala adalah sepotong bara yang
dihembuskan sang angin melalui gandum
ke dalam musim kemarau
Irama
Kakafoni
Efoni
Onomatope
Asonansi
Korollarien III
bulan
legam
Puisi
di
dalam
* serak
bulbul
pada rak
kicaunya pengacau
Irama
Kakafoni
Efoni
Onomatope
Asonansi
Lahir Senja
batu pualam sang awan . dan kepalamu
terlahir dari kegelapan dipukul tangan mungil
perkasa . jurai rambut terkulai di tengkuk
mata bagai bayang dedaunan eucalyptus yang
luruh pada sebuah kursi di tembok sana dan
kening menyala di kedua tangan . di lantai
beranda malam membeku bagai serangga yang
bertopang pada kaki-kakinya hanya sungutnya
saja yang bergetar . empat jari terentang hingga
di cakrawala tergolek selapis senja . bersama
angin lengkung sayap biruhitam menutup dan
membuka cahaya bumi . dan tak lagi ada
yang menyentuhnya kini . bibirmu bikin
tegang aroma kayu lembab dan pada sunyi
itulah kemejaku terkulai di bahu kiri . sang
pagi seolah tiba melalui puncak bukit menjauh
dan tak bisa dicegah pada merah kesumba .
kita santap buah jeruk dalam kegelapan
Irama
Onomatope
Asonansi
Irama
Efoni
Onomatope
Dalam puisi tersebut tidak ditemukan bunyi onomatope, karena
tidak terdapat bunyi tiruan suara, baik yang dihasilkan oleh benda,
gerak, manusia, maupun makhluk lain.
Aliterasi
Asonansi
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran