PENDAHULUAN
B. Content/Isi Kebijakan
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tentang Pengelolaan
Sampah. Hal ini dibuat dalam rangka mewujudkan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta yang sehat dan bersih dari sampah yang kecenderungan bertambah volume dan
jenis serta karakteristik yang semakin beragam, sehingga dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan dan mencemari lingkungan, maka perlu dilakukan
pengelolaan sampah secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir.
Maksud dari kebijakan ini adalah dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian
hukum, kejelasan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah serta hak dan kewajiban
masyarakat/pelaku usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara
proporsional, efektif dan efisien.
C. Pelaku Kebijakan
Pembuat Kebijakan dan strategi nasional pengembangan sistem pengelolaan
persampahan (KSNP-SPP) adalah Menteri Pekerjaan Umum, melalui Peraturan Menteri
RI nomor : 21/PRT/M/2006 tentang Pengelolaan persampahan menjadi pedoman
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Daerah Khusus DKI Jakarta. Beberapa pihak yang
terkait dalam peraturan ini antara lain :
a. Pemerintah Kabupaten/Kota
D. Konteks
Konteks mengacu pada faktor-faktor yang mungkin memiliki pengaruh pada
kebijakan kesehatan. Faktor faktor tersebut meliputi faktor situasional, faktor struktural,
faktor budaya, faktor internasional atau exogenous.
1. Faktor Situasional
Persoalan sampah di DKI Jakarta, khususnya di TPA Bantar Gebang , Bekasi
masih cukup kompleks. Sejak dibuatnya Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta
nomor 3 tahun 2013, jumlah volume sampah di Jakarta selalu bertambah, tahun 2015
produksi sampah di Ibukota sebesar 6.700 ton per hari.
Menurut survey Kementerian Lingkungan Hidup 2015 (Kemen LH),
pengelolaan sampah mayoritas masih konvensional. Dari 64 juta timbunan sampah
tiap tahunnya, 69% ditimbun di TPA, 10% dikubur, 7,5% didaur ulang (composting),
5% dibakar, dan 8,5% tak terkelola.
Di tahun 2017 setiap harinya , sekitar 7000 ton sampah dari seluruh wilayah
Jakarta dibuang di sini. Dan setengah dari 105.019 jiwa yang tinggal di lingkungan
Bantar Gebang berprofesi sebagai pemulung. Perkampungan pemulung hanya
berjarak 200 meter dari bukit sampah. Disanalah para pemulung itu bertahan hidup
dan mengais nafkah dari sampah buangan penduduk.
2. Faktor Struktural
Upaya perbaikan permasalahan sampah bukan hanya peran pemerintah saja,
namun peran masyarakat itu sendiri sangat dibutuhkan. Ditunjang juga dari peran
tenaga kesehatan. Dari segi pemerintah, pelaksanaan peraturan daerah ini bukan
hanya tanggung jawab dari pemerintah DKI Jakarta saja namun peran dari
pemerintah Provinsi sangat diharapkan sehingga pencapaian indikator perbaikan gizi
dapat tercapai. Dan perlu diingat bahwa upaya perbaikan pengelolaan sampah bukan
hanya tanggung jawab satu sektor saja, melainkan harus adanya koordinasi atau kerja
sama semua pihak yang terkait.
Dengan adanya peraturan daerah ini diharapkan upaya pengelolaan sampah
dalam masyarakat Selain itu untuk menjamin ketersediaan bahan makanan yang
mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau. Selain itu
menyediakan atau memberikan informasi gizi yang benar untuk meingkatkan status
gizi masyarakat.
3. Faktor Budaya
Permasalahan gizi disebabkan antara lain karena kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang kesehatan gizi. Kurangnya pengetahuan akan berpengaruh
kesadaran masyarakat dan tentu saja akan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan
masyarakat seperti pemilihan dan pengolahan makanan, kebiasaan merokok.
Faktor penyebab gizi buruk itu karena pola asuh keluarga baik orang tua dan
si nenek tingkat pengetahuan rendah, hal itu biasanya terjadi pada ibu muda serta
faktor ekonomi yang rendah, sehingga dengan begitu mengurangi porsi makanan dan
asupan gizi.
Pada dasarnya gizi buruk itu dipengaruhi beberapa faktor, namun paling
mendominasi adalah faktor ekonomi lemah terutama pada masyarakat hidup
berkelompok dan terpencil.
Peran budaya setempat atau mitos juga menjadi faktor yang berpengaruh
terhadap perilaku kesehatan masyarakan setempat seperti pemberian makan pada
bayi sebelum waktunya.
4. Faktor Nasional dan Internasional
Selain peran pemerintah daerah, upaya perbaikan gizi ini juga dipengaruhi
dari peran atau dukungan pemerintah pusat. Pada level nasional terdapat tentang
Permenkes no 23 tahun 2014 tentang upaya perbaikan gizi. Kebijakan tingkat pusat
maupun daerah dapat disinkronkan sehingga upaya perbaikan gizi pada umumnya
dapat tercapai. Selain kebijakan, peran pemerintah pusat dalam hal pendanaan.
Ditinjau dari faktor internasional, akibat kegagalan pencpaian MDGs,
Indonesia menjadi anggota SUN Movement.
E. Analisa Kebijakan
Masalah pengelolaan sampah merupakan salah satu persoalan pelik yang sangat
sulit untuk ditangani oleh pemerintah daerah (pemda). Salah satu contoh kongkret dari
peliknya masalah pengelolaan sampah adalah seperti yang dilakukan oleh Pemda DKI
Jakarta. Volume sampah di Jakarta selalu bertambah. Inti permasalah dalam pengelolaan
sampah di Jakarta adalah bahwa penanganan sampah selalu bergantung kepada
keberadaan TPA Bantargebang.
Apabila fasilitas ini gagal beroperasi karena ditutup secara sepihak oleh yang
mempunyai daerah atau karena sebab lain seperti gangguan teknis sehingga harus
dihentikan, gagal pula Pemda Jakarta melaksanakan tugas dan fungsinya mengelola
sampah. Akibatnya, sampah tidak terangkut dan menumpuk ditempat-tempat
penampungan sementara. Jika persoalan ini terjadi di kota kecil mungkin tidak akan
menjadi berita, masalahnya ini terjadi di Jakarta, pusat pemerintahan dan pusat ekonomi
di Indonesia . Pengelolaan TPST Bantargebang sudah salah kaprah sejak awal.
Seharusnya bentuknya sanitary landfill, tetapi pada praktiknya menjadi open dumping
sehingga memunculkan berbagai persoalan lingkungan dan sosial.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UU
Pengelolaan Sampah), yang di dalammnya tidak saja mengatur bagaimana pengelolaan
sampah yang berwawasan lingkungan, tetapi juga mengatur bagaimana tugas dan
wewenang pemerintah dan pemda, peran serta masyarakat, larangan, bahkan terdapat
sanksi pidananya. Untuk itu, perlu diketahui bagaimana konsep penyelenggaraan
pengelolaan sampah menurut UU Pengelolaan Sampah, faktor-faktor apa saja yang
menghambat implementasi UU dimaksud, serta bagaimana alternative penyelesaian
polemik pengelolaan sampah ini dimasa yang akan datang.
Peraturan Pemerintah (PP) No.81 Tahun 2012 Tentang Pengeolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga (Pasal 35 ayat 1);
Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan
pengawasan dalam kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Permasalahan sampah di DKI Jakarta bukan karena minim atau lemahnya regulasi
persampahan, regulasi sampah sudah sangat baik dan jelas, Termasuk telah
terbitnya Perda No.3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah Jakarta, namun yang
terjadi adalah SKPD (Satuan Kerja Perangkat Desa) terkait yaitu : Dinas Kebersihan
Jakarta belum menjalankan regulasi secara benar dan konsekwen serta
bertanggungjawab (sustainable), khususnya Pasal 13 UU.18 Tahun 2008 Ttg. Pengelolaan
Sampah (UU ini berlaku efektif sejak Tahun 2013, bahwa Intinya tidak boleh lagi ada
pengangkutan sampah secara besar-besaran ke TPA kecuali Sampah Bahan Berbahaya
Beracun tapi harus dikelola di TPST-3R (Optimalisasi fungsi TPST-3R atau
pengelolaan Sampah tanpa TPA), sampah harus dikelola di sumber timbunan - oleh
kelompok pengelola sampah yang terbentuk atas inisiatif warga dan difasilitasi pemda.
Pemerintah, DPR, pemda, dan pihak lainnya yang terkait perlu segera mengambil
langkah-langkah:
Pertama, DPR bersama-sama dengan pemerintah harus lebih aktif lagi
mensosialisasikan keberlakuan UU Pengelolaan Sampah, yang merupakan pedoman
sekaligus juga payung hukum tertinggi bagi pemerintah dan pemda dalam mengatur,
mengelola, melaksanakan, sekaligus melakukan pengawasan terhadap kegiatan
pengelolaan sampah.
Sehingga kedepan, penyelenggaraan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh
pemda dapat dilaksanakan dengan lebih baik dan sesuai bertentang dengan UU
Pengelolaan Sampah. Kedua, DPR yang salah satu fungsi adalah melakukan pengawasan,
harus segera memanggil pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan sampah
diantaranya Kemen LH, pemda, dan pihak terkait lainnya, untuk memastikan bahwa UU
Pengelolaan Sampah harus dilaksanakan secara konsukuen;
Ketiga, Pemerintah harus segera mendorong agar pemda tidak lagi menggunakan
pendekatan open dumping untuk menangani persoalan sampahnya, tetapi menggunakan
metode pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, misalnya dengan
menggunakan metode sanitary landfill, controlled landfill, teknologi pembakaran yang
mampu mengurangi jumlah sampah dengan menggunakan metode insenarator, atau cara
lainnya yang lebih ramah lingkungan, mengurangi plastik dengan pembatasan di toko
ritel, dan mendorong pembangunan fasilitas pengelolaan sampah intermediate treatment
facilities (ITF) seperti yang telah diwacanakan oleh Gubernur DKI Jakarta. Untuk
mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus lebih aktif mendorong dan menfasilitasi
pemda dengan cara memberikan bantuan baik berupa bantun teknis maupun dana, untuk
memastikan setiap pemda melakukan pengelolaan sampah dengan metode yang
berwawasan lingkungan.