Anda di halaman 1dari 40

TINJAUAN

PUSTAKA
dan LAPORAN
KASUS

GANGGUAN MENTAL ORGANIK MENURUT DSM V

GANGGUAN MENTAL AKIBAT KERUSAKAN DAN


DISFUNGSI OTAK (PSIKOSIS EPILEPTIK)
(F06.8)

Penyaji

dr. Endah Warroza Putri


NIM : 1514058203

Pembimbing

Dr. IGN. Putra Astawa, SpKJ


Dr. H. Made Sugiharta Yasa, SpKJ (K)
Dr. Ni Ketut Sri Diniari, SpKJ

PPDS I PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR
2017
TINJAUAN PUSTAKA
GANGGUAN MENTAL ORGANIK MENURUT DSM V1
Dr. Endah Warroza Putri2

A. Definisi Epilepsi
Epilepsi merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya muatan listrik

yang berlebihan diotak karena terlalu aktifnya otak mengirim sinyal.

Biasanya keadaan ini disebutkan dengan istilah bangkitan. Bangkitan yang

memiliki tendensi untuk terjadi berulang berselang lebih dari 24 jam yang

timbul tanpa diprovokasi dikatakan sebagai epilepsi. Kejang bukan

merupakan satu-satunya manifestasi. Manifestasi klinis epilepsi tergantung

dari bagian otak yang mana terkena bangkitan, dapat berupa perubahan

perilaku stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan

motorik, sensorik, otonom, ataupun psikis. Bangkitan yang terjadi di otak

pada lobus temporal biasanya ditandai dengan pasien epilepsi yang memiliki

khayalan-khayalan tinggi, bertemu orang-orang yang sudah meninggal

(halusinasi visual), ataupun halusinasi auditorik.


Pada epilepsi minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua

bangkitan refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua

lebih dari 24 jam, satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks

dengan kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke depan

sama dengan (minimal 60%) bila terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau

bangkitan refleks (PERDOSSI).


a. Psikosis pada penderita Epilepsi
Psikosis merupakan komplikasi berat dari epilepsi meskipun jarang

ditemukan. Berdasarkan penelitian epidemiologi yang dilakukan ditemukan

kasus psikosis pada penderita epilepsi berkisar antara 0,5% 9%. Keadaan ini

biasa disebut dengan psychoses of epilepsy (POE).


Klasifikasi
Psychoses of epilepsy (POE) diklasifikasikan berdasarkan kepada hubungan

waktu antara kejadian dengan masa iktal dan gambaran klinis :


1. Psikosis iktal (IP)
Psikosis iktal muncul selama terjadinya bangkitan epilepsi atau status

epileptikus, dan pemeriksaan EEG merupakan pilihan untuk diagnosis.

Biasanya hal ini berangkai dengan iritabilitas, keagresifan, otomatisme, henti

bicara atau mutisme. Kecuali untuk kasus status parsial sederhana, keadaan

perasaan secara umum menjadi memburuk. Kebanyakan dari psikosis iktal

mempunyai fokus epileptiknya pada lobus temporal, hanya 30% fokus

epileptiknya berada selain di lobus temporal (terutama di kortek frontalis).

Adakalanya, psikosis menetap meskipun masa iktal telah selesai.


2. Psikosis post-iktal (PIP)
Hampir 25% dari kasus psikosis pada penderita epilepsi adalah psikosis post-

iktal. Secara umum, psikosis post-iktal muncul setelah terjadinya peningkatan

frekuensi dari bangkitan epilepsi. Biasanya terdapat interval keadaan jernih

selama 12-72 jam antara berakhirnya bangkitan dengan awal dari psikosis

(durasi rata-rata adalah 70 jam). Gejala yang muncul dapat bermacam-

macam, dapat ditemukan halusinasi (auditorik, visual ataupun taktil),

perubahan prilaku seksual, dan waham (keagamaan, kebesan ataupun kejar).

Psikosis post-iktal sepertinya berhubungan dengan munculnya focus iktal dan

intra-iktal pada simtim limbic


region temporal, IQ verbal yang rendah, hilangnya konvulsi febril dan

hilangnya sklerosis mesial-temporal.


3. Psikosis intra-iktal
Psikosis intra-iktal merupakan keadaan psikosis yang persisten,

dikarakteristikkan oleh paranoid, tidak berhubungan dengan kejadian masa

iktal dan tidak dengan penurunan kesadaran. Kejadiannya diperkirakan 9%

dari semua populasi penderita epilepsi, dan mulai dari usia 30 tahun. Gejala
yang biasanya muncul adalah waham (kejar dan keagamaan), biasanya

dengan onset yang tersembunyi, halusinasi dengar, gangguan moral/etika,

kurang inisiatif, pemikiran yang tidak terorganisir dengan baik, prilaku

aggresif dan ide bunuh diri. Durasinya adalah beberapa minggu dan dapat

juga berakhir setelah lebih dari 3 bulan (kronik psikosis intra-iktal).

Dibandingkan dengan skizofrenia, pada psikosis intra-iktal menunjukkan


perburukan intelektual yang lebih sedikit, fungsi pre-morbid yang lebih baik,

kemunculan gejala negative yang lebih sedikit, dan fungsi perawatan diri

yang lebih baik.


b. Hubungan antara Epilepsi dengan Kognitif dan behavior

Sebagian besar penderita epilepsi terutama penderita sindroma epilepsi

tertentu akan mengalami gangguan kognitif. Prevalensi gangguan kognitif

epilepsy berkisar antara 20-50%

Faktor yang mempengaruhi munculnya gangguan kognitif pada epilepsi :


1. Etiologi
2. Tipe bangkitan
3. Sindrom epilepsi lobus temporal, Epilepsi lobus temporal hampir

mempengaruhi semua aspek kognitif antara lain, atensi, bahasa, fungsi

eksekutif, judgement dan problem solving. Namun, aspek kognitif yang

paling dominan adalah gangguan memori.


4. Frekuensi bangkitan
5. Durasi bangkitan
6. Umur saat onset
7. Faktor psikis
Pemburukkan kognitif dan behavior telah diobservasi sebagai konsekuensi

adanya bangkitan. Adanya pemburukkan kognitif dan gangguan behavior

sering berhubungan dengan kerusakkan struktur otak. Penting secara khusus

pada epilepsi simtomatik dimana terdapat penyebab yang mendasari

kerusakkan otak tersebut seperti trauma kepala, stroke atau alcoholism-related


epilepsy. Kerusakkan otak juga dapat disebabkan oleh bangkitan kejang yang

tidak terkontrol.

Lokalisasi fokus epilepsi juga merupakan faktor penting adanya penurunan

kognitif atau gangguan behavior, misalnya, epilepsi lobus temporalis sering

berhubungan dengan defek memori dan epilepsi lobus frontalis dengan defisit

fungsi eksekutif sedangkan masalah bahasa lebih sering terlihat pada epilepsi

fokal dimana berlokasi pada hemisfer dominan. Berbeda dengan epilepsi

umum idiopatik lebih jarang berhubungan dengan pemburukkan intelektual.

Umur saat onset juga tampaknya menjadi faktor yang krusial pada dampak

epileps terhadap kognitif dan behavior , dimana onset bangkitan sebelum

berumur 5 tahun tampaknya menjadi faktor resiko untuk IQ rendah sementara

berbeda dengan keluhan behavior yang muncul pada late seizure onset.
Depresi interiktal merupakan keadaan yang biasa, namum prevalensi yang

pasti belum diketahui. Tampaknya depresi cenderung timbul sekitar sepuluh

tahun setelah onset epilepsi. Beragam faktor penyebab telah diajukan

terhadap perkembangan depresi tetapi etiologinya kebanyakkan adalah

multifaktorial. Riwayat keluarga depresi telah dilaporkan oleh beberapa

peneliti. Beberapa studi menemukan depresi lebih sering pada penderita

bangkitan parsial kompleks khususnya epilepsi lobus temporal.


B. Definisi Gangguan Mental Organik Menurut PPDGJ III dan DSM V

Diagnosis psikotik pada epilepsi dapat ditegakkan jika pada pasien sudah

tegak terdiagnosis epilepsi dan adanya gejala psikotik setelah gejala epilepsi.

Psikotik epilepsi dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di

Indonesia III (PPDGJ III) termasuk dalam kategori gangguan mental lainnya

akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik. Psikotik yang terjadi
disebabkan adanya kerusakan atau disfungsi otak berupa epilepsi yang

berhubungan dengan kejadian psikotik dan ada kaitan waktu antara kejadian

psikotik dengan epilepsi yang didahului oleh terjadinya epilepsi. Kriteria

diagnosis pada epilepsi sesuai dengan PPDGJ III

sebagai berikut (PPDGJ III, 1993):

a. Adanya penyakit, kerusakan atau disfungsi otak, atau penyakit fisik sistemik

yang diketahui berhubungan dengan salah satu sindrom yang tercantum (psikotik).

b. Adanya hubungan waktu antara perkembangan penyakit yang mendasari

dengan timbulnya sindrom mental.

c. Kesembuhan dari gangguan jiwa setelah perbaikan atau dihilangkannya

penyebab yang diduga mendasarinya.

d. Tidak adanya bukti yang mengarah pada penyebab alternative dari sindrom

mental ini.

Kondisi a dan b membenarkan diagnosis sementara, bila keempat hal tersebut

terpenuhi, kepastian diagnostik menjadi lebih bermakna.

Pengetahuan mengenai Gangguan Mental Organik penting dimiliki karena

konsep mengenai hal ini terus berkembang hingga kini. Dalam DSM IV

Gangguan Mental Organik sudah diubah menjadi Gangguan Kognitif (memori,

bahasa, atensi), yaitu Delirium, Demensia, dan Gangguan Amnesik. Dalam DSM

V, gangguan neurokognitif dibagi menjadi Delirium, Gangguan Neurokognitif

Mayor, dan Gangguan Neurokognitif Minor.


Menurut DSM V, Gangguan Neurokognitif dibagi

menjadi :

1. Delirium

Delirium

Other Specified Delirium

Unspecified Delirium

2. Gangguan Neurokognitif Mayor

3. Gangguan Neurokognitif Ringan

Gangguan neurokognitif seperti delirium, demensia, dan kelemahan kognitif

ringan, ditandai dengan menurunnya fungsi kognitif. Gangguan-gangguan ini

memiliki etiologi dan karakteristik yang berbeda dengan penyakit Alzheimer,

penyakit serebrovaskular, penyakit Lewy Body, degenerasi frontotemporal, cedera

otak karena trauma, infeksi, dan penyalahgunaan alkohol. Perbedaannya terlihat

pada variasi pendekatan dalam klasifikasi gangguan-gangguan kognitif, dengan

mengelompokkan secara terpisah kriteria setiap gangguan sesuai dengan

etiologinya. Alhasil, saat ini ada susunan istilah untuk menggambarkan sindrom

kognitif, beberapa definisi untuk sindrom yang sama, dan beberapa kriteria untuk

menentukan sebuah etiologi yang spesifik. DSM-4 mengklasifikasikan gangguan

neurokognitif dengan berbagai keterbatasan yang telah banyak direvisi dalam

DSM-5.

The Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-

5) memberikan kerangka kerja umum untuk diagnosis gangguan kognitif, pertama

dengan menggambarkan sindrom kognitif utama, kemudian mendefinisikan


kriteria untuk menggambarkan subtipe etiologi spesifik dari gangguan kognitif

ringan dan berat. DSM-5 dibuat dengan harapan para klinisi dan kelompok

penelitian memiliki pemahaman yang sama mengenai gangguan kognitif. Dalam

penggunaan yang lebih luas, klasifikasi internasional gangguan kognitif menjadi

penting dalam menjembatani komunikasi efisien antara para klinisi dengan

peneliti.

Kriteria diagnosis menurut DSM 5


Delirium
KRITERIA DIAGNOSTIK

a. Gangguan perhatian (seperti penurunan kemampuan untuk dapat

memusatkan, mempertahankan atau mengalihkan perhatian) dan gangguan

kesadaran (berkurangnya orientasi pada lingkungan)

b. Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat (umumnya dalam

jam ke hari) dan cenderung berfluktuasi (umumnya dalam hitungan hari)

c. Perubahan kognisi (defisit memori, disorientasi, berbahasa, kemampuan

visuospasial dan persepsi)

d. Gangguan pada kriteria A C yang tidak lebih baik diterangkan oleh

gangguan demensia yang telah ada sebelumnya, yang telah ditegakkan,

ataupun yang sedang timbul

e. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan

laboratorium bahwa gangguan adalah disebabkan oleh akibat fisiologis

langsung dan akibat konsekuensi kondisi medis lain, intoksikasi (seperti drug

abuse), atau terpapar toksin, maupun penyebab multipel lainnya

Delirium bukanlah suatu penyakit melainkan suatu sindrom dengan penyebab

multipel yang terdiri atas berbagai macam pasangan gejala akibat dari suatu
penyakit dasar. Delirium didefinisikan sebagai disfungsi serebral yang reversibel,

akut dan bermanifestasi klinis pada abnormalitas neuropsikiatri. Sebagian besar

kausa delirium muncul dari luar sistem saraf pusat, contoh gagal ginjal dan hati.

Delirium tetap merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan jarang

didiagnosis. Sebagian dari masalahnya adalah bahwa sindrom ini memiliki nama

lain yang bervariasi, contohnya keadaan kebingungan akut, sindroma otak akut,

ensefalopati metabolik, psikosis toksik, dan gagal otak akut.

Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang

dikarakteristikkan dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium

ditandai oleh gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan fungsi

gangguan kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi dan perilaku adalah

gejala psikiatrik yang umum; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan

inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum.

Major and Mild Neurocognitive Disorders

KRITERIA DIAGNOSTIK

MAJOR NEUROCOGNITIVE DISORDER

(Dementia)

a. Bukti signifikan pada kemunduran kognisi dari tingkat sebelumnya dalam

satu atau lebih kognisi (perhatian kompleks, fungsi belajar dan memori,

bahasa, persepsi dan kognisi sosial) berdasarkan:

1. Perhatian individu, informasi dan kemunduran signifikan pada kognisi

2. Perburukan kognisi yang didokumentasikan oleh tes neuropsikologi

yang terstandarisasi
b. Defisit kognisi yang berhubungan dengan ketergantungan pasien kepada

orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari

c. Defisit kognisi tidak terjadi semata-mata dalam keadaan delirium

d. Defisit kognisi tidak lebih baik dijelaskan dalam gangguan mental lainnya

(gangguan depresi berat, skizofrenia)

Derajat tingkat berat penyakit antara lain:

Ringan: Kesulitan dalam aktivitas instrumental dalam kehidupan sehari-hari

(seperti pekerjaan rumah, majamen keuangan, dll)

Sedang: Kesulitan dalam aktivitas dasar sehari-hari (seperti makan, berpakaian,

dll)

Berat : Ketergantungan penuh pada orang lain dalam setiap aktivitasnya

Klasifikasi ini merupakan pergantian nama dari demensia guna untuk

mengurangi stigma dan membuat cocok untuk orang dewasa muda dengan

masalah kognitif. Onset biasanya bertahap, fungsi akan secara perlahan menurun

dari tingkat sebelumnya.

DEFINISI

Merupakan suatu sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi

kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada

demensia adalah intelegensia umum, belajar dan ingatan, berbahasa, memecahkan

masalah, daya orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi, pertimbangan, dan

kemampuan sosial. Kepribadian pasien juga dapat dipengaruhi. Jika pasien

mempunyai suatu gangguan kesadaran, maka pasien kemungkinan memenuhi

kriteria diagnostik untuk delirium. Di samping itu, suatu diagnosis demensia


mengharuskan bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan

yang berat dan merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya.

Butir klinis penting dari demensia adalah identifikasi sindroma dan

pemeriksaan klinis tentang penyebabnya. Gangguan mungkin progresif atau statis,

permanen atau reversibel. Kemungkinan pemulihan (reversibilitas) demensia

adalah berhubungan dengan patologi dasar dan ketersediaan serta penerapan

pengobatan yang efektif.

SUBTIPE

Gangguan Neurokognitif Ringan dan Berat ini diklasifikasi berdasarkan

etiologi atau patologi yang telah diketahui atau masih diasumsikan. Subtipe

tersebut berdasarkan kombinasi waktu keberlangsungan, daerah otak yang

mengalami efek, dan karakteristik gejala. Untuk memastikan etiologi subtipe,

diagnosis bergantung kepada penyebab potensial yang ada, seperti penyakit

Parkinson dan Huntington, atau cedera otak, stroke. Untuk kategori penyebab

lainnya (umumnya pada penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer, degenerasi

lobus frontotemporal, dan penyakit Lewy Body) diagnosisnya berdasarkan kriteria

kognisi primer, yaitu kognisi, perilaku, dan gejala fungsional.

MILD NEUROCOGNITIVE DISORDER

a. Bukti signifikan pada kemunduran kognisi dari tingkat

sebelumnya dalam satu atau lebih kognisi (perhatian kompleks, fungsi

belajar dan memori, bahasa, persepsi dan kognisi sosial) berdasarkan:

1. Perhatian individu, informasi dan

kemunduran ringan pada kognisi


2. Perburukan kognisi yang didokumentasikan

oleh tes neuropsikologi yang terstandarisasi

b. Defisit kognisi yang tidak berhubungan dengan

ketergantungan pasien kepada orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-

hari

c. Defisit kognisi tidak terjadi semata-mata dalam keadaan

delirium

d. Defisit kognisi tidak lebih baik dijelaskan dalam gangguan

mental lainnya (gangguan depresi berat, skizofrenia)

Kriteria Diagnosis Intelectual Diasbility (Retardasi Mental) menurut DSM V


1. Mild 317 (Retardasi Mental Ringan)
a. Dapat mengembangkan ketrampilan sosial dan komunikasi.
b. Dalam pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat, dan

masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkebambangan

kemandirian dapat menetap sampai dewasa.


c. Dapat mandiri penuh dan merawat diri sendiri dan mencapai ketrampilan

praktis dan ketrampilan rumah tangga, walaupun perkembangnnya agak

lambat.

2. 318.0 (Retardasi Mental Sedang)


a. Dapat berbicara atau belajar untuk berkomunikasi ; kesadaraan social

yang buruk ; perkembangan motorikyang cukup.


b. Dapat berbicara dalam percakapan sederhana, sedangkan yang lain

hanya dapat berkomunikasi seadanya untuk kebutuhan dasar mereka.


3. 318.1 (Retardasi Mental Berat)
a. IQ 20-35
b. Kurang mengerti akan bahasa tulisan, angka, waktu, dan uang.
c. membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti

makan, memakai baju, dan mandi.


d. Termasuk retardasi mental yang dependen: mampu berbicara yang

paling sederhana, tetapi membutuhkan suatu institusi atau pengasuh

suportif yang intens


e. Bahasa bicaranya terbatas pada kosa kata dan tata bahasa.
f. Individu mengerti omongan yang sederhana dan komunikasi isyarat.
4. 318.2 (Retardasi Mental Sangat Berat)
a. IQ dibawah 20
b. 1% dari seluruh jumlah penderita retardasi mental
c. Mereka bergantung secara total kepada orang lain dan biasanya

mempunyai kerusakan neurologi yang bermakna; tidak dapat

berjalan atau berbicara.


d. Sangat terbatas dalam memahami komunikasi bicara dan isyarat.

Tapi sebagian dari mereka dapat mengerti instruksi atau isyarat

yang sederhana.
e. Sangat tergantung kepada orang lain pada berbagai aspek

dalam mengurus diri, kesehatan dan keselamatannya.


5. F 78 Gangguan perkembangan global
Diagnosis ini untuk di bawah usia 5 tahun ketika tingkat

keparahan klinis tidak dapat diandalkan dinilai pada anak usia dini.

kategori ini didiagnosis ketika seorang individu gagal memenuhi

tonggak perkembangan yang diharapkan di beberapa daerah fungsi

intelektual dan berlaku untuk individu yang tidak mampu untuk

menjalani penilaian yang sistematis dari fungsi intelektual.

termasuk anak-anak yang terlalu muda untuk berpartisipasi dalam

pengujian standar. kategori ini memerlukan penilaian ulang dalam

jangka waktu tertentu


6. F 79 Gangguan intelektual yang tidak tentu
Kategori ini disediakan untuk individu di atas usia 5 tahun

ketika penilaian tingkat cacat intelektual (gangguan cacat

intelektual) oleh rata-rata prosedur yang tersedia secara lokal


diberikan sulit mungkin karena gangguan sensorik atau fisik

terkait, seperti kebutaan atau tuli prelingual ; kecacatan lokomotor;

atau ada atau masalah perilaku yang parah atau terjadi gangguan

mental. kategori ini seharusnya hanya digunakan untuk keadaan

luar biasa dan membutuhkan penilaian ulang setelah jangka waktu

tertentu.

LAPORAN KASUS1

Oleh dr. Endah Warroza Putri2

Alasan Pengajuan Khasus


Mendiskusikan diagnosis yang tepat
Mendiskusikan psikodinamika dan penatalaksanaan yang tepat
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : GS
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Agama : Hindu
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Denpasar
MRS tanggal : 16 Maret 2017

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Data autoanamnesis diperoleh dari pasien pada saat diperiksa di

Ruang PICU Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali pada tanggal 12 April 2017

dan beberapa tambahan saat dilakukan follow up pasien sehari-hari saat di

1
Dibawakan pada Pertemuan Ilmiah Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Denpasar, April 2017, di Ruang Pertemuan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
2
Dokter Residen yang sedang mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Program Studi
Psikiatri Stase Ruangan di RSJ Provinsi Bali yang dibimbing oleh dr. IGN. Putra Astawa, SpKJ
ruang PICU dan ruang Abimanyu Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali tanggal

12-18 April 2017. Data heteroanamnesa diperoleh dari ayah pasien 22 April

2017.
A. Keluhan Utama :
Autoanamnesis : Bingung
Heteroanamnesis (ayah pasien) : Kejang

B. Riwayat Gangguan Sekarang


AUTOANAMNESIS

Pasien diwawancara pertamakali oleh pemeriksa saat di ruang PICU

ketika baru saja pindah dari IGD. Saat itu pasien tampak bingung, diam dan

mau mengikuti perintah perawat untk dibawa ke dalam ruangan perawatan.

Pasien mengenakan baju pasien berwarna hijau muda dan bawahan celana

berwarna hitam. Rambut tampak cukup rapi terpontong cepak. Nampak

perawakan pasien gizi cukup dengan roman muka sesuai umur, kulit

berwarna sawo matang, penampilan agak kotor baik baju, kuku maupun gigi

pasien. Pasien lebih sering diam setiap ditanya oleh pemeriksa.

Pasien dapat menyebutkan siapa namanya dengan benar, berapa

usianya, tahu waktu saat dilakukan pemeriksaan, menyebutkan alamatnya

dengan lengkap dan sedang berada di Rumah Sakit saat ini namun dengan

suara yang pelan dan cukup lambat dalam merespon setiap pertanyaan. Pasien

menjawab dengan benar nama presiden Indonesia saat ini yaitu, Joko

Widodo serta nama presiden Indonesia pertama kali dengan menjawab,

Soekarno. Pasien tidak mampu melakukan perhitungan 100-7, saat diminta

pemeriksa. Ketika ditanya persamaan dan perbedaan bola tenis dan buah

jeruk, pasien lalu menjawab, Sama-sama bulat, bedanya buah jeruk adalah
buah yang boleh dimakan kalau bola tenis benda mati untuk olahraga. Pasien

tidak dapat melanjutkan peribahasa Berakit-rakit ke hulu. Pasien tidak

mampu mengeja kata WAHYU dari belakang dengan lancar dan benar.

Ketika diminta untuk membaca tulisan pada buku pemeriksa, pasien dapat

membaca dengan lancar yaitu Kementerian Pendidikan Nasional Universitas

Udayana Fakultas Kedokteran. Pasien mampu mengulang tiga benda yang

disebutkan oleh pemeriksa, yakni buku, baju, dan rumah.

Pasien mengatakan perasaannya saat ini sudah lebih baik setelah

kejang kemarin. Sudah tidak ada perasaan jelek dan pusing. Ia mengatakan

pada saat di ruangan Abimanyu, ia merasa pusing setelah itu muncul kejang.

Setelah kejang pasien merasa lemas dan ingin tidur. Setelah bangun tidur

perasaannya menjadi lebih baik.

Pasien mengatakan bahwa sebelum ia dibawa ke rumah sakit, dirinya

sempat mengamuk di rumah lalu kejang dan dibawa oleh pamannya ke RSJ

Bangli. Pada saat setelah kejang ia sering melihat bayangan menyerupai

leak. Bayangan tersebut membuat dirinya merasa takut dan tidak nyaman.

Bayangan-bayangan aneh tersebut sering ia lihat ketika pada saat akan kejang

ataupun setelah ia kejang. Namun biasanya ketika setelah kejang dan tertidur

maka bayangan-bayangan tersebut akan hilang.

Pasien mengatakan bahwa dirinya sudah lama meminum obat anti

kejang, ia selalu berusaha untuk rutin meminum obat. Menurut pasien jika

dirinya tidak meminum obat kejang maka ia akan segera kambuh.

Pasien sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit mengalami kesulitan

untuk memulai tidur karena perasaannya yang tidak nyaman. Selama tidak
tidur ia hanya diam dan bengong. Tidur dikatakan sulit untuk memulai dan

sering terbangun pada malam hari kemudian sulit untuk kembali tidur.

Namun sejak di rawat di IPCU dan tidak kejang kembali, dirinya merasa

lebih nyaman untuk tidur.

Pasien selama ini tidak minum alcohol atau merokok hanya meminum

air putih saja.. Pasien sampai saat ini belum menikah karena ia merasa sulit

untuk dekat dengan orang lain. Selama ini ia hanya sendirian tinggal di

Buleleng. Setiap harinya ia bekerja di kebun dan memberi makan dan

memelihara babi. Pasien dapat memasak sendiri ketika sebelum sakit. Selama

ini pasien rutin ke Rumah Sakit, untuk control dan mendapatkan obat kejang.

Heteroanamnesis (Ayah dan paman pasien)

Pasien dikatakan tampak bengong sore hari sebelum masuk Rumah Sakit,

tidak lama pasien mulai kejang. Kejang yang terjadi lebih lama dari kejang

sebelumnya sekitar 30 menit. Keluarga khawatir dan membawa pasien ke

IGD RSJ Bangli. 2 hari sebelum di bawa ke rumah sakit, pasien mengamuk

sehingga meresahkan warga sekitar rumah. Saat ditanya mengapa mengamuk,

ia menjawab tidak tau, karena mengamuk ini ia sempat di pasung oleh

pamannya. Kadang jika sudah di lepas, pasien sering berjalan-jalan sendiri

keluar rumah tanpa tujuan, kadang tidak menggunakan baju.

Pasien dikatakan sudah mengalami kejang sejak berusia 1-2 tahun. Saat

itu pasien tiba-tiba kejang tanpa diketahui penyebabnya. Pada saat usia 2

tahun pasien hanya di bawa ke dukun, setelah di obati ke dukun menurut

ayahnya pasien akan sembuh. Pada saat berusia 6 tahun pasien masuk
sekolah SD, di sekolah ia sering kumat sehingga di sarankan oleh gurunya

untuk berobat ke dokter syaraf. Ia pertama kali mendapatkan pengobatan di

poli syaraf RSUD Singaraja, beberapa tahun terakhir pasien berobat ke dokter

saraf tetapi pasien kadang-kadang lupa minum obat.

Tiga tahun terakhir pasien sering mengatakan bahwa bila mau kejang,

sering melihat bayangan melintas di depan matanya, pasien akan menjadi

bengong dan sakit kepala lalu mengalami kejang. Dalam tiga tahun terakhir

frekuensi kejang pasien meningkat, bahkan satu tahun yang lalu pasien jatuh

dari pohon karena mengalami serangan kejang.

Pasien dikatakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pasien tinggal

sendirian di rumahnya di Buleleng, kedua adiknya tinggal dan bekerja di

Denpasar beserta ayahnya. Ibu pasien sudah meninggal ketika adiknya yang

kedua lahir. Sehari-hari pasien berkebun dan memelihara babi.

Dikatakan bahwa saat pasien dalam kandungan, ibu cukup sehat dan

bahagia akan mempunyai anak. Dikatakan pasien mendapat ASI selama 2

tahun. Pasien mulai makan pendamping ASI dari usia 3 bulan. Pasien

dikatakan belajar berjalan pada umur satu setengah tahun yang menurut

ayahnya agak lambat.

Pasien dikatakan saat sekolah SD, agak lebih lambat daripada teman-

temannya dalam menerima pelajaran. Namun pasien selalu naik kelas, karena

sering kejang dan merasa cukup lambat dalam menerima pelajaran pasien

memutuskan untuk tidak melanjutka ke SMP. Ayah pasien menyetujui

keputusan anaknya. Pasien adalah orang yang pendiam. Bila ada masalah

atau marah, pasien lebih banyak diam dan menyimpannya sendiri. Pasien
lebih banyak menghabiskan waktu luangnya di rumah dengan mengurus

hewan ternaknya.

Pasien dikatakan tidak memiliki riwayat penyakit darah tinggi, penyakit

gula, penyakit asma. Kakek pasien yang mengalami penyakit yang sama

dengan pasien yaitu sering kejang. Dikatakan pasien tidak pernah merokok

maupun minum alkohol.

A. Riwayat Gangguan Sebelumnya

1. Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya


Pasien pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya
2. Riwayat Penggunaan NAPZA
Tidak ada riwayat penggunaan zat psikoaktif sebelumnya
3. Riwayat Penyakit Medis
Kejang dari usia 1 tahun. Tidak ditemukan riwayat penyakit diabetes

melitus, tekanan darah tinggi, demam, atau penyakit infeksi pada

penderita.
4. Riwayat kepribadian sebelumnya

Pasien mempunyai sifat sangat pendiam. Ia lebih suka dan merasa

nyaman jika sendirian, dari awal sekolah pasien tidak memiliki

banyak teman.

D. Riwayat Keluarga

Ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat kejang (Kakek).

GENOGRAM :

Keterangan :

1. Laki-laki = 5. Perempuan (meninggal) X

2. Perempuan = 6. Laki-laki (meninggal


X

3. Pasien =

E. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Prenatal dan perinatal

Pada saat mengandung pasien, ibu tidak pernah mengalami

gangguan kesehatan. Kondisi mental ibu dalam kondisi stabil. Pasien

dilahirkan ditolong oleh bidan. Pasien lahir melalui persalinan normal

setelah kehamilan cukup bulan, dengan berat badan lahir 2.700 gram

dan langsung menangis.

2. Riwayat masa kanak awal (0 3 tahun)

Pasien diasuh oleh kedua orang tua dengan penuh kasih

sayang. Pasien diberikan ASI hingga usia 2 tahun, dan mulai makan

pada usia 3 bulan. Ibu pasien mengatakan bahwa sejak kecil

pertumbuhan berat badan, perkembangan motorik seperti duduk,


merangkak, berjalan serta perkembangan berbicara lebih lambat dari

anak-anak seusianya. Pasien mulai mengalami kejang pada saat

berusia 1-2 tahun, lalu dibawa ke dukun untuk di obati.

3. Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun)

Pasien tidak sekolah TK, ia langsung memulai pendidikan di

SD. Pada saat usia sekolah ia merasa lebih nyaman untuk melakukan

segala sesuatunya sendirian. Pasien tidak memiliki cukup banyak

teman. Pasien mengalami kesulitan di dalam mengikuti pelajaran, dan

sering kejang selama di sekolah.

4. Riwayat masa kanak akhir dan remaja

Pasien menyelesaikan pendidikan SD dan tidak melanjutkan ke

jenjang pendidikan berikutnya. Pasien mulai belajar berkebun dan

berternak untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

5. Riwayat Masa Dewasa


a. Riwayat pendidikan

Pasien hanya tamat SD dan tidak melanjutkan pendidikan

berikutnya.

2. Riwayat pekerjaan
Saat ini pasien berkebun dan berternak. Pasien pernah ikut

bekerja sebagai buruh bangunan bersama ayahnya, namun karena

pasien sering kejang di tempat kerja, sehingga ia berhenti.


a. Riwayat Perkawinan
Pasien belum menikah.
b. Agama

Pasien dibesarkan dalam lingkungan keluarga beragama Hindu

yang taat. Sejak kecil penderita telah dididik untuk menjalankan

ibadah agama.
c. Riwayat Aktivitas Sosial

Pasien sangat sedikit memiliki teman, ia lebih sering

menghabiskan waktu dengan berkebun dan berternak.

d. Riwayat psikoseksual

Pasien pertama kali mimpi basah saat umur 11 tahun. Pasien

tidak pernah berpacaran. Pasien belum pernah berhubungan seksual.

e. Riwayat hukum

Pasien tidak pernah melakukan tindakan melawan hukum atau

terlibat dalam masalah hukum.

f. Riwayat penggunaan waktu luang


Pasien dalam menghabiskan waktu luang dengan mengurus

tanaman dan babi yang ia pelihara.


F. Riwayat Situasi Kehidupan Sekarang

Kunjungan rumah dilakukan pada hari Sabtu, 22 April 2017. Pasien

saat ini tinggal sendirian, namun kadang-kadang ayah dan adik-adiknya

seminggu sekali pulang ke Buleleng. Kondisi rumah cukup rapi. Terdapat

1 bangunan utama yang terdiri dari 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi yang

telah terpasang keramik.

Denah Rumah
G. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya

Pasien merasa sudah lebih baik dan akan tetap melanjutkan

pengobatan dan rutin kontrol agar kehidupannya lebih baik dan dapat

bekerja kembali.

H. Fantasi dan Nilai-Nilai

Pasien ingin berkerja dengan giat agar dapat membelikan

rumah dan motor untuk ayahnya.


I. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL

Pemeriksaan pada tanggal 12 April 2017 dilakukan di ruang IPCU.

A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Seorang laki-laki, tampak lebih tua dari umur, memakai baju pasien

berwarna hijau, memakai celana pendek selutut warna hitam.

Rambut pendek. Postur tubuh pasien sedang dan agak kurus.


2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Selama wawancara, pasien duduk dengan tenang.
3. Sikap terhadap pemeriksa
Kooperatif dan menjawab semua pertanyaan dengan suara agak

lambat.

A. Pembicaraan
Pasien berbicara dengan suara agak lambat, namun dapat dimengerti dan

menggunakan bahasa Indonesia, tidak ada gangguan hubungan antar

kalimat.
B. Mood dan Afek
1. Mood : alexitemia
2. Afek : tumpul
3. Keserasian : Tidak serasi antara mood dan afek
C. Proses Pikir
1. Bentuk Pikir : logis realis
2. Arus Pikir : perlambatan
3. Isi Pikir : tidak terdapat ide aneh
D. Gangguan Persepsi
Halusinasi visual :
Bayangan hitam di sudut ruang perawatan.

Ilusi : tidak ditemukan

Depersonalisasi : tidak ditemukan

Derealisasi : tidak ditemukan

E. Sensorium dan Kognitif


1. Tingkat kesadaran dan kesigapan: jernih
2. Orientasi
a. Tempat : baik, dapat menyebutkan sedang berada di

rumah
sakit.
b. Waktu : baik, dapat mengatakan waktu wawancara yaitu
pagi hari.
c. Orang : baik, dapat mengenali nama ayah dan
adiknya.
3. Daya Ingat

a. Daya ingat jangka segera baik (ingat nama pemeriksa yang telah

disebutkan sebelumnya).

b. Daya ingat jangka pendek baik (ingat menu makan pagi hari ini)

c. Daya ingat jangka menengah baik (ingat kejadian 2 minggu yang

lalu)

d. Daya ingat jangka panjang baik (ingat nama ayah, saudara

kandung).

4. Konsentrasi: menurun, tidak dapat mengurangkan 7 dari 100

sebanyak 5 kali dan perkalian 7 juga dengan baik.


5. Perhatian : menurun, tidak dapat mengeja kata WAHYU dari

belakang.
6. Kemampuan membaca dan menulis: baik, dapat membaca dan

memahami kalimat serta menuliskan kalimat dengan benar.


7. Kemampuan visuospasial: baik, dapat menggambar jam dengan

lengkap dan benar serta mencontoh dua buah segilima yang saling

berpotongan.
8. Pikiran abstrak: baik (mampu membedahkan antara jeruk dan bola

tenis)
9. Kapasitas intelegensia: sesuai tingkat pendidikan.
10. Bakat kreatif: ada, berkerbun dan berternak.
11. Kemampuan menolong diri sendiri: mandi, mengganti pakaian

sendiri.
F. Dorongan Instingtual
Gangguan tidur / insomnia ada, hipobulia tidak ada, raptus ada (riwayat).
G. Kemampuan Mengendalikan Impuls
Selama wawancara pasien tenang, tidak ditemukan adanya gangguan

pengendalian impuls.
H. Daya Nilai dan Tilikan
1. Daya nilai sosial: baik ( pasien memahami bahwa mencuri itu adalah

perbuatan yang tidak benar dan berdosa bila dilakukan).


2. Uji daya nilai: baik ( pasien mengatakan ketika dia mencium asap

dalam suatu gedung bioskop yang penuh sesak dia akan lari keluar)
3. Penilaian realita : kurang (halusinasi visual berupa bayangan

hitam).
4. Tilikan : 5 (menyadari dirinya sakit namun masih tidak teratur

minum obat)
I. Taraf Dapat Dipercaya
Secara keseluruhan pasien dapat dipercaya.
II. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS LEBIH LANJUT
A. Status Internistik

Status present : Tekanan darah : 120/70 mmHg


Nadi : 84 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Temperatur axilla : 36,3o C
Status generalis : Kepala : Normocephali
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-,

reflex pupil +/+ isokor


THT : Kesan tenang
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening

tidak ada
Thorax : Cor : S1S2 tunggal, reguler,

murmur tidak ada


Pulmo : Vesikuler +/+, ronkhi -/-,

wheezing -/-
Abdomen : Distensi tidak ada, bising usus (+)

normal, hepar/lien tidak teraba


Extremitas : Hangat pada keempat ekstremitas,

edema dan cyanosis tidak ada

B. Status Neurologis

GCS : E4V5M6 Motorik :

Meningeal sign tidak ada Tenaga 555 555


555 555
Refleks patologis - -
- - Tonus N N
C. Pe N N
Refleks fisiologis + +
+ + me

rik Trofik N N
N N
saa

n Penunjang (16 Maret

2017)

WBC 10.7 103/uL


HGB 16,4 g/dL
HCT 46.2 %
PLT 226 103/uL
Bilirubin Total 1.1 mg/dL
Bilirubin Direk 0.28 mg/dL
SGOT 32 U/L
SGPT 47 U/L
Ureum 32 mg/dL
Kreatinin 0.9 mg/dL
Asam Urat 7.3 mg/dL
Glukosa Acak 127 mg/dL
Natrium 138.2 mmol
Kalium 4.19 mmol
Chlorida 103.9 mmol
D. Pemeriksaan Radiologi.
Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PSIKOMETRI

1. Tes HTP ( House Tree Person )


Interpretasi

Rumah :

Pasien tidak mampu menggambar rumah sesuai dengan umur pasien,

menunjukkan tidak tercukupinya intelektual/ gangguan emosi yang

berat.

Orang :

Pasien menggambarkan dirinya adalah orang yang tidal mampu

mengkomunikasikan keinginannya dengan realitas, serta kaki yang

digambarkan tidak seimbang menggambarkan kurang stabilnya emosi

individu yang bersangkutan.


Pohon :

Menunjukkan figur seorang ayah yang tidak terlalu detail digambarkan.

Batang yang kecil menggambarkan ego yang lemah dan kesulitan

berkomunikasi dengan orang lain. Pada gambar pohon yang kurang

akarnya menunjukkan kebutuhan id dari pasien kurang tercukupi yaitu

rasa untuk dihargai.

2. Tes mengarang

Interpretasi : pasien hanya menuliskan nama ayah dan ibu serta cita-citanya

yang ingin membuatkan rumah untuk kedua orangtua.

3. Tes Warteg
Interpretasi :

Hubungan stimulus-gambar : beberapa gambar tidak mengikuti stimulus

yang diberikan, artinya ketidakmampuan pasien untuk kontak dengan

realitas

Isi Gambar : hubungan interpersonal kurang,, tidak ada bentuk makhluk

hidup pada gambar nomor 2 dan 8, artinya pasien cenderung introvert,

motivasi kurang.

Eksekusi/pengerjaan gambar : gradasi garis yang lunak berarti ekspresi

dari energi potensial atau dorongan yang lemah.


III. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Pasien laki-laki, 33 tahun, Hindu, Bali, Indonesia, belum menikah.

Pekerjaan petani. Datang dengan keluhan bingung setelah ia kejang. Pasien

mengenakan baju pasien berwarna hijau muda dan bawahan celana berwarna

hitam. Rambut tampak cukup rapi terpontong cepak. Nampak perawakan

pasien gizi cukup dengan roman muka sesuai umur, kulit berwarna sawo

matang, penampilan agak kotor baik baju, kuku maupun gigi pasien. Pasien

lebih sering diam setiap ditanya oleh pemeriksa. Tidak ada disorientasi,

perhatian, konsentrasi, daya ingat dan intelegensia menurun. Pasien

mengatakan perasaannya saat ini sudah lebih baik setelah kejang kemarin.

Sudah tidak ada perasaan jelek dan pusing. Ia mengatakan pada saat di

ruangan Abimanyu, ia merasa pusing setelah itu muncul kejang. Setelah

kejang pasien merasa lemas dan ingin tidur. Setelah bangun tidur perasaannya

menjadi lebih baik. Pada saat akan kejang ia sering melihat bayangan

menyerupai leak. Bayangan tersebut membuat dirinya merasa takut dan

tidak nyaman. Bayangan-bayangan aneh tersebut sering ia lihat ketika pada

saat akan kejang ataupun setelah ia kejang. Namun biasanya ketika setelah

kejang dan setelahnya tertidur maka bayangan-bayangan tersebut akan hilang.

Pasien sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit mengalami sulit untuk

memulai tidur karena perasaannya yang tidak nyaman. Selama tidak tidur ia

hanya diam dan bengong. Tidur dikatakan sulit untuk memulai dan sering

terbangun pada malam hari kemudian sulit untuk kembali tidur.

Pemeriksaan tanda vital, status internistik, status neurologis, serta

pemeriksaan laboratorium penunjang, dalam batas normal.


Pemeriksaan status psikiatri ditemukan penampilan wajar sesuai

sakitnya dan roman muka tumpul. Kontak verbal dan visual cukup. Mood

alexitemia dengan afek tumpul, dan terdapat ketidak serasian antara mood

dan afek. Proses pikirnya ditemukan bentuk pikir yang logis realistik, terdapat

arus pikir perlambatan, isi pikir tidak ditemukan ide aneh (pada saat ini).

Pasien juga mengalami gangguan persepsi berupa halusinasi visual (riwayat).

Terdapat gangguan dorongan instingtual berupa insomnia (riwayat). Penilaian

realitasnya terganggu dengan tilikan derajat 5.

IV. DIAGNOSIS BANDING


a) Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak / psikosis

epileptik (F06.8)
b) Gangguan afektif organik (F06.3)
c) Gangguan psikotik akut dan sementara lainnya (F23.8)
V. FORMULASI DIAGNOSTIK

Pada pasien ditemukan gejala perilaku dan psikologis yang secara

klinis cukup bermakna dan menimbulkan penderitaan (distress) serta hendaya

(dissabilities) dalam kehidupan sehari-hari yang menunjukkan bahwa

penderita mengalami Gangguan Jiwa.

Dari anamnesis dan berbagai pemeriksaan fisik, didapatkan disfungsi otak

dan gangguan fisik berupa kejang yang sudah berlangsung selama tiga puluh

dua tahun yang berhubungan dengan sindrom mental atau gangguan jiwa

yang diderita saat ini. Dari penjelasan di atas diagnosa Gangguan Mental

Organik dapat ditegakkan.

Pada pasien tidak didapatkan riwayat penggunaan zat sehingga Gangguan

Mental akibat Penggunaan Zat dapat disingkirkan.


Pada pasien ini, keluhan yang dialami dari tanggal 16 Maret 2017 yaitu 2

hari sebelum masuk rumah sakit, dikatakan bahwa pasien mengamuk tanpa

ada alasan yang membuat dirinya mengamuk. Beberapa jam sebelumnya

pasien melihat bayangan hitam di sudut ruang perawatan yang menakutkan

seperti leak. Riwayat saat itu pasien sudah dua hari mengalami kejang

selama tigapuluh menit di rumah setelah dirinya bengong. Adanya hendaya

dalam aktivitas sosial, hendaya dalam menilai realita, dan hendaya dalam

fungsi kerja. Adanya gangguan sensorium berupa gangguan kesadaran dan

ada halusinasi dimana kejadian tersebut terjadi berhubungan dengan

penyakit fisik yang diderita pasien berupa kejang yang berulang-ulang

(epilepsi) yang sudah berlangsung tiga puluh tiga tahun. Setiap serangan

kejang pasien akan selalu bengong tampa berbuat apa-apa, adanya afek yang

irritable yang serasi dengan afek saat pasien gelisah dan kejang. Sehingga

aksis I sesuai PPDGJ III menjadi Gangguan Mental Akibat Kerusakan

dan Disfungsi Otak / Psikosis Epileptik (F06.8)

Pada pasien terdapat keterlambatan dalam berkomunikasi, tugas-tugas yang

tergantung pada bahasa, namun pasien dapat mengadakan interaksi sosial dan

percakapan sederhana. Selama ini pasien jarang marah, lebih banyak diam

dan sulit terbuka kepada sembarang orang. Kalau ada masalah, pasien lebih

banyak diam dan berusaha melakukan pekerjaan dan hobinya untuk

melupkan masalahnya. Pasien lebih senang terhadap kebersihan, keteraturan

dan kerapian. Namun tidak sampai menggangu kehidupan pribadi dan sosial

pasien. Hal tersebut mengarahkan pada gejala gangguan kepribadian

anankastik. Namun tidak memenuhi semua kriteria dalam pedoman


diagnosisnya karenanya disebut sebagai ciri kepribadian anankastik.

Berdasarkan hal tersebut aksis II: mengarah kepada Retardasi Mental

Sedang, ciri kepribadian anankastik, Mekanisme Pembelaan Ego (MPE)

: Represi.

Ada riwayat sakit fisik sebelumnya, yaitu mengalami kejang yang berulang

selama tiga puluh tiga tahun yang semakin memberat tiga tahun terakhir

menyebabnya disfungsi otak yang menimbulkan gangguan mental. Sehingga:


Pada aksis III : epilepsi.

Pada aksis IV : masalah dengan penyakit.

Pada aksis V : GAF (Global Assesment of Functioning) Scale pada saat ini

dinilai 60-51 gejala sedang (moderate), disability sedang. Skor setahun

terakhir adalah 70-61 yaitu beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas

ringan dalam fungsi, secara umum masih baik.

VI. FORMULASI PSIKODINAMIK

Saat pemeriksaan, pada pasien ditemukan faktor genetic (kakek) yang mengalami

keluhan sering kejang, penyakit fisik (riwayat kejang dan trauma), dan retardasi

mental yang kemungkinan dapat menyebabkan gangguan mental pada pasien.

Pada pasien, berdasarkan kategorisasi, pasien menunjukkan mekanisme

pertahanan ego level 3 (neurotik) berupa represi. Individu yang menggunakan

mekanisme ini secara berlebihan dapat mengalami gangguan pada interaksi

sosialnya. Menurut teori psikososial Erik Erikson, pasien berada pada fase

intimacy vs isolation. Pada tahap (industry vs inferiority) di mana saat itu pasien

mengalami stresor yang cukup signifikan yaitu ibu pasien meninggal dunia.

Akibatnya, pasien mengalami fiksasi pada fase ini, dan terjadinya berkembangnya

rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.


Stresor yang ditemukan saat ini adalah memiliki masalah dengan ekonomi karena

ia tidak memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang tetap. Pasien bekerja

berkebun dan beternak, namun karena sakitnya ia tidak bisa bekerja dengan baik,

padahal pasien memilki cita-cita membelikan rumah dan sepeda motor untuk

ayahnya.

VII.DIAGNOSIS MULTIAKSIAL (menurut PPDGJ-III)

Axis I : Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak / psikosis


epileptik (F06.8)
Axis II : Retardasi Mental Sedang, Ciri Kepribadian anankastik, MPE
Represi.
Axis III : Epilepsi
Axis IV : Masalah dengan penyakitnya
Axis V : GAF saat pemeriksaan 60 - 51
GAF setahun terakhir 70 61

VIII. DAFTAR MASALAH


a. Biologi
Ada (Riwayat pasien kejang, dan riwayat keluarga kakek kejang)
b. Psikologis
Ciri kepribadian anankastik dengan MPE represi.
c. Sosial

Pasien merasakan kondisi sakitnya mengganggu dan menimbulkan

disabilitas dalam pekerjaan, aktifitas sehari-hari, hubungan sosial, dan

hubungan interpersonal.

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quoad functionam: dubia ad malam
Quoad sanationam: dubia ad malam
Faktor yang meringankan prognosis:

- Penderita cukup kooperatif


- Dukungan keluarga baik
Faktor yang memberatkan prognosis:

- Onset pada usia muda


- Ketidakpatuhan minum obat
II. RENCANA PENATALAKSANAAN
a. Psikofarmaka

Haloperidol 2,5 miligram tiap 12 jam intraoral.

Haloperidol merupakan antipsikotik generasi pertama atau golongan

tipikal yang merupakan antagonis reseptor dopamine yang efektif di dalam

terapi gejala psikotik akibat penyebab organik. Haloperidol juga sangat

berespons untuk menterapi gejala seperti iritabilitas berat, tidak adanya

pengendalian impuls, permusuhan berat, hiperaktivitas menyeluruh, dan

agitasi. Kerja dari haloperidol adalah mengurangi gejala psikotik dengan

menghambat pengikatan dopamine pada reseptor dopamine D2. Waktu

paruh dari haloperidol berkisar antara 10 sampai 20 jam dan dapat

diberikan dalam satu dosis oral harian.

Terapi Neurologi :

Phenytoin 100 miligram tiap 8 jam intraoral


Clobazam 5 miligram tiap 24 jam intraoral

b. Psikoterapi

Kepada pasien

- Psikoedukasi

Mengenai gangguan yang dialami pasien, rencana

penatalaksanaan yang akan diberikan, baik psikoterapi maupun

psikofarmako

- Psikoterapi suportif
Memberikan empati, pengertian dan optimistic. Membantu Pasien

mengidentifikasi, mengekspresikan emosinya (ventilasi tentang

perasaan negative) serta memberikan penentraman (reassurance)

agar Pasien merasa lebih nyaman.

Kepada keluarga pasien

o Psikoedukasi

Memberikan informasi tentang gangguan yang dialami oleh Pasien

secara keseluruhan dan menjelaskan mengenai penata laksanaan

yang akan diberikan sehingga diharapkan keluarga dapat

mendukung proses terapi.

o Menjelaskan mengenai tanda-tanda emergensi psikiatri (efek

samping obat).

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical


Manual of Mental Disorder Edition DSM-5. Washinton DC: American
Psychiatric Publishing. Washinton DC.
Maramis WF, Maramis AA. Catatan ilmu kedokteran jiwa.
Surabaya:Airlangga University Press,2009
Rusdi Maslim. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan
Ringkas PPDGJ III, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya,
Jakarta; 2003
Sadock & Sadock. 2015. Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Cinical Psychiatry. Eleventh edition.
Ujam Jaenudin., Dinamika Kepribadian (Psikodinamik), Penerbit
Pustaka Setia, Bandung, 2015
Sylvia D Elviera. 2014. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit FKUI,
Jakarta,2014

Anda mungkin juga menyukai