Anda di halaman 1dari 7

https://justitia1.wordpress.

com/sistem-hukum-indonesia/

Sistem Hukum Indonesia (Sebuah Perbandingan teori John Austin dan H.L.A. Hart)

John Austin memberikan defenisi hukum sebagai peraturan yang diadakan untuk
memberikan bimbingan kepada mahluk yang berkal oleh mahluk yang berkuasa atasnya.
Hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari
pemegang kedaulatan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan
bersifat tertutup. Menurutnya hukum yang sebenarnya mengandung empat unsur yaitu;
perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Singkatnya hukum menurut John Austin:

1. Hukum merupakan perintah penguasa (law is a commad of the lawgiver), hukum


dipandang sebagai perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi

2. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup

3. Hukum positif harus memenuhi beberapa unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan
kedaulatan, di luar itu bukanlah hukum melainkan moral positif.

Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang
diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. la
memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang
lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja
bijaksana dan adil, atau sebaliknya

Menurut Austin aturan hukum memastikan kenyataan juga dipertanggungjawabkan bahwa


aturan hukum itu mempunyai nilai yuridis. Sedangkan aspek intern maka kaidah-kaidah
hukum dapat dibedakan dari kebiasaan sosial yang tidak berlaku secara yuridis. Aspek ini
juga yang menentukan hukum sebagai hukum.

Semua hukum positif adalah perintah. Perintah dari yang berdaulat atau command of
sovereign atau command of law-giver. Pemegang kedaulatan tidak terikat baik oleh peraturan
yang dibuatnya sendiri, maupun oleh asas-asas yang berasal dari atas (moral dan agama).
Masalah kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari hukum positif adalah bersifat pra-
legal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau sosiologi) dan hendaknya dianggap
sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataannya. Hart menyangkal anggapan ini dan
memastikan bahwa pembuat undang-undang juga merupakan bagian dari hukum yang
dibuatnya sendiri. Dia menganggap kekuatannya berlaku padanya dengan aturan dan dia
sendiri merupakan bagian dari bidang aturan tersebut.

Hart adalah seorang penganut aliran neopositivisme. Menurut Hart Sistem Hukum adalah
adalah perpaduan dari aturan primer dan sekunder. Inti dari suatu sistem hukum terletak pada
adanya kesatuan antara apa yang disebut peraturan-peraturan primer (yaitu peraturan-
peraturan yang menimbulkan tugas kewajiban, seperti peraturan-peraturan dalam hukum
kriminal atau hukum tentang ingkar janji) dan peraturan-peraturan sekunder (yaitu peraturan-
peraturan yang memberikan kekuatan atau kewenangan, seperti hukum yang mempermudah
pembuatan kontrak, wasiat, perkawinan dan sebagainya atau dengan kata lain kaidah yang
memastikan syarat-syarat bagi berlakunya kaidah/peraturan primer.

Menurut Hart ada 3 macam peraturan sekunder yaitu:

1. Peraturan-peraturan yang mengatur kewenangan hakim dalam kasus-kasus penegakan


hukum (rule of adjudication) atau bertindak sebagai hakim. Atau dengan kata lain
sebuah aturan yang memberikan hak-hak kepada seseorang untuk menentukan apakah
pada peristiwa-peristiwa tertentu suatu peraturan primer dilanggar. Sebagai contoh
kewenangan hakim memutus hukuman pembayaran akibat kerugian atau pencabutan
kebebasan seseorang.

2. Peraturan-peraturan yang mengatur proses perubahan dalam memberikan kewenangan


untuk memberlakukan perundang-undangan sesuai prosedur yang ditetapkan, disebut
peraturan perubahan (rule of change), dengan kata lain bahwa aliran ini mengesahkan
adanya aturan primer yang baru.

3. Peraturan pengakuan (rule of recognition) yaitu aturan yang menentukan kriteria yang
mempengaruhi tentang validitas (kesahihan) peraturan-peraturan yang ada dalam
sistem tertentu atau dengan kata lain berupa ketentuan-ketentuan yang menjelaskan
apa yang dimaksud aturan primer (petunjuk pengenal).

Hart menolak defenisi yang diberikan oleh Austin sebab defenisi tersebut cocok dengan
situasi penyerbuan (gunman situation). Tetapi menurut Hart sebagian definisi Austin tentang
hukum adalah tepat yakni sejauh hukum dilihat dari luar, sebab memang benar bahwa
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh yang berkuasa dan biasanya ditaati.

Akan tetapi terdapat suatu aspek lain yang disebut aspek intern. Aspek ini ditanggapi oleh
orang-orang yang termasuk dalam suatu wilayah hukum tertentu yang merasa terikat secara
batin untuk mentaati aturan hukum itu.

Aspek intern ini yang tidak dapat diterangkan melalui teori-teori Austin. Austin hanya
menerangkan aturan hukum dengan memastikan kenyataan bahwa kebanyakan subjek hukum
mentaati aturan hukum itu dan aturan hukum itu harus merupakan nilai yuridis (validity).

Berbeda dengan tokoh positivis lainnya seperti Austin dan Kelsen yang menganggap hukum
tergantung hanya pada tekanan-tekanan sosial dari luar (eksternal), Hart berpendapat bahwa
disamping bergantung pada tekanan sosial eksternal, hukum juga bergantung pada pandangan
dari dalam masyarakat itu sendiri, bahwa suatu peraturan tertentu menimbulkan kewajiban-
kewajiban. Secara tegas Hart menolak setiap jenis hukum yang semata-mata hanya
berdasarkan pada perintah-perintah paksaan, karena hal itu semata-mata berasal dari pola
hukum kriminal yang tidak dapat diterapkan pada bagian yang besar dari sistem hukum
modern, yang melibatkan publik dan kekuatan pribadi-pribadi. Suatu masyarakat bisa saja
memiliki sistem hukum yang semata-mata hanya berhubungan dengan peraturan-peraturan
dasar yang kebanyakan sistem ini banyak ditemukan pada masyarakat primitif. Sementara
masyarakat itu terus berkembang dan perkembangannya dari waktu ke waktu semakin
kompleks.

Hart memperkenalkan aspek internal hukum untuk membedakan antara hukum dan kebiasaan
dan menolak kemungkinan penafsiran hukum semata didasarkan bentuk luar tingkah laku,
sebaliknya Austin menekankan pentingnya kebiasaan.

Hart menjelaskan bahwa hukum tidak hanya bergantung pada tekanan sosial dari luar yang
dibawa kepada manusia untuk melindungi mereka agar tidak bisa menyimpang dari
peraturan-peraturan tetapi juga bergantung pada pandangan dari dalam, bahwa manusia
menuju ke arah suatu peraturan yang digambarkan sebagai tanggung jawab dan kewajiban

Hart memandang bahwa masyarakat yang secara hukum tidak berkembang yang hanya
terpaku pada sistem hukum dasar yaitu mengenai menjalankan kewajiban, mereka tidak akan
menguasai suatu sistem hukum. Karena bagi Hart kumpulan dari peraturan-peraturan dasar
dan sekunder adalah merupakan inti dari sistem hukum. Karena dengan inilah dapat
dibicarakan tentang penjahat, hubungan masyarakat, pejabat.

Hart berpendapat bahwa hukum yang dilakukan dengan cara paksa dianggap telah
memutarbalikkan fungsi hukum dalam suatu komunitas. Esensi dari suatu sistem hukum
adalah kenyataan yang tidak dapat dipisahkan berdasarkan atas faktor-faktor psikologis yang
bervariasi, bahwa hukum diterima oleh masyarakat sebagai suatu kesatuan yang saling
mengikat, elemen-elemen dari sanksi bukanlah suatu yang esensial tetapi ada elemen lain
dalam hal memfungsikan sistem hukum tersebut. Hal ini dianggap karena suatu peraturan
dianggap sebagai suatu hal yang perlu bahwa ukuran dari hal paksaan bisa saja
disangkutpautkan dengan hal tersebut yaitu paksaan.

Dikatakan Hart kenyataan bahwa setiap hukum adalah suatu perintah mengakibatkan semua
jenis hukum dapat menjadi satu unit yang dapat berdiri sendiri secara eksis. Dalam artian
dapat diaplikasikan tanpa tergantung dari faktor lain. Selain itu jika hukum semata-mata
dilakukan dengan sanksi maka akan dapat menghancurkan suatu kesatuan masyarakat.
Dimana kaum minoritas dalam hal ini pengusaha akan sewenang-wenang dengan kaum
mayoritas yaitu masyarakat biasa.

Sistem Hukum Indonesia

Lalu bagaimana dengan arah sistem hukum indonesia dengan memperbandingkan teori John
Austin dan H.L.A Hart? Apakah mengarah kepada teori Austin atau Hart?.

Jika kita melihat teori Austin yakni

1. Hukum merupakan perintah penguasa (law is a commad of the lawgiver), hukum


dipandang sebagai perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi

2. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup

3. Hukum positif harus memenuhi beberapa unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan
kedaulatan, di luar itu bukanlah hukum melainkan moral positif.
Pada poin pertama hukum merupakan perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi. Di
Indonesia Hukum kita ditelurkan oleh dua lembaga yakni legislatif dan eksekutif dapat dilihat
jelas pada hierarkis perundangan di indonesia dengan urutan

1. Undang-undang dasar Negara R.I 1945;

2. Undang-undang;

3. Perppu;

4. Peraruran pemerintah;

5. Perpres; dan

6. Perda

Undang-undang dan perda dibuat oleh lembaga legislatif, perpu, peraturan pemerintah dan
perpres merupakan produk hukum dari eksekutif. Produk-produk tersebut merupakan produk
dari pemegang kekuasaan di indonesia. Pendapat austin ini bisa dikatakan sejalan dengan hal
ini, begitu pula dengan pendapat Hart yang mengatakan bahwa hukum memang merupakan
produk yang dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan tertinggi dan biasanya ditaati.

Poin ke dua hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup. Pendapat ini
dibantah oleh Hart dengan mengatakan bahwa hukum juga memerlukan tekanan dari dalam
diri tiap individu bukan semata tekanan dari luar individu yang dipaksakan seperti yang itu.
Dikaitkan dengan sistem hukum indonesia yang mana sistem hukum Indonesia senantiasa
memperhatikan suara dari social society guna menetapkan hukumnya hal ini dapat dilihat
dalam Undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan yang memberikan
persyaratan bahawa dalam membuat peraturan perundang-undangan harus melewati tahap
mendengarkan pendapat dari social society. Jika hal ini dijalankan maka dapat dikatakan
bahwa Undang-undang yang lahir merupakan keinginan individu-individu dalam masyarakat
atau dengan kata lain berasal dari takanan dalam diri tiap individu. Hal ini tentu sejalan
dengan pemikiran Hart.

Poin ke tiga hukum positif harus memenuhi beberapa unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan
kedaulatan, di luar itu bukanlah hukum melainkan moral positif. Hart juga membedakan
antara moral dan hukum, karena sebagai seorang positivis ia tidak percaya bahwa hukum
berasal dari moral, Hart berargumen bahwa ketidaksahihan sebuah hukum/peraturan berbeda
sebutan tidak bermoral. Moral adalah yang mengenai batin manusia saja sedangkan hukum
adalah apa yang berasal dari sumber hukum entah isinya bersifat moral atau immoral.

Menyangkut pendapat hukum terpisah secara tegas dengan moral ini, jika dikaitkan dengan
keadaan hukum di indonesia maka kelihatannya tidak sejalan, di indonesia hukum senantiasa
harus memperhatikan kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakatnya seperti yang
diamanatkan dalam Undang-undang pokok kehakiman. Namun antara Austin dan Hart sistem
hukum Indonesia masih sedikit mendekati apa yang dikatakan Hart yaitu adanya kaedah
hukum sekunder; peraturan-peraturan yang mengatur kewenangan hakim dalam kasus-kasus
penegakan hukum atau bertindak sebagai hakim, pernyataan ini seperti apa yang telah
dituang dalam undang-undang pokok kehakiman yaitu hakim harus menggali dan
mempelajari hukum dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Hal
ini berartu bahwa nilai kearifan lokal dalam masyakat masih mendapatkan tempat di dalam
hukum Indonesia. Selanjutnya pendapat Hart yang sejalan dengan sistem hukum Indonesia
adalah bahwa Hart menilai moral harus dilihat dari sebab akibat. Moral sosial merupakan
bagian dari hukum untuk membenarkan perbedaan. Kebutuhan hukum ditegakkan perlu
dukungan moral dari keadaan yang nyata dalam masyarakat sebagaimana garis yang
seharusnya. Bahwa secara moral masyarakat perlu diberikan nilai-nilai yang bersifat
universal. Jika masyarakat ingin hidup, sistem legal berfungsi, kemudian harus ada larangan
peraturan seperti dilarang membunuh, dilarang mencuri, dilarang aborsi dan sebagainya.
Secara moral menurut Hart juga penting bahwa peraturan itu untuk masyarakat istimewa
ditegakkan. Tegas Hart menolak teori perintah menurutnya hukum bukan saja berasal dari
paksaan tetapi juga harus timbul dari adanya rasa wajib untuk melaksanakannya dari
masyarakat tanpa adanya paksaan.

Dalam konteks teoritis sistem hukum Indonesia tidak menganut teori Austin maupun Hart,
namun ada sedikit persamaan di dalamnya terutama pada teori Hart. Namun jika kita melihat
hal itu dalam konteks realitas, maka pada zaman orde baru silam politik hukum kita saat itu
membawa sistem hukum berkiblat pada teori Austin, saat itu hukum semata-mata hanya
digunakan sebagai perintah negara untuk menjaga eksistensi negara atas rakyat tanpa peduli
apakah rakyat menerima itu sebagai kewajiban ataukah hanya sebagai paksaan yang
mempunyai sanksi belaka.
Saat ini meskipun kondisi politik sudah berubah, namun sisa peninggalan kondisi pada zaman
orde baru masih ada terlihat di sana-sini, kita sebut saja Kearogansian aparat hukum dalam
penegakan hukum, hukum yang ditelurkan oleh legislatif masih mencerminkan kepentingan
penguasa, pelaksanaan hukum masih sering berwujud paksaan daripada sebagai kewajiban
oleh masyarakat, hal ini diakibatkan oleh karena volkgiest jarang ikut dipertimbangkan dalam
pembuatan aturan. Dengan keadaan seperti itu negara kita belum layak dikatakan negara
hukum namun lebih pantas disebut sebagai negara Undang-undang.

Sebagai kesimpulan dari pembahasan ini; dalam konteks teoritis sistem hukum indonesia
tidak menganut teori John Austin maupun H.L.A. Hart, namun jika mencari keasamaan-
kesamaan maka akan ditemukan lebih banyak kesamaan teori hukum dari Hart daripada
Austin dalam sistem hukum Indonesia. Namun dalam konteks realitas pelaksanaan hukum di
negara kita justru lebih mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Austin, hal ini adalah
keadaan yang merupakan warisan rezim penguasa orde baru silam.

Anda mungkin juga menyukai