html
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tanda dan gejala gangguan jiwa adalah ungkapan marah yang mal adaptif yang
dilakukan seseorang karena gagal dalam beradaptasi dan tak punya mekanisme penanganan yang
adekuat. Ungkapan marah yang mal adaptif, salah satunya adalah agresif, yang akan
membahayakan karena dapat timbul dorongan untuk bertindak baik secara kontruktif maupun
destruktif dan masih terkontrol. Marah agresif adalah suatu prilaku yang menyertai rasa marah
dan merupakan dorongan untuk bertindak baik secara kontruktif maupun destruktif dan masih
terkontrol. Pasien dengan marah agresif akan bersifat menentang, suka membantah, bersikap
kasar, kecenderungan menuntut secara terus-menerus, bertingkah laku kasar disertai
kekerasan (Stuart and Sunden,1991).
Permasalahan yang dihadapi dalam perawatan pasien dengan marah agresif adalah sikap
pasien yang tak kooperatif, membahayakan dirinya sendiri dan lingkungan serta masalah pasien
yang dapat menimbulkan dorongan agresifnya.
Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa.
Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh
sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan seperti memukul anggota
keluarga/orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang
paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum
memadai sehingga selama perawatan klien setidaknya sekeluarga mendapat pendidikan
kesehatan tentang cara merawat klien (manajemen perilaku kekerasan). Asuhan keperawatan
yang diberikan di rumah sakit jiwa terhadap perilaku kekerasan perlu ditingkatkan serta dengan
perawatan intensif di rumah sakit umum. Asuhan keperawatan perilaku kekerasan (MPK) yaitu
asuhan keperawatan yang bertujuan melatih klien mengontrol perilaku kekerasannya dan
pendidikan kesehatan tentang MPK pada keluarga. Seluruh asuhan keperawatan ini dapat
dituangkan menjadi pendekatan proses keperawatan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Perilaku kekerasan dalam keluarga adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap perempuan maupun anak. Hal
tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
(Stuart dan Sundeen, 1995)
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Kekerasan dalam keluarga mencakup penganiayaan fisik, emosonal dan seksual pada anak-
anak pengabaian anak, pemukulan pasangan, pemerkosaan terhadap suami atau istri dan
penganiayaan lansia. Perilaku penganiyaan dan prilaku kekerasan yang tidak akan dapat diterima
bila dilakukan oanng yang tidak dikenal sering kali di tolerannsi selama bertahun-tahun dalam
keluarga. Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya merupakan tempat yang aman
dan anggotanya merasa dicintai dan terlindung, dapat menjadi tempat palinng berbahaya bagi
korban.
Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk
Tindakan kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan fisik, baik kepada diri sendiri maupun ornag lain. Sering disebut juga
gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan
gerkan motorik yang tidak dikontrol.
Asertif : Mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan
merasa lega.
Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak
realistis.
Amuk : Tindakan destruktif dan bermusuhan yang kuat dan tidak terkontrol.
1. Isolasi sosial
Anggota keluarga merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak mengundang orang lain
datanng kerumah mereka atau tidak mengatakan kepada orang lain apa yang terjadi. Anak dan
wanita yang mengalami penganiyaan sering kali diancam oleh penganiaya bahwa mereka akan
lebih disakiti jika mengungkapkan rahasia tersebut. Anak-anak mungkin diancam bahwa ibu,
saudara kandung atau hewan peliharaan mereka kan dibunuh jika oranng diluar keluarga
mengetahui penganiayaan tersebut. Mereka ditakuti agar mereka menyimpan rahasia atau
mencegah orang lain mencampuri urusan keluarga yang pribadi
2. Kekuasaan dan kontrol
Anggota keluarga yang mengalami penganiayaan hampir selalu berada dalam posisi
berkuasa daan memilki kendali terhadap korban, baik korban adalah anak, pasangan, atau lansia.
Penganiaya bukan hanya menggunakan kekuatan fisik terhadap korban, tetapi juga kontrol
ekonomi dan sosial. Penganiaya sering kali adalah satu-satunya anggota keluarga yang membuat
keputusan, mengeluarkan uang, atau diijinkan untuk meluangkan waktu diluar rumah dengan
orang lain. Penganiaya melakukan penganiayaan emosional dengan meremehkan atau
menyalahkan korban dan sering mengancam korban. Setiap indikasi kemandirian atau
ketidakpatuhan anggota keluarga, baik yang nyata atau dibayangkan, biasanya
menyebabkan peningkatan prilaku kekerasan (singer at al, 1995).
Ada hubungan antara penyalahgunaan zat, terutama alkohol, dengan kekerasan dalam
keluarga. Hal ini tidak menunjukkan sebab dan akibat-alkohol tidak menyebabkan individu
menjadi penganiaya sebalik, penganiaya juga cenderung menggunakan alkohol atau obat-obatan
lain. 50-90% pria yang memukul pasangannya dalam rumah tangga juga memiliki riwayat
penyalahgunaan zat. Jumah wanita yang mengalami penganiayaan dan mencari pelarian dengan
menggunakan alkohol mencapai 50 %. Akan tetapi, banyak peneliti yakin bahwa alkohol dapat
menguurangi inhibisi dan membuat perilaku kekerasan lebiih intens atau sering (denham, 1995).
Alkohol juga disebut sebagai faktor dalam kasus pemerkosaan terhadap pasangan kencan
atau pemerkosaan oleh orang yang dikenal. CDCs division of violence prevention melaporkan
bahwa studi mengidentifikasi penggunaan alkohol atau obat yang berlebiihan yang dikaitkan
dengan penganiayaan seksual.
Berarti bahwa pola prilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya
melalui model peran dan pembelajaran sosial (humphreeys, 1997;tyra, 1996). Transmisi
antargenerasi menunjukkan bahwa kekerasan dalam keluarga merupakan suatu pola yang
dipelajari. Misalnya, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga akan belajar dari
melihat orang tua mereka bahwa kekerasan ialah cara menyelesaikan konflik dan bagian integral
dalam suatu hubungan dekat. Akan tetapi tidaak semua orang menyaksikan kekerasan dalam
keluarga menjadi penganiayaa atau pelaku kekerasan ketika dewasa sehingga faktor tunggal ini
saja tidak menjelaskan prilku kekerasan yang terus ada.
D. Faktor Presdiposisi
Faktor Psikologis
Psycoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat
dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia di pengaruhi oleh dua insting.
Pertama insting hidup yang dapat di ekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian
yang diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation agression theory ; teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal
dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan
maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang
dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang
melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu menyelesaikan secara efektif.
Severe Emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak, atau
seduction parental, yang mengkin telah merusak hubungan saling percaya (trust) dan harga diri.
Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau mengobservasi
kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.
Social Learning Theory; teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini
mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat di
pelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan makan
semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan merespon terhadap
keterbangkitaan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang di pelajarinya.
Pembelajaran ini bisa internal atau ekternal. Contoh internal; orang yang mengalami
keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka
yang tidak menonton film tersebut; seseorang anak yang marah karena tidak boleh beli es
kemudian ibunya memberinya es agar si anak mendapatkan apa yang dia inginkan. Contoh
eksternal; seorang anak menunjukan perilaku agresif setelah melihat seseorang dewasa
mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga
dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara asertif.
Faktor biologis
Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya teramcam.
Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman
terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari
sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun
klien harus bersama-sama mengidentifikasikannya. Ancaman dapat berupa internal ataupun
eksternal. Contoh stressor eksternal yaitu serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang di
anggap bermakna dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan stressor dari internal yaitu
merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintainya, dan ketakutan terhadap
penyakit yang diderita.
Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku
kekerasan terbagi dua, yaitu :
percaya diri.
interaksi sosial.
E. Etiologi
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak, cemas,
tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan status dan prestise yang tidak
terpenuhi.
Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan / keinginan yang
diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak
mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan
keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.
Hilangnya harga diri; pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk
dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa
rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.
Kebutuhan akan status dan prestise ; Manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk
mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
F. Tanda dan Gejala
Perubahan fisiologi
Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat, pupil dilatasi, tonus otot
meningkat, mual, frekuensi buang air besar meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks tendon
tinggi.
Perubahan Emosional
Mudah tersinggung , tidak sabar, frustasi, ekspresi wajah nampak tegang, bila mengamuk
kehilangan kontrol diri.
Perubahan Perilaku
Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis, curiga, mengamuk, nada suara keras dan kasar.
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap
sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil
melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva
meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang
terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan
perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk
mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti
orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk
pengembangan diri klien.
Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku acting out untuk menarik
perhatian orang lain.
Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam
huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja
Rumah Tangga)
E. Bentuk-Bentuk KDRT
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat
(Pasal 6).
2. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat
pada seseorang (pasal 7)
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9)
Alasan lain yanng sering diajukan menngapa wanita sulit meninggalkan hubungan yanng
abusive ialah siklus kekerasan atau penganiayaan.
G. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri.(Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain :
(Maramis, 1998, hal 83)
Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk suatu
dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang
sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue,
meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa
marah.
Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik.
Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya.
Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya
seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut
ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan
perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang
tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu
berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia
4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di
dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
H. Psikopatologi
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan bagian
kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan
kecemasan yan g menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat
diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku
kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena merasa tidak
kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa
marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama
dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri
(Depkes, 2000).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengumpulan data.
a. Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi
epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar,
pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks
cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
b. Aspek emosional
Salah satu anggota yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel,
frustasi, dendam, ingin memukul anggota yang lain , mengamuk, bermusuhan dan sakit hati,
menyalahkan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran
panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam
proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah,
mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah
sering merangsang kemarahan anggota keluarga yang lain lain. Individu seringkali menyalurkan
kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga anggota keluarga yang lain
merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras.
Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak
mengikuti aturan
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal
yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang
dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Dari uraian tersebut di atas jelaslah
bahwa perawat perlu mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi,
intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut : Aspek fisik
terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat, berkeringat, sakit fisik,
penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman,
dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
2. Klasifikasi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu data
subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien
dan keluarga. Data ini didapatkan melalui wawancara perawat dengan klien dan keluarga.
Sedangkan data obyektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau
pemeriksaan langsung oleh perawat.
3. Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan yang
dihadapi keluarga dan dengan memperhatikan pohon masalah dapat diketahui penyebab sampai
pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa
keperawatan.
4. Aspek Fisik
Aspek fisik terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat,
berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak
adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme,
berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu secara
komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat
dapat dilukiskan sebagai berikut.
POHON MASALAH
Sresiko mencidrai diri
Resiko Prilaku
Kekerasan
HALUSINASI
gg.
komonikasi
Difissit
verbal
perawatan
ISO
diri
DR
Koping individu tiak
epektif
Marah,
frustasi.cem
as, dendam,
sakit hati,
tidak enak,
B. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan utama pada klien marah dengan masalah utama perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut :
C. INTERVENSI
Bantu keluarga
mendemonstrasikan cara
merawat klien.
Bantu keluarga
mengungkapkan perasaannya
setelah melakukan
demonstrasi.
SP IVp
SP Vp
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku kekerasan dalam keluarga adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap perempuan maupun anak. Hal
tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
(Stuart dan Sundeen, 1995)
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
DAFTAR PUSTAKA
2. Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
3. Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
4. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2003
5. Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP
Bandung, 2000