Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal merupakan salah satu organ vital tubuh. Ginjal memiliki berbagai macam fungsi.
Fungsi utamanya adalah filtrasi plasma dan eksresi produk sisa, mempertahankan homestasis
air, osmolalitas, elektrolit dan asam basa. Ginjal mensekresi renin yang berperan pada
pengaturan tekanan darah dan keseimbangan cairan, dan juga mensekresi eritropoietin. Ginjal
berperan besar dalam eksresi berbagai macam obat-obatan.1
Adanya gangguan ginjal atau penyakit ginjal (pre renal, renal maupun post renal)
mencakup spektrum yang luas dari suatu penyakit. Hal ini berkisar dari pasien tanpa gejala
dengan kreatinin serum sedikit meningkat pada pasien dengan gagal ginjal kronis (CRF)
yang bergantung pada terapi hemodialisa. Spektrum yang luas membuat pengelolaan pasien
dengan penyakit ginjal selama periode perioperatif cukup penting.1
Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anestesia yang setidaknya sebagian
tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal, modifikasi
dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Semua obat
anestetik baik abar (volatil) atau suntikan berpotensi mengganggu fungsi ginjal baik secara
langsung atau tidak langsung akibat perubahan tekanan darah sistemik, curah jantung,
lepasan hormon anti diuretik (ADH), jenis cairan infus yang sedang digunakan, gangguan
sistem renin-angiotensin-aldosteron.1
Referat ini akan mendiskusikan tentang pendekatan dan perhatian terhadap
penatalaksanaan anestesi umum pada pasien dengan gagal ginjal.

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan referat ini adalah agar mahasiswa kedokteran memahami
mengenai pemilihan obat dan dosis obat anestesi pada pasien dengan gagal ginjal.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Gagal ginjal akut merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal
yang terjadi secara mendadak yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen dan non
nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguria.2
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.2

2.2. Epidemiologi

2
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru
gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.2

2.3. Anatomi Dan Fisiologi Ginjal

Gambar 1. Lokasi Ginjal

Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian umbilikus dan
kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi cukup bulan
sampai 12 cm atau lebih dari 150 g pada orang dewasa. Ginjal mempunyai lapisan
luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimalis dan distalis dan duktus
kolektivus, serta di lapisan dalam,medula yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus,
lengkung (ansa) Henle, vasa rekta dan duktus koligens terminal.3
Puncak piramid medulla menonjol ke dalam disebut papil ginjal yang merupakan ujung
kaliks minor. Beberapa duktus koligens bermuara pada duktus papilaris Bellini yang ujungnya
bermuara di papil ginjal dan mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Karena ada 18-24 lubang
muara duktus Belini pada ujung papil maka daerah tersebut terlihat sebagai lapisan beras dan
disebut juga dengan area kribosa.3
Antara dua piramid tersebut, terdapat jaringan korteks tempat masuknya cabang-cabang
arteri renalis disebut kolumna Bertini. Beberapa kaliks minor membentuk kaliks mayor yang
bersatu menjadi piala (pelvis) ginjal dan kemudian bermuara ke dalam ureter. Ureter kanan dan

3
kiri bermuara di kandung kemih yang juga disebut buli-buli atau vesika urinaria. Urin
dikeluarkan dari kandung kemih melalui urethra. 3

Komponen vaskular
Arteriol aferen : membawa darah ke glomerolus
Glomerolus : suatu kuntum kapiler yang menyaring plasma bebas protein ke dalam
komponen tubulus
Arteriol eferen : membawa darah dari glomerolus
Kapiler peritubulus : mendarahi jaringan ginjal; terlibat dalam pertukaran dengan
cairan di lumen tubulus

Gambar 2. Nefron ginjal

Komponen tubular

Kapsula Bowman : mengumpulkan filtrat glomerolus

Tubulus proksimal : reabsorpsi dan sekresi tak terkontrol bahan-bahan tertentu terjadi

Ansa Henle : membentuk gradien osmotik di medula ginjal yang penting bagi
kemampuan ginjal untuk menghasilkan urin dengan konsentrasi garam

Tubulus distal dan duktus koligentes : reabsorpsi terkontrol beragam Na + dan H2O
serta sekresi K+ dan H+ terjadi disini; cairan yang meninggalkan duktus koligentes
adalah urin, yang masuk ke pelvis ginjal.4

Komponen kombinasi vaskular/tubular

4
Aparatus jukstaglomerolus : menghasilkan bahan-bahan yang berperan dalam kontrol
fungsi ginjal.
Ginjal melakukan fungsi-fungsi spesifik berikut, yang sebagian besar membantu
mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal.
1)
Mempertahankan keseimbangan H2O di tubuh
2)
Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui regulasi
keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-fluks osmotik masuk
atau keluar sel, yang masing-masing dapat menyebabkan pembengkakan atau
penciutan sel yang merugikan.
3)
Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk natrium (Na +),
klorida (Cl-), kalium (K+), kalsium (Ca2+), ion hidrogen (H+), bikarbonat (HCO3-),
fosfat (PO43-), sulfat (SO42-), dan magnesium (Mg2+). Bahkan fluktuasi kecil
konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat berpengaruh besar. Sebagai
contoh, perubahan konsentrasi K+ CES dapat menyebabkan disfungsi jantung yang
mematikan.
4)
Mempertahankan volume plasma yang tepat, penting dalam pengaturan jangka
panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran regulatorik ginjal
dalam keseimbangan garam (Na+ dan Cl-) dan H2O.
5)
Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh yang tepat dengan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- di urin.
6)
Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir (sisa) metabolisme tubuh,
misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk maka bahan-bahan
sisa ini menjadi racun, terutama bagi otak.
7)
Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan, pestisida, dan
bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
8)
Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel darah
merah.
9)
Menghasilkan renin, suatu hormon enzim yang memicu suatu reaksi berantai yang
penting dalam penghematan garam oleh ginjal
10)
Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.4

Ginjal adalah organ ekskresi pada sebagian besar produk sisa metabolisme termasuk
beberapa agen anestesi. Homeostasis, bergantung pada ginjal lebih dari organ lain di tubuh.
Cairan, elektrolit, dan keseimbangan asam-basa berkaitan secara langsung dengan fisiologi

5
ginjal. Tiga proses dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi glomerolus, reabsorpsi tubulus, dan
sekresi tubulus.5
Filtrasi adalah tahap pertama pada pembentukan urin. Lebih dari 500 ml darah masuk
ke ginjal per menit memproduksi sekitar 120 ml filtrat per menit. Sebagian besar filtrat
dipengaruhi oleh tekanan darah glomerolus, kapiler, dan permeabilitas dinding kapsula. Tiga
perbedaan tekanan yang menentukan keefektifan tekanan filtrasi, yaitu tekanan hidrostatik
glomerolus, tekanan osmotik koloid darah, tekanan hidrostatik kapsula.5
Tekanan osmotik koloid kapsula ketika terdapat penyakit ginjal mungkin menjadi
faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerolus yang memungkinkan molekul protein
difusi secara mudah dan masuk ke dalam kapsula Bowmans. Tekanan hidrostatik
glomerolus juga dipengaruhi oleh perubahan tekanan darah sistemik akibat efek anestesi.
99% filtrat diabsorpsi melalui dinding tubulus yang berlekuk-lekuk, ansa Henle, dan duktus
kolektivus bagian distal. Air, glukosa, asam amino, sodium, klorida, bikarbonat, dan partikel
yang lainnya diabsorbsi. Osmosis, difusi dan transpot aktif terjadi pada fase ini. Lebih dari
80% reabsorpsi berlangsung pada tubulus proksimal. 5

Regulasi dari keseimbangan asam-basa adalah fungsi penting dari ginjal. Ginjal dapat
mengubah permeabilitas dari sel tubulus untuk mensekresi hidrogen dan ammonia. Hal ini
mengubah keasaman urin yang berlangsung terutama di tubulus distal. Potassium juga
diekskresikan di tubulus distal. Obat-obatan seperti penicilin dan para-aminohippuric acid
(PAH) juga disekresikan oleh tubulus. Sekresi tubulus dapat dinilai dengan mengukur jumlah
PAH yang diekskresikan di urin.Volume urin yang diekskresikan ditentukan oleh hormon
ADH dan aldosteron. Hormon-hormon ini meregulasi sejumlah air yang diabsorpsi oleh
tubulus distal. 5

2.4. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung

6
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadinya kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemi, gangguan keseimbangan elektolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal atau transplantasi
ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.2
2.5 Fungsi Ginjal
Taksiran akurat pada fungsi ginjal tergantung pada determinasi laboratorium. Gangguan
renal (renal impairment) bisa mengarah pada disfungsi glomerulus, fungsi tubulus atau
obstruksi traktus urinarius. Karena abnormalitas fungsi glomerulus disebabkan adanya
gangguan yang hebat dan dapat dideteksi, tes laboratorium yang dapat digunakan adalah
yang berhubungan dengan GFR (glomerular filtration rate).6

7
8
1) BUN (Blood Urea Nitrogen)
Sumber utama urea dari tubuh adalah hati. Pada saat katabolisme protein, amonia
diproduksi dari deaminasi asam-asam amino. Konversi hati ke urea mencegah
pembentukan dari toksik amonia : 2NH3 + CO2 H2N CO NH2 + H2O
BUN adalah berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan
terbalik dengan GF. Hasilnya, BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan untuk
perhitungan GFR kecuali katabolisme protein normal dan konstan. Lebih lagi, 40%-50%
dari filtrat secara normal di reabsorpsi secara pasif oleh tubulus renal.
Konsentrasi BUN normal adalah 10 20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah bisa
didapati pada starvasi dengan penyakit hati. Peningkatan biasanya disebabkan oleh
berkurangnya GFR atau meningkatnya katabolisme protein. Selanjutnya mungkin
berlanjut pada status katabolisme tinggi (trauma atau sepsis), degradasi darah baik pada
traktus digestif atau hepatoma besar, atau diet tinggi protein. Konsentrasi BUN yang
lebih besar dari 50 mg/dl biasanya berhubungan dengan renal impairment.6
2) Serum Kreatinin
Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang tanpa enzim dikonversi ke
kreatinin. Produksi kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif konstan dan
berhubungan dengan massa otot, rata-rata 20-25 mg/kg pada pria dan 15-20 mg/kg pada
wanita. Kreatinin lalu difiltrasi (dan pada perpanjangan sekresi) tapi tidak di reabsorpsi di
ginjal (lihat chapter 31). Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan
massa otot tubuh tapi berkebalikan dengan GF. Oleh karena massa otot tubuh biasanya
konstan, pengukuran kreatinin serum biasanya berdasarkan indeks GFR. Konsentrasi
kreatinin serum normal adalah 0.8 1.3 Mg/dl pada pria dan 0.6-1 Mg/dl pada wanita.
Catatan dari figure 32.1 yaitu pada setiap penggandaan pada kreatinin serum
menunjukkan penurunan GFR 50%. Makan daging dalam jumlah besar, terapi simetidin,
peningkatan asetoasetat (seperti pada ketoasidosis) bisa meningkatkan pengukuran pada
kreatinin serum tanpa perubahan di GFR. Daging meningkatkan muatan kreatinin dan
konsentrasi asetosetat tinggi yang mempengaruhi metode laboratorium yang biasa pada
pengukuran kreatinin. Simetidin tampak menginhibisi sekresi kreatinin oleh tubulus-
tubulus ginjal.6

9
GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5% per
dekade setelah umur 20 tahun), tapi karena massa otot juga menurun, kreatinin serum
tetap relatif normal; produksi kreatinin bisa menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien yang
tua, peningkatan kecil dari kreatinin serum bisa menunjukkan perubahan besar pada
GFR. Menggunakan usia dan berat badan (dalam kg), GFR bisa diperkirakan dengan
formula / rumus untuk pria.
[( 140 umur ) x BB]
CrCl = ---------------------------
72 x kreatinin plasma
Untuk wanita, persamaan tadi dikali dengan 0,85 untuk mengkompensasi
perbedaan kecil pada massa otot. Konsentrasi serum kreatinin memerlukan 48-72 jam
untuk menyeimbangkan pada level baru yang berhubungan dengan perubahan akut pada
GFR.6

3) Bun : Rasio Kreatinin


Aliran yang rendah dari tubulus ginjal membantu reabsorpsi urea namun tidak
mempunyai efek pada ketetapan kreatinin. Sebagai hasil, rasio BUN terhadap kreatinin
serum meningkat diatas 10:1. Penurunan aliran tubulus bisa disebabkan oleh penurunan
perfusi ginjal atau obstruksi traktus urinari. BUN : kreatinin rasio lebih dari 15:1 dapat
dilihat pada kekurangan volume dan pada edema dengan gangguan yang berhubungan
dengan berkurangnya aliran tubular (seperti pada gagal jantung, sirosis, nefrotik
sindrome) dan juga pada obstruksi uropati. Peningkatan katabolisme protein bisa
meningkatkan rasio ini.6

4) Creatinin Clearance
Pengukuran CrCl adalah metode yang paling akurat yang tersedia untuk menilai
secara klinik keseluruhan fungsi ginjal.Walaupun biasanya pengukuran setelah 24 jam, 2
jam adalah akurat dan lebih mudah dilakukan. Mild renal impairment berdasarkan CrCl
40-60 mL/min. Clearances antara 25 dan 40 mL/min membentuk disfungsi renal
moderate dan hampir biasanya menyebabkan simptom. CrCl kurang dari 25 mL/min
merupakan indikasi dari gagal ginjal.

10
Penyakit ginjal progresif mempertinggi sekresi kreatinin pada tubulus proksimal.
Sebagai hasil, dengan penurunan fungsi ginjal CrCl secara progresif melebihi perkiraan
GFR sebenarnya. Terlebih lagi, pemeliharaan relatif dari GFR bisa terjadi lebih awal
penyakit ginjal yang progresif akibat dari kompensasi hiperfiltrasi pada nefron-nefron
dan peningkatan tekanan filtrasi glomerulus. Oleh karena itu penting untuk melihat tanda-
tanda lain dari perburukan fungsi ginjal seperti hipertensi, proteinuria atau abnormalitas
dari sedimen urin.6
Kelompok pasien berdasarkan fungsi glomerulus6
Creatinin Clearance (mL/mnt)

Normal 100-120

Penurunan cadangan ginjal 60-100

Kerusakan ginjal ringan 40-60

Insufisiensi ginjal sedang 25-40

Gagal ginjal < 25

Penyakit ginjal tingkat akhir < 10

5) Urinalisis
Selanjutnya urinalisis adalah tes rutin yang paling biasa dilakukan untuk evaluasi
fungsi renal. Walaupun penggunaan untuk tujuan itu dipertanyakan, urinalisis bisa
membantu untuk identifikasi beberapa gangguan pada disfungsi tubulus ginjal maupun
beberapa gangguan nonrenal. Urinalisis rutin termasuk pH,berat jenis(BJ), deteksi dan
kuantitas glukosa, protein, bilirubin dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sedimen urin.
PH urin membantu bila pH arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 pada sistemik
asidosis memberi kesan asidosis tubulus renal. BJ (berat jenis) berhubungan dengan
osmolalitas urin 1,010 biasanya berhubungan dengan 290 mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018
setelah puasa 1 malam merupakan indikasi adekuatnya kemampuan ginjal dalam
mengkonsentrasi. BJ yang lebih rendah memperlihatkan hiperosmolality dari plasma
yang konsisten dengan diabetes insipidus.6
Glikosuria adalah hasil dari ambang batas bawah glukosa pada tubulus rendah
( normal 180 mg/dl) atau hiperglikemia. Proteinuri dideteksi dengan urinalisis rutin yang
11
seharusnya dievaluasi pada pengumpulan urin 24 jam. Ekskresi protein urin lebih dari
150 mg/dl adalah signifikan. Peningkatan level bilirubin pada urin terlihat pada obstruksi
biliari.
Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya sel darah merah
atau sel darah putih, bakteri, cast, dan kristal.Sel darah merah mungkin mengindikasikan
perdarahan akibat tumor, batu, infeksi, koagulopati atau trauma. Sel putih dan bakteria
biasanya berhubungan dengan infeksi. Proses penyakit pada level nefron membentuk
tubular cast. Kristal mungkin mengindikasikan abnormalitas pada asam oksalat, asam
urat atau metabolisme kistin.

2.6 Anestesia Pada Pasien Dengan Gagal Ginjal


Pertimbangan Pre Operasi
a. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara cepat yang menghasilkan
penumpukan dari sampah nitrogen (azotemia). Zat ini sebagian besar bersifat racun,
dihasilkan oleh metabolisme protein dan asam amino. Termasuk urea, senyawa guanidine
(termasuk creatin dan creatinin), asam urat, asam amino alifatik, berbagai jenis peptida
dan metabolisme dari asam amino aromatik. Metabolisme ginjal yang terganggu pada
sirkulasi protein dan peptida juga memegang peranan dalam meluasnya disfungsi organ.
Azotemia dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penyebabnya yaitu
prerenal, renal, dan postrenal. Prerenal azotemia disebabkan penurunan fungsi ginjal
yang akut dalam perfusi ginjal. Renal Azotemia biasanya mengarah pada penyakit ginjal
intrinsik, renal iskemia atau nefrotoxin. Postrenal Azotemia diakibatkan oleh karena
adanya obstruksi atau gangguan pada saluran kemih. Azotemia renal dan postrenal
bersifat reversible pada tahap inisial namun jika dibiarkan terus menerus akan
menyebabkan azotemia renal. Kebanyakan pasien dewasa dengan gagal ginjal akan
terjadi oliguria. Pasien yang nonoliguri (yaitu pasien dengan urin output >400mL/hari)
terus menerus membentuk urin yang secara kualitatif miskin, pada pasien ini cenderung
memiliki pemeliharaan yang cukup baik dari GFR. Walaupun filtrasi glomerulus dan
fungsi tubulus terganggu, kelainannya untuk cenderung buruk lebih sedikit pada gagal
ginjal nonoliguri.6

12
Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe oliguria
bertahan sampai 2 minggu dan diikuti oleh fase diuretik yang ditandai dengan adanya
peningkatan yang progresif pada urin output. Fase diuretik ini sering menghasilkan
sangat banyaknya urin output dan biasanya tidak ditemui pada gagal ginjal yang non
oligurik. Fungsi urinari semakin baik dalam beberapa minggu namun bisa tetap bertahan
tidak kembali normal sampai 1 tahun.6

b. Gagal Ginjal Kronis


Sindroma ini dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah hipertensi
nefrosklerosis, diabetik nefropati, glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik.

Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan
terlihat setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens dibawah 10
mL/menit (sering disebut dengan end stage renal disease) akan bergantung kepada dialisis
untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi. Dialisis dapat berbentuk intermittent
hemodialysis melalui arteriovenous fistula atau dialisis peritoneal yang terus menerus
melalui kateter yang diimplantasikan.6

Manisfestasi Uremia
Neurological Cardiovascular
Peripheral neuropathy Fluid overload
Autonomic neuropathy Congestive heart failure
Muscle twitching Hypertension
Encephalopathy Pericarditis
Asterixis Arrhythmia
Myoclonus Conduction blocks
Lethargy Vascular calcification
Confusion Accelerated atherosclerosis
Seizures Metabolic
Coma Metabolic acidosis
Pulmonary Hyperkalemia
Hyperventilation Hyponatremia
Interstitial edema Hypermagnesemia
Alveolar edema Hyperphosphatemia
Pleural effusion Hypocalcemia
Gastrointestinal Hyperuricemia
Anorexia Hypoalbuminemia
13
Nausea and vomiting Hematological
Delayed gastric emptying Anemia
Hyperacidity Platelet dysfunction
Mucosal ulcerations Leukocyte dysfunction
Hemorrhage Skin
Adynamic ileus Hyperpigmentation
Endocrine Ecchymosis
Glucose intolerance Pruritus
Secondary hyperparathyroidism Skeletal
Hypertriglyceridemia Osteodystrophy
Periarticular calcification

Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Banyak pasien
yang menjalani dialisis setiap hari umumnya merasa normal dan beberapa tidak terjadi
discoloration yang berkaitan dengan tahap akhir penyakit ginjal dan dialisis. Mayoritas pasien di
dialisis 3 kali perminggu.6
Sayangnya, semakin lama biasanya komplikasi uremia sukar disembuhkan. Lebih lagi,
beberapa komplikasi berhubungan langsung dengan proses dialisis tersebut. Hipotensi,
neutropenia ,hipoksemia ,sindroma disequilibrium bersifat sementara dan hilang beberapa jam
setelah dialisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi selama dialisis termasuk efek
vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati otonom dan pergerakan yang cepat dari cairan.
Interaksi antara sel darah putih dengan membran derivat dialisis cellophane akan mengakibatkan
neutropenia dan leukocyte-mediated pulmonary disfunction menyebabkan hipoksemia. Sindroma
disequilibrium dikarakteristikkan oleh gejala neurologis sementara yang berhubungan dengan
penurunan dengan cepat osmolaritas ekstraselular dari osmolaritas intraselular.6

2.7 Manifestasi dari Gagal Ginjal


A. Metabolik
Pasien dengan gagal ginjal yang jelas dapat berkembang mengakibatkan
abnormalitas dari metabolik yang multipel termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia,
hipokalemia, hipermagnesemia, hiperuricemia, dan hipoalbuminemia. Retensi air dan
natrium akan mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia dan cairan ekstra seluler
yang berlebihan. Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil

14
mengakibatkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi. Hipernatremia dan
hipokalemia adalah komplikasi yang jarang.
Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek
pada jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin klirens < 5
mL/menit, namun dapat berkembang secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih
tinggi oleh karena dengan masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi atau
konsumsi kalium).
Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat
(umumnya dari antasida yang mengandung magnesium).Hipokalsemia terjadi dengan
sebab yang tidak diketahui. Mekanisme yang diakibatkan oleh deposit kalsium ke tulang
secara sekunder oleh karena hiperphospatemia, resistensi dari hormon paratiroid dan
penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan sintesa renal dari 1,25-
dihidroksi kolekalsiferol.Gejala dari hipokalsemia jarang berkembang kecuali pasien
dalam kondisi alkalosis.
Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan sehingga
menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan dialisis (terutama
dialisis peritonium) juga berperan.6

B. Hematologik
Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi
hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan
produksi sel darah merah, dan menurunkan pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk
perdarahan saluran cerna, hemodilusi, dan penekanan sumsum tulang dari infeksi
sebelumnya. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat sampai 9
gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat
mengoreksi anemia. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam
penurunan kapasitas pembawa oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari
hemoglobin. Asidosis metabolik juga mengakibatkan pergeseran ke kanan pada kurva
oksigen-hemoglobin dissosiasi. Tanpa adanya penyakit jantung yang symptomatik
beberapa pasien dapat mentoleransi anemia secara baik.

15
Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal.
Secara klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan
gampang terkena infeksi. Pada pasien dengan penurunan aktivitas platelet faktor III, dan
juga penurunan ikatan dan agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga memiliki
efek sisa antikoagulan dari heparin.6

C. Kardiovaskuler
Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen
delivery pada penurunan kapasitas pembawa oksigen. Retensi natrium dan abnormalitas
pada sistem renin angiotensin berakibat pada hipertensi sistemik arteri. Left ventrikuler
hipertropi umum dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang berlebihan
oleh karena retensi natrium bersamaan dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu
oleh karena anemia dan hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema
pulmonum. Peningkatan permeabilitas dari membran kapiler alveoli dapat menjadi faktor
predisposisi. Blok konduksi sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium
dari sistem konduksi. Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan
metabolik. Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa
asimptomatis, yang ditandai dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya tamponade
jantung. Pasien dengan gagal ginjal kronis juga dikarakteristikan dengan peningkatan
pembuluh darah perifer dan penyakit arteri koroner.6
Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal
akut jika replacement cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak
cairan yang terlalu banyak dikeluarkan ketika dialisis.

D. Pulmonary
Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan
ventilasi permenit untuk mengkompensasikan asidosis metabolik. Cairan ekstravaskular
pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema, mengakibatkan
perluasan gradien alveolar ke arterial oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia.
Peningkatan permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan

16
edema paru walaupun dengan tekanan kapiler paru yang normal, karakteristik pada foto
toraks menyerupai butterfly wings.6

E. Endokrin
Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari
resistensi perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah
besar dan jarang menggunakannya.Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien
dengan gagal ginjal kronis dapat mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat
menyebabkan fraktur. Kelainan pada metabolisme lemak sering mengakibatkan
hipertrigliseridemia dan kemungkinan berperan dalam atherosklerosis. Peningkatan dari
tingkat protein dan polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di ginjal sering
terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon paratiroid, insulin, glukagon, growth
hormon, luteinizing hormone, dan prolaktin. 6

F. Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan
azotemia. Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan
perdarahan saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien. Penundaan
pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat mencetuskan
adanya aspirasi perioperatif. Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden
terhadap virus hepatitis (tipe B dan C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik.6

G. Neurologis
Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari
uremik encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia.
Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal
kronis. Neuropati perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas distal bagian
bawah.6

2.8 Penatalaksanaan Anestesi Umum Pada Gagal Ginjal

1. Evaluasi Preoperatif

17
Tujuan dari persiapan preoperatif pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah
untuk mengidentifikasi kelainan yang sudah ada sebelumnya dalam rangka
meminimalkan resiko dari anestesi dan pembedahan. Hal ini memerlukan pendekatan
yang melibatkan dokter anestesi, dokter bedah dan dokter ahli ginjal. Karena gagal ginjal
kronik melibatkan seluruh sistem organ, maka penting untuk mengidentifikasi kelainan
pada organ yang sudah ada sebelumnya.7

Beberapa hal yang harus di perhatikan pada preoperatif pasien dengan gagal
ginjal adalah:

Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari uremia
harus dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya
dibutuhkan.

Evaluasi fisik dan laboratorium harus difokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan.
Tandatanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan
volume intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan
berat pasien sebelum dan sesudah dialisis mungkin membantu.

Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis.

Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi
status asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.

EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau
hipokalimia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi.

Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien


dibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi fraksi
dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan
abnormal pembuluh darah, dan cairan perikard adanya gesekan bisa tidak terdengar
pada auskultasi pada pasien dengan efusi perikard.

Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia
berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi
diperkirakan.

Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan


regional anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat
menentukan keadekuatan dialisis.

18

Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk
terapi insulin perioperatif.

Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati otonom pada
beberapa pasien bisa mempengaruhi pasien-pasien GGK untuk terjadinya aspirasi
pada perioperatif

Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal.
Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan
untuk mencegah toksisitas obat.8

2. Premedikasi

` Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anesthesia dengan tujuan


untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi. Obat-obatan untuk
premedikasi antara lain:

1) Barbiturat

Kini barbiturat jarang digunakan untuk premedikasi, kecuali phenobarbital yang


masih dipakai pada pasien epilepsi anak-anak dan dewasa. Sebanyak 24 persen
phenobarbital di eksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan.8

2) Belladonna Alkaloid (beserta substitusinya)

Sekitar 20-50 persen dosis atrofin ditemukan tanpa mengalami perubahan di urin
atau dalam bentuk metabolit aktif. Hal yang sama juga ditemukan pada glycopyrrolat.
Sehingga dapat terjadi akumulasi obat-obat tersebut pada pasien dengan gagal ginjal,
pada dosis tunggal tidak menyebabkan masalah klinis. Skompolamin hanya 1/10 yang
ditemukan dalam urin dalam bentuk atrofin . Karena efek terhadap sistem syaraf pusat
yang tidak menguntungkan, skopolamin sebaiknya tidak digunakan sebagai pengganti
atrofin atau glycopyrrolate saat dosis tinggi atau dosis ulangan obat anti muskarinik
diperlukan. Sebagai premedikasi skopolamin memuaskan untuk pasien gagal ginjal.8

3) Senyawa Phenothiazin dan Benzodiazepin

19
Phenothiazin dan derivat benzodiazepine dimetabolime di hepar sebelum
dieksresi. Sehingga, setiap peningkatan nyata durasi atau intensitas aksinya yang
berhubungan dengan pemberian adalah karena efek sistemik umum daripada efek spesifik
obat tersebut. Kerugian dari derivat phenotiazin adalah blokade alpha adrenergik,
sehingga dapat menyebabkan ketidak stabilan kardiovaskular pada pasien yang baru
menjalani dialisa yaitu terjadi hipovolemi.8

4) Opioid

Ikatan protein dengan morfin menurun sekitar 10% pada gagal ginjal. Masalah ini
tidak mengakibatkan suatu perubahan penting dalam fraksi bebas morfin, karena
biasanya ikatan protein hanya kecil (23-42%) dengan volume distribusi yang besar.
Morfin hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar menjadi bentuk inaktif yaitu
glukoronida, yang diekstresikan lewat urin.Sehingga pemberian pada pasien dengan
gagal ginjal terutama pada dosis analgesia tidak menyebabkan depresi yang memanjang.
Meskipun demikian, terdapat laporan depresi respirasi dan kardiovaskular pada pasien
dengan gagal ginjal pada pemberian morfin dosis tunggal 8 mg. Distribusi, ikatan protein
dan eksresi meperidin mirip dengan morfin. Akumulasi metabolit normeperidin dapat
menghasilkan efek eksitasi sistem syaraf pusat yaitu terjadinya konvulsi. Fentanyl juga
dimetabolisme dihepar, hanya 7 % dieksresi tanpa mengalami perubahan diurin. Ikatan
dengan protein plasma moderat (fraksi bebas, 19 persen) dan volume distribusinya besar.
Sehingga fentanyl cocok untuk premedikasi pada pasien dengan gagal ginjal.
Farmakokinetik dan farmakodinamik sufentanil dan alfentanil tidak berbeda secara
signifikan pada pasien dengan pengurangan fungsi ginjal dibandingkan dengan individu
normal.8

Promethazin, 12.5-25 mg intra muskular, berguna sebagai tambahan sedasi dan


anti emetika. Profilaksis untuk aspirasi diberikan H 2 blocker diindikasikan pada pasien
mual, muntah atau perdarahan saluran cerna. Metoclopramide, 10 mg secara oral atau
tetes lambat intravena juga berguna dalam mempercepat pengosongan lambung,
mencegah mual dan menurunkan resiko aspirasi. Pengobatan preoperatif terutama obat
anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.6
20
3. Intraoperatif

Posisi
Posisi pasien untuk prosedur pembedahan sering merupakan kompromi antara
posisi yang dapat ditoleransi pasien, struktural serta fisiologi dan apa yang diperlukan tim
pembedahan untuk dapat mengakses target anatomi pembedahan. Tubuh memberi respon
terhadap perubahan posisi adalah berdasarkan respon terhadap gravitasi. Sebagian besar
perubahan yang berhubungan dengan gravitasi adalah pada darah dan distribusinya
didalam sistem vena, paru dan arteri. Terdapat efek penting pada mekanik dan perfusi
paru yang berhubungan dengan gravitasi. Beberapa kondisi khusus selama operasi salah
satunya adalah posisi pembedahan dapat menyebabkan kegagalan pertukaran gas karena
menurunkan cardiac output sehingga menyebabkan hipoventilasi pada pasien yang
bernafas spontan dan juga dapat mengurangi kapasitas residual fungsional.8

Pada pasien nepherektomi posisi pasiennya adalah posisi Flank. Posisi flank
adalah posisi berbaring lateral dimana tungkai yang terletak dibawah di fleksikan dan
tungkai yang letak diatas flekstensikan. Pada pasien dengan nephrektomi kiri, posisi
pasien adalah dengan miring ke kanan dengan ekstremitas yang di fleksi lateral pada
pinggul adalah kanan.8

Jika ekstremitas bawah difleksikan lateral pada pinggul dan membiarkan


posisinya dibawah jantung, darah akan terkumpul pada pembuluh darah yang distensi
dari tungkai teruntai disebabkan gravitasi menginduksi peningkatan tekanan vena dan
akhirnya terjadi stasis vena. Membalut tungkai dan paha dengan pembalut adalah metode
yang umum untuk mengatasi penumpukan pada vena. Posisi fleksi pada ekstremitas
bawah di lutut dan pinggul dapat secara parsial atau seluruhnya menyumbat aliran darah
vena ke vena cava inferior yang disebabkan oleh angulasi pembuluh darah pada ruang
poplitea dan ligamentum inguinale atau oleh kompresi paha pada perut yang gemuk.8

Posisi tubuh pasien ke arah lateral akan mempengaruhi sistem pernafasan.


Ventilasi paru-paru pada bagian yang lebih rendah akan menurun sedangkan perfusi akan
21
meningkat sehingga menghasilkan ventilasi-perfusi yang tidak seimbang. Posisi ini juga
akan mempengaruhi compliance paru, volume tidal, kapasitas vital, dan kapasitas
residual fungsional. Masalah ini akan diperparah jika pasien memiliki riwayat penyakit
pernafasan. Saturasi oksigen mungkin dapat menurun selama operasi namun dapat
diatasi dengan meningkatkan fraksi inspirasi oksigen atau dengan menerapkan sejumlah
tekanan positif ekspirasi akhir (Positive end expiratory pressure). Gravitasi menyebabkan
pergeseran struktur mediastinum mendorong dinding dada ke bawah sehingga
mengurangi volume paru dependen. Viscera abdomen mendorong diafragma ke arah sisi
bawah cephal jika aksis vertebra horizontal. Gangguan hepatik pada vena cava dan
pergeseran mediastinum dapat lebih menurunkan aliran balik vena dan cardiac output
sehingga menyebabkan perlunya pemantauan kardiovaskular selama pasien dalam posisi
seperti itu.9

Gambar 3. Posisi flank: posisi pasien pada pembedahan ginjal

Neuropati pada pleksus servikal, pleksus brachial, dan saraf peoneal umum
mungkin terjadi pada posisi lateral karena peregangan atau kompresi pada saraf ini. Maka
harus dihindari peregangan pada leher yang terlalu berlebihan dan posisi bahu harus
netral. Pasien sebaiknya diletakkan dimeja operasi dengan bantalan dipunggung dan
difiksasi untuk meyakinkan bahwa posisi pasien tidak berubah selama pembedahan.9

22
Gambar 4. Fiksasi tubuh pasien pada pembedahan ginjal

Monitoring
Pemantauan rutin parameter kardiovaskular dan pernapasan sangat penting karena
risiko masalah terjadi karena posisi pasien saat operasi. Pemantauan invasif tekanan
darah dan tekanan vena sentral dapat digunakan. Keputusan ini tergantung pada kondisi
pre-operasi pasien dan risiko operasi.9

Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara


menyeluruh. Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada
pasien yang hipertensi yang tidak terkontrol. Monitoring invasif yang agresif
diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal berat yang sedang
menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini mungkin memiliki tingkat morbiditas 10
kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa penyakit ginjal.9

Induksi
1) Obat-obat anastesi inhalasi

Agen-agen volatile

Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien-pasien dengan disfungsi renal
karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol
tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal.
Walaupun pasien dengan gangguan ginjal ringan dan sedang tidak menunjukkan
perubahan cepat atau distribusi, percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada
anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya
23
blood gas portion coefficient atau kurangnya MAC. Enflurane dan sevoflurane (dengan
<2 L/min aliran gas) disarankan tidak baik untuk pasien-pasien dengan penyakit ginjal
yang terjadi pada prosedur panjang karena potensi akumulasi fluoride.6

Nitrous Oxide

Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50%
pada pasien-pasien dengan gagal ginjal dalam tujuan untuk meningkatkan penggunaan
O2 arteri pada keadaan anemia. Rasionalisasi ini bisa dilihat hanya pada pasien anemia
berat (Hb <7 gr/dL), bahkan pada peningkatan O2 dissolved mungkin terlihat persentasi
yang signifikan dari O2 arteri terhadap perbedaan O2 vena.6

2) Obat-obat anastesi intravena


Propofol & Etomidate
Farmakokinetik baik propofol dan etomidate tidak mempunyai efeknya secara
signifikan pada gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan protein dari etomidate pada
pasien hipoalbuminemia bisa mempercepat efekefek farmakologi.6

Barbiturat
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal sering terjadi peningkatan sensitivitas
terhadap barbiturat selama induksi walaupun profil farmakokinetik tidak berubah.
Mekanismenya dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan
dengan protein yang berkurang. Asidosis bisa menyebabkan agen-agen ini lebih cepat
masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi non ion pada obat.6

Ketamin
Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa
metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial
akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak
diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.6

Benzodiazepin
Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di
urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa

24
terlihat pada pasien-pasien hipoalbuminemia. Diazepam seharusnya digunakan berhati-
hati pada gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit aktifnya.6

Opioid
Banyak opioid yang biasanya digunakan pada manajemen anestesi (morfin,
meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa
metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak terpengaruh
oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah, kecuali morfin dan
meferidin, akumulasi metabolit biasanya tidak terjadi pada agen-agen ini. Akumulasi
morfin (morfin-6-glucuronide) dan metabolit meperidine pernah dilaporkan
memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal.
Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-
kejang. Farmakokinetik yang sering digunakan dari agonis-antagonis opioid (butorphanol
nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal ginjal.6

3) Obat pelumpuh otot dan antogonisnya

Anastesi umum dengan pelumpuh otot biasa digunakan pada pembedahan ginjal terbuka
atau laparaskopi.

Succinyl choline

SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium
kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot
nondepol sebaiknya digunakan .Walaupun penurunan level pseudocholinesterase
pernah dilaporkan pada beberapa pasien uremik yang mengikuti dialisis, perlamaan
signifikan dari blokade neuromuscular jarang terlihat.6

Cisatracurium, Atracurium, dan Mivacurium

Mivacurium tergantung secara minimal pada ginjal untuk eliminasi. Efek yang sedikit
memanjang dapat dilihat karena menurunnya pseudokolinesterase plasma.
Cisatracurium dan atracurium didegradasi di plasma oleh eliminasi enzim hidrolisis

25
ester dan nonenzim Hofmann. Agen-agen tersebut mungkin merupakan obat pilihan
untuk pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal ginjal.6

Vecuronium dan Rucoronium

Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat
dieliminasi di urine. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya di
perpanjang sedikit pada pasien-pasien renal insufisiensi. Rocuronium secara primer
dieliminasi di hati, tapi perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah
dilaporkan.6

Curare

Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60%
dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin. Peningkatan efek pemanjangan
dilihat pada dosis berulang pada pasien-pasien dengan gangguan renal yang
signifikan. Dosis lebih rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan
untuk rumatan agar pelumpuh otot optimal.6

Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, dan Doxacurium

Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun


pancuronium di metabolisme di hati menjadi metabolit intermediate yang kurang
aktif, eliminasi paruh waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%).
Fungsi neuromuscular harus dimonitor ketat jika obat-obat ini digunakan pada fungsi
ginjal abnormal.6

Metocurine, Gallamine & Decamethonium

Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan
harus dihindari penggunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.6

4) Obat Vasopressor dan Antihipertensi

Pasien dengan penyakit ginjal biasanya hipertensi dan beresiko terjadi ketidak
stabilan kardiovaskular selama operasi. Hipertensi dapat menjadi masalah terutama pada
26
nephrektomi bilateral yang dapat menyebabkan hipertensi yang tidak terkontrol1. Lebih
dari 90 persen thiazid dan 70 persen furosemid dieksresi oleh ginjal dan durasinya
diperpanjang pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.8

Propranolol hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar dan esmolol di


biodegradasi oleh estarase di sitosil sel darah merah, sehingga efeknya tidak diperpanjang
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.8

Obat-obatan kalsium antagonis seperti nifedipin, verapamil dan diltiazem


dimetabolisme dihepar dan menghasilkan produk inert, dapat diberikan pada pasien
dengan insufisiensi ginjal. Metildopa mempunyai durasi panjang disebabkan dieksresi
dalam urin tanpa mengalami perubahan, mekanisme aksi metildopa adalah dengan
mengurangi kadar sentral dan perifer norepinephrin, berinteraksi dengan obat anastesi
sehingga menyebab kan pengurangan MAC (Minimum Alveolar Consentration).
Guantihidin dieksresi hampir sempurna oleh ginjal, sebagian besar dalam bentuk aktif,
pemberiannya dapat mengurangi kadar norepinephrin perifer tapi sentral tidak
terpengaruh, MAC tidak terpengaruhi juga.8

Selama anastesi, jika pengurangan tekanan darah diperlukan, beberapa obat dapat
dipakai dengan aman. Trimethapan (Arfonad) merupakan obat ganglionic bloking yang
diterminasi oleh enzim daripada di eksresi oleh ginjal. Nitrogliserin dapat dipakai karena
cepat dimetabolisme dengan kurang dari 1% dieksresi dalam urin dalam bentuk yang
tidak berubah. Sodium nitroprusida digunakan sebagai obat hypotensi pada tahun 1920an.
Sianida adalah suatu perantara metabolisme sodium nitoprusida dengan thiosianat
sebagai produk akhirnya. Mengingat toksisitas sianida sebagai komplikasi terapi sodium
nitroprussid telah dijelaskan. Thisianat juga potensial toksik, waktu paruh thiosuanat
normalnya lebih dari 4 hari dan memanjang pada gagal ginjal. Hipoksia, nausea, tinnitus,
spasme otot, disorientasi dan psycosis telah dilaporkan pada kadar thiosianan melebihi 10
mg/ 100 mL. Sehingga sodium nitroprussid sedikit diperlukan untuk pemberian lama
daripada trimethapan atau nitroglycerin. Hydralazin aksinya lebih lambat daripada ketiga
obat tadi, tetapi sering dipakai pada pengendalian tekanan darah sesudah operasi. Aksinya
diakhiri oleh hidroksilasi dan glukorondiase di hepar, 15 persen diekresi diurin tanpa
27
mengalami perubahan. Eliminasi waktu paruh hidralazine memanjang pada pasien
uremia, sehingga pada pemberiannya harus hati-hati.8

Pemberian dosis tunggal intravena labetolol 0,5 mg/ kg, volume distribusi, klirens
dan waktu paruh eliminasi sama pada pasien stadium terminal dengan orang normal.
Esmolol dimetabolime di sel darah merah yaitu oleh sitosol esterase.8

Jika diperlukan pemberian vasopressor dapat diberikan, obat yang menstimulasi


langsung alpha adrenergik seperti phenylephrin efektif. Sayangnya pemberian
vasopressor ini menyebabkan pengaruh terhadap sirkulasi ginjal. Meskipun obat-obat
beta adrenergik seperti isoproterenol mempertahankan perfusi ginjal dan otak tanpa
mengakibatkan vasokontriksi ginjal, tetapi juga meningkatkan irratabilitas myocardial.
Sehingga jika memungkinkan adalah dengan mengganti dengan volume darah. Jika tidak
adekuat obat stimulasi alpha adrenergik atau dopamin dapat digunakan.8

5) Obat-obat Psikotropik

Inhibitor monoamin oksidase kadang-kadang dipakai pada pasien dengan


penyakit ginjal untuk menetralkan depresi mental. Ketidak stabilan kardiovaskular dapat
terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat-obatan tersebut. Efek obat-obat tersebut
pada pasien uremia tidak diketahui.8

Pertimbangan umum untuk managemen nyeri pada nyeri urogenital adalah


prinsipnya sama dengan penanggulangan nyeri ditempat lain. Untuk nyeri akut non
maligna, managemen medis merupakan pilihan pertama. Pengobatan narkotik dan non
narkotik seperti asetaminopen, aspirin dan NSAID lainnya indikasi untuk mengendalikan
nyeri akut. Saat pemberian oral tidak memungkinkan, pemberian parenteral narkotik
dapat dipakai. Pasien dikontrol dengan anagesi epidural atau infus epidural terus menurus
mengahasilkan efek analgesi segmental dan mencegah atelektasik.8

Penggunaan narkotik lipofilik versus hydrofilik tergangung pada segmen kateter


epidural berada. Penggunaan analgesi intravena merupakan pilihan berikutnya. Meperidn
sebaiknya dihindari pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal sebab waktu paruh
28
normeperidin (metabolit meporidin dengan ambang batas kejang rendah dan menginduksi
eksitabiltas sistem syaraf pusat) panjang. Hydromorphan merupakan opiat semi sintetik
dianjurkan pada pasien dengan gagal ginjal karena tidak adanya metabolit. Efek
antiprostaglandin dari NSAID mempengaruhi pengaturan aliran darah ginjal pada pasien.
Sehingga pada pasien yang memerlukan NSAID dalam waktu panjang harus dimonitor
fungsi ginjalnya.8

Untuk mengendalikan nyeri kronik non maligna dan maligna melalui tekhnik
intervensi. Infus terus menurus opiat secara epidural menyebabkan fluktuasi kadar obat
dalam cairan serebrospinal minimal. Sebelum pemasangang cateter epidural, nyeri harus
ditangani secara agresif dengan morfin, methadon dan fentanyl transdermal.8

6) Obat-obat Reversal
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine dan
pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal
memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas. Masalah-masalah
dengan tidak adekuatnya reversal dari blokade neuromuscular biasanya dihubungkan
dengan faktor-faktor lain.6

Pemeliharaan
Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek
minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan kompensasi
yang prinsipil dalam mekanisme anemia. Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan.
Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan karena mereka
memiliki efek yang sedikit pada cardiac output. Nitrous oxide harus digunakan secara
hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang lemah dan jangan digunakan pada
pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk pemberian
100% oksigen. Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari
normeperidine. Morfin boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan.6
Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal.
Ventilasi spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan
asidosis respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat
29
menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium di darah
yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva disosiasi
hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan
aliran darah otak.6

Terapi Cairan
Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan
penggantian cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan dengan
kehilangan cairan yang banyak atau pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik,
koloid, atau keduanya. Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang
membutuhkan banyak cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat
digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena intoleransi glukosa yang berhubungan
dengan uremia. Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells. Transfusi darah
tidak memiliki efek atau bisa berguna pada pasien gagal ginjal yang hendak menjalani
transplantasi karena transfusi mungkin dapat mengurangi ketidakcocokan setelah
transplantasi ginjal pada beberapa pasien.6

Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anestesia yang setidaknya sebagian
tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal, modifikasi
dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Efek sistemik
azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini. Observasi
terakhir mungkin bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat, penetrasi ke otak
lebih besar oleh karena perubahan pada sawar darah otak, atau efek sinergis dengan toxin
yang tertahan pada gagal ginjal.6

Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pasien dengan gangguan
ginjal, antara lain:

a)
Muscle relaxants : Metocurine, Gallamine, Decamethonium,
Pancuronium,Pipecurium, Doxacurium, Alcuronium
b)
Anticholinergics : Atropine, Glycopyrrolate
c)
Metoclopramide
d)
H2 reseptor antagonists : Cimetidine, Ranitidine
e)
Digitalis
f)
Diuretics
30
g)
Calcium Channel antagonis : Nifedipine, Diltiazem
h)
Adrenergic blockers : Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol
i)
Anti Hipertensi : Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril,
Hydralazine, Nitroprusside (Thiocyanate)
j)
Antiarrhytmics : Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide
(Genetically determined)
k)
Bronchodilators : Terbutalline
l)
Psychiatric : Lithium
m)
Antibiotics : Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin
n)
Anticonvulsants : Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone.9
4. Postoperatif

Tujuan management postoperative adalah pemeliharaan normovolemia, kestabilan


sistem kardiovaskular, oksigen tambahan untuk mengimbangi kadar hemoglobin yang
rendah, dan analgesik yang tepat. 6 Operasi terbuka biasanya berhubungan secara
signifikan dengan nyeri postoperatif.10 Nyeri postoperatif biasanya ringan sampai
sedang.7 Analgesi yang bagus penting untuk mobilisasi awal dan mengurangi insidensi
komplikasi respirasi sesudah operasi. Infus dengan campuran dosis rendah anastesi lokal
dan opioid memberikan pengurangan nyeri yang terbaik, meskipun pemberian secara
bolus dapat juga dilakukan. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan
gagal ginjal dimana fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat dipakai dengan hati-
hari, pengurangan pada dosis dan interval waktu diantara dua dosis harus dibuat pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (biasanya 0,5 mg bolus dengan interval waktu 10
menit). NSAIDs harus dihindari pada pasien ini disebabkan potensial renal toxicity dan
erosi traktus gastrointestinal.9

31
BAB III

KESIMPULAN

Anastesi pada pasien dengan gagal ginjal baik yang disebabkan oleh prerenal,
renal, maupun post renal harus sangat berhati-hati karena ginjal merupakan organ
ekskresi pada sebagian besar produk sisa metabolisme termasuk beberapa agen anestesi.
Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anestesia yang setidaknya sebagian
tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi. Semua obat anestetik baik abar (volatil)
atau suntikan berpotensi mengganggu fungsi ginjal baik secara langsung atau tidak
langsung akibat perubahan tekanan darah sistemik, curah jantung, lepasan hormon anti
diuretik (ADH), jenis cairan infus yang sedang digunakan, gangguan sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Dengan adanya kerusakan ginjal, diperlukan pertimbangan dalam
pemilihan obat dan modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat
atau metabolit aktif.

32
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Fisiologi Ginjal. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
2nd Ed. Jakarta: FKUI; 2009. p. 21.
2. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata
M, Setiati S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta: InternaPublishing;
2010. p. 1035-40.
3. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Penerbit Buku Kedokteran ECG;
2004. H. 318-21.
4. Sherwood L. Sistem Kemih. In: Yesdelita N, editor. Fisiologi Manusia: dari Sel ke
Sistem. 6th Ed. Jakarta: EGC; 2011. p. 554.
5. Kohl JL. Anesthesia for Patient with Renal Failure. Available at:
http://www.aana.com/newsandjournal/Documents/renal_failure_1085_p431.pdf.
Accessed on December 22th, 2016.
6. GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,. Clinical
Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York; 2006. p: 653-
670
33
7. Rang ST, West NL, Howard J, Cousins J. Anaesthesia for Chronic Renal Disease and
Renal Transplantation. EAU-EBU 2006. doi:10.1006/j.eeus.2006.08.005.

8. Roizen MF, Foss JF, Fischer SP. Preoperative evaluation. In: Miller RD,
editor. Anesthesia. 5th Edition. Philadelphia: Churchill-Livingstone; 2000.

9. Hart, E. M. 2006. Anaesthesia for Renal Surgery. Available at:


http://www.anaesthesiauk.com/. Accessed on December 22th, 2016

34

Anda mungkin juga menyukai