Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. Tarwen
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : menikah
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Sumbang
Tanggal masuk IGD : 21 Januari 2017
Autoanamnesis : 23 Januari2017

II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Batuk darah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan utama batuk disertai
darah merah segar, bercampur buih tidak bercampur makanan. Keluhan
dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk bertambah
jika pasien berkativitas dan membaik jika pasien beristirahat. Keluhan
serupa sempat dialami pasien 1 bulan yang lalu dan sempat berhenti.
Darah bercampur dahak dikeluhkan pasien keluar beberapa kali ketika
pasien batuk sehingga membuat pasien datang ke RSMS.
Pasien juga mengeluhkan mual disertai muntah 2 kali dan nyeri
perut bagian kanan atas yang dirasakan sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Mual muntah dirasakan menggangu aktivitas. Muntah
berisi makanan tanpa ada darah. Mual muncul dan semakin memberat
beberapa jam setelah pasien mengkonsumsi obat yang membuat
kencing berwarna merah yang diberikan di poli paru RSMS.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pada hari Jumat tanggal 6 Januari 2017 pasien berobat di
Poliklinik Paru RSMS dengan keluhan batuk berdahak yang disertai

1
darah yang dirasakan terus menerus. Batuk dirasakan kurang lebih 1
minggu sebelum datang ke rumah sakit tepatnya pertengahan bulan
Desember. Batuk memberat pada saat malam hari dan sangat
mengganggu tidur. Pasien juga mengeluhkan demam dan berkeringat
pada malam hari. Saat itu berat badan pasien turun sampai 4 kg. Pasien
kemudian dilakukan cek dahak dan foto thorak. Seminggu kemudian
pada tanggal 13 pasien berobat lagi ke poli paru dan mendapatkan hasil
BTA positif dan didiagnosis TB paru BTA positif kasus baru dengan lesi
luas dan diberikan OAT 4FDC. Namun setelah 1 minggu
mengkonsumsi OAT pasien mengeluhkan mual, muntah, nyeri perut
serta masih keluar darah saat batuk sehingga di bawa ke IGD RSMS
pata tanggal 21 Januari 2017.

a. Riwayat keluhan serupa : batuk lama


b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat operasi : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Riwayat keluhan serupa : disangkal


b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayatkencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi

a. Community

2
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Rumah satu dengan
yang lain berdekatan. Hubungan antara pasien dengan anggota
keluarga, tetangga dan keluarga dekat baik. Anggota keluarga
pasien yang tinggal satu rumah tidak ada yang memiliki keluhan
batuk yang sama.
b. Home
Pasien tinggal bersama suami dan anaknya. Terdapat 5 orang yang
tinggal 1 rumah dengan pasien, terdiri dari suami, 3 orang anaknya,
yaitu anak pertama SMP kelas 3, anak kedua SD kelas ^ dan anak
ke 3 masih berumur 5 tahun. Rumah pasien berdinding tembok dan
terdapat ventilasi yang cukup. Ventilasi di ruang keluarga dan
ventilasi di kamar sering dibuka. Lantai terbuat dari keramik kecuali
pada kamar pasien. Atap terbuat dari genteng dan tidak
menggunakan eternit. Pasien tidur dengan suaminya.
c. Occupational
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pembiayaan di rumah sakit
menggunakan jaminan kesehatan BPJS.
d. Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 3 kali dengan menu nasi, sayur, lauk-
pauk. Pasien mengaku jarang berolahraga.

III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : baik
b. Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5
c. BB : 40 kg
d. TB : 155 cm
e. Vital sign

3
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 90 x/menit
- RR : 20 x/menit
- Suhu : 36,7oC

f. Status generalias
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris
- Rambut : warna hitam, tidak
mudah dicabut, distribusi merata, tidak
rontok
- Venektasi temporal : (-)
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor
- Exopthalmus : (-/-)
- Lapang pandang : tidak ada kelainan
- Lensa : keruh (-/-)
- Gerak mata : normal
- Tekanan bola mata : nomal
- Nistagmus : (-/-)
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (-)

4
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak, tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan
gerak (-), retraksi (-), jejas (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan
kanan
- Auskultasi : suara dasar vesikuler sama
pada lapang paru kiri dan kanan disertai suara
ronkhi basah halus.
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2
jari medial LMC sinistra
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari
medial LMC sinistra, tidak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II
LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah SIC V 2 jari medial
LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-),
gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : cembung, supel
- Auskultasi : bising usus (+) normal

5
- Perkusi : timpani, tes pekak sisi (-), pekak
beralih (-)
- Palpasi :hepar teraba 3 jari dibawah arcus
costae dextra, NT (+), dan lien tak teraba
9) Ekstrimitas
- Superior : deformitas (-), edema (-/-)
- Inferior : deformitas (-), edema (-/-)
2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium tanggal 29 Juli 2016
- Hb 11,4 gr/dl (L)
- Leukosit 5230/l
- Hematokrit 33 % (L)
- Eritrosit 3,7 juta/l (L)
- Trombosit 566.000/l
- MCV 89,9 fL
- MCH 31,2 pg
- MCHC 34,8 %
- Hitung Jenis
Eosinofil 6,7 % (H)
Basofil 1,0%
Batang 1,3 % (L)
Segmen 59,7 %
Limfosit 23,7 % (L)
Monosit 7,6 %
- Ureum 23,6 mg/dl
- Kreatinin 0,73
- GDS 109
- Na 136
- K 5,1 H
- SGOT 94 H
- SGPT 36
b. Pemeriksaan BTA Tanggal 06 Januari 2017
Pewarnaan ZN 1x
BTA I = 1-9/LBP
LEUKOSIT = POSITIF
EPITHEL = POSITIF
Pewarnaan ZN 2x
BTA II = 1-9/LBP
LEUKOSIT = POSITIF
EPITHEL = POSITIF
Pewarnaan ZN 3x
BTA III= 1-9/LBP
LEUKOSIT = POSITIF

6
EPITHEL = POSITIF
c. Foto Thorax Tanggal 6 Januari 2017

Foto Thoraks AP tanggal 06 Januari 2017


Cor: Tampak normal, CTR <50%
Pulmo: corakan vaskuler normal, tampak bercak pada lapang atas dan parakardial
pulmo kanan, fibrotic (+)
Kesan : Cor tidak membesar
Gambaran TB pulmo
Efusi Pleura Dextra
IV. ASSESSMENT
1. Diagnosis Klinis:
- TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan hemoptisis
- Drug Induce Hepatitis et causa OAT

V. PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
- IVFD RL 10 tpm
- Inj. Ranitidin 2x1 ampul
- Inj. Kalnex 3x500mg
- Inj. Vit K 1x1 Ampul

7
- Inj. Streptomisin 1x750 mg
- P.O Etambutol 500 mg 1x2 tablet setelah makan pagi
- Curcuma 3x1cth
- Terasma sirup 3x1 cth
b. Non Farmakologi
- Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit TB,
pengobatan, penularan, dan komplikasinya.
- Edukasi tentang gaya hidup sehat untuk meningkatkan daya
tahan tubuh dan menunjang proses penyembuhan pasien
seperti makan makanan yang bergizi dan olahraga teratur
- Screening pada anggota keluarga yang lain untuk tindakan
pencegahan dan pengobatan lebih awal jika keluarga lain
sudah tertular.
- Edukasi tentang kebersihan lingkungan rumah, seperti buka
ventilasi setiap hari agar sinar matahari masuk dan terjadi
pertukaran udara.
- Menganjurkan pasien untuk menggunakan masker ketika
berinteraksi
- Edukasi pasien untuk rutin kontrol sebelum obat habis atau
ketika merasakan keluhan mual muntah dan gatal-gatal
2. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 2 bulan pertama
pengobatan, selanjutnya tiap 1 bulan sampai bulan ke-6
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik,
tanda-tanda komplikasi obat.
d. Evaluasi bakteriologis
- Pada pemerikaan awal untuk menegakkan diagnosis

8
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Akhir bulan ke 5 pengobatan
- Pada akhir pengobatan (akhir bulan ke 6)
e. Evaluasi radiologi
- Sebelum pengobatan
- Pada akhir pengobatan
f. Evaluasi efek samping
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal ( ureum, kreatinin)
- Periksa GDS, G2PP, asam urat
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran
g. Evaluasi keteraturan obat
Penyuluhan atau pendidikan mengenai keteraturan minum obat dan
kontrol. Penyuluhan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungan sekitarnya.
3. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
a. Kepatuhan minum obat
b. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
c. Umur penderita
d. Penyakit yang menyertai
e. Resistensi obat

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

9
BAB II
PEMBAHASAN
1. Penegakan Diagnosis
TB dengan Drug Induced Hepatitis e.c Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Anamnesis
Pada pasien ini, keluhan utama berupa batuk disertai darah merah
segar. Selain itu pasien juga mengeluhkan mual, muntah 2x, nyeri perut
sejak mengkonsumsi Obat Anti-Tuberculosis (OAT) yang diperoleh dari
dokter. Keluhan keluhan tersebut dapat terjadi karena efek samping dari
pemberian OAT yang mulai dikonsumsi pasien sejak 1 Minggu sebelum
datang ke IGD RSMS (21/1/17). Dari anamnesis yang telah dilakukan,
pasien mengaku pertama kali mendapatkan OAT pada bulan Januari
Tanggal 13 tahun 2017 dan sempat dikonsumsi selama 1 minggu. OAT
yang pertama kali dikonsumsi pasien merupakan OAT kombinasi dosis
tetap (Fixed Dose CombinationFDC) yang terdiri dari Rifampisin,
Isoniazid, Pirazinamid dan Etambutol. Setelah mengonsumsi OAT selama
1 minggu terakhir, pasien mulai merasakan mual dan muntah yang
semakin memberat. Kemungkinan mual dan perut sakit ini disebabkan
oleh efek samping dari OAT tersebut, karena sebelum mengonsumsi OAT
pasien mengaku tidak pernah mengalami mual, sakit perut, maupun gejala
gastrointestinal lainnya.
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh

10
karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat
ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi simptomatis
maka pengobatan OAT dapat dilanjutkan (PDPI, 2006). Faktor resiko
terjadinya DIH adalah (Mehta, 2014):
1) Ras
Beberapa obat memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras.
Misalnya, kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap
isoniazid (INH).
2) Umur
Orang tua berada pada peningkatan risiko cedera hati karena penurunan
clearance, meningkatnya reaksi antar obat, berkurangnya aliran darah
menuju hati, variasi dalam pengikatan obat, dan volume yang lebih
rendah dari hati.
3) Jenis Kelamin
DIH lebih sering terjadi pada wanita dengan alasan yang belum jelas.
4) Mengkonsumsi alkohol
Orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan terhadap terjadinya
toksisitas obat karena alkohol menyebabkan kerusakan hati yang
mengubah metabolisme obat.
5) Penyakit hati
Penyakit hati yang sudah ada sebelumnya tidak harus membuat pasien
lebih rentan terhadap kerusakan hati yang diinduksi obat, tapi hal ini
membuat kemampuan hati untuk memulihkan cedera hati lebih sulit.
Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan hepatitis, memiliki
risiko lebih untuk terjadinya efek hepatotoksik ketika diobati dengan
terapi antiretroviral.
6) Faktor genetik
Setiap orang mempunyai variasi dalam ekspresi gen sitokrom P450
2) Komorbiditas lain
Orang dengan AIDS dan orang yang kekurangan gizi dapat lebih mudah
mengalami reaksi obat.

11
3) Formulasi obat
Obat dengan aktivasi long-acting obat lebih berisiko menyebabkan
cedera pada hepar dibandingkan obat yang short-acting.
Efek samping ringan dari Isoniazid dapat berupa tanda-tanda
keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri
otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis
100 mg/hari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut
pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi
piridoksin (syndrome pellagra). Efek samping berat dapat berupa DIH
yang terjadi pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi DIH, OAT harus
berhenti dikonsumsi dan pengobatan dilakukan sesuai dengan pedoman
TB pada keadaan khusus (PDPI, 2011).
Pada Rifampisin, efek samping khasnya adalah warna merah pada
air seni, keringat, air mata, dan air liur. Hal ini tidak berbahaya dan perlu
diedukasikan kepada pasien agar pasien tidak khawatir Efek samping
ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis
ialah Flu Like Syndrome (demam, menggigil, dan nyeri tulang), Dispepsi
(sakit perut, mual, anorexia, dan muntah, gatal-gatal dan kemerahan.
Selain itu bisa juga terjadi efek samping yang berat namun jarang terjadi
seperti (PDPI, 2011):
a. DIH, bila terjadi hal tersebut, pengobatan OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan harus dilakukan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus.
b. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan
jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang.
c. Gangguan pada sistem respirasi yang ditandai dengan sesak nafas.
Pada Pirazinamid, Efek samping utama adalah DIH. Nyeri sendi
juga dapat terjadi dan kadang-kadang dapat menyebabkan arthritis gout.
Hal ini kemungkinan disebabkan pirazinamid menyebabkan berkurangnya
ekskresi sehingga menyebabkan terjadinya penimbunan asam urat. Kadang

12
- kadang bisa terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang
lain (PDPI, 2011).
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman serta buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian gangguan pada okuler tersebut bergantung dari dosis
yang dipakai. Pada dosis 15-25 mg/kgBB/hari atau 30 mg/kgBB yang
diberikan 3 kali seminggu efek samping jarang terjadi. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan (PDPI, 2011).
Efek samping utama dari Streptomisin adalah kelainan Nervus VIII
(Nervus Vestibulocochlearis) yang berkaitan dengan keseimbangan dan
pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan
meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala
efek samping yang muncul adalah telinga berdenging (tinnitus), pusing,
dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gram. Jika pengobatan
diteruskan makan kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap.
Reaksi hipersensitivitas yang kadang dapat terjadi yaitu berupa demam
yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah, dan eritema pada kulit
(PDPI, 2011).
Efek samping sementara dan ringan seperti kesemutan sekitar
mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setalah suntikan.
Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gram.
Streptomisisn dapat menembus sawar plasenta sehingga merupakan
kontraindikasi pada ibu hamil karena dapat merusak saraf pendengaran
janin (PDPI, 2011). Diagnosis DIH berdasarkan (Mehta, 2014):
a. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata
adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5
hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari
dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari
penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat:

13
b. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif
(penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas
atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim
hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan
180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
c. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan
teliti, termasuk biopsy hati pada tiap kasus
d. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang
sama paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi
atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif
pada pemaparan ulang obat. (Mehta, 2014)
b. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri
BB : 40 kg
TB : 155 cm
IMT : 17.1 (underweight)
2) Vital Sign
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 36,1 oC
Pemeriksaan Pulmo
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru hepar di SIC IV LMCD
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (+/+)
Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Datar

14
- Auskultasi : BU (+) N
- Perkusi : Timpani, Pekak Alih (+), Pekak Sisi (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (+) region hipokondriaka sinistra,
Hepar teraba 3 jari BACD tepi tajam, permukaan
rata, konsistensi kenyal, Lien tidak teraba
Dari pemeriksaan fisik pasien ini, hasil menunjukkan adanya
kelainan yang mengarah ke diagnosis TB dan DIH. Secara klinis, pasien
menujukkan klinis berupa mual, nyeri perut, dan hepatomegali setelah
mengkonsumsi obat OAT. Selain itu peningkatan kadar enzim hati
mengarah pada diagnosis Drug Induced Hepatitis (DIH) yang disebabkan
oleh OAT.
c. Pemeriksaaan Penunjang
Foto Thoraks AP tanggal 06 Januari 2017
Cor: Tampak normal, CTR <50%
Pulmo: corakan vaskuler normal, tampak bercak pada lapang atas dan parakardial
pulmo kanan, fibrotic (+)

2. Tindak Lanjut Penanganan Pasien


a. Terapi
Pasien merupakan pasien TB yang mengalami DIH, maka
pengobatan OAT dihentikan segera, terutama OAT yang bersifat
hepatotoksik yaitu RHZ dengan memonitor klinis dan laboratorium. Pada
pasien ini, kadar bilirubin, SGOT, dan SGPT kembali normal sehingga
pasien dicoba desensitisasi rifampisin dan isoniazid agar panduan
menjadi RHES (PDPI, 2011).
Ketika pasien dengan TB mengalami DIH karena OAT, obat yang
berpotensi hepatotoksik (rifampisin, isoniazid dan pirazinamid) harus
dihentikan. Pasien seperti ini harus diobati dengan OAT non-
hepatotoksik, seperti etambutol, streptomisin dan fluorokuinolon, sampai
fungsi hati normal. Pada pasien yang telah mengalami DIH karena OAT,
pasien harus dikenalkan kembali dengan obat - obat hepatotoksik yang
sama yang telah terlibat dalam penyebab dari DIH ketika fungsi hati
sudah kembali normal (Sharma et al., 2012).
b. Monitoring

15
Mencegah terjadinya perburukan pada pasien dan menilai
keberhasilan terapi, maka perlu dilakukan evaluasi klinis meliputi
keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik. Pasien dievaluasi setiap 2
minggu pada 1 bulan pertama pengobatan. Evaluasi yang dilakukan
berupa respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
komplikasi penyakit. Hal ini disebabkan obat-obat yang termasuk dalam
OAT memiliki banyak efek samping. Evaluasi dapat dilihat dari keadaan
klinis pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti tes fungsi hati,
fungsi ginjal, gula darah, asam urat, tes visus dan uji buta warna, dan tes
pendengaran dan keseimbangan. Monitoring pasien dilakukan juga
berdasarkan radiologi (rontgen thorax), yaitu sebelum pengobatan,
setelah 2 bulan pengobatan, dan di akhir pengobatan (PDPI, 2011).
Hasil dari tes fungsi hati juga harus dievaluasi, seperti (Mehta, 2014):
1) Bilirubin (total) untuk mendiagnosa jaundice dan menilai keparahan
ikterik
2) Bilirubin (tak terkonjugasi) untuk menilai hemolisis
3) SGOT Untuk mendiagnosa penyakit hepatoseluler dan menilai
perkembangan penyakit
4) SGPT relatif lebih rendah dibandingkan AST pada orang dengan
alkoholisme
5) Albumin untuk menilai keparahan cedera hati (infeksi HIV dan
malnutrisi dapat membuat bias pemeriksaan ini).
Kemungkinan penularan pada keluarga pasien sangat besar,
sehingga perlu dilakukan edukasi dan motivasi skrining TB paru terhadap
anggota keluarga yang lain dan tetangga sekitar. Perlu juga dijelaskan
bahwa TB dinyatakan sembuh apabila memenuhi kriteria BTA
mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan), telah mendapatkan pengobatan yang adekuat, pada foto
thorak dan gambaran radiologi serial tetap sama/terdapat perbaikan dan
bila ada fasilitas biakan, maka kriteria sembuh ditambah hasil biakan
negatif. Dalam menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang
Pengawas Minum Obat (PMO). Syarat-syarat PMO antara lain (PDPI,
2011):

16
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
b. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di
Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain.
Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat
berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh
masyarakat lainnya.
PMO berperan penting dari keberhasilan pengobatan pasien TB.
PMO memiliki beberapa tugas, yaitu (PDPI, 2011):
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan (6 9 bulan)
b. Memberi dorongan dan semangat kepada pasien berupa nasehat
nasehat
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain
d. Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai
penyakit TB dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-
gejala mencurigakan TB agar melakukan pemeriksaan.
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya (PDPI, 2011):
a. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
b. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke pelayanan kesehatan.
Selain itu, penularan bakteri tuberkulosis harus diperhatikan.
Pasien tinggal bersama seoarang suami dan seorang anak yang masih
berusia 20 bulan. Kemungkinan penularan pada keluarga pasien sangat
besar sehingga perlu dilakukan skrining TB paru terhadap anggota
keluarga yang satu rumah. Setelah dinyatakan sembuh, pasien tetap perlu
dilakukan evaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, untuk

17
mengetahui ada tidaknya kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
sputum BTA dan foto toraks. Sputum BTA dilakukan pada 3, 6, 12, 24
bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks dilakukan 6, 12, 24
bulan setelah dinyatakan sembuh (PDPI, 2011).

18
BAB III
KESIMPULAN

1 Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis.
2 Penegakan diagnosis penyakit TB berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3 Klasifikasi penyakit TB menentukan jenis terapi yang akan diberikan
kepada pasien.
4 Pengobatan TB menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) dapat
menimbulkan efek samping, salah satunya adalah Drug Induced Hepatitis
(DIH)
5 Monitoring dan evaluasi selama pengobatan TB yaitu dari keadaan klinis,
sputum bakterilogis, foto radiologis, efek samping obat, dan keteraturan
pengobatan
6 Efek samping dari OAT harus dievaluasi serta diedukasikan kepada pasien
dan keluarga agar mengerti dan waspada.
7 Jika terjadi efek samping seperti DIH, maka pengobatan TB harus sesuai
dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
8 Keberhasilan pengobatan TB tergantung pada kepatuhan minum obat,
pengawasan yang ketat, serta penyakit yang menyertai.

19
DAFTAR PUSTAKA

Mehta, Nilesh. 2014. Drug Induced Hepatotoxicity.


http://emedicine.medscape.com/article/169814-overview (diakses pada 29
September 2015)

PDPI. 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika

Ray, S., Talukdar, A., Kundu, S., Khanra, D., dan Sonthalia, N. 2013.
Diagnosis and Management of Milliary Tuberculosis: Current State and
Future Perspective. Ther Clin Risk Manag 9: p926

Sharma, S., Mohan, A., dan Sharma, A. 2012. Challenges In The Diagnosis and
Treatment of Milliary Tuberculosis. Indian J Med Res. May; 135(5):
p703730.

20

Anda mungkin juga menyukai