Anda di halaman 1dari 19

EKONOMI PEMBANGUNAN PERTANIAN

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA

Kelompok 2
Disusun Oleh:

1. Anisha Zahirah 155040100111100

2. Kurnia Miftakhul Khusna 155040100111104

3. Rizka Safira Junitasari 155040100111105

4. Dita Gayatri Naviri 155040100111107

5. Rima Ning Fitria 155040100111136

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2017
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
Latar belakang
Rumusan masalah
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi pertanian pada saat ini
Permasalahan
PEMBAHASAN
Kebijakan di bidang produksi
Kebijakan di bidang output
Kebijakan di bidang harga
KESIMPULAN
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi allah SWT yang telah mengajarkan kepada manusia apa-
apa yang belum di ketahuinya dan memberikan hidayah dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat merampungkan penyusunan makalah dengan judul Kebijakan
Pembangunan Pertanian di Indonesia dalam tugas mata kuliah Ekonomi
Pembangunan Pertanian ini dengan segala keterbatasan dan kekurangan.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritikan yang sifatnya membangun
sangat diperlukan penulis demi kesempurnaan penulisan makalah ini pada masa
yang akan mendatang.
Demikian makalah ini disusun, penulis mengucapkan mohon maaf dan
terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Malang, Mei 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meningkatkan produksi pertanian suatu negara adalah suatu tugas yang


tidak mudah, kerena banyaknya kondisi yang berbeda yang harus dibina atau
diubah oleh orang ataupun kelompok yang berbeda pula. Seperti halnya
permasalahan pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengimbangi permintaan
atas kebutuhan pangan meningkat pesat, namun hal tersebut tidak diimbangi
dengan produksi hasil pertanian yang mampu untuk memenuhi permintaan
kebutuhan akan bahan pangan.

Pada dasarnya pembangunan pertanian di Indonesia sudah berjalan sejak


masyarakat Indonesia mengenal cara bercocok tanam, namun perkembangan
tersebut berjalan secara lambat. Pertanian awalnya hanya bersifat primitif dengan
cara kerja yang lebih sederhana. Seiring berjalannya waktu, lama kelamaan
pertanian berkembang menjadi lebih modern untuk mempermudah para petani
mengolah hasil pertanian dan mendapatkan hasil terbaik dan banyak.

Dengan demikian pembangunan pertanian mulai berkembang dari masa ke


masa. Dalam proses pembangunan pertanian tersebut, campur tangan para pelaku
di bidang pertanian dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendukung dan
memberi fasilitas maupun pegetahuan kepada para petani untuk mengubah cara
berpikir mereka menjadi lebih kompleks sehingga mampu untuk meningkatkan
produksi pertanian di Indonesia berupa kebijakan-kebijakan pembangunan
pertanian, sehingga pembangungan pertanian dapat mengontrol kegiatan pertanian
ke arah yang lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk kebijakan di bidang produksi pertanian?


2. Bagaimana bentuk kebijakan di bidang output?

3. Bagaimana bentuk kebijakan harga pertanian di Indonesia ?

1.3 Tujuan

Untuk memberikan penjelasan mengenai bentuk kebijakan pembangunan


pertanian di Indonesia dan hubungan kebijakan pemerintah dengan aspek
ekonomi bagi pembangunan pertanian Indonesia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Pembangunan Pertanian Saat Ini


Kondisi pertanian saat ini yang paling mendasar yaitu pendapatan petani
masih rendah baik secara nominal maupun secara relatif dibandingkan dengan
sektor lain. Usaha pertanian yang ada didominasi dengan ciri-ciri skala kecil,
modal terbatas, teknologi sederhana, sangat dipengaruhi musim, wilayah pasarnya
lokal , umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan
terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), akses terhadap kredit,
teknologi dan pasar sangat rendah, Pasar komoditi pertanian sifatnya
mono/oligopsoni sehingga terjadi eksploitasi harga pada petani.

1 Pendekatan parsial yang yang bertumpu pada peningkatan produktifitas


usahatani yang tidak terkait dengan agroindustri. Hal ini menunjukkan
fondasi dasar agribisnis belum terbentuk dengan kokoh sehingga system
dan usaha agribisnis belum berkembang seperti yang diharapkan, yang
terjadi kegiatan agribisnis masih bertumpu pada kegiatan usahatani.
2 Pembangunan pertanian yang ada kurang terkait dengan pembangunan
pedesaan.
3 Kurang memperhatikan aspek keunggulan komparatif yang dimiliki
wilayah. Pembangunan agribisnis yang ada masih belum didasarkan
kepada kawasan unggulan.
4 Kurang mampu bersaing di pasaran, sehingga membanjirnya impor
khususnya komoditas hortikultura. Terdapat senjang produktivitas dan
mutu yang cukup besar sehingga daya saing produk pertanian Indonesia
masih mempunyai peluang yang sangat besar untuk ditingkatkan.
5 Pangsa pasar ekspor produk pertanian Indonesia masih kecil dan
sementara kapasitas dan potensi yang dimilikinya lebih besar.
6 Kegiatan agroindustri masih belum berkembang. Produk produk
perkebunan semenjak zaman Belanda masih berorentasi pada ekspor
komoditas primer (mentah)
7 Terjadinya degradasi kualitas sumberdaya pertanian akibat pemanfaatan
yang tidak mengikuti pola-pola pemanfaatan yang berkelanjutan . Masih
lemahnya kelembagaan usaha dan kelembagaan petani. Usaha agribisnis
skala rumahtangga, skala kecil dan agribisnis skala besar belum terikat
dalam kerjasama yang saling membutuhkan , saling memperkuat dan
saling menguntungkan. Yang terjadi adalah penguasaan pasar oleh
kelompok usaha yang kuat sehingga terjadi distribusi margin keuntungan
yang timpang (skewed) yang merugikan petani.
8 Lemahnya peran lembaga penelitian, sehingga temuan atau inovasi benih/
bibit unggul sangat terbatas
9 Lemahnya peran lembaga penyuluhan sebagai lembaga transfer teknologi
kepada petani, setelah era otonomi daerah.
10 Kurangnya pemerintah memberdayakan stakeholder seperti perguruan
tinggi, LSM, dalam pembangunan pertanian. Lemahnya dukungan
kebijakan makro ekonomi baik fiscal maupun moneter seperti kemudahan
kredit bagi petani, pembangunan irigasi maupun pasar, dll
2.2 Permasalahan Pembangunan Pertanian di Indonesia
Berikut ini merupakan beberapa permasalahan pembangunan pertanian di
Indonesia yang belum bisa diselesaikan dengan baik yaitu :
1 Lahan
a Konversi lahan yang tidak terkendali
b Keterbatasan dalam pencetakan lahan baru
c Penurunan kualitas lahan
d Ratarata kepemilikan lahan yang sempit
e Ketidakpastian status kepemilikan lahan
2 Infrastruktur
a Kerusakan jaringan irigasi yang tinggi
b Pendangkalan waduk
c Kurang memadainya sarana pelabuhan dan transportasi ternak
3 Benih
a Sistem pengadaan benih yang tidak sesuai dengan musim tanam
4 SDM
Kemampuan petani, peternak dan pekebun dalam memanfaatkan
teknologi maju
a Menurunnya minat generasi muda untuk terjun di bidang pertanian
b Keterbatasan tenaga penyuluh, pengamat OPT, Pengawas Benih
Tanaman serta tenaga Kesehatan Hewan
4 Permodalan
a Sulitnya akses petani terhadap permodalan
b Tunggakan kredit usaha tani yang belum terselesaikan
c Persyaratan agunan kredit KKPE berupa sertifikat, menghambat
penyaluran

Selain dari pada permasalah pembangunan pertanian di atas terdapat pula


permasalahan lain yang terjadi di bidang pertanian, antara lain sebagai berikut :

1 Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan Penerimaan Pendapatan dalam
Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung
dengan produksi dan pemasaran hasil-hasil pertaniannya maupun yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian
juga merupakan bagian dari hidupnya, bahkan suatu cara hidup (way of live),
sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-aspek sosial dan
kebudayaan, aspek kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi
semuanya memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun
demikian dari segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan
tingkat harga yang diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan faktor
yang sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan-persoalan ekonomi pertanian dan
persoalan ekonomi di luar bidang ekonomi pertanian adalah jarak waktu (gap)
antara pengeluaran yang harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan
penerimaan hasil penjualan. Jarak waktu ini sering pula disebut gestation period,
yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar daripada dalam bidang industri. Di
dalam bidang industri, sekali produksi telah berjalan maka penerimaan dari
penjualan akan mengalir setiap hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi.
Dalam bidang pertanian tidak demikian kecuali bagi para nelayan penangkap ikan
yang dapat menerima hasil setiap hari sehabis ia menjual ikannya. Jadi ciri khas
kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan pendapatan dan
pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen,
sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-
kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.

2 Tekanan Penduduk dan Pertanian


Persoalan lain yang sifatnya lebih jelas lagi dalam ekonomi pertanian adalah
persoalan yang menyangkut hubungan antara pembangunan pertanian dan jumlah
penduduk. Malthus dalam tahun 1888 menerbitkan buku yang terkenal mengenai
persoalan-persoalan penduduk dan masalah pemenuhan kebutuhan manusia akan
bahan makanan. Penduduk bertambah lebih cepat daripada pertambahan produksi
bahan makanan. Penduduk bertambah menurut deret ukur, sedangkan produksi
bahan makanan hanya bertambah menurut deret hitung. Persoalan penduduk di
Indonesia tidak hanya dalam kepadatannya tetapi juga pembagian antardaerah
tidak seimbang. Komposisinya menunjukkan suatu penduduk yang muda dengan
pemusatan penduduk di kota-kota besar. Tingkat pertambahan penduduk tinggi,
karena angka kelahiran tinggi, sedangkan angka kematian menurun. Menurunnya
angka kematian disebabkan oleh kemajuan kesehatan dan sanitasi. Ditinjau dari
sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat dilihat dari
tanda-tanda berikut:

a Persediaan tanah pertanian yang makin kecil


b Produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun
c Pertambahnya pengangguran
d Memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya
hutang-hutang pertanian.

3 Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali dipakai dalam berbagai karangan
mengenai ekonomi pertanian sebagai terjemahan dari perkataan subsistence dari
kata subsist yang berarti hidup. Pertanian yang subsisten diartikan sebagai suatu
sistem bertani dimana tujuan utama dari si petani adalah untuk memenuhi
keperluan hidupnya beserta keluarganya. Namun dalam menggunakan definisi
yang demikian sejak semula harus diingat bahwa tidak ada petani susbsisten yang
begitu homogen, yang begitu sama sifat-sifatnya satu dari yang lain. Dalam
kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda dalam hal luas dan
kesuburan tanah yang dimilikinya dan dalam kondisi-kondisi sosial ekonomi
lingkungan hidupnya.
Apa yang sama di antara mereka adalah bahwa mereka memandang pertanian
sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil
produksi pertanian itu. Dengan definisi tersebut sama sekali tidak berarti bahwa
petani susbsisten tidak berfikir dalam pengertian biaya dan penerimaan. Mereka
juga berpikir dalam pengertian itu, tetapi tidak dalam bentuk pengeluaran biaya
tunai, melainkan dalam kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan upacara adat dan lain-lain.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kebijakan di bidang Produksi

Pangan merupakan salah satu masalah nasional yang sangat penting dari
keseluruhan proses pembangunan dan ketahanan nasional suatu bangsa. Masalah
pangan menyangkut kesejahteraan hidup dan kelangsungan hidup suatu bangsa
karena merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Mengingat arti dan
peranan pangan yang sangat penting dalam menunjang kehidupan manusia maka
pemerintah Indonesia selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan pangan
penduduknya tidak saja ditinjau dari segi kuantitas, tetapi juga dari segi kualitas.
Akan tetapi, jika penyediaan pangan tersebut dikaitkan dengan peningkatan mutu
dan gizi penduduk maka dapat membawa konsekuensi yang cukup berat, karena
jumlah kebutuhan pangan akan selalu meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah penduduk. Dengan demikian pangan harus tersedia dalam jumlah yang
cukup dan tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia pada tingkat harga
yang layak, serta terjangkau oleh daya bermasyarakat.

3.1.1 Kebijakan Peningkatan Produksi Untuk Mencapai Swasembada Pangan


Peningkatan produksi pangan akan mempunyai dampak yang sangat luas
terhadap laju pertumbuhan di Indonesia. Selain untuk mancapai swasembada,
pembangunan, pertanian, tanaman pangan juga dibutuhkan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat tani. Semua ini dapat dicapai melalui peingkatan
produksi.Usaha intensifikasi dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas
sumber daya alam dari area hutan, pengairan, dan pertanian, baik tanah sawah,
sawah pasang surut, tanah kering, dan sebagainya dengan menggunakan segala
sarana produksi, seperti air, benih unggul, pestisida, dan sebagainya.
Kebijakan peningkatan produksi pangan ditempuh melalui penerapan
inovasi panca usaha tani, seperti penggunaan benih varietas unggul, pemupukan,
pengendalian hama terpadu, pengairan, peralatan untuk pengolahan lahan,
tersedianya kredit tani dan sebagainya. Untuk menunjang keberhasilan program
keberhasilan program peningkatan produksi pangan guna mencapai swasembada
tersebut, pemerintah telah mengantisipasinya melalui serangkaian kebijakan-
kebijakan:
1. Kebijakan bidang pembenihan
2. Sarana produksi, pupuk, dan pestisida
3. Kebijakan bidang perkreditan
4. Kebijakan bidang perairan
5. Kebijakan diseversifikasi usaha tani
6. Kebijakan bidang penyuluhan
7. Kebijakan harga input dan output
8. Kebijakan penanganan pasca panen

3.1.2 Diversifikasi Komoditi

Diversifikasi di sektor pertanian sebenarnya sudah merupakan kebijakan yang


cukup lama, tetapi pengembangannhya masih relatif tertinggal karena beberapa
hal:
1. Titik perhatian penentu kebijakan sejauh ini masih terpusat pda usaha untuk
mencapai swasembada beras. Meskipun sudah tercapai pada tahun 1984,
sumber daya yang ada masih juga terserap untuk mempertahankan
swasembada tersebut.
2. Pengembangan teknologi budi daya komoditi di luar padi masih juga
tertinggal.
3. Kebijakan di bidang pemasaran masih condong pada pencapaian target
komoditi padi.

Di bidang produksi, pengertian diversifikasi menyangkut 2 hal, antara lain:


1. Diversifikasi horizontal, yaitu diversifikasi yang berkaitan dengan produksi,
yang dalam hal ini harus ditumbuhkan kesediaan petani produsen untuk
menanam berbagai tanaman di lahan yang dikuasainya dengan tetap
memperhatikan prinsip keuntungan komparatif terhadap penggunaan
sumber daya alam dan sosial ekonomi setempat.
2. Diversifikasi vertikal, yaitu yang berhubungan dengan sisi permintaan, yang
lebih menekankan pada masalah penanganan lepas panen sejak dari tahap
proses perdagangan sampai pada tahap konsumsinya.
Dalam pengembangan diversifikasi ini, salah satu prasyarat yang sangat
penting adalah adanya informasi yang akurat tentang sifat-sifat lahan, aspirasi dan
kemampuan petani, serta tersedianya sarana pendukung, seperti jalan,
pasar,perkreditan, maupun peranan wilayah dalam perencanaan nasional.
Kebutuhan akan diversifikasi di sektor pertanian sebenarnya merupakan suatu
proses alamiah karena adanya peningkatan lebih lanjut dari kemakmuran
masyarakat yang mendorong ke arah adanya perbaikan gizi yang bersumber pada
perlunya diversifikasi konsumsi.

3.2 Kebijakan di bidang Input


Kebijakan input adalah kebijakan yang dirancang untuk mempengaruhi
harga dan sistem distribusi input pertanian. Subsidi input semakin tinggi input
semakin tinggi penggunaanya semakin kecil produksinya. Contoh Kebijakan input
seperti pemberian subsidi input pada perternakan sapi, dengan demikian produksi
sapi meningkat. Dengan meningkatnya produksi sapi menyebabkan harga jual
sapi menurun. Dengan otomatis konsumen akan berpindah dari daging ayam ke daging sapi.
Pengaruhnya dengan adanya kebijakan input subsidi sapi ini,
sangat menguntungkan konsumen.
Subsidi diartikan sebagai pembayaran sebagian harga oleh pemerintah
sehingga harga dalam negeri lebih rendah daripada biaya rata-rata pembuatan
suatu komoditi atau harga internasionalnya. Ada 2 macam subsidi, yaitu subsidi
harga produksi dan subsidi harga faktor produksi. Subsidi harga produksi
melindungi konsumen dalam negeri, artinya konsumen dala negeri dapat membeli
barang yang harganya lebih rendah daripada biaya rata-rata pembuatannya atau
harga internasionalnya. Subsidi harga faktor produksi bertujuan untuk melindungi
produsen dalam negeri dan dilakukan untuk meningkatkan produksi dalam negeri.
Bentuk subsidi harga faktor produksi dapat berupa biaya angkut faktor produksi
ke pelosok atau perbedaan tingkat bunga bank dalam pengambilan kredit.
Disamping itu bertujuan untuk melindungi produsen dan konsumen, kebijakan
subsidi juga bertujuan untuk memperluas lapangan kerja dan meningkatkan
produksi komoditas tertentu untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
3.2.1 Subsidi Harga Produksi
Subsidi ini bertujuan melindungi konsumen dalam negeri, artinya
konsumen dalam negeri dapat membeli barang yang harganya lebih rendah
daripada biaya rata-rata pembuatan suatu komoditas atau harga internasionalnya.
Untuk meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian, khususnya beras, pemerintah
memberikan subsidi harga faktor produksi, seperti pupuk, pestisida, dan bibit.
Subsidi untuk usaha tani padi yang ditanggung oleh pemerintah untuk mengimpor
atau memproduksi pupuk dalam negeri.

3.2.2 Subsidi Harga Faktor Produksi


Untuk membeli pupuk yang harganya masih relatif mahal, seringkali
petani tidak memiliki uang tunai. Untuk itu, petani dapat memperoleh kredit
dengan bunga yang relatif rendah. Selisih antara bunga bank sesungguhnya
dengan bunga yang harus ditanggung petani, dibayarkan oleh pemerinth dalam
bentuk subsidi kepada petani. Selain melindungi produsen dan konsumen, subsidi
juga bertujuan untuk memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan produksi
komoditas tertentu untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Subsidi pupuk di Indonesia dimulai tahun 1971, yaitu untuk melengkapi
introduksi varietas padi unggul baru. Varietas padi unggul baru tersebut sangat
responsive terhadap pupuk. Pengalaman suksesnya subsidi pupuk yang
mendorong penggunaan pupuk dan pada giliran selanjutnya berpengaruh terhadap
peningkatan produksi merupakan bukti bahwa sesungguhnya petani sangat respon
terhadap harga input produksi, tetapi kesuksesan ini juga mempertahankan
swasembada, penarikan kembali subsidi faktor produksi ( misalnya, pupuk) harus
diikuti dengan peningkatan rasio harga output dan harga input.

3.3 Kebijakan Harga


Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak
negara dan biasanya digabung dengan pendapatan sehingga disebut kebijakan
harga dan pendapatan (price and income policy). Segi harga dari kebijakan itu
bertujuan untuk mengadakan stabilisasi harga, sedangkan segi pendapatannya
bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi ari musim ke musim
dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian suatu
penyangga (support) untuk hasil-hasil pertanian supaya tdak merugikan petani
atau langsung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara Eropa,
Amerika Serikat, Jepang, Australia dan lain-lain, banyak sekali hasil-hasil
pertanian seperti gandum, kapas, padi, gula biet dan lain-lain yang mendapat
perlindungan pemerintah berupa penyangga dan subsidi.
Indonesia baru mempraktikan kebijakan harga untuk beberapa hasil sejak
tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga dapat dipakai mencapai tiga tujuan
yaitu :
1 Stabilisasi harga-hasil hasil pertanian terutama pada tingkat petani.
2 Mening katkan pendapatan petani melalui perbaikan nilai tukar (term of
trade).
3 Memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.

Kebijakan harga di Indonesia ditekankan pada tujuan yang petama. Stabilisasi


harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang stabil berarti
pula kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali dilaksanakan bagi
hasil-hasil ppertanian di negara-negara maju dengan alasan pokok pendapatan
rata-rata sektor pertanian terlalu rendah dibandingkan penghasilan di luar sektor
pertanian. Memang dengan diperkenalkan berbagai mesin pertanian maka
produktivitas dan prodksi pertanian di negara-negara tersebut mengalami
kemajuan yang sangat pesat sehingga harga-harga menurun. Dalam keadaan
demikian kebijakan harga dipergunsksn untuk menghambat penurunan harga-
harga tersebut baik dengan jalan mengurangi penawaran maupun menambah
permintaan di pasar.
Tujuan yang kedua ini sukar dilaksanakan di negara-negara yang jumlah
petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena persoalan
administrasinya sangat kompleks. Karena pada prinsifnya kebijakan harga yang
demikian ini merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan bukan
pertanian ke golongan pertanian, maka hal ini bisa dilaksanakan dengan mudah
dinegara-negara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan penduduk di luar
pertanian jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan yang jauh lebih tinggi
daripada golongan penduduk pertanian.
Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-rata hanya merupakan di
bawah 10% dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60%-
70%. Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktik dilaksanakan di negara-negara
yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan
jumlah produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga,
pemerintah membuat perencaan produksi dan petani mendapat pembayaran
kompensasi untuk setiap hektar tanah yang diistirahatkan. Di negara kita dimana
hasil-hasil pertanian pada umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka
kebijakan yang demikian tidak relevan.
Di samping kebijakan harga yang menyangkut hasil-hasil pertanian maka
peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada
harga sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini mempunyai
pengaruh untuk menurunkan biaya produksi. Dalam ekonomi pertanian masalah
harga dan analisis harga merupakan pokok bahasan yang sangat penting. Harga
adalah hasil akhir bekerjanya sistem pasar, yaitu bertemunya gaya-gaya
permintaan dan penawaran, antara pembeli (konsumen) dan penjual (produsen).
Karena permintaan penawaran merupakan indikator perkembangan dan preferensi
konsumen dan produsen, maka harga yang merupakan hasil akhir bekerjanya
sistem pasar juga dianggap sebagai indikator penting bagi konsumen dan
produsen. Dengan demikian berarti harga pasar menjadi pedoman bagi konsumen
untuk melaksanakan putusan pembelian atau konsumsinya, dan juga bagi
produsen untuk melaksanakan produksi dan penjualan di pasar.
Yang dimaksud dengan kebijaksanaan harga dalam uraian kita sekarang adalah
kebijaksanaan pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam bidang harga-
harga di dalam pertania. Baik yang menyangkut produk (produk pertanian)
maupun sarana produksi (input). Jadi kebijaksanaan harga di sini menyangkut
masalah sebagaimana pemerintah mengatur dan menetapkan kebijaksanaan harga
dasar (minimum) dan harga tertinggi (maksimum) padi atau palawija, bagaimana
menetapkan kebijaksanaan harga produk, harga atau pungutan atas air irigasi, dan
lain-lain. Laju inflasi yang tinggi pada tahun 1966 (650 persen) menyadarkan
pemerintah untuk mulai mengendalikan harga pangan karena sekitar separoh
dari pengeluaran masyarakat untuk makanan adalah berupa beras atau sekitar 30
persen dari seluruh pengeluaran biaya hidup. Oleh karena itu pada tahun 1967
lahir sebuah konsep kebijaksanaan harga beras yang diajukan oleh Saleh Afiff dan
Leon Mears yang memuat lima prinsip sebagai berikut:
1 Perlu ada harga dasar (floor price) yang cukup merangsang produksi
2 Perlu ada harga maksimum (ceiling price) yang melindungi konsumen
3 Perlu ada selisih yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum
untuk merangsang perdagangan oleh swasta
4 Perlu ada relasi harga antar-daerah, perlu isolasi harga terhadap pasaran
dunia dengan fluktuasi yang lebar, (dalam jangka panjang) perlu korelasi
tertentu dengan harga luar untuk memperkecil subsidi impor beras
5 Disarankan pula adanya stok penyangga (buffer stock) yang dikuasai
pemerintah.

Dengan kata lain, kebijaksanaan pemerintah selalu didasarkan pada macam-


macam pertimbangan dan juga biasanya ingin mencapai beberapa tujuan
sekaligus. Misalnya saja dalam kebijaksanaan stok dan harga pangan yang
ditugaskan pada Bulog (Badan Urusan Logistik) sesuai Keppres No.11/1969 pada
22 Januari 1969, dinyatakan bahwa sasaran utama program Bulog adalah:
mempertahankan harga minimum beras, dan menjaga kestabilan harga beras agar
tidak melampaui tingkat maksimum. Kedua sasaran tersebut tampaknya tidak
bertentangan satu sama lain, karena yang pertama menyangkut perangsang bagi
produsen padi, sedangkan yang kedua menyangkut perlindungan pada konsumen.
Namun dalam kenyataan, keduanya bisa bertentangan satu sama lain.
Dengan sasaran menjamin kestabilan harga, maka pertimbangan pemerintah
di samping aspek perlindungan kepada konsumen adalah mengendalikan inflasi
melalui pengendalian tingkat inflasi serendah mungkin. Dengan pengendalian
inflasi melalui pengendalian harga beras berarti harus menekan harga beras baik
secara langsung dengan memberikan subsidi atas beras impor maupun dengan
menjual tepung terigu jauh di bawah harga yang biasanya berlaku.
Kebijaksanaan harga biasanya ditujukan untuk dua pihak yaitu produsen dan
konsumen. Salah satu tugas pemerintah cimanapun dan dalam sistem ekonomi
apapun ialah mengusahakan agar rakyat (konsumen) dapat memenuhi
kebutuhannya, terutama kebutuhan pokoknya. Ditinjau dari tugas pemerintah
yang demikian, maka dalam kebijaksanaan harga pemerintah berkewajiban agar
harga-harga kebutuhan pokok rakyat terjangkau oleh daya beli mereka. Dalam hal
kebutuhan seperti beras misalnya dianggap wajar, sehingga pemerintah
mengusahakan agar harga tersebut tidak dilampaui. Usaha untuk menetapkan
semacam harga maksimum (ceiling price) ini dilakukan pemerintah dengan
berbagai cara, misalnya dengan kebijaksanaan pengadaan, dengan pemberian
subsidi harga atau dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya yang pada
prinsipnya bertujuan sama. Perlindungan harga konsumen yang berupa subsidi ini
tidak hanya terjadi pada beras, tetapi dapat ditemukan juga pada komoditas-
komoditas lain seperti tepung, gandum, atau pupuk.
BAB IV
KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai