Fiegy LP SC Peb Print Ujian
Fiegy LP SC Peb Print Ujian
A. POST PARTUM
1. Pengertian
Post partum adalah masa pulih kembali mulai dari persalinan selesai sampai
alat alat kandungan kembali seperti kembali seperti pra hamil. Lama masa nifas ini
8-6 minggu (Prawirohardj, 2008)
Masa nifas mulai setelah partus selesai, dan berakhir setelah kira-kira 6
minggu. (Wikonjosastro, 2006)
Periode pasca partum adalah masa 6 minggu sejak bayi lahir sampai organ
organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil.periode ini kadang
kadang disebut puerpurium atau trimester 4 kehamilan. Perubahan fisiologis yang
terjadi sangat jelas walaupun dianggap normal. Dimana proses proses dalam
kehamilan berjalan terbalik. ( Bobak, et, al, 2005)
Post portum / masa nifas dibagi dalam 3 periode :
a. Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan-jalan.
b. Purperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang
lamanya mencapainya 6 8 minggu.
c. Remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama bila selama hamil / waktu persalinan mempunyai
komplikasi.
4. Adaptasi Ayah
Ayah terlihat mempunyai keterlibatan yang kuat dengan bayi mereka,
keterlibatan ayah memberikan kebahagiaan dan perhatian penuh kepada bayinya.
Proses yang diprediksa selama 3 minggu merupakan transisi kepada orang tua,
melalui 3 tahap:
a. Harapan adalah pengalaman saat prakonsepsi tentang seperti apabila ada bayi
dirumah.
b. Realitas yaitu menyadari harapannya tidak sesuai fakta kesedihan, ambivalensi.
Kecemburuan, frustasi, tidak dapat berpartisipasi dalam penyusunan hasrat
untuk berpartisipasi penuh, sangat senang dengan mudahnya dan lucunya
menjadi ayah.
c. Transisi Kepenguasaan yaitu keputusan yang membingungkan untuk
mengambil alih dan menjadi aktif terlibta dalam kehidupan bayi.
B. SECTIO CAESARIA
1. Definisi
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan
diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh (Gulardi
& Wiknjosastro, 2006).
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002)
2. Jenis Jenis
a. Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah uterus.
insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau memanjang.
Keunggulan pembedahan ini adalah:
b. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari tidak
besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami
kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
c. Sectio cacaria klasik atau section cecaria corporal
Pada cectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini yang
agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada halangan untuk
melakukan section cacaria transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada
segmen atas uterus.
d. Sectio cacaria ekstra peritoneal
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi bahaya
injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap injeksi
pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum tak
dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
3. Etiologi
Indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen, perdarahan
antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres
dan janin besar melebihi 4.000 gram (Manuaba, 2002). Dari beberapa faktor sectio
caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut:
a. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu
tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan
beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang
harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang
menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan
dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi
asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
b. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian
maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu
diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar
tidak berlanjut menjadi eklamsi.
c. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban
pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36
minggu.
d. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada
kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau
salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
e. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada
jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
f. Kelainan Letak Janin
1) Kelainan pada letak kepala
a) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba
UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala
bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
b) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak
paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
c) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi
terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya
dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak
belakang kepala.
2) Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum
uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong,
presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna
dan presentasi kaki (Saifuddin, 2002).
4. Patofisiologi
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan
ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta
previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan
letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik
dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari
aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI
yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman.
Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril.
Nyeri adalah salah utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan
upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati,
sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa
atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas
yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot
nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan
dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi. (Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002)
5. Tekhnik Penatalaksanaan
a. Bedah Caesar Klasik/ Corporal.
1) Buatlah insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah
korpus uteri diatas segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting
sampai sepanjang kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin
dengan dua jari operator.
2) Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan dengan
meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut.
3) Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan dipotong
diantara kedua klem tersebut.
4) Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
5) Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
a) Lapisan I : miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang
dengan menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2.
b) Lapisan II : lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur
horizontal (lambert) dengan benang yang sama.
c) Lapisan III: dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit
secara jelujur menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
6) Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah
dan air ketuban
7) Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalogram ( EEG ) : untuk membantu menetapkan jenis dan fokus
dari kejang.
b. Pemindaian CT : untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magneti resonance imaging (MRI) : menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan
pemindaian CT.
d. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang
yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik
atau alirann darah dalam otak.
e. Uji laboratorium
1) Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
2) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
5) AGD
6) Kadar kalsium darah
7) Kadar natrium darah
8) Kadar magnesium darah
7. Penatalaksanaan
a. Perawatan awal
1) Letakan pasien dalam posisi pemulihan
2) Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama,
kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15
menit sampai sadar
3) Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
4) Transfusi jika diperlukan
5) Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera
kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca
operasi, berupa air putih dan air teh.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
1) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
2) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
3) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
4) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk (semifowler)
5) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
d. Fungsi gastrointestinal
1) Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
2) Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
3) Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
4) Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik
e. Perawatan fungsi kandung kemih
1) Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah
semalam
2) Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
3) Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang
sampai minimum 7 hari atau urin jernih.
4) Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg per
oral per hari sampai kateter dilepas
5) Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.
f. Pembalutan dan perawatan luka
1) Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu
banyak jangan mengganti pembalut
2) Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk
mengencangkan
3) Ganti pembalut dengan cara steril
4) Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
5) Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit
dilakukan pada hari kelima pasca SC
g. Jika masih terdapat perdarahan
1) Lakukan masase uterus
2) Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL)
60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin
3) Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien
bebas demam selama 48 jam : Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam. Ditambah
gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam. Ditambah metronidazol
500 mg I.V. setiap 8 jam
4) Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan yaitu
pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/ 24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
5) Obat-obatan lain yaitu untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum
penderita dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
6) Hal Hal lain yang perlu diperhatikan
a) Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan
komplikasi berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi
b) Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya
hematoma.
c) Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut
ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.
d) Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
e) Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi
f) Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
g) Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat
menaikkan tekanan intra abdomen
h) pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila
terjadi obstruksi kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin
disebab-kan karena pengaruh obat-obatan, anestetik, narkotik dan
karena tekanan diafragma. Selain itu juga penting untuk
mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya hipotensi dan
aritmia kardiak. Oleh karena itu perlu memantau TTV setiap 10-15
menit dan kesadaran selama 2 jam dan 4 jam sekali.
i) Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan
kenya-manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya
orientasi dan bimbingan kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas
dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
j) Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah,
frekuensi nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin
Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya
penyimpangan
k) Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional
atau general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria.
Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai
indikasi. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan kulit
pembedahan abdomen, Persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter
fole.
C. PRE EKLAMSIA
1. Definisi
Menurut Wiknjosastro (2002), preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai
proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan. Sedangkan eklamsi adalah preeklamsi yang disertai
kejang dan atau koma yang timbul bukan akibat kelainan neurology.
Preeklamsi adalah penyakit kehamilan yang ditandai dengan adanya trias
preeklamsi yaitu adanya edema, hipertensi, dan protein uri (Mansjoer, et al, 2008).
2. Etiologi
Sebab preeklamasi belum diketahui, tapi pada penderita yang meninggal
karena eklamsia terdapat perubahan yang khas pada berbagai alat. Tapi kelainan
yang menyertai penyakit ini adalah spasmus arteriole, retensi Na dan air dan
coogulasi intravaskulaer.
Walaupun vasospasmus mungkin bukan merupakan sebab primer penyakit ini,
akan tetapi vasospasmus ini yang menimbulkan berbagai gejala yang menyertai
eklamsi.
Vasospasmus menyebabkan Hypertensi :
Pada otak : sakit kepala
Kejang
Pada placenta : solution placentae
Kematian janin
Pada ginjal : oliguri
Insuffisiensi
Pada hati : icterus
Pada retina : amourose
4. Prognosa
Prognosa tergantung pada terjadinya eklampsi. Di negara-negara yang sudah
maju kemaatian karena preeklampsi kurang lebih 0.5%. tetapi jika eklampsi terjadi
maka prognosa menjadi kurang baik kematian pada eklampsi adalah 5%. Prognosa
untuk anak juga berkurang tetapi juga bergantung pada saatnya preeklampsi
menjelma dan pada beratnya preeklampsi. Kematian perinatal kurang lebih 20%.
Kematian perinatal ini sangat dipengaruhi oleh prematuritas.
Ada ahli yang berpendapat bahwa preeklampsi dapat menyebabkan hypertensi
yang tetap terutama kalau preeklampsi berlangsung lama atau denga perkataan lain
kalau gejala preeklampsi timbul dini.
5. Dasar Pengobatan
a. Istirahat
b. Diit
c. Obat-obat antihypertensip
d. Sedatip
e. Induksi persalinan.
Pengobatan jalan hanya mempunyai tempat kalau preeklaampsi ringan
sekali misalnya kalau tensi kurang dari 140/90 dan oedema dan proteinuria tidak
ada atau ringan sekali.
Anjuran diberikan pada pasien semacam ini ialah :
a. Istirahat sebanyak mungkin di rumah
b. Penggunaan garam dikurangi
c. Pemeriksaan kehamilan harus 2 kali seminggu
d. Dapat pula diberikan sedativa dan obat-obatan antihypertensi.
D. SEROTINUS
1. Definisi
Kehamilan serotinus adalah kehamilan yang berlangsung lebih lama yaitu 42
minggu. Dihitung berdasarkan rumus Neagle dengan siklus haid rata-rata 28 hari
(Mochtar, R. 2009).
Kehamilan lewat waktu (serotinus) adalah kehamilan melewati waktu 294 hari
atau 42 minggu. Kehamilan lewat dari 42 minggu ini didasarkan pada hitungan
usia kehamilan (dengan rumus Neagle). (Anggarani. 2007).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kehamilan serotinus adalah kehamilan yang
lewat waktu lebih dari 42 minggu belum terjadi persalinan yang bisa berpengaruh
pada janin dapat meninggal dalam kandungan karena kekurangan zat makanan dan
oksigen.
2. Etiologi
Penyebab terjadinya serotinus belum diketahui secara pasti, namun ada faktor
yang bisa menyebabkan serotinus seperti halnya teori bagaimana terjadinya
persalinan, sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm sebagai akibat
gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa teori yang menjadi pendukung
terjadinya kehamilan serotinus antara lain sebagai berikut:
a. Pengaruh Progesteron
Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan
kejadian perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses biomolekuler
pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin,
sehingga beberapa penulis menduga bahwa terjadinya kehamilan postterm
adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesterone.
b. Teori Oksitosin
Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan postterm
memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis memegang
peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan pelepasan oksitosin dari
neurohipofisis ibu hamil yang kurang pada usia kehamilan lanjut diduga
sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan postterm.
c. Teori Kortisol/ACTH Janin
Dalam teori ini diajukan bahwa pemberi tanda untuk dimulainya
persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar kortisol
plasma janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi
progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya
berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat
bawaan janin seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya
kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi
dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan (Sarwono
Prawirohardjo, 2009).
d. Saraf Uterus
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan
membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan di mana tidak ada tekanan
pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian
bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya
kehamilan postterm.
3. Manifestasi Klinis
1. Keadaan klinis yang dapat ditemukan ialah gerakan janin yang jarang, yaitu
secara subyektif
2. Kurang dari 7 kali/20 menit atau secara obyektif dengan KTG kurang dari 10
kali/20 menit.
3. TFU tidak sesuai umur kehamilan.
4. Air ketuban berkurang dengan atau tanpa pengapuran (klasifikasi) plasenta
diketahui dengan pemeriksaan USG.
Pengaruh dari seronitus adalah :
1. Terhadap Ibu
Pengaruh postmatur dapat menyebabkan distosia karena aksi uterus tidak
terkoordinir, maka akan sering dijumpai partus lama, inersia uteri, dan
pendarahan postpartum.
2. Terhadap Bayi
Jumlah kematian janin/bayi pada kehamilan 43 minggu 3 kali lebih besar dari
kehamilan 40 minggu, karena postmaturitas akan menambah bahaya pada
janin. Pengaruh postmaturitas pada janin bervariasi seperti berat badan janin
dapat bertambah besar, tetap dan ada yang berkurang sesudah kehamilan 42
minggu. Ada pula yang terjadi kematian janin dalam kandungan, kesalahan
letak, distosai bahu, janin besar, moulage.
Tanda bayi Postmatur adalah :
1. Biasanya lebih berat dari bayi matur ( > 4000 gram).
2. Tulang dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur.
3. Rambut lanugo hilang atau sangat kurang.
4. Verniks kaseosa di bidan kurang.
5. Kuku-kuku panjang.
6. Rambut kepala agak tebal.
7. Kulit agak pucat dengan deskuamasi epitel.
4. Patofisiologi
Fungsi plasenta mencapai puncaknya ada kehamilan 38 minggu dan kemudian
mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Hal ini dapat dibuktikan dengan
penurunan estriol dan plasental laktogen. Rendahnya fungsi plasenta berkaitan
dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan resiko 3 kali.
Permasalahan kehamilan lewat waktu adalah plasenta tidak sanggup
memberikan nutrisi dan pertukaran CO2/O2 akibat tidak timbul his sehingga
pemasakan nutrisi dan O2 menurun menuju janin di samping adanya spasme arteri
spiralis menyebabkan janin resiko asfiksia sampai kematian dalam rahim.
Makin menurun sirkulasi darah menuju sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan
pertumbuhan janin makin lambat dan penurunan berat disebut dismatur, sebagian
janin bertambah besar sehingga memerlukan tindakan operasi persalinan, terjadi
perubahan metabolisme janin, jumlah air ketuban berkurang dan makin kental
menyebabkan perubahan abnormal jantung janin (Wiknjosastro, H. 2009,
Manuaba, G.B.I, 2011 & Mochtar R, 2009).
5. Penatalaksanaan
1. Setelah usia kehamilan > 40-42 minggu yang penting adalah monitoring janin
sebaik-baiknya.
2. Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiense plasenta, persalinan spontan dapat
ditunggu dengan pengawasan ketat.
3. Lakukan pemeriksaan dengan cara Bishop skore. Bishop skore adalah suatu
cara untuk menilai kematangan serviks dan responsnya terhadap suatu induksi
persalinan, karena telah diketahui bahwa serviks bishop skore rendah artinya
serviks belum matang dan memberikan angka kegagalan yang lebih tinggi
dibanding serviks yang matang. Lima kondisi yang dinilai dari serviks adalah :
a. Pembukaan (Dilatation) yaitu ukuran diameter leher rahim yang terenggang.
Ini melengkapi pendataran, dan biasanya merupakan indikator yang paling
penting dari kemajuan melalui tahap pertama kerja.
b. Pendataran/penipisan (Effacement) yaitu ukuran regangan sudah ada di leher
rahim.
c. Penurunan kepala janin (Station) yaitu mengambarkan posisi janin kepala
dalam hubungannya dengan jarak dari iskiadika punggung, yang dapat
teraba jauh di dalam vagina posterior (sekitar 8-10 cm) sebagai tonjolan
tulang.
d. Konsistensi (Consistency) yaitu dalam primigravida leher rahim perempuan
biasanya lebih keras dan tahan terhadap peregangan, seperti sebuah balon
sebelumnya belum meningkat. Lebih jauh lagi, pada wanita muda serviks
lebih tangguh dari pada wanita yang lebih tua.
e. Posisi ostinum uteri (Position) yaitu posisi leher rahim perempuan
bervariasi antara individu. Sebagai anatomi vagina sebenarnya menghadap
ke bawah, anterior dan posterior lokasi relatif menggambarkan batas atas
dan bawah dari vagina. Posisi anterior lebih baik sejajar dengan rahim, dan
karena itu memungkinkan peningkatan kelahiran spontan.
E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. PRE EKALAMSIA
a. Ansietas b.d. pengalaman pembedahan dan hasil tidak
dapat diperkirakan
b. Resti infeksi b.d. destruksi pertahanan tubuh terhadap
bakteri
c. Nyeri akut b.d. insisi, flatus, dan mobilitas.
d. Resti perubahan nutrisi b.d. peningkatan kebutuhan
untuk penyembuhan luka, penurunan masukan (sekunder akibat nyeri, mual,
muntah)
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
fisik
2. POST SC
a. Nyeri akut b/d agen injuri fisik
b. Resiko infeksi b/d tindakan
invasif dan pembedahan
c. Defisit perawatan diri b/d
imobilitas (nyeri paska pembedahan)
d. Gangguan integritas kulit
berhubungan dengan luka insisi pembedahan
F. INTERVENSI KEPERAWATAN
PRE EKLAMSIA
DP Tujuan Intervensi Rasional
DIAGNOSA
KEPERAWAT NOC NIC RASIONAL
AN
4.Menunjukan
pemahaman Ganti balut pada
dalam proses interval waktu yang
perbaikan kulit sesuai program
dan mencegah
terjadinya
cedera
berulang
5.Mampu
melindungi
kulit dan
mempertahank
an kelembaban
kulit dan
perawatan
alami.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M., dkk., 2001,Rencana perawatan maternal bayi, EGC, Jakarta.
Hachermoore. 2001, Esensial obstetric dan ginekologi, Hypokrates, Jakarta.
Halminton P. M. 2005, Dasar-dasar keperawatan maternitas, Edisi 6, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Manuaba, I. B. G. 2007, Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga
berencana untuk pendidikan bidan, EGC, Jakarta.
Manuaba, I. B. G. 2008, Operasi kebidanan kandungan dan keluarga berencana
untuk dokter umum, EGC, Jakarta.
McCloskey, & Bulechek. 2006, Nursing interventions classifications, 2nd edition,
Mosby-Year book.Inc, New York.
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. S., & Setiowulan, W., 2008, Kapita
selekta kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta.
Mochtar, R. 2005, Sinopsis obstetri, obstetri operatif, obstetri sosial, EGC,
Jakarta.
NANDA, 2005-2006, Nursing Diagnosis: Definitions and classification,
Philadelphia, USA
Saifuddin A.B. 2001 , Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal, penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo, Jakarta
Saifuddin A.B. 2002 , Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal, penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo, Jakarta
Wiknjosastro, H. 2002, Ilmu kebidanan, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta.
University IOWA., NIC and NOC Project., 2001, Nursing outcome
Classifications, Philadelphia, USA